25.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siangnya aku membantu Cornel menjelajah hutan untuk mendapatkan harta karun, sedangkan Ana tetap berada di dalam rumah. Koni turun dari pundakku dan berlari bahagia. Memang hutan adalah rumah bagi Koni.

"Oh iya, kenapa kakak di hutan?" tanya Cornel yang melihat ke arahku.

Aku berpikir sejenak, mencari kata-kata yang bagus untuk anak kecil. "Kakak sedang berpetualang."

"Kenapa berpetualang? Bukankah lebih bagus jika hanya berada di rumah?" tanya Cornel dengan wajah polosnya.

Aku tertawa gemas. "Aku punya alasan tersendiri."

"Seperti avra?"

"Itu alasan salah satunya, hm, sebenarnya mungkin alasan utamanya menarik avra ke dalamnya," kataku sambil mengingat-ingat kata-kata yang berisikan tanggung jawab di dalamnya.

"Seperti menyelamatkan dunia?" tanya Cornel

Aku tersenyum lalu menganguk. "Seperti menyelamatkan dunia."

"Lalu, apa yang akan kakak lakukan selanjutnya?" tanya Cornel yang memasukan jamur ke dalam keranjang yang ia bawa.

"Entahlah, untuk sekarang aku akan mencoba melihat sekeliling sembari melihat apa ada yang bisa aku pelajari," kataku sambil melihat sekeliling..

"Mempelajari? Mempelajari bertahan hidup di pedesaan?" tanya Cornel yang terihat menyindir dengan mata yang hanya melirik ke arahku.

"Hahahaha! Bertahan hidup memang penting tetapi aku harus mempelajari hal lainnya," kataku yang sudah tidak tahan untuk mengacak-acak kepala Cornel yang dibalas langkah yang menjauh.

"Ngomong-ngomong, apa saja yang bisa kau lakukan dengan avra?"

Aku kembali berpikir. "Iya juga, selama ini aku hanya menumbuhkan, dan memberi kekuatan pada diriku sendiri. Kira-kira apa yang bisa di lakukan lagi ya?" Mataku melihat sekeliling dan tertarik mendekati sebuah bunga yang layu.

Jari telunjuk aku dekatkan ke tangkai bunga yang tingginya seperempat dari tinggi Koni. Aku hanya berpikir di dalam pikiranku sendiri, apakah aku bisa membuat batang ini kembali segar lalu mengaliri makanan di dalam tangkainya? Dengan begitu bunga akan lebih segar dan bisa kembali mekar dengan baik. Dalam hitungan detik apa yang aku pikirkan menjadi nyata dan bunga itu langsung mekar dan menunjukkan warna putih cerahnya. Senyumku mengembang, seakan-akan merasakan kebahagiaan melihat bunga itu kembali pulih.

"HEBAT!" Ah, aku melupakan adanya Cornel di sini. "Kalau begitu kau bisa membantu pohon besar itu bukan?"

"Pohon besar?" tanyaku bingung.

"Ayo ikut! Ayo ikut!" seru Cornel yang menarik tanganku. Aku hanya membiarkan Cornel menarikku hingga ke sebuah tempat dimana sebuah pohon berada di tengah lapangan yang tidak begitu jauh dari pohon-pohon lainnya.

Aku mendekati pohon itu dan melihat bekas patahan yang tidak rata. Itu artinya pohon ini tumbang, bukan di potong secara sengaja. Kalau hanya di lihat sekilas ini adalah pohon yang cukup tua, bisa saja melebihi umur Koni yang berdiri di dekatku penasaran.

"Apa kau bisa menyembuhkannya?" tanya Cornel dengan mata sayunya dan seakan-akan banjir akan datang jika aku menolak.

"Akan aku coba, tetapi aku tidak akan janji padamu," kataku dengan senyuman jail.

"HORE!!" sorak Cornel bahagia, sembari meloncat beberapa kali dari tempatnya.

Aku menggelengkan kepalaku pasrah lalu berjalan kembali menuju pohon itu. Kedua mata aku pejamkan dan aku merasa ada yang keluar dari tubuhku, mungkin avra hijau menunjukkan dirinya. Aku memang tidak tahu bagaimana caranya untuk menumbuhkan kembali pohon ini.

Tetapi apakah pohon ini sadar bahwa ada seorang anak kecil menantinya walau waktu sudah berlalu dari rubuhnya batang pohon ini? Bukankah perasaan bahwa dirimu masih di tunggu sampai titik terendahmu adalah hal yang sangat bahagia? Bahkan aku tidak bisa menyembunyikan senyum ini hanya dengan memikirkan hal ini. Hei pohon, apa kau tidak ingin kembali tumbuh dan menyapa sahabat kecilmu?

"WOAAAH!!"

Mataku membuka perlahan dan melihat sebuah daun yang turun berwarna pink pucat. Dengan perasaan kaget aku melihat ke atas dan terlihatlah pemandangan pohon gagah dengan ribuan daun yang berwarna kemerah mudaan yang segar.

"TUMBUH!"

Aku ... berhasil?

"Kak Lan! Kakak berhasil! Terima kasih!" seru Cornel yang memelukku kencang lalu berlarian mengelilingi pohon.

Tawa pelan keluar dari mulutku. Aku masih tidak percaya aku bisa melakukannya. Apa karena avra hijau memang mengarah kepada tumbuhan yang membuatku bisa berbicara kepada tumbuhan?

"Itu-" Aku berputar ke belakang dan melihat Ana yang menatap ke arah pohon merah muda tak percaya. Matanya melihat ke arahku. "Kau, kau bisa memakai avra?" tanya Ana dengan sebelah tangan yang menunjukku, masih dengan ekspresi yang sama.

"Sudah aku bilang! Kak Lan-lah yang ada di buku dongeng itu!" seru Cornel dengan senyuman lebarnya.

Ekspresi Ana menjadi serius melihat ke arahku. "Kita harus pergi."

"Kemana?" Ana langsung menarik tanganku tanpa membalas dengan cepat. "Tunggu Ana!" seruku mencoba melepaskan tanganku, Koni melompat ke bahuku lalu menggeram.

"Kita akan ke istana. Untuk selanjutnya kau akan lihat sendiri dan ... aku tidak akan meletakkanmu ke dalam mala petaka. Jadi kau bisa tenang," kata Ana di depanku yang tidak menoleh kepadaku.

Oh, dia barusan bisa menebak pikiranku.

....

Beberapa saat kemudian aku, Koni, Ana, dan Cornel sudah sampai di istana para vampire. Sebenarnya aku sedikit ragu bahwa aku boleh mempercayai seorang anggota kerajaan, jadi kegugupanku aku lepaskan dengan melihat sekeliling ruangan yang aku lewati.

Suara pintu besar terbuka, itu sukses menjadi perhatianku untuk kembali lebih takut lagi. Aku menyusun mental secara berantakan dengan waktu yang singkat. Koni masih di bahuku, aku bisa memakai avra, setidaknya itu membuatku nyaman. Di depan sana terlihat seorang wanita yang memakai baju yang pas di badannya, duduk di singgasana dengan elegan. Di sisi kiri dan kanan entah mengapa terisi oleh orang-orang yang menggunakan pakaian besi.

Tak sengaja aku melihat seseorang yang aku temui tadi pagi, si pasukan kerajaan genit. Melihatnya yang menatapku kaget sudah menjadi hiburan tersendiri untukku. Setelah cukup dekat dengan wanita anggun itu, Ana dan Cornel menunduk, aku langsung tergesa-gesa melakukan hal yang sama.

"Angkatlah kepala kalian," suara lembut itu menggema di ruangan ini. Ana dan Cornel menegakkan kembali tubuh mereka, begitu juga denganku yang berdiri di belakang mereka. Wanita itu turun dari tempatnya. "Jadi ini yang kalian bicarakan?" tanya wanita itu yang berjalan mendekatiku dengan sebelah tangan yang semakin lama semakin mendekati wajahku. Karena masih cukup ragu, aku mengambil langkah mundur perlahan.

"Grrr!" Koni melompat turun dan mengambil ukuran yang tingginya setengah dari tinggi badanku.

"Koni, tenanglah," kataku sembari mengelus kepalanya dan sengaja menutupi matanya.

"Tidak, ini memang kesalahan saya yang sudah bersikap tidak sopan," kata wanita itu yang meletakkan sebelah tangannya tadi di bawah lehernya. "Melakukan hal aneh tanpa memberi tahu alasannya," lanjutnya dengan senyuman manis.

"Mh ... hm." Aku menatapnya bingung. Sebenarnya apa yang terjadi.

"Dari perkataan Ana dan Cornel anda bisa menggunakan avra, apa itu benar?" tanya wanita anggun yang menatapku lembut, masih dengan senyuman di sana. Detik berikutnya terdengar bisikan di kiri dan kanan. Bahkan aku tidak sengaja kembali bertatapan dengan si genit itu.

"Iya benar," kataku yang membuat ruangan menjadi lebih heboh.

"Apakah bisa menunjukkannya kepada kami?" tanya wanita itu yang terlihat semakin ceria. Aku menundukkan kepalaku, berpikir. "Tentu saja tidak dengan paksaan," kata wanita itu sedih.

"Ah, tidak, aku tidak masalah. Hanya saja tidak tahu apa yang bisa aku lakukan," kataku tertawa gugup.

"Apa pun itu!" seru wanita itu yang tiba-tiba meloncat ke arahku dan membuatku mengambil langkah besar mundur. Detik berikutnya wanita itu tertawa dan kembali mundur. "Maafkan aku, mendengar adanya penyelamat yang datang membuatku bersemangat," kata wanita itu dengan senyuman manisnya.

Aku hanya bisa tersenyum gugup melihat tingkahnya. Tak sengaja mataku melihat sebuah tumbuhan yang di tanam di pot layu. "Apa boleh jika tumbuhan itu?" tanyaku sambil menunjuk tumbuhan layu di pot yang bagus itu.

"Tidak masalah," kata wanita itu yang membuatku berjalan mendekati tanaman layu itu. "Apakah ia masih bisa di selamatkan? Sudah beberapa tukang kebun yang tidak bisa membuatnya kembali tumbuh," kata wanita itu sedih.

"Tidak akan tahu tanpa mencoba," kataku yang menoleh ke arah wanita itu dengan senyuman jail. Beberapa orang yang berdiri di dekat sana menyingkir dan membuatku bisa leluasa melihat tumbuhan itu.

Batang yang kering walau tanahnya basah. Sayang sekali, melihatnya sudah membuatku sedih. Aku menatap tanganku sejenak sampai avra hijau kembali keluar lalu melakukan hal yang sama seperti yang tadi aku lakukan saat berada di hutan. Hal yang mengejutkan bahwa tumbuhan itu adalah bunga yang berbentuk lonceng berwarna putih, sedikit transparan.

"Indah sekali," gumamku. Aku menoleh ke samping dan menemukan apa yang aku cari, jendela. Aku mengganti dengan menggunakan avra jingga dan mulai menarik pot indah itu sampai terkena cahaya dari jendela. Detik berikutnya cahaya yang ada di bunga itu memantul hingga membuat beberapa cahaya di dinding dan langit-langit ruangan ini, seakan-akan bunga ini terbuat dari kaca. "Wauw," kataku pelan.

Koni mendekatiku lalu kepalanya ia arahkan ke tanganku yang langsung aku elus. Mataku kembali menikmati pantulan-pantulan yang berwarna-warni beberapa tempat acak. Inilah kekuatan dunia fantasi, semuanya bisa terjadi. Orang-orang yang ada di ruangan ini juga melihat ke sekeliling rungan ini dengan ekspresi kagum. Akhirnya ada yang menyadari keindahan sebuah tumbuhan.

"Indah sekali! Tadi nama anda adalah Lan bukan? Terima kasih banyak!" seru wanita itu ceria dengan melangkah ke arahku.

"Yang Mulia Ratu Khaera, sifat anda," kata seseorang memakai pakaian yang rapi. Mungkin ajudannya?

"Tidak masalah, akan lebih baik lagi kalau bisa menggunakan bahasa informal karena dari tadi aku melakukan hal itu," kataku sembari tertawa pelan.

"Tetapi dengan kekuatan itu mungkin bisa menyembuhkan pohon-"

"Niel!" seru Ratu.

"Apa?! Dimana? Mana?" tanyaku sembari melihat ke luar jendela.

"Tidak, kau sudah-"

"Untukku sendiri tidak masalah, itu bisa di hitung sebagai latihan," kataku yang memotong perkataan Ratu dengan senyuman.

"Sebenarnya tempatnya di depan-"

"NIEl! Kenapa kau beri tahu?!" seru Ratu.

"Sip!" Aku langsung melompat dari jendela di belakangku.

"Tunggu ini lantai du-a." Aku melambai dengan senyuman lebar ke arah Ratu yang melihat ke luar jendela dengan panik.

Koni juga melompat dan menaiki bahuku. Aku menatap sejenak hingga mencari pohon yang tadi di katakan oleh Niel, orang yang mungkin ajudan si Ratu. Sebuah pohon layu yang cukup besar terlihat dari kejauhan. Saat mendekati pohon itu ternyata lebih besar dari pada yang aku bayangkan.

"Lan! Anda tidak perlu benar-benar melakukannya!" Aku menatap Ratu dan beberapa orang yang berhasil turun dan lari cukup tergesa-gesa.

Aku hanya membalas perkataan itu dengan senyuman jail. Kembali aku tutup mataku hingga aku merasa bahwa rambutku terangkat. Ini efek macam apa?! Sudahlah, aku sudah bisa merasakan pohon di depanku. Untungnya hanya perlu membetulkan beberapa bagian pohon agar menjadi lebih lancar dalam mengaliri zat makanannya. Sayangnya memerlukan konsentrasi yang cukup besar karena bagian yang mati bukan hanya satu atau dua bagian saja.

Ayolah, sedikit lagi. Kau pasti bisa melakukannya. Tinggal sedikit lagi! Setelah aku merasa sudah selesai aku langsung melepas avra hijauku dan membuka mataku. Pohon di depanku menunjukkan warna jingga kemerahannya dan langsung menunjukkan buahnya. Suara orang-orang bersorak terdengar di telingaku. Tiba-tiba saja kakiku langsung lemas dengan mata yang masih menatap ke atas.

"Lan!" terdengar beberapa orang meneriaki namaku.

Bukannya melihat ke arah mereka, aku masih menatapi pohon yang kini sudah segar. Tawa langsung keluar dari mulutku. Membuat langkah panik kini tidak terdengar.

"Koni," panggilku lalu mulai menjatuhkan diri ke belakang. Koni yang menghilang dari bahuku kini tergantikan dengan sesuatu yang lembut menyentuh punggungku dan perlahan menurunkanku. Aku tahu ini adalah tubuh Koni, itu artinya Koni tadi menahanku dengan ekornya sebelum terjatuh ke tubuhnya. "Selamat tidur."

"Hei! Tunggu Lan!"

"Jangan tidur di sana!"

.
.
.
.
.
.

Yak 1760 kata. Cukup panjang juga dengan waktu yang melangkah ke angka 3.

Tidak ada N/A panjang, cuman karena lockdown (entah tulisan bener/salah) saya jadi ada keingian untuk terus up, sayangnya cuman 2 cerita. Semoga 2 lagi mendapat pencerahan wkwk.

-(21/03/2020)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro