{ 03 } Miscommunication

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kurangnya komunikasi antara satu sama lain, mampu menimbulkan perpecahan dan kecurigaan yang tak berdasar."
– Lucia Sheron

🚢

Tulisan merah darah yang terlukis di dinding itu masih terlihat basah. Membentuk cairan kental yang merambat ke bawah, menetes sedikit demi sedikit ke lantai. Sepertinya seseorang yang membuat tulisan ini melakukannya dengan sedikit terburu-buru. Membuat hasil yang bisa dikatakan cukup buruk.

Di sisi lain, jumlah keseluruhan manusia yang ada di ruangan itu adalah sepuluh orang. Satu buah angka yang melebihi ketentuan dari apa yang tertulis di tembok putih. Di dalam kapal ini hanya ada sembilan penumpang. Jika kamu menemukan lebih dari itu, maka dia adalah iblis. Berhati-hatilah!

Ya, jumlah keseluruhan mereka lebih banyak dari sembilan.

Jika dilihat dengan cermat, keganjilan demi keganjilan makin tersingkap. Akan tetapi, bukannya menuntun pada titik terang, alih-alih semakin menjebak pada sudut buntu nun gelap.

Keanehan seperti warna hitam yang melekat di setiap pakaian mereka--setiap wanita mengenakan gaun serba hitam dan pria mengenakan jas berwarna hitam pula, umur mereka yang terlihat sepantaran, serta ingatan rumpang yang melekat pada memori mereka semua.

Seorang gadis bermanik ungu sedang berdiri mematung dalam jarak yang cukup jauh dari kerumunan. Pandangannya mengamati mereka semua dengan penuh kehampaan. Paras elok nun mungilnya terlihat begitu datar dan kosong, seolah-olah menggambarkan bahwa dirinya adalah sosok dari boneka tak berjiwa.

Kebanyakan orang-orang yang ada di ruangan itu sedang menatap bercak merah yang membentuk kalimat kelabu di dinding.

Iris berwarna ungu milik gadis itu bergerak, pandangannya mengerling, menyapu bersih semua yang ada di situ. Terakhir, pupilnya terdiam pada sosok tiga remaja yang berdiri tak jauh dari replika kapal. Ia mengamati gerak-gerik mereka bertiga, tanpa membuka mulut sama sekali.

Entah mengapa, ia merasa bahwa ketiga orang itu mampu membawa perubahan besar pada dirinya. Namun, sebisa mungkin ia berusaha menyangkal perasaan yang memenuhi pikirannya tersebut.

Dari kejauhan, ia mengamati ekspresi perempuan bersurai merah yang tengah berdiri di antara dua pria. Senyum cerah terpancar dari paras elok wanita tersebut. Berbanding terbalik dengan dirinya yang cukup kaku untuk dapat menarik garis bibir agar membentuk lengkung simetris.

"Aku sebenarnya tidak mengerti apa maksud dari semua ini. Tentu saja, kurasa kalian semua juga berpikiran seperti itu. Akan tetapi, aku ingin kalian tetap berkepala dingin. Mungkin saja, ada seseorang yang jahil dengan membuat tulisan seperti ini di dinding." Gadis berambut marun itu mengambil panggung, membuat seluruh perhatian menyorot padanya.

Tidak terkecuali pandangan milik gadis aneh yang mimiknya mirip dengan boneka. Ia semakin jeli mengamati gerak-gerik perempuan marun itu. Kiprah kakunya pun mulai terbentuk dari kakinya. Ia mulai menarik diri, mendekat ke kerumunan manusia yang ada di situ.

"Terlalu berlebihan untuk disebut jahil," tukas seorang pria bersurai pirang. Tampaknya orang itu tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh sang gadis marun.

Tatapan kosong dari gadis bermanik ungu menyorot pada paras sang gadis marun. Wajah tanpa ekspresi itu menatapnya lekat-lekat. "Tidakkah kau sadar bahwa ada banyak keganjilan saat ini?"

Gadis bermanik ungu yang juga memiliki rambut hitam panjang yang menjuntai semampai hingga pinggul, kini membuka mulutnya. Mengeluarkan kata-kata beku yang jauh lebih dingin dari bongkahan es. Ketika suaranya terdengar, suasana seketika menjadi hening mencekam.

Perempuan marun tersenyum kecut. "Nona, mohon maaf kalau aku lancang, tetapi kau terlihat pucat sekali. Apakah kau baik-baik saja?" ucapnya khawatir.

"Aku baik-baik saja." Kulitnya memang terlihat putih pucat, tidak sehat. "Terlebih, panggungmu … aku merusaknya," ujarnya kaku.

Gadis marun itu tersenyum mendengarnya. "Kau jeli juga ya, Nona."

"Aku mengamatimu sejak tadi, dan aku tahu apa yang akan kau lakukan saat ini." Tangan pucatnya bergerak, telunjuknya mengacung, menunjuk ke sebuah sudut ruangan yang dekat dengan pintu keluar. "Dari tempat itu, aku bisa membaca apa yang sedang kalian bicarakan melalui gerak mulut," jelasnya.

"Ah, kalau begitu aku tidak perlu basa-basi lagi." Gadis marun itu terlihat puas. "Tuan dan Nona, perkenalkan, aku Lucia Sheron. Putri tertua dari keluarga Duke Sheron. Aku merasa kalau kita semua yang ada di sini memang harus melakukan kerja sama, mengingat banyak sekali hal aneh yang merujuk pada kebuntuan informasi."

"Jadi, sebelum kita berpisah dari ruangan ini, ada baiknya jika kita saling memperkenalkan diri satu sama lain. Kurangnya komunikasi antara satu sama lain, mampu menimbulkan perpecahan dan kecurigaan yang tak berdasar. Aku tidak ingin hal itu muncul, mengisi celah renggang yang ada di antara kita. Kuharap, kalian tidak terprovokasi oleh tulisan aneh itu," pungkasnya.

Selaput pelangi berwarna ungu itu masih menatap gadis di hadapannya dengan kosong. "Aku setuju denganmu, Nona Lucia. Perkenalkan, aku Vanessa Nancy. Putri tunggal dari keluarga Earl Nancy." Tanpa diduga, justru wanita boneka itulah yang pertama kali membuka mulut, mengungkapkan ucapan setuju pada perkataan Lucia.

Ketika gadis itu kembali mengeluarkan kata-kata, angin dingin seolah menggelitik tulang punggung, membuat bulu kuduk meremang. Perkataannya terdengar begitu lembut, tetapi dalam dan misterius.

"Vanessa, itu benar dirimu?" Seorang pria bersurai coklat gelap memecah kebisuan yang sempat melanda. Dengan beberapa gerakan, ia mendekati tempat gadis itu berdiri di antara orang-orang. "Bagaimana bisa kau juga ada di sini?"

Vanessa memutar wajahnya dengan kaku, menatap lelaki yang kini berdiri di sisinya. Tatapannya yang kosong terarah pada pria bermanik hijau yang tengah menatapnya lamat-lamat.

"Kalian saling mengenal, ya?" celetuk Lucia melihat gerak-gerik mereka.

"Tentu." Lagi-lagi pemuda bersurai coklat itu yang angkat bicara. "Aku Aiden Cambridge. Dan Vanessa, dia adalah teman masa kecilku."

"Baguslah. Dua lelaki ini juga temanku. Kita beruntung memiliki kenalan di tempat asing ini." Lucia melirik ke arah dua pria yang berdiri di sebelahnya, kemudian tersenyum cerah. "Dia Steven, dan dia Mikhail," lanjutnya.

Kedua pemuda yang masih belum memiliki kesempatan untuk unjuk bicara itu hanya menunjukkan seringai tanpa mimik sebagai respons. Jatah perkenalkan mereka sudah diambil alih oleh gadis marun itu. Memaksa mereka untuk tetap membisu.

Di tengah perbincangan mereka, seseorang berdeham dengan cukup keras. Membuat beberapa orang terdiam, kemudian menoleh ke arah sumber suara itu. Mereka menatap seorang pria berambut pirang yang berdiri di belakang sana.

"Sudah selesai?" Iris hazelnya menyorot orang-orang yang ada di situ dengan tatapan meremehkan. Tubuhnya yang jangkung berdiri tegap, kedua tangannya melipat di depan dada. Ia tersenyum miring. "Aku tidak perlu ikut dalam permainan kalian," gumamnya.

Lucia mengernyit heran. "Apa maksudmu?"

"Lakukan sesuka kalian, dan jangan libatkan aku. Daripada membuat pertimbangan bodoh seperti itu, aku lebih memilih untuk mencari saluran telepon yang bisa kugunakan untuk menghubungi seseorang di luar sana."

"Tidak terlintas di pikiranku bahwa benda itu bisa ditemukan di sini." Lucia meninggikan suaranya.

Pria itu mengangkat bahu. "Kau takut aku akan menemukannya?" ujarnya sambil terkekeh kecil. "Jangan bodohi aku. Seandainya pun aku tidak bisa menemui benda itu, aku bisa pergi ke anjungan untuk memperoleh informasi yang lebih banyak."

Manik hazelnya menatap Lucia dengan pandangan yang merendahkan. Lelaki itu membalikkan badannya, bergerak membelakangi mereka semua. Ia kemudian bergerak mendekati pintu keluar, kemudian membukanya. Akan tetapi, langkahnya terhenti tepat sebelum ia melewati ambang pintu.

"Orion, kau tidak ikut denganku?" desisnya tajam tanpa menoleh ke belakang untuk mencari orang yang diajaknya bicara.

Namun, sepertinya ia memang tak butuh untuk berpaling mencari orang yang diberinya pertanyaan. Sebab, seorang pria bersurai hitam legam dengan kacamata bundar yang bertengger di atas batang hidungnya, segera melangkah mendekatinya. "Mari pergi," ujarnya pada lelaki tersebut.

Kedua lelaki itu segera mengambil kiprah, berjalan pergi meninggalkan semua orang yang masih terdiam di ruangan itu sembari menatap keduanya dengan pandangan tak mengerti.

🚢

|| 1.181 kata ||
Dipublikasikan pada :
2 September 2021
© Daiyasashi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro