Amass (Part 2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning! Blood Everywhere!

Ibarat mengumpulkan satu demi satu butir pasir. Perlu sebuah kesabaran, dedikasi, dan komitmen untuk tetap hidup, meski dunia menghantam sebanyak pasir dalam genggaman.

.
.
.

Louisa merunduk, menyabetkan pisau kepada seorang yang berniat mengayun pedang dari samping. Ujung lancip besi itu mengenai mata kanan melintang sampai bibir, membuat si empunya meraung sembari menutupi luka mengucur. Di tengah-tengah umpatan, nyatanya bibir pisau Louisa berkata lebih tajam. Menggores dengan cara menyakitkan hingga kepala botak itu terkulai, mengandalkan seutas kulit yang tak sempat terpotong.

Satu boneka berdiri di belakang, melindungi punggung rentannya dari wanita-wanita beringas yang melempar batu, lantas mengembalikannya dengan cara memukul batu menggunakan kaki yang serupa tongkat. Walau begitu, tak semua berhasil dihalau, masih ada sebutir dua butir batu sebesar kepalan tangan yang berhasil menyentuh tubuh Louisa, meninggalkan bekas kecupan biru kehitaman dan goresan. Namun, itu hanya sekadar gigitan nyamuk bagi Louisa yang meradang.

Kali ini amarahnya mengambil alih mahkota, kesabaran meringkuk di bawah meja keputusasaan dan kekecewaan yang mengeras. Louisa yang menahan diri untuk tak melukai satu orang pun, tertidur dalam balutan kekhwatiran. Cemas tercipta begitu melihat tampang-tampang kotor oleh debu dan air mata.

Pertarungan yang sangat adil tentu saja. Tiga puluh lebih; termasuk wanita dan pria, membawa masing-masing alat perlindungan. Melawan seorang perempuan kurus dengan rambut panjang, beserta makhluk-makhluk buatannya.

Puncak bukit di mana pohon tua besar berdiri kokoh. Tergelar pertarungan hidup dan mati. Kepala-kepala yang terpenggal tergeletak tak bernilai, terinjak bahkan tertendang; darah membanjiri rumput-rumput berembun; aroma anyir tercampur keringat dingin di waktu dini hari, mengganti wewangian segar dedaunan. Langit agak-agaknya merasa pedih menonton pertunjukan yang tergelar sudah lebih dari setengah jam. Suara menyambar dari garis-garis zig-zag di timur bak genderang perang, menambah kemeriahan pesta darah.

"Berikan saja mereka dan kami akan mengampunimu! Penyihir!" Sosok yang terlihat sebagai pemimpin, berbicara keras dari kejauhan.

"Tidak akan pernah! Kenapa kalian selalu mengganggu kami? Biarkan kami hidup tenang!" murka Louisa.

Garpu rumput nyaris menusuk perut, kalau saja ia tak gesit berputar searah jarum jam, besar kemungkinan lehernya berlubang. Louisa kemudian mencengkeram gagang garpu, menjentikkan dua jari, boneka yang selalu bersama wanita itu terbang menyilangkan benda pipih tajam di kedua tangan, menebas musuh sesuai perintah.

Kuantitas tak sebanding kualitas. Louisa unggul lima belas kepala, ia berjalan sembari menenteng surai pirang ikal lengkap dengan cat merah yang menghiasi wajah. Urat-urat terjuntai, bergerak-gerak mengikut langkah Louisa yang berat. Iris sewarna bunga viola bersinar, memancarkan kemarahan lewat pupil mengecil disertai gelombang berat penggetar tulang.

Di langkah kesepuluh Louisa berhenti, menarik napas panjang seraya melempar kasar bola bermata itu---menggelinding menubruk kaki pria pendek yang tengah menahan buang air. Jangan lupakan pandangan mati milik kepala yang terlukis sebelum nyawanya ditarik lewat ubun-ubun.

"Sekali lagi. Jangan ganggu kami!" Teriakan Louisa membangkitkan bulu-bulu halus. Rambutnya mengembang seperti sayap di belakang. Pasukan kayu yang tersisa setengah dari jumlah awal, berdiri penuh cairan merah. Wajah-wajah datar secara harfiah itu terasa dingin, mematikan, dan menguliti setiap keberanian yang tumbuh di hati manusia.

Bukti dirinya tidak pernah main-main tampak lewat raga-raga tanpa kepala. Bergelimpangan di halaman rumah selayaknya hiasan di bulan seram. Cacing-cacing dalam tanah menggeliat mencium bau amis juga busuk. Serangga-serangga malam bernyanyi dalam nada sopran, tetapi sendu.

"Ini peringatan terakhir dariku. Pergi!" Louisa membentangkan tangan, bersiap-siap mengendalikan boneka-boneka miliknya lagi bila mereka yang berada di hadapan, keras kepala dan memilih ajalnya.

"Jangan takut saudara-saudariku." Si pria pendek berkata sembari melangkah memimpin dengan tangan masuk ke saku celana. Menahan kengerian yang bergumul, berusaha mempertahankan wibawa dan harga diri di hadapan para pengikutnya. "Ia, wanita itu hanya iblis yang berpura-pura. Seperti yang dikatakan Nyonya Ma, kita harus membunuhnya!" Selepas berpidato. Ia melempar sekantung benda bubuk putih tepat ke wajah Louisa.

Perih, panas, membakar setiap inci paras cantik Louisa. Ringisan kesakitannya makin membuat para manusia kerdil di rumah reyot menangis kian keras. Suara-suara nyaring anak kecil melengking, memicu dengungan kuat di telinga Louisa.

"Sekarang wanita itu hanya menculik beberapa anak, besok-besok ia akan menculik seluruh anak-anak yang ada di kota!" Perempuan setengah baya yang berdiri di samping pria pendek tadi, membakar kayu-kayu bakar dengan ucapannya. "Bunuh!"

"Tidak ada kekuatan tanpa pengorbanan!"

Lemparan demi lemparan mendarat sempurna di tubuh Louisa, luka merah mengelupas bersamaan dengan darah yang menetes deras. Perempuan itu meringkuk melindungi kepala, berusaha memusatkan konsentrasi terhadap boneka-bonekanya. Namun, hujan benda serbuk itu melemahkan Louisa setiap detik. Paru-paru terasa mengempis diikuti sensasi tercekik di leher, sendi-sendi berbunyi, tulang-tulang beradu menciptakan bunyi keretek-keretek, pun otot-otot yang membungkus tengkoraknya perlahan terkelupas berkat bubuk-bubuk berbau logam.

Tak diberi kesempatan bernapas, sesuatu melilit tubuhnya disertai rasa membakar. Louisa tersungkur mencium rerumputan, menambah perih luka di wajah dan kedua mata yang memerah.

Penglihatan Louisa kabur, tetapi indra pendengarannya berfungsi sangat baik sampai-sampai suara air bening yang jatuh ke kulit anak-anak yang ia asuh, melukai nurani. Raganya terikat rantai, beberapa pria menarik kasar setiap ujung. Tak peduli pekikan mengaduh dari seorang wanita yang tertelungkup. Kerikil-kerikil tajam membelai membentuk garis menjalar di sekujur badan bagian depan. Menjadikan kulit pucat Louisa kanvas manusia.

Arak-arakan pecah, menggema sepanjang jalan menuju tengah kota. Para penduduk yang awalnya bersembunyi di balik tembok-tembok kayu ataupun batu rumah, keluar dari persembunyian. Bersorak bahwa sang pengendali boneka dari kegelapan tertangkap. Para orang-orang tua melempar serbuk yang sama dengan milik kelompok yang menyerang Louisa. Menikmati seolah teriakan ngilunya adalah harmoni orkestra The Battell karya William Byrd.

Sudah dipersiapkan sesempurna mungkin, kursi dan meja jamuan panjang pun kuali besar, serta tiang menjulang dengan bahan bakar menggunung di kaki tiang. Para warga berbondong-bondong mengikuti iringan jalur merah yang tercetak di jalan batu, anak-anak mereka kunci di kamar---tak membiarkan otak-otak polos itu menyaksikan penebusan dosa.

Louisa dihentak, berbaring menyamping dengan gigi patah. Sesosok berjubah meraih lengan kanannya, tanpa ampun membengkokkan jemari lentik itu berlainan dengan arah yang seharusnya. Patah sampai-sampai tulang menonjol keluar.

Tepuk tangan dan sorakan menggema, mengalahkan suara penderitaan wanita menyedihkan di kaki mereka. Mengabaikan tangisan milik para bocah berbibir biru pucat, tak peduli jika tawa bahagia yang memenuhi sepanjang jalan adalah suara terompet neraka untuk Louisa.

"Bibi!" Yang paling kecil kian menjerit menyaksikan wanita yang mengasuhnya diseret ke tiang. Dalam gendongan laki-laki berwajah bahagia di sana, ia memaksa turun---ingin berlari untuk meraih kaki Louisa. Namun, apa daya tenaga bocah empat tahun, tak sebanding dengan pria dewasa berotot.

Teman-teman senasibnya tak berbeda jauh, dipegangi masing-masing oleh satu dan dua orang agar tak merangsek ke tempat eksekusi terbuka, untuk sang ahli sihir boneka. Segala bentuk perlawanan, entah itu cakaran, gigitan, maupun pukulan tak berarti di hadapan kerumunan penuh kuasa.

Kedua lengan Louisa dipukul kayu serentak hingga tulang patah, rambut cokelat terangnya ditarik beberapa wanita sampai terlepas dengan ujung kulit merah. Dengan kasar tubuh lemah nyaris rusak diikat pada tiang menggunakan rantai-rantai dari perak. Bagian pembawa minyak mulai menyiramkan cairan menyengat ke tumpukan kayu kering, para pembawa obor-obor mengitari seraya mengangkat tinggi-tinggi tongkat terbakar itu.

"Hari ini, kita berhasil." Pria pendek bersurai putih yang memimpin penyerang berdiri membelakangi Louisa. Matahari terbit menjadi latar dramatis, warna hitam memudar diikuti jingga dan biru yang merangkak pelan-pelan. "Berhasil memburu seorang pendosa yang bersembunyi di balik anak-anak tak berdosa!"

Sahutan dari sana-sini. Seruan hinaan menghujam jantung Louisa yang tak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya menerima air ludah yang membasahi sekujur tubuh. Bibir sobek ke telinga, sebelah matanya hancur meninggalkan jejak darah ke dagu. Pandangan yang hanya berfungsi sebelah, menatap setiap anak yang meraung-raung. Dirinya terluka luar dalam.

"Maka dari itu," jeda pria itu, "kita tak bisa membiarkan siapa pun yang berada di sekitar wanita terkutuk di sana hidup. Apakah ibu-ibu ingin anak-anak dimangsa mereka yang menyerap sifat iblis? Apakah ayah-ayah akan bersedia keturunannya berakhir menjadi kotoran?"

"Tidak!"

"Omong kosong! Sampai mati pun aku tak rela!"

Kira-kira begitu jawaban yang terlontar dari setiap mulut yang ada.

"Dengan ini aku menjatuhkan kematian untuk lima anak yang tinggal bersama penyihir!" Lengannya mengisyaratkan bocah-bocah itu digiring ke hadapan. Ia berbalik memandangi Louisa seraya menggeleng, kemudian merapatkan tangan di depan dada. Suara lirihnya sekali lagi menghidupkan kemarahan dalam dada. "Ini bayaran dosa-dosamu, Louisa ...."

"Hentikan! Jangan mereka! Kumohon!" Di antara rantai-rantai panas yang menggesek kulit. Di atas api merah yang membelai tubuh bagian bawahnya. Louisa, merendahkan diri memohon ampunan untuk anak-anak yang menjerit kesetanan di bawah sana.

Iris itu membelalakkan menangkap kepala milik seorang anak yang akan menjadi pria lembut, jatuh dengan bola mata menghilang. Akalnya hilang melihat si kecil dibaringkan di meja dengan pisau-pisau daging memotong tubuhnya. Hati terasa hancur begitu tangan-tangan yang pernah memeluk penuh cinta terlempar seolah bangkai binatang. Darah membanjiri alun-alun kota kecil, menjadikannya danau darah dari jasad malang yang dihancurkan keegoisan semata. Jiwa Louisa menggila mendapati tubuh-tubuh berlubang dilempar ke dalam kuali besar mendidih.

"Tidaaak!"

Tak mengacuhkan racauan sinting di belakang. Pria yang merasa paling benar kembali membuka mulut. "Dan untuk tiga belas kesatria dari yang berhasil kembali hidup-hidup. Kalian diberi kehormatan membersihkan dosa dengan menyantap raga-raga yang tak diterima bumi."

"Hentikan! Kalian iblis!"

Siapa yang akan peduli pada pendosa yang berada di ujung kematian. Mereka dengan senang hati mengaduk-aduk sup darah, mengangkat daging merah yang belum matang ke meja persembahan. Alat musik Cornetto---terompet melengkung---menjadi pemeran utama untuk memeriahkan suasana. Tarian-tarian dari gadis-gadis muda menggoda para pemuda mata keranjang.

Piring-piring keramik terjejer rapi bersama sendok dan alat makan lain. Gelas-gelas berleher panjang nan cantik tersuguh, bersinar diterpa mentari pagi yang lembut.

Denting gelas saling beradu pun suara keramik dan logam bergesek. Mereka---tiga belas yang beranggapan sebagai kesatria, meneguk darah segar dari kuali, menggigit gembira daging mentah yang masih beraroma amis besi. Pesta jamuan meriah penuh gelak tawa yang menyenangkan.

Louisa ibarat keledai. Ucapan yang berasal darinya tak diubris. Teriakan mengerikan nyaris memutuskan pita suaranya tak lebih dari ringkik anjing hutan yang kalah pertaruhan. Hancur, betul-betul hancur dalam kenyataan.

Si merah menjilat seluruh permukaan tubuh, memakan tak tersisa baju jelek Louisa. Di sela-sela gegap gempita pesta mengerikan. Segaris anak sungai darah terbentuk di pipi rusak Louisa. Suara parau penuh kebencian itu tertelan riuh, netra ungu menyorot satu per satu wajah serigala yang memakan anak domba.

"Aku bersumpah." Louisa merasakan setiap tulang dan peredaran darah meletup-letup termakan api. "Aku bersumpah akan memburu kalian, meski aku mati!"

Cakrawala yang semula cerah, mendadak dipenuhi awan hitam serta guntur terang. Tiang sudah terselimuti kain merah. Tubuh yang perlahan kehilangan kehidupan, tercabik-cabik ujung tombak oleh kesatria-kesatria yang belum kenyang. Nafsu makan mereka mirip hewan liar, memangsa Louisa sampai ke sumsum. Tak melewatkan sedikit pun sisa-sisa raga untuk dikebumikan.

Di tempat dan masa yang berbeda. Gadis kecil bersama boneka beruang putihnya terhempas ke dinding. Louisa ambruk seraya memukul-mukul perut, memuntahkan cairan bening bercampur sarapan tadi pagi. Nostalgia ke masa lalu memberikan efek menakutkan untuk raga muda yang masih tak tahu apa-apa.

"Aaaa!" Louisa berguling. Mencakar lantai membuat kuku-kuku pendek itu latah dan berdarah.

Peter yang kedapatan mendobrak pintu, sesegera mungkin memeluk Louisa yang sedingin balok es. Masih meraung-raung tak terkendali, pun muntah hebat mengotori pakaian dan barang-barang di sekitar.

"Louisa! Louisa!" Peter memegang kuat lengan si anak, berharap ia sadar dari tantrum yang tiba-tiba menyerang.

"Sakit! Sakit sekali!" Hanya itu yang dapat Louisa katakan sekarang. Benar-benar pedih di dada dan perut. Gejolak sepanas sup labu di atas kompor. Mengoyak dari bagian paling rapuh sebuah insan yang lemah.

Wajah-wajah yang kian melukai Louisa bergantian berkunjung ke benaknya. Joseph, anak dua belas tahun paling sabar yang pernah ia temui; Lily dan Lulu, si kembar yang seringkali mengejutkan Louisa di balik pintu; Ludwid, si seniman yang melukis dinding rumah; lalu Mia, peri manis pembawa tawa. Lima cinta Louisa yang mati bersama dengannya seribu tahun lalu. Mengenakan topeng tengkorak, mereka menagih janji. Meminta sumpah yang ia buat untuk membayar nyawa tak bersalah.

Louisa hilang kesadaran di pelukan Peter. Hanyut bersama kesedihan, sampai tubuh yang baru sembuh itu tak kuasa menahan beban-beban berat yang menekan pundak kecilnya.

.
.
.

To be continue

Note:

Semoga gore-nya tidak terlalu keras untuk dibaca. Selamat bermimpi indah! ^^

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
redaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro