26. Pasukan Istana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malamnya aku, Ana, Cornel, dan tentu saja Koni juga di izinkan menempati kamar mewah yang ada di istana. Melihat kemegahannya, Cornel meminta agar satu kamar dengan Ana, sedangkan Koni tidak mau turun dari bahuku. Paginya aku mencuci muka dengan air hangat yang sudah di siapkan, setelah berganti pakaian di tas kecil yang sempat diambil Koni semalam, aku berjalan menuju ke taman. Langkahku berjalan mendekati pohon yang kini berdiri dengan gagahnya. Mataku seakan-akan tersucikan oleh pemandangan cahaya yang melewati daun-daun jingga kemerahan itu.

"Indah."

Mataku melirik ke sampingku dan menemukan lelaki genit yang memakai seragamnya yang sedikit santai. "Iya, daun-daunnya sangat indah."

"Bukan, um, ma-maksudku kekuatanmu kemarin."

Aku melihatnya yang terlihat salah tingkah. "Avra?" tayaku.

"Ah iya! itu!" katanya dengan senyuman lebar. Aku menatap lelaki itu yang menghela nafas lega. Dia mau ngomong apa sih? "Oh iya, kita belum berkenalan bukan? Namaku Zale Satheas, kalau tidak salah namamu adalah Lan bukan?"

"Itu benar," kataku sambil mengangguk lalu tersenyum lebar. Mataku kembali menikmati pemandangan pohon di depanku. "Oh iya, apa yang biasanya kalian lakukan sebagai pasukan istana?"

Zale sempat terkaget lalu memasang ekspresi berpikirnya. "Yang pasti akan di lakukan adalah berlatih agar tidak kaku dan siap dalam kapan pun. Tunggu, kenapa kau bertanya?" tanya Zale bingung dan lepas dari ekspresi berpikirnya.

"Karena aku bisa sampai di sini karena alasan," kataku dengan senyuman. "Ayo! Antarkan aku ke tempat pelatihannya," kataku yang langsung menarik sebelah tangannya.

Setelah beberapa saat, akhirnya aku dan Zale sampai di tempat pelatihan para pasukan istana. Terlihat beberapa orang yang tidak memakai seragam besinya, tetapi ada yang memakainya. Lalu kembali, di sini hanya terlihat adanya lelaki. Walau pun begitu melihat semangat dari mereka yang mengayunkan pedang membuatku tersenyum.

Tunggu, pedang? "Ajari aku pedang!" seruku ke arah Zale.

"Apa? Kau bercanda?!" tanya Zale yang sedikit mundur karena aku melangkah sedikit mendekat ke arahnya.

"Tidak ada candaan, aku bersungguh-sungguh!" seruku antusias.

"Pedang bukanlah barang untuk wanita," kata Zale yang menjauhkan wajahnya dariku.

Seketika aku merasa kesal. Tubuh aku tegakkan kembali. "Ayo duel."

"APA?! Tunggu, kenapa tiba-tiba?!" tanya Zale dengan ekspresi tidak percaya, bahkan matanya seperti akan keluar dari tempatnya.

"Anggap saja karena aku tidak banyak gerak kemarin, jadi akan lebih baik jika aku lebih menggerakan tubuhku. Oh, atau agar aku sedikit lebih kurus karena kemarin aku makan terlalu rakus?" Aku menunjukkan deretan gigi-gigiku. Melihat Zale yang masih ragu, aku mengeluarkan tongkat yang di berikan Dexter dari tas kecilku lalu menunjukkan senyuman menantang ke arahnya.

Zale menghela nafas pasrah. "Aku akan mengambil pedang kayu dulu."

Yesh!!

....

Aku dan Zale saling berhadap-hadapan. Sebelum memulai, aku memutar tongkatku untuk menghindari tongkatku kembali terlipat dengan sendirinya. Di depan Zale melakukan sedikit gerakan pemanasan. Sedangkan orang-orang yang sebelumnya memenuhi lapangan kini menyingkir dan aku tebak mereka akan dengan senang hati melihat pertarungan ini.

"Siapa gadis itu?"

"Kenapa dia menantang Zale?"

"Apakah Zale kuat?" tanyaku ke arah bisikan-bisikan ragu, dengan tongkat yang menunjuk ke arah Zale.

"I-itu benar. Zale termasuk yang terkuat walau baru masuk 3 tahun," kata seorang lelaki yang sedikit takut lalu dibalas anggukan oleh yang lainnya.

Aku cukup terkesan, seseorang yang baru masuk 3 tahun bisa menjadi yang terkuat. Walau aku sendiri bingung pada tubuhku. Perasaan baru masuk dunia ini, kok bisa sih sampai di bagian ini?

"Kenapa? Apakah itu membuatmu takut?" tanya Zale dengan senyuman jail.

"Tidak kok, aku hanya berpikir bahwa kamu orang yang sangat keren." Walau sisanya mempertanyakan mengenai diri sendiri.

Tiba-tiba wajah Zale memerah membuatku melongo melihatnya. "Su-sudahlah! Ayo kita mulai!" seru Zale yang mulai memasang kuda-kudanya.

Ah, dia mengalihkan topik. "Imutnya," kataku pelan dengan wajah gemas yang tidak bisa aku tahan. Terlihat Zale menggeleng-gelenggan kepalanya dengan wajah yang masih memerah hingga berhenti mengeluarkan merahnya setelah gelengan berhenti.

"Mulai!"

Ha? Ada yang jadi wasitnya di sini?

Baru sedetik aku lengah, Zale sudah berlari ke arahku dengan cepat. Dengan jurus kira-kira, aku menahan serangan Zale dan berhasil membuat tongkat dan pedang kayu sama-sama membenturkan diri. Rasanya aku masih kaget, sedangkan Zale menunjukan senyuman jailnya. Apa dia balas dendam?

Karena aku akan kalah dalam segi kekuatan, aku langsung menggeser tubuh dan tongkatku hingga Zale terdorong ke belakangku. Langsung saja aku berputar dan ingin menyerang Zale, tanganku sudah siap ingin mengayunkan tongkatku. Tetapi Zale langsung mengayunkan pedangnya ke belakang. Untung saja karena posisi yang pas, tongkatku dan pedang Zale kembali bertabrakan.

Aku mendorong tongkatku ke depan, berpikir untuk mengenai kepalanya sembari menahan kekuatan pedang kayu Zale. Dengan cepat Zale menghilang dan aku merasakan bahwa ia berada di belakangku karena angin yang berhembus aneh dari belakang. Langsung saja aku memajukan tubuhku yang membuat tubuh menunduk lalu dengan cepat mendorong tongkat ke belakang.

"Aw!"

Aku melihat ke belakang dan terlihat Zale yang memegang perutnya. "Maaf! Itu tadi refleksku, apa kau tidak apa-apa?" tanyaku panik sambil mendekatinya.

"Tidak," kata Zale sambil merentangkan telapak tangan. "Itu tadi luar biasa. Sepertinya aku terlalu menyelepekanmu," kata Zale dengan wajah yang masih kesakitan.

"Apa hanya gara-gara aku wanita jadi kau pikir lemah? Sini." Aku menarik tangan Zale yang menahan sesuatu di perutnya dengan kesal. Untung saja Zale tidak sedang memakai pakaian yang berbahan besi, jadi aku bisa langsung membuka baju bagian perutnya.

"Hei!"

Wow, aku bisa melihat abs di depan mataku dan juga benjolan berwarna ungu. "Sepertinya aku terlalu keras, maaf," kataku menyesal.

"Luka seperti ini untuk pasukan istana bukanlah masalah. Jadi kau tidak perlu khawatir," kata Zale yang memegang tanganku yang menahan bajunya.

"Baiklah aku tidak khawatir, tetapi aku boleh melakukan sesuatu bukan?" Mataku melirik Zale yang bingung. Aku mendekatkan telunjukku ke dekat perutnya yang berwarna ungu.

Sebenarnya aku sedang menahan kehisterisanku melihat abis indah di depan mata, tetapi alasan aku melakukan ini bukan untuk abs. Aku mengaktifkan avra hijau di ujung jari telunjukku lalu memfokuskan kepada luka lebam itu. Beberapa detik kemudian lebam itu menghilang.

Aku menegakkan kembali tubuhku lalu tersenyum. "Sudah." Selama beberapa detik tidak ada suara, hening, bahkan Zale menatapku dengan ekspresi kaget. Aku tersenyum sembari sedikit memiringkan kepalaku bingung.

"Apa itu tadi?!" tanya Zale yang menunjuk perut absnya. Bersamaan dengan suara Zale, mereka yang menonton ikut mengeluarkan suara yang tidak jelas karena berbicara dalam waktu yang bersamaan.

"Menyembuhkan?" tanyaku bingung. Bukankah hal itu bisa di jelaskan dengan melihat saja?

"Kau bisa melakukan hal itu?!" seru Zale kaget dengan satu langkah yang mendekat ke arahku, hingga membuatku otomatis berjalan selangkah mundur.

"Bisa ... setidaknya kalau tidak terlalu parah," kataku sembari menatap pohon yang berdiri tidak jauh. Tunggu, luka Razor saat itu bukankah parah dan aku berhasil menyembuhkan kakinya? Itu artinya aku bisa menyembuhkan luka parah dong?

"Hebat sekali!" seru Zale dengan senyuman lebar dan posisi berdirinya sudah kembali seperti di awal. "Apa lagi yang bisa kau lakukan?"

"Apa kau bisa menyembuhkan ibuku?" tanya prajurit lain.

"Apa kau bisa membuat kakakku kembali berjalan?"

"Apa kau bisa-"

"STOP!" seruku keras yang berhasil membuat keramaian itu terhenti. "Sayangnya aku masih pemula, jadi tidak bisa menjanjikan apa pun kepada kalian," kataku lalu tertawa pelan dengan kedua alis yang sedikit tertekuk.

Lalu terdengar suara mereka yang kecewa dan kembali tenang. Melihat hal itu aku langsung menghela nafas lega dengan pelan. Akan rumit ceritanya jika aku harus tertahan di sini karena menolong orang-orang ini. Memang aku ingin sekali membantu, tetapi lebih baik kalau aku mengabaikan hal itu.

Tidak sengaja aku melihat Zale yang sedang melihatku. "Kenapa?" tanyaku bingung.

"Tidak," katanya sambil menunduk.

Aku mengangkat bahuku acuh.

"La-"

"KAK LAAAAN!" seru Cornel yang langsung berlari ke arahku. Tetapi ternyata Koni yang sampai duluan lalu langsung naik ke atas bahuku dan mengusap pipinya di pipiku sebagai sapaannya. Aku membalas usapannya dengan pipi juga. Tak lama Cornel langsung memelukku dengan senyuman ceria.

"Hei, aku baru saja melakukan latihan loh."

"Benarkah? Tetapi kakak tidak bau," kata Cornel dengan wajah polosnya yang melihat ke arahku.

"Bagus deh kalau seperti itu," kataku sambil mengusap kepalanya.

"Oh iya, Ratu mau ketemu kakak, lalu um," Cornel melihat ke sekelilingnya. "Oh, sama kakak ini," kata Cornel yang menunjuk Zale.

Aku dan Zale saling bertatapan bingung, tetapi akhirnya kami mengikuti Cornel yang menggandeng tanganku menuju ke tempat Ratu. Cornel berjalan di sampingku dengan suasana hati yang ceria.

"Oh iya Zale, tadi kau mau berbicara apa?" tanyaku kepada Zale yang berada di sampingku. "Kau tadi memanggil namaku bukan?" tanyaku saat melihat wajah bingung Zale.

"Tidak, bukan apa-apa," kata Zale dengan nada yang menggantung. Aku masih menatapnya, memberi tahu apa yang ada di pikirannya. "Tetapi aku rasa memang ada yang akan aku beri tahu." Aku masih menatapnya penasaran. "Aku setuju mengajarkanmu menggunakan pedang," katanya dengan senyuman.

"Benarkah?! Yesh!!" Sebelah tangan aku kepalkan di depan dada dan sebelahnya lagi masih menggandeng tangan Cornel dengan kaki yang masih berjalan.

"Tetapi mengapa kau mau diajarkan pedang? Bukankah kemampuanmu sudah bagus dalam menggunakan tongkat?" tanya Zale.

"Sayang sekali, pemikiran anda tidak sepenuhnya salah," kataku jail. "Tetapi kalau bisa belajar pedang sekarang mengapa harus di tunda?" Sembari mengingat adanya tujuan yang harus aku raih secara paksa.

Zale tersenyum. "Baiklah, kalau begitu kita akan berlatih di waktu yang sama dan di tempat yang sama, apakah kau setuju?" tanya Zale dengan senyuman lebar.

"Setuju! Eh, waktu yang sama itu saat kita bertemu di taman atau saat datang ke tempat latihan?" tanyaku bingung.

"Keduanya berlaku," kata Zale yang masih tersenyum walau pun kini pandangannya melihat ke depan.

"Oke," kataku ceria.

"Ngomong-ngomong, apa arti kata dari stop?" tanya Zale yang membuatku terdiam.

.
.
.
.
.
.

Halo lagi~ kayaknya memang dua cerita ini akan saya sering up deh. Mungkin ada yang menunggu cerita lain, tetapi maaf ya, aku cuman memikirkan kedua cerita ini terlebih dahulu :")

Btw, awalnya pertarungan akan aku buat lebih singkat, tetapi karena aku egois mau pakai tongkat yang di dorong kebelakang jadinya lebih panjang deh. Lumayan, anggep aja buang-buang kata wkwkwk

-(23/03/2020)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro