24. Mata Merah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Esoknya aku bangun dengan suasana pagi yang sejuk. Memang ini bukan pertama kalinya aku merasakan hal ini saat berada di dunia ini. Dapat dipastikan suasana sejuk pagi hari seperti inilah yang akan membuatku rindu saat kembali ke kota yang padat.

Nanti aku harus tetap kembali ... kan?

"Ini masih pagi." Aku menoleh ke samping dan menemukan Ana yang melihatku dengan ekspresi datar. "Dari pada melamun, bantu aku," katanya sambil berbalik pergi.

Aku memutuskan untuk mengikutinya dari belakang. Tak sengaja aku melewati ruangan yang pintunya terbuka, di dalamnya ada Cornel dan Koni yang masih tidur. Melihat hal imut di pagi hari sama seperti menambah semangat di pagi hari. Ana terus berjalan ke luar rumah, hingga sampai di perkebunan yang dibataskan kayu yang ditancapkan ke tanah dan dililit tumbuhan rambat satu kayu dengan kayu lainnya.

Ana menyodorkan keranjang ke arahku. "Ambil yang sudah matang."

"Bagaimana caranya tahu bahwa buah itu sudah matang atau belum?" tanyaku sambil menerima keranjang tanpa pegangan dari tangan Ana.

Ana menatapku bingung. "Memangnya kau tidak tahu mengenai tumbuhan-tumbuhan? Lalu ini bukanlah buah saja, melainkan juga ada sayur."

"Aku berasal dari tempat yang jauh, bisa saja sangat jauh, jadi bisa saja pemikiran atau pemahaman mengenai tumbuhan berbuah yang sudah matang itu berbeda," jelasku, tidak ingin terlihat berbohong tetapi tetap menutupi seuatu.

Ana memutar bola matanya lalu menggeleng pelan. "Ambil yang berwarna kuning atau merah," katanya sekilas lalu berbalik.

"oh, oke." Aku juga ikut berbalik dan mendekati tumbuhan yang paling dekat denganku. Mataku melirik sesuatu yang ada di dalam keranjang sebelum menunduk untuk mendapatkan buah. Sesuatu seperti gunting ada di dalam keranjang. Kepala aku tolehkan ke belakang, tempat Ana sedang menyiram tanaman. Orang baik memang beragam.

Beberapa menit setelah itu kami kembali ke dalam rumah dengan lebih dari satu keranjang. Ana mengatakan bahwa buah-buahan dan sayur yang lebih ini akan dijual ke pasar. Aku terus berpikir, lebih tepatnya menebak-nebak, dari ras apa Ana dan Cornel. Mereka berdua sama-sama mempunyai mata merah, walau sedikit berbeda. Kemarin aku tidak sengaja melihat gigi taring Cornel lebih panjang dari pada gigi lainnya.

"Apa yang kau pikirkan?" Aku menghentikan langkah kakiku lalu melihat ke depan. "Sudah sampai," kata Ana yang langsung masuk ke dalam rumah.

"Oh, ah, iya," kataku gelagapan sambil mengikuti Ana ke dalam.

Baru saja kakiku melangkah masuk ke dalam rumah, Koni langsung menyambutku dengan melompat ke bahuku. Koni berjalan ke bahu yang lainnya lalu menggosok-gosokkan keplanya di pipiku. "Selamat pagi Koni," sapaku dengan tangan yang mengelus tubuhnya.

"Selamat datang kembali!" seru Cornel ceria yang berdiri di depan Ana.

"Kami pulang," kata Ana singkat lalu melewati Cornel yang masih melihatnya dengan senyuan imut.

"Apa kalian akan langsung ke pasar?" tanya Cornel.

"Setelah sarapan."

"Aku ikut!!" seru Cornel ceria yang melompat-lompat kecil, mengikuti Ana ke dapur.

Aku tertawa pelan sembari mengikuti mereka berdua. Keranjang aku letakkan di salah satu meja di dapur, di sebelah keranjang yang di bawa Ana sebelumnya. Ana memilah beberapa sayur dan buah lalu mulai memasak sarapan. Tentu saja aku harus membantu karena numpang di rumahnya.

"Apa yang kau pikirkan?"

"Ya?" Sendok yang menuju mulutku kini tertahan. Aku menatap Ana bingung.

"Tadi kau memikirkan sesuatu bukan?" tanya Ana yang kembali melahap sarapannya dengan cuek.

"Um, hanya hal sepele kok." Butuh beberapa saat hingga aku berani bertanya. "Kalian ras apa ya?" tanyaku pelan, takut menyinggung.

"Vampire!" seru Cornel ceria.

"Ternyata benar," kataku menghembuskan nafas lega.

"Itu saja?" tanya Ana yang membuatku melihatnya bingung. "Hanya itu reaksimu?" tanya Ana dengan tatapan serius.

"Kenapa? Kau ingin aku takut setelah melihat seorang vampire makan makanan yang sama denganku lalu memetik buah dan sayur untuk di jual? Pasar yang akan kita datangi sama (rasnya) dengan kalian bukan?" tanyaku dengan salah satu alis yang terangkat.

"Itu ada benarnya," kata Ana yang kembali menunduk untuk memakan sarapan.

"Lagi pula selama ini aku tidak pernah disuguhkan makanan yang mengandung racun oleh kalian."

"Percaya sekali," kata Ana yang terdengar mengejek.

"Karena aku tahu jika ada racun," kataku dengan senyuman ke arah Ana.

Ana terdiam melihatku. "Kau harus di introgasi saat pulang nona," kata Ana sambil menunjukku dengan tampang seriusnya lalu berdiri dari duduknya.

"Aku akan menunggu saat itu," kataku senang.

"Sudah, ayo kita harus ke pasar sekarang sebelum terlalu siang," kata Ana yang berjalan menuju dapur.

Cornel langsung menghabiskan apa yang ada di piringnya lalu menyusul Ana ke dapur. Sungguh menyenangkan melihat tingkah polos seorang anak kecil. Aku berdiri lalu mengambil piringku dan piring Koni yang sudah bersih, menuju ke dapur.

....

Pasar adalah pemandangan yang unik. Seakan-akan tidak akan pernah berubah dimana pun tempatnya. Proses jual beli, percakapan ramah atau pun sengit (tawar-menawar), dan tanda kehidupan. Aku harus berkali-kali melihat ke arah Ana sebelum aku tersesat di lautan orang (atau vampir) yang banyak dan berdesak-desakan.

"Kalau tersesat cari jalan pulang sendiri," kata Ana setelah menjual beberapa buah di keranjang yang aku bawa. Aku hanya bisa tertawa pahit mendengar kata-kata tajam dari mulut Ana.

"Tenang saja kak! Cornel akan mencari kakak!" seru Cornel bangga sambil menpuk-nepuk dadanya, aksi imutnya berhasil membuatku tertawa.

Sedangkan di bahuku, Koni kembali menyentuh pipiku dengan kepalanya. "Iya, aku tahu Koni pasti akan membantuku apa pun yang terjadi," kataku mengelus kepalanya yang lembut.

Kami menghabiskan buah dan sayur di keranjang dan di gantikan dengan uang. Cukup menyenangkan saat bisa berbicara sedikit dengan penjual yang ramah dan bisa di katakan mirip keran bocor. Bahkan banyak yang mengatakan bahwa mata hitamku ini unik, mungkin karena di sini semuanya bermata merah.

"Ini untukmu," kata Ana yang menyerahkan beberapa keping uang perunggu ke tanganku.

Aku menatap kepingan-kepingan itu bingung. "Untuk apa?" tanyaku bingung.

"Memangnya di tempatmu tidak ada yang namanya uang?" tanya Ana.

"Ada sih." Walau kebanyakan dalam bentuk lembaran. "Maksudku kenapa memberikanku ini? Bukankah memberi tumpangan padaku sudah lebih dari cukup?" tanyaku kembali.

"Setidaknya kau adalah wanita, jadi pergunakan uang itu dengan baik. Kalau sudah tunggu di pintu utara, tanya arah pada penjual," kata Ana yang langsung beranjak begitu saja. Cornel melambaikan tangannya dengan senyuman manis lalu mengikuti Ana dari belakang.

Maksudnya ia berpikir bahwa aku memerlukan perhiasan untuk diriku sendiri? Aku menatap Koni yang ikut menatapku kembali. "Itu artinya aku di suruh menjadi gadis dengan membeli perhiasan?" Aku masih menatap Koni yang memiringkan kepalanya bingung. "Baiklah, itu artinya aku hanya perlu melihat-lihat," kataku acuh sembari mengambil langkah berjalan.

Berbeda seperti pasar yang pernah aku datangi, di pasar ini menjual lebih beragam hal. Dari yang menjual makanan, baik matang atau pun belum matang, pakaian, perhiasan, alat rumah tangga, hingga hiasan rumah. Tentu saja sebagai orang normal aku akan datang dan melihat-lihat, bisa juga membeli, tetapi semua itu di hancurkan dengan mengingat apa saja yang ada di dalam tas kecilku. Lebih baik aku hanya melihat-lihat saja.

Karena aku melihat ke kiri dan kanan tanpa melihat ke depan, bahuku menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah. Bagaikan film, kami saling bertatapan dan waktu seakan-akan berjalan lama.

"Maafkan aku," kataku sambil sedikit menunduk kearahnya.

"Tidak, aku yang harusnya minta maaf. Apakah ada yang terluka?" tanya laki-laki berambut merah yang tidak sengaja aku tabrak.

Aku melihat ke Koni yang menggeleng ke arahku. "Semuanya baik-baik saja," kataku sambil tersenyum. "Apakah kau terluka?" tanyaku kembali

"Pasukan istana tidak akan terluka hanya karena dorongan pelan," katanya dengan senyuman lebar.

"Apa tidak masalah mengatakan identitas begitu saja ke orang asing?" tanyaku yang melirik pakaiannya yang memang lebih bagus dibandingkan orang-orang yang ada di pasar, walau tidak terlihat seperti sebuah seragam.

"Bukankah dengan adanya pasukan istana, pendatang sepertimu akan merasa lebih aman?" tanya laki-laki itu masih dengan senyuman cerianya.

"Itu ada benarnya.

"Kalau begitu selamat menikmati keadaan di tempat ini, sayang sekali ada hal yang perlu aku urus," katanya yang menunduk bagai kesatria. Tunggu, dia memang salah satunya bukan?

"Gombal ceritanya?" tanyaku dengan tawa tertahan.

"Apa itu gombal?" tanya lelaki itu bingung.

"Oh, maksudku merayu.

Lelaki itu kembali tersenyum lebar. "Kalau begitu aku undur diri terlebih dahulu," katanya lalu beranjak dari tepatnya.

Lelaki yang ceria. Mungkin akan menyenangkan kalau bertemu lagi denganya. Aku berbalik untuk kembali melihat-lihat dan kadang memberi cemilan kecil untuk di makan bersama Koni. Selang beberapa Menit hingga akhirnya Ana dan Cornel datang ke titik temu.

.
.
.
.
.
.

Maaf membosankan, soalnya inti cerita ini hanyalah Lan yang membantu dan ketemu orang baru :")

Yang selalu mantengin berita jangan terlalu panik ya, mungkin cuman di lvl up aja kesehatan tubuhnya dari pada panik nyari yang udah tinggal kenangan wkwkwk.

-(17/03/2020)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro