#10 - takayama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"sinting . . . jauh banget, woi," jisung menunduk lemas setelah berpamitan pada sang penjual bandana yang sempat mereka datangi sebelum membeli makanan.

usut demi usut, seorang warga negara indonesia yang menetap di jepang secara tidak sengaja menemukan dompet minho terjatuh dekat kios tersebut. namun naas, perempuan paruh baya
itu telah pulang bersama kedua anaknya pada sebuah area pedesaan di atas gunung bernama takayama.

entah ia harus bersyukur, atau justru merutuki diri sendiri atas kebodohannya.

"terus," minho mengalihkan perhatian, sedikit merasa tidak enak dengan jisung yang hampir putus asa. "kita kesana naik apa?"

"kereta, kalau bis kelamaan. masalahnya—"

laki-laki itu terdiam sesaat, sesekali menggaruk tengkuknya ragu.

"—tiket kesana sedikit mahal karena harus satu kali ganti kereta, sedangkan gue cuma punya cukup uang untuk bawa kita sampai di stasiun akhir. selebihnya, kita harus jalan kaki."










dan, benar saja.

empat jam tiga puluh menit kemudian, setelah menjejakkan kaki di stasiun takayama yang
gelap tak berpenghuni, jisung dan minho hanya mampu berjalan menuju minshuku (penginapan khas jepang) milik sang penemu dompet, yang membutuhkan jarak tempuh sekitar dua puluh menit dengan kendaraan biasa.

setidaknya, mereka bersyukur bahwa barang penting tersebut tidak jatuh pada tangan yang salah.

"jisung," panggil minho dari belakang, menatap bahu sang lawan bicara yang sedang berjalan di depannya sambil menggerutu. "han jisung . . ."

membalikkan tubuhnya, jisung hanya melempar pandangan sinis dan berteriak, "apa?!"

"galak amat jadi orang."

"harusnya lo lebih hati-hati, jangan gegabah meskipun lagi lengah. tau gitu kan gue traveling sendirian aja—"

minho terkekeh geli. "—kan lo yang ngajak gue, sok-sokan pakai truth or dare segala lagi."

mendengarnya, jisung memutar bola mata malas.










tanpa terasa, kedua insan itu telah sampai di depan sebuah penginapan dengan ornamen
khas jepang. sebuah kolam ikan menuntun mereka menuju meja resepsionis, dimana dua orang remaja laki-laki tengah berdebat dalam bahasa yang sangat familiar.

"kok nyalah-nyalahin gue sih, jeong?!"

"bang hyunjin sih yang—"

"—permisi, uh," minho berdehem pelan. "bisa bertemu dengan nyonya hwang?"

nyonya hwang, menjadi nama belakang seorang perempuan paruh baya yang tertulis pada kertas pemberian sang penjual bandana, yang mereka yakini sebagai pemilik dari penginapan ini.

mengamati penampilan mereka sesaat, remaja dengan tinggi menjulang yang dipanggil sebagai 'hyunjin' beralih ke arah pintu khusus karyawan sebelum berteriak kencang,

"mamaaaa, ada yang nyariin nih!"

kresek, kresek— suara hentakan kaki dari dalam mendominasi indera hingga sesosok perempuan paruh baya berpakaian daster batik khas negara mereka berjalan keluar dengan roll rambut yang masih tertempel sempurna.

"nggak usah pakai teriak dong, jin!" teriak sang ibu yang sama kencangnya. setelah itu, kedua sorot matanya berakhir pada minho dan jisung, yang hanya dapat membalas dengan senyuman canggung. "kalian yang kehilangan dompet di
fuji-q highland, ya?"

segera, mereka mengangguk bersamaan.

"betul, bu."

"masuk dulu, yuk. sudah hampir pagi," nyonya hwang mengajak mereka menuju ruangan yang baru saja ia tinggalkan, memberikan gestur
pada adik hyunjin untuk menutup sementara resepsionis dan menggantinya dengan sebuah
bel panggilan.










"nginep disini dulu aja," saran nyonya hwang setelah menyesap teh yang baru saja diantar salah satu staff penginapan.

kedua anaknya, hyunjin dan jeongin, sesekali mengangguk antusias di sofa sebelah, seakan-akan telah menemukan sosok kakak laki-laki
yang baru.

"iya kak," sambut jeongin dengan semangat membara. "pasti kalian capek banget, apalagi habis perjalanan jauh."

"besok pagi sebelum pulang aku ajak jalan-jalan ke shirakawa, deh. kebetulan lagi ada festival musim gugur yang aku mau datengin."











menatap jisung tak yakin,

minho berbisik, "sung, gue bingung mau jawab apa. truth or dare?"

"bisa-bisanya lo ngajak main truth or dare di depan mereka," decihnya. "oke, dare."

"lo yang jawab aja, ya."

"sialan—" jisung hampir tersedak karena tidak sengaja mengumpat di depan keluarga hwang. membenarkan posisi duduknya, dengan malu
ia membalas, "boleh, bu, selama nggak bikin repot. kebetulan kaki saya pegal banget karena dipaksa jalan sama minho."

menyikut laki-laki itu pelan, minho yang tidak puas dengan jawaban yang ia anggap tak tahu
diri segera menambahkan, "ekhm! terima kasih banyak atas tumpangannya . . ."






.。*゚+.*.。(❁'◡'❁)。.。:+*






*casually inserts hyunjeong
because why not*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro