03. Berbagi Penjelasan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku melihat teko teh yang mengeluarkan teh dari ujung lubangnya ke dalam gelas kecil di depanku. Setelah gelas itu terisi penuh, kakek di depanku meletakkan teko teh itu di dekat dua buah gelas kecil kami. Kakek itu duduk di kursi yang berseberangan denganku, sedangkan aku dari tadi hanya terduduk kaku.

"Jangan kaku seperti itu," kata kakek sambil tertawa ceria.

"Habisnya... kakek mengatakan sesuatu seperti itu. Siapa yang tidak kaget coba?" tanyaku yang tidak berani melihat wajahnya.

"Maafkanlah kakek yang sudah tua ini," katanya kembali tertawa.

"Anda sama sekali tidak cocok menggunakan kata itu yang terlihat lemah. Eh tapi ada juga 'kan yang sudah tua malah hebatnya bukan main. Seakan-akan umur tidaklah penting," kataku sambil mengingat kembali informasi yang tidak sengaja aku dengar dari tv.

"Begitukah? Mereka hebat sekali."

"Sangat! Kalau aku sudah tua ya sudah, tidak akan mau melakukan hal-hal berat kalau memang tidak ada tujuannya," kataku sambil menghela nafas dan menaikkan kedua bahuku.

"Jangan seperti itu, masih banyak loh yang bisa di lakukan oleh orang yang telah lanjut umur," kata kakek dengan senyum riangnya.

"Karena anak-anak sudah bisa di lepas ya? Jadi nggak ada beban," tebakku.

"Itu benar sekali!" Kakek itu kembali tertawa.

Aku tersenyum, merasakan suasana yang menyenangkan ini lalu aku ikut tertawa bersama kakek.

"Jadi benar tidak ada yang ingin di ungkapkan?"

"Ek! Tolong kembalikan suasana nyaman tadi..." kataku horor.

Kakek kembali tertawa. "Janganlah seperti itu. Kakek ini tidak merubah apapun loh," kata kakek sambil menepuk dadanya pelan.

"Kalau kakek menyimpangkan topik seperti itu bisa bikin aku mati di tempat loh," kataku pura-pura sedih dan kesal.

"Hahahaha... itu karena dirimu sangat menarik."

"Menarik?" ulangku dengan bingung.

"Iya, menarik. Jarang-jarang aku melihat seseorang yang tertawa lebar dan sedikit perasaan sedih menyempil," kata kakek sambil mengangguk-angguk.

"Ha? Eh? Apa maksud kakek?" tanyaku bingung. Otakku berhenti untuk membayangkan apa yang dimaksud oleh kakek.

"Aaah, sampai kakek lupa. Kakek ini bisa melihat aura." Aku mulai membayangkan pengertian aura yang pernah aku ketahui. "Aura untuk mengetahui emosi."

"Eh, rada beda dong?" tanyaku yang langsung melempar semua pengetahuan yang pernah aku ketahui mengenai aura.

"Begitukah? Hahahaha. Lalu saat tadi kau dan Eras asik sendiri, ada sebuah aura sedih yang muncul bersamaan dengan aura senangmu. Walau sudah menunjukkan senyum lebar sekalipun," kata kakek yang menunjukkan kembali senyum penuh sayang.

Aku terdiam. Benarkah? Memamangnya... kenapa bisa sampai.... apakah karena... masa laluku? Tapi masa laluku biasa saja. Bahkan tidak sebegitu menyedihkan. Iya...'kan?

"Nak."

Seketika aku serasa kembali dari pemikiranku. "Iya kek?"

"Maafkan kakek ini malah membuatmu sedih," kata kakek dengan ekspresi sendu dan sedihnya.

Aku, sedih? "Ini sama sekali bukan salah kakek kok. Aku hanya... sedikit memikirkan sesuatu..."

"Sudah. Lupakan saja itu. Siapa namamu yang kau pakai di dunia ini?"

Seketika aku tersenyum sekaligus shock. Aku menatap kakek lama. Kok... pertanyaannya...

"Kakek ini sudah tahu. Kau bukan dari sini."

Jadi bener aku bukan dari sini.

"Kau mau memberi tahu namamu pada kakek ini?" tanya kakek itu dengan senyuman andalannya.

Aku tersenyum sekaligus mengela nafas lega. "Lan. Lan Sylvan, kakek."

Kakek mengangguk dengan senyuman yang masih terpasang baik. "Kau boleh tinggal di sini Lan. Kau sudah menjadi bagian desa ini."

"Loh udah?! Secepat ini?!" tanyaku tak percaya.

Kakek mengangguk kembali. "Karena kau sudah memanggilku 'kakek' dan hal itu membuat kakek ini senang," kata kakek dengan senyum lebarnya.

Tok tok tok.

Aku melihat ke arah pintu masuk dan terlihatlah seseorang, atau lebih tepatnya Elf masuk ke dalam rumah ini. Surai berwarna kuning pucat yang pertama kali terlihat, rambutnya lurus dan terlihat lembut.

"Oh, ada tamu?" tanya elf itu. Tak kira cewek, asem. Rambutnya yang bagus nan halus itu mempermainkanku.

"Gilbert, kenalkan, ia adalah anggota keluarga kita yang baru. Namanya adalah Lan Sylvan," kata kakek sambil tersenyum lembut.

"Wah, kakek ingat namaku yang meribetkan itu!" seruku kagum.

"Kakek ini mengenal nama yang lebih susah diucapkan dibanding namamu," kata kakek lalu tertawa pelan, membuatku juga ikut tertawa bersamanya.

"Lan Sylvan ya? Salam kenal, aku Gilbert Reuel. Apakah kau sama seperti Eras?" tanya Gilbert sambil menaruh keranjang yang sebelumnya ia bawa ke salah satu meja.

"Iya, ia hampir mirip seperti Eras," kata kakek.

"Ah, tapi bedanya aku tidak kehilangan memoriku. Hanya saja bangun-bangun aku sudah ada di hutan," kataku menambahkan.

"Benarkah? Bukankah dengan masih mempunyai ingatan akan sedikit membebankanmu dibandingkan kehilangan ingatan?" tanya Gilbert dengan wajah sedih dan berjalan mendekatiku.

"Entahlah," kataku sambil tersenyum kecil. "Ngomong-ngomong aku ingin lebih mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Saat aku ke kota di pinggir hutan mengapa ada bom?" tanyaku ke arah kakek.

"Kau tidak tahu?" tanya Gilbert bingung.

"Dia berasal dari dunia lain."

Aku melongo melihat kakek yang mengatakan hal itu dengan santainya. Padahal baru mau beralasan kalau tepatku jauh dari sini. Boleh nih dikasih tau?

"Begitu rupanya. Tenang saja, aku tidak akan memberitahu kepada siapapun," kata Gilbert sambil tersenyum ke arahku.

"Dia salah satu dari enam keeper di sini. Jadi lebih baik jika setidaknya satu orang keeper mengetahui mengenai asal-usulmu, Lan," kata kakek.

"Hooooh, ya sudah kalau kakek mengatakan seperti itu. Lalu ada masalah apa dengan dunia ini?" tanyaku bingung.

"Sebenarnya tidak ada masalah yang serius di dunia ini," kata kakek yang mengambil gelas tehnya untuk meminum isinya.

"Lah trus?" tanyaku bingung dan tak percaya apa yang barusan keluar dari mulut kakek.

"Hanya orang-orang yang ada di dunia ini ingin mengambil seluruh bagian dari dunia ini," kata Gilbert dengan wajah serius.

"Loh? Memang hal apa yang membuat ini bisa terjadi? Apa ini sudah dari dulu?" tanyaku bingung.

Kakek menggeleng pelan. "Memang dulu, dulu sekali ada peperangan untuk mengambil tanah kekuasaan. Setelah itu mereka sudah tidak lagi berperang saat sudah mempunyai tanah kedudukan mereka. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba saja memulai kembali perang lama," jelas kakek dengan wajah sedih.

"Ras yang pertama kali membuat kekacauan adalah ras penyihir. Mereka tiba-tiba saja menyebarkan sihir-sihir di segala bagian. Kadang kala mereka juga menyulutkan api ketidak puasan pada ras lainnya," lanjut Gilbert yang terlihat sedikit kekesalan di sana.

Aku menekuk alisku ke atas, sedih mendengar hal itu. Tiba-tiba saja aku mengingat keadaan Indonesiaku ini yang sekarang juga tersulut api kekacauan. Apakah aku bisa melakukan sesuatu setidaknya di tempat ini?

"Tenang saja." Tiba-tiba ada sebuah tangan di pundakku, aku melihat ke atas dan Gilbert sedang melihatku dengan senyumannya. "Kau tidak perlu khawatir. Kau aman bersama kami."

Aku tersenyum simpul. "Apa yang membuat dirimu bisa mengatakan hal seperti itu pada orang yang baru saja ditemui?" tanyaku jail.

"Kau melewati pelindung desa ini. Itu artinya kau tidak mempunyai pikiran untuk menghancurkan desa ini dan kau bisa di percaya karena aku merasa kau adalah anak yang bisa di percaya," kata Gilbert dengan senyum lebarnya.

Aku menghembuskan nafas cepat dengan senyuman. Percaya aja deh sama yang di katakannya. Aku hanya perlu tumpangan dan informasi sebanyak-banyaknya sekarang. Walaupun begitu aku bukan orang yang suka ikut campur, bahkan hatiku bisa menjerit lari kalau ada masalah.

"Pelindung itu ada dari sejak lama. Dari ketua pertama ras ini, ras elf. Belum ada yang mengetahui sampai kapan pelindung itu dapat bertahan,"kata kakek yang melihat ke luar jendela.

"Semoga sampai selama-lamanya 'kan?" tanyaku yang dibalas senyuman kakek dan Gilbert. "Bukannya ingin merusak harapan kalian, tapi dari cerita yang selama ini aku pernah baca, Di saat-saat yang seperti ini ada kemungkinan pelindung akan melemah. Entah karena waktu ataupun karena serangan. Mungkin ... jika boleh, aku memberi saran agar kalian berhati-hati dan kalau bisa kalian membuat pasukan yang kuat."

Baik kakek ataupun Gilbert melihatku kaget. Apakah aku akan menghancurkan harapan besar mereka mengenai pelindung itu?

"Sebenarnya itu adalah ide yang bagus," kata Gilbert dengan gaya berpikir.

"Gil, panggil yang lainnya, kita harus membicarakan mengenai hal ini," kata kakek sambil berdiri.

"Baik."

"Eh, perkataanku di percaya?" tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri yang kebingungan dan berdiri dari dudukku.

"Tentu saja. Kami sudah beberapa lama tidak menyiapkan sesuatu jika serangan datang. Hanya dengan menggantungkan diri pada pelindung yang telah lama ada. Rasanya tidak ada salahnya jika kami ikut melindungi tempat ini," kata Gilbert dengan senyuman lebar.

Uwaaaah, perkataanku ... didengar. Mataku kini melihat kakek yang berjalan mendekatiku. Tangan kakek menepuk pelan kepalaku.

"Terima kasih," kata kakek dengan senyuman.

Aku tersenyum senang. "Terima kasih kembali, sudah mau mendengarkan perkataanku."

Setelah itu mereka berdua pergi dari rumah ini. Hal itu membuatku kebingungan apa yang harus aku lakukan sekarang. Mandi? Makan? Berganti? Keliling? Tetap di sini?

Saat aku kebingungan tiba-tiba saja pintu dibuka dengan kencang. Aku melihat Eras dengan nafas yang terburu-buru dan masih di dekat pintu.

"Apa yang kau lakukan dari tadi?!"

"Heh?"

.
.
.
.
.
.

Berikan jejak kalian, maka itu bisa menjadi semangat saya dalam melanjutkan cerita. Terima kasih sudah mampir~

-(13/05/2019)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro