{ 02 } Pendulum Clock

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Akan terasa jauh lebih ringan kalau kita semua saling mengenal satu sama lain, kemudian bisa bekerja sama."
– Steven Alley

🚢

Gadis bersurai merah marun itu mulai membuka kedua pendar matanya. Suara dentang yang berasal dari jam bandul itu telah mengusik waktu tidur. Sedikit demi sedikit, kesadaran berkumpul di dalam dirinya. Membuatnya kembali terjaga di tengah waktu malam yang dirasa panjang.

Ia merasa bahwa kepalanya berdenyut menyebarkan nyeri, pandangannya tidak mampu menangkap suatu objek dengan jelas. Selain itu, kelopak matanya terasa begitu berat. Pusing kerap menggelayuti ubun-ubunnya.

Rasa remai menusuk sekujur tubuhnya. Akan tetapi, ia tetap memaksakan diri untuk bangkit dari posisi tidur. Lehernya terasa begitu sakit ketika ia mencoba untuk memalingkan wajahnya ke samping, maupun ketika menggerakkannya untuk menunduk. Nyeri yang seketika merebak, seolah memberinya sebuah pelajaran akibat posisi yang salah ketika terlelap.

Gadis yang mengenakan gaun hitam itu mulai menggerakkan punggung tangan, menyambut kedua pendar matanya yang masih sedikit terpejam, kemudian mengusapnya untuk menjernihkan penglihatan. Ia melawan rasa linu yang menyerang tubuhnya, kemudian berusaha untuk berdiri tegap.

Ketika pandangannya sudah jelas, ia mulai menyelisik keadaan sekitar. Hal pertama yang dilihatnya adalah tempat yang tadi digunakannya tidur. Sebuah sofa dengan tekstil hitam yang menjadi pelapisnya, menyapa indera penglihatannya. Ia merasa bahwa mungkin saja dirinya tadi tertidur, dengan posisi kepala yang tertahan di bagian kontruksi pegangan kursi panjang tersebut.

"Ini bukan kamarku," gumamnya. Memang benar, tempat ini lebih terlihat mirip dengan ruang tamu. Tidak ada kasur yang berdiri di situ. Hanya ada beberapa kursi panjang, meja besar, jam bandul, dan juga sebuah replika kapal yang terpampang di salah satu sudutnya.

Ia melirik ke arah poros jam bandul, melihat bahwa jarum-jarumnya mematung tepat di angka dua belas. Lalu, ia juga mampu menatap jendela kaca yang menampakkan pemandangan gelap gulita di luar sana. Tepat saat tengah malam rupanya. Ia membuat suatu kesimpulan, bahwa saat ini waktu masih bergerak di malam hari.

Gadis bermanik hitam itu memalingkan wajahnya ke arah lain. Rasa nyeri masih menggerogoti persendiannya. Akan tetapi, deritanya akan remai itu tak berlangsung lama. Nyeri berangsur-angsur hirap tatkala pandangannya tersita pada sosok seorang pemuda yang tengah berbaring di sebelah sofa yang tadi digunakannya.

Rambut pirangnya yang memiliki panjang di atas rata-rata menutupi sebagian dari lekuk parasnya. Namun, walau ia tak mampu menatapnya dengan jelas, perasaannya mengatakan bahwa sosok lelaki tersebut begitu familiar di matanya.

Tanpa ragu, gadis itu mengambil langkah untuk mendekati sosok pria yang sudah berhasil menarik perhatiannya. Senyumnya mekar, menambah kesan cantik parasnya yang memang sudah elok walau tanpa riasan wajah.

Bunyi dentang dari jam bandul masih memenuhi penjuru ruangan, dan tampaknya juga membuat lelaki itu terusik akibat suara gaungnya. Selaput pelangi berwarna merah mulai terlihat dari balik kelopak matanya yang sedikit terbuka.

"Bisakah kau menyingkirkan pandangan yang seperti itu dariku, Lucia?" Pria tersebut mengerling, memandang samar gadis bertubuh ramping yang berada di sebelahnya.

Gadis itu tak mengindahkan kalimat permintaannya, alih-alih senyum yang terlukis di iras mukanya makin melebar. "Sudah kuduga itu benar dirimu, Steven," lontarnya ringan.

Lengan pemuda itu bergerak mencari tumpuan agar dirinya bisa bangkit untuk duduk di sofa yang sempat beralih fungsi menjadi tempat tidur. Setelah itu, jemarinya mulai menyisiri rambut pirangnya, kemudian menyibakkannya ke belakang. Membuat tampangnya dapat terlihat dengan jelas.

"Jam sialan itu benar-benar mengganggu. Padahal aku merasa baru berbaring sebentar," desisnya kesal. Akan tetapi, tiba-tiba tatapan sinisnya berubah menjadi terperangah selagi pandangannya menangkap berbagai objek yang asing. "Omong-omong, Lucia, di mana ini?"

Gadis yang kerap dipanggil Lucia itu mengangkat bahu. "Entahlah." Ia terlihat cukup santai dan masih mampu memamerkan seringai kecilnya. "Tapi, aku ingin kau mencoba untuk melihat apa yang ada di belakangmu, Steven."

Tanpa sadar, lelaki itu menuruti permintaannya. Ia memalingkan wajah ke belakang, dan seketika menangkap sesuatu yang terlukis dengan abstrak di dinding yang hanya berjarak beberapa kaki dari sofa tempatnya duduk.

Steven mendengkus. Kalimat demi kalimat yang masing-masing tertulis dengan huruf besar terlukis di dinding berlatar putih. Corak merah darah menghiasi keunikan dari karya abstrak yang dituangkan bukan pada tempatnya.

"Di dalam kapal ini hanya ada sembilan penumpang. Jika kamu menemukan lebih dari itu, maka dia adalah iblis. Berhati-hatilah!" Lucia bersuara, membaca tulisan berwarna merah darah yang ada di dinding itu dengan sedikit keras.

Mereka berdua terdiam sesaat, tenggelam di dalam pikirannya masing-masing.

"Lucia, tadi kau mengucapkan kata 'kapal', bukan?" celetuk Steven memecah kebisuan di antara mereka.

"I was just reading what I saw ...." Gadis itu terdiam sejenak, pandangannya yang semula masih terarah ke tulisan di dinding, kini ganti menatap wajah Steve lamat-lamat. "And, yes, that's right," imbuhnya.

"So, we're not on land, huh?" Steven berdiri, kemudian merapikan jas hitam yang tengah dikenakannya. Di samping itu, pandangannya mengamati daerah sekitar dengan cermat. "Aku masih tidak mengerti," lirihnya, "Lalu, kira-kira apa maksud dari kata 'iblis' itu, ya?"

Lucia turut terdiam atas pertanyaannya. "Kau sendiri, apakah teringat sesuatu?" Ia melipat tangan kirinya di depan dada, dan menggunakan tangan kanannya untuk menyangga wajahnya. "Maksudku, apakah kau mengingat bagaimana caranya bisa berada di sini? Mengapa aku tidak ingat apa-apa, ya?" ulangnya memperjelas.

Steven hanya menggelengkan kepala. Itu sudah lebih dari cukup sebagai jawaban atas seluruh pertanyaan yang diungkapkan gadis berambut marun itu.

"Berpikirlah logis, Lucia. Aku ingin dengar pendapatmu. Apakah mungkin ini ada kaitannya dengan hal berbau supranatural?" Steven ganti bertanya.

Gadis itu mengernyit. Detik berikutnya, senyum aneh yang lebih terkesan seperti merendahkan ditunjukkan oleh wajahnya. "Aku mengerti. Maka dari itu, aku masih berani mengatakan tidak." Ia menghembuskan napas panjang. "Kalau kau sendiri, Steven?"

"Kita sepemikiran," timpalnya, "Aku perlu menemukan fakta tersendiri untuk bisa setidaknya sedikit mempercayai hal gaib."

Mereka saling beradu pandang. Seakan-akan dapat melakukan telepati, mereka berdua merasa seolah pikirannya saling terhubung.

"Menggali informasi?" Lucia tersenyum miring.

"Let's do it," balas Steven ikut menyeringai tipis.

Tiba-tiba seorang lelaki datang mendekati tempat mereka berdiri. Seolah tertarik pada pesona bercak merah yang mengukir tulisan di dinding. Tidak sampai di situ, orang-orang yang lain pun mulai berdatangan ke tempat mereka. Noda merah yang merusak pemandangan elegan dari tembok putih itu seakan memiliki magnet yang dapat membuat orang betah menatapnya secara berlama-lama.

Steven yang kurang suka berada di dalam kerumunan, lebih memilih untuk menarik diri dari mereka. Pria bersurai pirang itu berjalan ke salah satu sudut ruangan yang menyimpan replika kapal berukuran sekitar empat meter. Ia hanya diam mematung, mengamati replika yang berada di balik kaca pelapisnya.

Ia menyadari sesuatu ketika tatapannya terus menyoroti bagian demi bagian yang ada di replika kapal uap tersebut. Yang paling mencolok adalah sebuah tulisan yang terpahat di kulit replika kapal. "Daemonium," tuturnya tanpa sadar ketika selesai mengeja sebuah kata yang terlihat samar di depan kepala kapal.

Tangannya bergerak hendak menyentuh permukaan kaca yang melapisi replika itu. Akan tetapi, gerakannya terhenti ketika sebuah suara menghampiri gendang telinganya.

"Kupikir kau menghilang, Steven. Ternyata ada di sini."

Suara ringan tanpa beban yang akrab didengarnya. Sapaan renyah yang kerap diterimanya, kini kembali mengejutkan dirinya. Akan tetapi, sebenarnya ia juga merasa sedikit senang karena masih mampu mendengar ucapan hangat itu.

"Kau mengkhawatirkanku, Lucia?" Ia memalingkan pandangannya yang semula mengamati replika untuk menatap gadis yang hanya sepantar dengan bahunya. Akan tetapi, tatapannya justru malah menangkap sosok seorang pria yang berdiri di sisi perempuan itu.

Tatapan yang disorotkan oleh iris merahnya seketika berubah menjadi dingin. "Siapa dia?" Steven mengubah pertanyaannya dalam sekejap.

Lucia menoleh ke sebelah kirinya, mengamati seorang lelaki berambut pirang yang tingginya hampir sepantar dengan Steven. "Oh, dia teman sekelasku di akademi. Duh, karena tadi terlalu asik mengobrol denganmu, aku sampai tidak sadar jika dia juga ada di sini," kekehnya.

Pria bermanik biru terang itu menarik kedua sudut bibirnya, membentuk senyum hangat. "Aku Mikhail Rixon. Senang bisa bertemu denganmu." Ia memperkenalkan diri.

"Panggil saja aku Steven," balas Steven dingin. Ia sama sekali tidak membalas senyuman yang dicurahkan pria itu kepadanya.

Usia dari kedua pemuda itu terlihat tidak memiliki selisih yang begitu jauh. Akan tetapi, tetap saja mereka tampak canggung kali ini. Mereka hanya terdiam kaku tanpa mengucapkan apa-apa.

Hingga akhirnya Lucia mengambil inisiatif untuk memecah kebisuan mereka. "Kuharap kau tidak terkejut oleh reaksi Steven ya, Mikhail. Bukan berarti dia tidak menyukaimu. Dia memang kurang bisa berinteraksi dengan orang baru," celoteh gadis itu sambil menepuk pelan bahu temannya. "Right, Steven?"

Pria yang merasa diberi pertanyaan pun mengangguk. "Yes, that's right," balasnya.

Sebuah pemikiran muncul di dalam benak Steven. "Lucia, apakah kamu mengenal semua orang yang ada di sini?" Ia kembali mengambil kesempatan untuk berbicara, sebelum kesempatan tersebut direbut oleh orang lain.

"Beberapa dari mereka, wajahnya tidak asing bagiku. Mungkin aku secara tidak sengaja pernah berpapasan dengannya, hanya saja tidak terlalu memperhatikannya. Selebihnya, aku tidak kenal sama sekali," jelasnya.

"Kalau begitu, maukah kau membuat kami saling mengenal? Menurutku, akan terasa jauh lebih ringan kalau kita semua saling mengenal satu sama lain, kemudian bisa bekerja sama." Pria itu mengutarakan maksud pemikirannya.

Lucia tersenyum simpul. "Good idea! Serahkan saja padaku," pungkasnya.

🚢

|| 1.441 kata ||
Dipublikasikan pada :
30 Agustus 2021
© Daiyasashi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro