09. Si Hijau

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau harus membantu kami."

"Apakah ini yang selalu di katakan kepada tokoh utama yang terlempar ke dunia lain?" tanyaku tak percaya.

"Memang aku tidak bisa mengerti isi kepalamu, tetapi tanpa kau dunia ini bisa saja lebih parah," kata Valna dengan tatapan sendu.

"Apakah dunia ini sudah hancur?" tanyaku bingung.

Valna mengangguk lemah. "Sejak awal banyak yang memikirkan bahwa penopang dunia ini bisa saja hancur seketika. Tetapi kini isi di dunia ini sudah di ujung tanduk. Tidak ada yang bisa mengerti satu sama lainnya."

"Mengerti satu sama lain? Jadi ada salah paham di sini?" tanyaku kembali bingung. Jika salah paham diantar orang yang saling mengenal akan lebih mudah, tetapi jikalau antar ras dengan pemikiran berbeda bisa menjadi hal yang kacau.

"Itu benar. Ini adalah tugasmu untuk menyelamatkan dunia ini, Lan," kata Valna yang menatapku dengan tatapan serius.

"Mana mungkin? Tidakkah kau berpikir bahwa aku bisa saja lari, membunuh diriku, atau malah menjadi orang jahat?" tanyaku yang merasa panik.

"Kami tau, ada bagian dari dirimu yang ingin lari dari sesuatu yang menunggu di depan, tetapi kau ingin lari ke mana?"

Aku menunduk. Itu benar, aku tidak tahu ke mana. Aku masih belum mengetahui caraku agar bisa kembali pulang. Seorang pengecut sepertiku memang rasanya akan lebih cepat mati.

"Selain itu .... " Tiba-tiba Valna sudah ada di depanku saat aku menaikan kepalaku. "Kami percaya kau tidak akan pergi sendiri. Jika kau merasa tidak kuat dan ingin kabur memang bukan kesalahan, tetapi kami tau kau tidak akan meninggalkan rekanmu sendiri."

"Wah, sepertinya aku pada pandangan 'kalian' bagus banget ya," kataku yang tersenyum masam dan membuang pandanganku.

"Tentu saja, karena itu adalah kau yang sesungguhnya," kata Valna dengan senyuman manis. "Nah, sekarang aku akan menitipkan kepadamu." Valna mendekatkan dahinya kepadaku dan kedua tangannya yang memegang wajahku agar dahi kami saling bertemu.

....

Kedua mataku terbuka, menunjukan langit-langit kamar tidurku. Aku bangkit dan duduk di kasurku lalu melihat telapak tanganku sendiri. Tak lama sebuah cahaya hijau muncul di tanganku. Ini Avra yang dikatakan kakek saat itu. Yang tidak aku mengerti, mengapa menitipkannya kepadaku? Apa gara-gara aku bukan orang dari dunia ini jadi mirip cerita fiksi?

Aku menghela nafasku lalu kembali mengepal tanganku pelan. Selanjutnya apa yang harus aku lakukan?

"Lan, kau sudah bangun?" tanya kakek yang berasal dari balik pintu.

"Oh, iya kek. Aku akan segera bersiap." Langsung saja aku turun dari kasur dan mulai mempersiapkan diri untuk hari baru.

Selama perjalanan, Rose menceritakan mengenai kejadian kemarin ia konsultasi dengan ceria. Aku tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalaku. Walaupun begitu sebagian pikiranku menerawang jika aku pergi dari tempat ini.

"Ada apa Lan?"

"Iya?!" seruku kaget.

"Biasanya kau menimpali perkatannku. Sekarang kau malah terlihat diam. Apa ada masalah?" tanya Rose dengan ekspresi khawatir.

"Masa sih? Biasa aja nggak sih?" tanyaku gugup. Perasaan baru sebentar udah ketahuan.

"Tidak. Ada yang kau sembunyikan. Apa itu?" tanya Rose dengan wajah serius.

Aku tersenyum gugup sembari kembali berpikir. Apa seharusnya aku mengatakan ini kepada Rose? Padahal selama ini dia yang selalu membantuku.

"Kalau belum siap cerita tidak apa-apa. Aku sama sekali tidak memaksamu," kata Rose dengan senyum manis yang membuatku tambah bersalah.

"Aku ingin bertanya." Rose menatapku bingung. "Bagaimana jika akhirnya aku memilih untuk pergi dari tempat ini?" tanyaku dengan sedikit keraguan.

Rose menatapku sejenak dan menghentikan langkahnya, begitu pula denganku. "Pastinya akan sedih. Tapi kalau itu keputusanmu, maka aku tidak akan menahanmu," kata Rose dengan senyuman manis.

Seketika aku merasa lega. Seharusnya aku tidak perlu takut mempertanyakan hal ini. "Terima kasih," kataku sambil tersenyum.

Rose mengangguk, masih dengan senyumannya. Kami kembali berjalan, menuju ke tempat pelatihan kami.

Hari ini kami kembali mendapat pembelajaran mengenai membuat obat-obatan. Bedanya, kali ini resep obatnya lebih memusingkan dari pada yang sebelumnya. Sebelumnya kakek memberiku sebuah buku dengan halaman daun untuk tempatku mencatat sesuatu. Jadinya aku selalu mencatat resep obat yang diajarkan bu Joana.

Setelah selesai, Rose kembali meminta konsultasi pada bu Joana. Jadi saat kembali, aku terus memikirkan bagaimana nasibku jika memilih keluar dari tempat ini. Tentu saja aku ini adalah orang yang selalu berada di safe zone. Tapi tiba-tiba saja aku berpikiran untuk menjelajah dunia ini lebih jauh. Apakah nanti aku bisa mempelajari mengenai ilmu bela diri ya?

"LAN!"

"Eh, iya!!" Aku berbalik dan menemukan Eras yang melihatku dengan kesal. "Ada apa?"

"Tidakkah kau tahu bahwa aku memanggilmu berkali-kali?!" tanya Eras dengan ekspresi kesal.

"Benarkah? Maaf, aku tidak mendengarmu," kataku tertawa gugup.

"Aku kira kau membenciku," kata Eras pelan. Tapi aku nggak salah denger kan? "Ayo, aku antar," kata Eras yang memimpin jalan.

Aku tersenyum kecil lalu mengikutinya dari belakang. Ini hampir sama dengan kejadian saat dia mengantarkan aku ke tempat ini. Mirip, perlakuannya juga.

"Itu .... "

"Ya?"

"Maaf, soal yang kemarin," kata Eras pelan tetapi bisa terdengar jelas di suasana yang cukup sepi ini.

"ERAS MINTA MAAF?!?!"

"Jangan keras-keras!!" seru Eras yang langsung menutup mulutku. Aku mengangguk panik.  Setelah tangannya melepas mulutku, aku bisa bernafas kembali. "Memangnya aneh kalau meminta maaf?" tanya Eras dengan wajah kesal nan imutnya.

"Sebenarnya lebih aneh kalau kau meminta maaf dibandingkan menyalahkanku," kataku kembali tertawa gugup. "Mencurigai orang asing malah menurutku itu adalah hal yang benar. Kecuali kalau kau tau bagaimana sifat orang asing tersebut," kataku yang tersenyum miring.

"Aku tau kok. Dari awal aku merasakan ada hal yang berbeda darimu dan bukan hal yang negatif. Jadi aku berani membawamu ke sini," kata Eras kembali berjalan, yang tadi sempat berhenti berjalan untuk menutupku.

"Hooh. Ok?"

"Kenapa?" tanya Eras yang melirikku dari depan.

"Tidak. Bukan masalah besar. Ngomong-ngomong bagaimana dengan latihanmu?" tanyaku yang mencoba mengalihkan topik.

"Tentu saja berkembang pesat. Kapan-kapan datanglah dan lihat bagaimana kehebatanku," kata Eras dengan bangganya.

"Nggak percaya ih," kataku jail.

"Datang dan lihat sendiri!" kata Eras kesal sedangkan aku hanya tertawa.

Tak lama kami sampai di depan rumah kakek. Eras mengatakan bahwa ia akan memberi salam dulu sebelum pulang. Saat membuka pintu terlihat Gilbert sedang berdiskusi serius dengan kakek.

"Oh, selamat datang kembali."

"Aku pulang, kakek. Halo," aku menunduk sedikit ke arah Gilbert. Rasanya bingung mau panggil apa. Mengingat istrinya aku panggil dengan sebutan "bu".

"Maaf ya Lan, hari ini kakek tidak bisa menemanimu untuk pergi latihan," kata kakek dengan wajah sedih.

Aku menggeleng. "Tidak apa-apa kakek tapi, aku ingin meminta izin darimu."

"Apa itu Lan?" tanya kakek dengan wajah bingung.

Aku menghela nafas sejenak untuk menenangkan diriku sendiri. "Izinkan aku pergi dari tempat ini."

"Apa?!"

"Lan, kau gila ya?" tanya Eras yang berjalan di sampingku.

"Iya, memang dari awal sudah gila kan?" tanyaku jail.

"Tetapi dunia luar itu tidak seperti di sini loh," kata Eras panik.

"Eras benar, apakah kau siap untuk menghadapi semua itu?" tanya Gilbert khawatir.

"Lan, apakah kau bersungguh-sungguh?" tanya kakek dengan wajah yang tenang.

Aku menghadapkan tubuhku ke kakek lalu mengangguk. "Sekarang atau tidak selamanya." Aku menyadari diriku yang selalu malas untuk beranjak dari tempat nyamanku ini. Jika aku menunda, maka aku tidak akan memulai.

"Baiklah, kau harus hati-hati ya," kata kakek dengan senyuman.

.
.
.
.
.
.

Berikan jejak kalian, maka itu bisa menjadi semangat saya dalam melanjutkan cerita. Terima kasih sudah mampir~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro