05. Papan Pengumuman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Esoknya aku berjalan keluar setelah berganti dan tujuanku sekarang adalah mendatangi salah satu elf untuk berterima kasih karena sudah membuatkanku sebauh celana pendek. Bahkan ia juga memberikanku rompi tanpa lengan yang bawahnya melebihi panjang celanaku ini dengan sebuah kaus dengan lengan yang tidak terlalu panjang. Rasanya bahagia memakai baju yang nyaman dan indah ini.

"Rose!" seruku saat melihat seorang elf yang aku kenali.

"Oh, Lan. Bagaimana bajunya? Apakah kau suka?" tanya Rose dengan senyuman yang manis.

"Sangat! Terima kasih banyak!" seruku sambil memeluk diriku sendiri.

"Senang mendengarnya. Jika kau mau aku bisa membuatkanmu lebih," kata Rose masih dengan senyuman manisnya.

"Apakah tidak masalah?" tanyaku ragu. Ia telah membuatkanku satu set baju ini, memang senang sih kalau ada yang mengerti sekaligus mau membuatkan baju untukku.

"Sama sekali bukan masalah. Aku sangat senang membuat baju, sayangnya para gadis dan wanita di sini membuat baju untuk mereka sendiri," kata Rose dengan wajah sedih.

"Kalau begitu aku mengandalkanmu, Rose," kataku sambil tersenyum.

Rose membelalakkan matanya lalu tersenyum. "Serahkan padaku," katanya dengan ceria.

Tak lama, Rose mengajakku ke tempat pengumuman yang sudah ramai di kerumuni oleh banyak elf. Tidak susah mencari yang bukan elf di kerumunan ini, karena aku sudah melihat rambut mengkilap milik Eras. Langsung saja aku tepuk bahunya yang membuatnya menoleh ke arahku.

"Lan? Kau datang ternyata."

"Kok rasanya aku kesal ya mendengarnya?" tanyaku yang sepertinya lebih mengarah ke diriku sendiri.

"Habisnya kau terlihat seperti anak yang tidak mau ikut campur dan lebih senang diam di dalam perlindungan. Memangnya kau tahan melihat darah?" tanya Eras dengan wajah yang meremehkanku.

"Memangnya aku anak manja apa?! Kalau cuman darah aja aku bisa tau!" seruku kesal sambil menunjuknya.

"Eras benar-benar berbeda deh." Aku melihat ke arah Rose yang menunjukkan wajah bingungnya.

"Beda apa maksudnya?" tanyaku bingung dengan posisi tubuh yang aku masih pertahankan.

"Bagaimana ya menjelaskannya?" Rose memiringkan kepalanya. "Seperti ... lebih hidup gitu?" kata Rose dengan wajah yang semakin bingung.

Aku menahan tawaku, walau senyum mengejekku tak bisa aku tahan. "Jadi selama ini kau nggak hidup Ras! Kasihan sekali sih!" kataku yang langsung tertawa dan tanganku masih menunjuknya.

"Singkirkan tanganmu itu, menyebalkan!" kata Eras yang langsung menepis tanganku.

"Hei, ingat, kata kakek kau menghormati a-ku, yang lebih tua darimu loooh," kataku yang tak bosan menjailinya.

Baru saja Eras membuka mulutnya, ada seorang elf yang memanggilnya. Setelah mengangguk, Eras melihatku dengan wajah kesalnya lalu pergi begitu saja. Aduh anak itu kok gemesin banget sih? Kayak bocah pemarah tapi imut!!

"Memangnya, Eras tuh biasanya kayak gimana sih?" tanyaku pada Rose yang masih di sebelahku.

"Seingatku saat di awal dia sama sekali tidak memperhatikan emosinya. Wajahnya sangatlah datar. Lama-kelamaan ia mulai menunjukkan ekspresinya tetapi untukku, emosinya masih sedikit kaku ataupun malah menyembunyikan sesuatu. Mungkin karena kehilangan memorinya ya?" tanya Rose yang sepertinya untuk dirinya sendiri dengan ekspresinya yang sedang berkutat dengan pikirannya.

Jadi sebelum ini Eras itu orang yang kaku? Padahal waktu dia malu imut kok. Gemesin banget malahan. Tapi memangnya kalau kehilangan ingatan akan sampai seperti itu?

"Oh iya, Lan."

"Iya?"

"Kau mau ikut membantu bukan?" tanya Rose dengan wajah ceria.

Aku tersenyum. "Itu pikirku tadi, hanya saja aku belum pernah mencoba sihir. Apakah aku bisa melakukannya?" tanyaku dengan senyum tipis.

"Tidak perlu memikirkan itu, sihir penyembuh di lakukan untuk luka yang sangat kritis kok. Karena untuk melakukan hal itu memerlukan sihir yang sangat banyak. Jadi untuk para wanita akan di ajarkan cara penanganan tanpa menggunakan sihir," kata wanita elf lainnya dengan senyum lembut.

"Bu Joana!" seru Rose dengan senyuman.

"Biar aku tebak, kalian belum melihat papan pengumuman ya?" tanya bu Joana dengan senyum geli.

"Ah iya, itu benar. Kami akan mengeceknya terlebih dahulu, ayo Lan," ajak Rose yang melihatku dan aku balas dengan anggukan.

Sampai di papan pengumuman yang sudah sepi dari para elf, kami melihat informasi untuk elf wanita dan pria di pisah. Di bagian atas ada sebuah informasi kecil, isinya sama seperti apa yang di jelaskan oleh bu Joana. Di bagian bawah itu pembagian kelompok-kelompok belajar. Hal yang paling lucu adalah aku dan Rose berada di kelompok yang sama, ditambah bu Joana sebagai pengajarnya.

Mataku melihat Rose yang menunjukkan bahwa ia sama kagetnya denganku. Kepalaku berputar ke belakang dan melihat bu Joana yang tersenyum melihat kami berdua. Apa ia tahu bahwa kami akan menjadi muridnya?

"Jadi kita akan memulai pelatihannya esok, siapkan diri kalian baik-baik ya," kata bu Joana yang menepuk bahuku dan Rose bersamaan lalu beranjak pergi.

"Baik," kataku pelan sambil melihatnya yang semakin menjauh.

Setelah itu hari semakin siang, aku dan Rose sepakat untuk kembali sekarang. Aku mengantarkan Rose terlebih dahulu dengan alasan ingin lebih mengenal jalan sekitar tempat ini. Sebenarnya hanya mempersiapkan diri dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Baiklah Lan, sampai jumpa besok ya. Aku akan menjemutmu untuk memberikan baju yang lain lagi," kata Rose dengan senyum lebarnya.

"Oke, terima kasih banyak Rose," kataku yang melambai sejenak sebelum kembali berjalan.

Di tempat ini seperti desa yang ramai dengan orang yang berlalu-lalang. Bagian unik di tempat ini adalah tidak adanya penjual dan pembeli. Kata kakek, jika membutuhkan sesuatu tinggal meminta dari tetangga, dari pintu ke pintu. Tidak ada pemaksaan dan tidak memerlukan balasan. Duh elf itu tingkat kebaikannya tinggi banget, aku aja kalau memberikan hal yang aku sukai mikir-mikir.

Mataku melihat ke kiri dan kanan, para elf kini sibuk dengan kegiatannya sendiri. Ada yang berbicara, bermain dengan anaknya, merawat kebun, atau hanya sekedar lewat. Walau baru beberapa hari, sepertinya aku memerlukan seseorang yang bisa aku peluk. Semua ini terlalu cepat untukku.

Tiba-tiba saja ada tepukan keras menghantam punggungku. Saat menoleh aku melihat Eras dengan wajah cerianya tetapi seketika ekspresinya di ganti degan ekspresi kaget.

"Apa aku memukulmu terlalu keras?" tanya Eras yang mulai menunjukkan wajah khawatir.

"Sakit sih, tapi tenaga cowok kan memang besar dibandingkan cewek. Kenapa bertanya?" tanyaku bingung dengan sebelah tangan yang hanya bisa memegang bahuku yang dekat dengan tempat hantaman.

"Wajahmu seperti ingin menangis," kata Eras pelan dengan alis yang sudah mulai menekuk.

Aku membelalakkan mataku sedikit. Memangnya kelihatan banget? Rasanya wajahku datar-datar aja tuh. "Tapi ya ... nggak deh, terlalu cepat," kataku lalu menghela nafas.

"Apa yang terlalu cepat?" tanya Eras bingung.

Aku melihat wajahnya yang polos itu. "Aku cuman perlu lebih me-level up aja kok," kataku yang kembali berjalan sambil meregangkan tangan ke atas.

"Level up? Apa itu? Apa maksudnya?" tanya Eras.

"Ada deeh." Aku menunjukkan senyum jailku dengan tetap berjalan. Eras kini menutup mulutnya tetapi ia masih mengikutiku dari belakang.

Ternyata ia menemaniku pulang sampai di rumah kakek dengan alasan takut aku tersasar. Lucu banget ini anak. Setelah bercanda sebentar di depan rumah, aku dan Eras saling melambaikan tangan sebelum akhirnya aku masuk ke dalam. Sesampainya di dalam kakek sedang duduk di salah satu bangku dengan sebuah cangkir di genggamannya.

"Kakek, aku pulang."

"Oh, kau sudah pulang. Bagaimana tadi?" tanya kakek yang meletakkan cangkir di salah satu meja yang paling dekat dengannya.

Aku duduk di kursi yang letaknya bersebrangan dengan kakek. "Aku hanya kaget bu Joana mengenaliku dan memberitahu info sebelum aku dan Rose melihat papan pengumuman."

"Oh, istri Gilbert ya? Dia memang wanita yang ceria," kata kakek dengan wajah yang dihiasi senyuman.

"Wah, sepasang suami dan istri yang cantik. Eh, nggak, semua orang di sini itu cantik dan tampan!! Semuanya seakan-akan mempunyai aura yang transparan dan indah!!" kataku yang memegang kedua kepalaku.

"Iya, terlalu transparan hingga rapuh."

Aku melihat kakek yang menundukkan kepalanya sedih. Apakah hal itu pernah dialami sebelumnya? Tetapi lebih baik jika aku tidak membicarakan mengenal hal ini terlebih dahulu. "Ngomong-ngomong, kakek."

"Iya?"

"Apakah aku mempunyai sihir?"

"Apa maksudmu?" Kakek melihatku bingung.

Susah juga sih di jelaskannya. Sebelum kembali menjawab, aku menarik dan menghela nafasku agar lebih tenang. "Apakah ada kemungkinan jika aku belajar sihir?"

.
.
.
.
.
.

Berikan jejak kalian, maka itu bisa menjadi semangat saya dalam melanjutkan cerita. Terima kasih sudah mampir~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro