27. Merah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku, Koni, Cornel, dan Zale akhirnya sampai di ruangan kebesaran sang Ratu Khaera. Disana sudah terdapat ajudan Khaera dan Ana di dekat sang Ratu Khaena yang duduk manis di singgasananya. Senyuman manis menyambut kami yang baru masuk ke dalam ruangan.

"Selamat pagi, bagaimana tidur kalian?" tanya Ratu Khaena  masih dengan senyuman manis.

"Selamat pagi juga Yang Mulia Ratu. Terima kasih banyak atas kamar yang anda berikan, kemarin setelah menyentuh kasur aku langsung terlelap," kataku sembari tertawa pelan.

"Tidak, seharusnya sayalah yang seharusnya berterima kasih. Anda sudah membuat ruangan ini berwarna dan menumbuhkan kembali pohon yang ditanam dari mendiang raja pertama," kata Ratu Khaera yang memandang ke sekeliling ruangan lalu memandang ke luar jendela.

Jadi pohon besar itu memang mempunyai sejarah tersendiri. Itulah alasan pohon itu yang paling tua dibandingkan tumbuhan-tumbuhan lainnya di taman.

"Lalu." Aku menatap kembali ke arah Ratu Khaera. "Bagaimana kalau anda dan Zale dinikahkan?" tanya Ratu Khaera dengan senyuman ceria.

"Apa?!"

"HAAAAAAH?!?!? Nggak! Nggak-nggak. Apa-apaan itu?!" Aku langsung menolaknya cepat. Apa ini?! Kenapa tiba-tiba saja?! Aku juga menggerakkan kedua tanganku sampai terlepas dari gandengan Cornel.

 "Kenapa?" tanya Ratu Khaera dengan wajah sedih.

"Maaf Yang Mulia, tetapi itu seharusnya menjadi pertanyaanku. Mengapa tiba-tiba?" tanyaku menahan kekesalanku, mengingat orang yang ada di depanku adalah penguasa dengan berbagai vampire termasuk orang-orang di sekelilingku sekarang.

"Bukankah tadi kalian terlihat sangat serasi? Jadi aku pikir itu adalah hal yang baik agar kalian menjadi pasangan," kata Ratu Khaera masih dengan wajah sedihnya.

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku dan menghela nafas dibaliknya. Mataku melirik Zale yang merona merah. Seriusly?! Kedua tanganku kembali aku turunkan dan menenangkan sekaligus menyiapkan mental dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Saya akan menolak Yang Mulia," kataku dengan ekspresi serius.

Karena hanya melihat ke depan, aku hanya bisa melihat Ratu Khaera, ajudannya, dan Ana membelalakkan mata mereka kaget. Entah karena aku membantah perkataan sang Ratu, atau ekspresi seriusku yang seakan-akan tidak bisa di jahili.

"Karena saya datang dengan alasan. Bukan untuk kesenangan pribadi ... eh mungkin ada ya?" tanyaku pada diriku sendiri. "Ah, yang penting aku datang karena alasan lain, bukan mencari pasangan atau kesenangan pribadi. Bahkan aku sebenarnya ingin kabur dan menghilang dari dunia ini kalau bisa di lakukan," kataku pelan pada baris terakhir.

"Seperti meyelamatkan dunia!" seru Cornel dengan mata berbinar-binar yang terlihat imut.

Senyumku mengembang melihat ke Cornel lalu kembali melihat ke depan. "Itu benar. Aku terpilih untuk menyelamatkan dunia. Karena itu aku akan menerimanya," kataku masih dengan senyuman lebar.

Mereka yang ada di depan sana tidak bersuara, begitu pula Zale yang mungkin saja sedang melihat ke arahku. Tiba-tiba kalung ruby sang Ratu memancarkan warna merah yang cerah hingga akhirnya muncullah satu sosok yang berhenti bergerak di depanku.

"Jadi kaulah yang terpilih ya?" tanya sesosok lelaki dengan setelan jas tuxedo dengan tubuh yang sedikit transparan dan kemerahan.

"Tunggu, jangan-jangan kau--"

Kata-kataku terpotong karena ia memutarkan tubuhnya kesekeliling tubuhku. "Hm, hm. Sudah ada dua avra. Sepertinya Valna dan bocah Elgin sudah memberikan avra kepadamu ya? Mereka terlalu terburu-buru," terdengar nada mengejek di sana.

"Bocah? Kalau anda mengatakan Elgin bocah maka umur anda .... " Lelaki itu memasang senyuman sinis. "Malas hitung ah, udah tetuah nggak bisa seenaknya," kataku membuang pandanganku malas.

"Tentu saja," katanya lalu mencubit pipiku keras.

"Aw! Aw!!" seruku sembari berusaha melepaskan tangannya dari pipiku dan berhasil di detik berikutnya. Pasti pipiku sudah merah.

"Kalau ingin mendapatkan avra selanjutnya maka kau harus membuatku yakin bahwa kau benar-benar melakukannya," katanya dengan senyuman jailnya.

"Perkataanku tadi tidak?" tanyaku dengan sebelah tangan menggosok pipiku yang membengkak.

"Perkataan tidak menghasilkan apa pun, sayang."

"Perkataan menghasilkan waktu yang terbuang-buang," kataku asal.

"Benar juga," kata lelaki itu dengan wajah kaget. "Dibanding itu aku memerlukan sebuah tindakan nyata."

"Mengorbankan nyawaku?" tanyaku asal.

"Ide bagus!" seru lelaki itu ceria.

"GILA!! Nggak-nggak! Ya kali, trus buat apa aku susah-susah mempelajari ilmu baru?" gerutuku kesal. "Oh, aku akan mempelajari ilmu pedang, apakah itu bisa menjadi tindakan nyata untukmu?" tanyaku.

"Hm? Kita akan lihat nanti," kata lelaki itu dengan senyuman sinis.

"Oke, deal! Lalu kapan anda akan mengenalkan diri sendiri kepada mereka yang masih terdiam, bahkan mungkin tidak berkedip sampai bernafas dari tadi dan Koni yang masih menunjukkan giginya sampai sekarang?" tanyaku sambil menunjuk ke sekeliling dan Koni yang menggeram dalam diam.

"Oh ya ampun, cerobohnya diriku. Namaku adalah--"

"Yang Mulia Raja pertama, Amroth Ulbras Mathas." Aku melihat ke arah singgasana dan terlihat kedua mata Ratu Khaera yang sudah berkaca-kaca.

"Halo anakku," sapa Amroth dengan suara lembut dan menenangkan.

Ratu Khaera berjalan mendekati Amroth dengan lengan yang sedikit terangkat. Dari tempatku terlihat Amroth merentangkan tangannya dengan senyuman dan tatapan lembut di wajahnya. Ratu Khaera mulai berlari ke arah Amroth hingga akhirnya keduanya bisa berpelukan. Jadi walau dalam wujud itu masih bisa tersentuh ya?

"Sepertinya kamu sudah mengalami masa-masa sulit ya anakku?" tanya Amroth yang mengelus pelan kepala Ratu Khaera.

"Seperti yang dikatakan kakek bahwa anda adalah orang yang penyayang," kata Ratu Khaera yang menatap Amroth dengan senyuman, kedua tangannya masih memeluk tubuh Amroth.

"Karena anak-anakku adalah harta bagiku," kata Amroth yang masih mempertahankan tatapan lembutnya.

Jadi orang yang tadi keluar seperti playboy malah jadi bapak beneran saat ketemu anaknya ya? Sepertinya aku sudah terlanjur mengecap jelek semua playboy yang ada di depanku.

"Aku tahu pikiranmu loh," kata Amroth yang melirik ke arahku.

Salak!

"Memang benar aku adalah orang yang sangat menyayangi dan menyombongkan hartaku. Tetapi harta yang ini tidak bisa ditukar oleh apa pun," kata Amroth yang menatap Ratu Khaera sayang.

"Curang! Aku jadi kangen kakek kan!! Selama ini hanya kakek yang menjadi laki-laki yang memanjakanku," kataku sedih sembari jongkok dan mengusap lantai dengan jari telunjukku. Kapan ya aku kembali ke ras Elf dan ketemu sama kakek lagi? 

"U cup cup cup, sabar ya," kata Amroth yang menepuk-nepuk kepalaku sampai kepalaku tertunduk-tunduk beberapa kali.

Aku langsung menepis tangannya. "Sakit tauk!" kataku kesal dengan mulut bawah yang maju ke depan. Amroth dan lainnya menertawakanku tetapi aku tetap tidak peduli.

Tak lama terdengar pintu di ketuk dan seseorang mendorong pintu besar itu sebelum akhirnya berbicara kepada Ratu Khaera.

"Baiklah, makan siang sudah siap. Bagaimana kalau kita menikmati makan siang dulu? Kau juga boleh ikut Zale," kata Ratu Khaera dengan senyuman lebar.

"Saya juga boleh Yang Mulia?" tanya Zale bingung.

"Tentu, saya ingin membagikan kebahagiaan kepada semua orang karena telah bertemu langsung dengan kakek buyutku. Untuk pasukan istana yang lainnya juga sudah aku minta sediakan makanan yang lebih dari pada sebelumnya," jelas Ratu Khaera masih dengan senyuman lebar.

Akhirnya kami semua, termasuk Amroth yang aku yakini ia tidak makan, mengikuti Ratu Khaera sampai ke ruang makan. Di sana terdapat makanan yang banyak dan tak lama datanglah beberapa petinggi-petinggi kerajaan yang diundang makan bersama, banyak dari mereka langsung mendekati Amroth saat melihatnya.

....

Sorenya aku merasa sudah kenyang dan berjalan-jalan dengan Koni yang mengambil ukuran tubuh sebesar anjing. Dengan begitu aku tidak seperti berjalan-jalan dengan vupilla, melainkan dengan anjing husky, tanpa tali pastinya. Aku tidak sengaja melewati pohon yang paling besar itu dan melihat Amroth sedang berdiri di sana sambil memandang daun-daun kemerahan itu.

"Aku tidak menyangka pohon ini masih bisa bertahan sampai saat ini," kata Amroth saat aku mendekat ke arahnya tetapi tatapannya masih di titik yang sama.

"Sebenarnya pohon itu sudah mati kemarin," kataku merasa tidak enak.

"Oh?" Amroth melihat ke arahku. "Begitu rupanya," katanya dengan senyuman kecil lalu kembali melihat ke pohon itu. "Terima kasih."

"Sama-sama. Tetapi apakah aku boleh bertanya apa arti pohon ini bagi anda?" tanyaku yang kembali berjalan hingga berada di dekat Amroth.

"Biji ini adalah biji terakhir dari pohon Alderbery yang habis terbakar. Istriku yang menyimpannya dengan baik hingga akhirnya bisa menanam di tempat ini," kata Amroth yang menggerakan telapak tangannya perlahan di dahan pohon. "Katanya ia berharap pohon ini yang akan terus menghibur keturunan kami agar tetap mempertahankan negara ini."

"Dan harapannya terkabul." Amroth langsung melihat ke arahku. "Hanya dengan melihat daun-daun itu rasanya hati sudah tenang kok. Apalagi warna merah melambangkan kekuatan dan jingga melambangkan keceriaan, lalu keduanya juga bisa termasuk semangat," kataku dengan senyuman lalu kembali menikmati daun-daun yang masih bertahan dengan semangatnya.

"Kata-kata yang menarik." Amroth memukul pelan dahan itu lalu buah jatuh pas di atas tangannya. "Untukmu," kata Amroth yang menyerahkan buah itu ke arahku yang aku terima dengan bingung. "Bersemangatlah untuk esok dan selanjutnya," kata Amroth yang berbalik lalu berjalan menjauh.

"Maksudnya semangat berlelah-lelahan gitu?" tanyaku bingung.

.
.
.
.
.
.

-(28/03/2020)-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro