Amass

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah kesenangan mengumpulkan satu per satu sesuatu yang membuat bahagia. Namun, berbeda halnya jika yang dikumpulkan adalah dosa. Apakah masih ada kesenangan dalam balutan kesakitan?

.
.
.

"Seperti yang diduga, memang kejadian yang menimpa Louisa ada kaitannya dengan Igor---kami menemukan darah berisi DNA-nya di kediaman Mariozette." Detektif Jason meneguk sebotol air putih, menunggu reaksi Peter yang bergeming menatap kertas-kertas di masing-masing tangan. Iris hitam kecil milik pria besar itu menelisik dari atas sampai bawah, penampilan lelaki yang serupa orang baru saja keluar dari gua. Mengangkat salah satu alis begitu tatapan keduanya saling bertemu.

"Saya tak bisa apa-apa, selain menyerahkan pada pihak berwenang." Peter mengembalikan kertas yang sebelumnya ia masukkan ke map hitam.

"Masih ada," sela Detektif Jason, "kita bisa mengetahui lebih jauh jika Louisa mau membuka mulut. Mendesak bocah yang trauma tentu hasilnya tak akan jauh dari kemarin-kemarin. Di sana peranmu sebagai ayah pasti berguna."

Peter mengusap surai panjang yang belum sempat diikat, beberapa helaian rontok terbawa jari. Apa yang dikatakan Detektif Jason benar tentang itu, hanya saja bahkan untuk ia, membujuk Louisa untuk kesekian kali buruk untuk mental Peter lantaran tak tega melihat air mata jatuh dari cintanya lagi.

Sembari memejam, ia meraih ikat rambut dari saku lantas merapikannya. Lewat jendela kaca yang terpasang di pintu, ia bisa melihat Louisa yang sibuk memperhatikan Mike dan boneka beruang. Hari ini adalah hari kesepuluh Louisa menginap, pun hari terakhir.

Tarikan napas gusar terdengar, Detektif Jason menyadari orang di sebelah tengah lelah fisik dan jiwa. Menepuk tangan, ia mengejutkan Peter dari lamunan. "Kami tunggu segera, Tuan Peter. Dengan senang hati kami bersedia mengantar Louisa pulang." Terucap seperti sebuah keharusan. Pandangan lurus itu seakan berkata ia tak menerima penolakan.

Tanpa mengalihkan perhatian dari sang putri yang tersenyum menerima boneka dari karyawannya, Peter menyentuh pegangan seraya berkata, "Terima kasih. Semoga ini cepat berakhir." Meninggalkan lawan bicaranya sendirian di lorong rumah sakit.

"Berusahalah secepatnya. Kami takut, sesuatu yang bukan manusia terlibat. Terdengar seperti omong kosong, tapi DNA lain yang bukan milik hewan apalagi manusia ada di sana." Detektif membelakangi Peter yang berhenti di ambang pintu. Memasukkan lengan ke saku jaket, menikmati jendela yang menyuguhkan pemandangan kanvas biru polos. Tanpa awan, tanpa burung-burung yang terbang. Hanya langit biru cerah menakutkan.

Dari pakiran rumah sakit sampai ke depan pintu rumah. Louisa diikuti segerombol orang-orang cerewet menenteng kotak-kotak berlampu juga tongkat berujung bulat. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain meringkuk dalam mantel sang ayah, bersembunyi macam tikus yang habis mencuri sepotong keju. Kilat-kilat tanpa suara itu betul-betul menyakiti mata, suara-suara dari pertanyaan yang tergesa-gesa membuat dirinya tenggelam kebingungan.

Mike berjalan lebih dulu, membuka kunci dan membiarkan Peter membawa Louisa masuk, disusul dirinya. Para polisi yang mengawal sejak keluar dari tempat orang-orang sakit, berdiri di depan pintu menghalangi para belalang gaduh.

"Biarkan kami masuk!" teriak salah seorang dengan setelan kemeja dan jas rapi. Wanita itu berusaha membelah lautan manusia dan menerobos pagar yang menghalangi ia menuju kesempatan emas.

"Pergilah!" Tak mau kalah dari para reporter. Pria berkumis tebal---posisinya yang berada di sebelah kiri dan rekan yang lain di kanan, lalu Detektif Jason menjulang paling tinggi, paling besar, dan berekspresi paling galak berada di antara mereka berdua.

"Kami hanya ingin mewawancarai anak itu!" Kali ini lelaki tambun beraksen Italia, ia menyatukan jemari tangan kanan pada satu titik. "Apa mau kalian!" Tidak tercermin sebagai sebuah pertanyaan, melainkan hanya ungkapan kesal.

"Betul! Tugas reporter melaporkan berita!" sahut setengah dari kerumunan.

Makin lama dorongan kian menggila, tiga pengayom masyarakat itu kewalahan dengan kekuatan para manusia yang membawa-bawa kamera. Beruntung pintu toko sekaligus rumah milik Peter dikunci dari dalam. Mike sempat tertangkap mengintip dengan wajah khawatir dari sudut tirai yang sedikit tersingkap.

"Berita? Kalian tak peduli dengan berita atau korban yang terluka. Rating lebih dari segalanya, bukan! Pergi, lebih baik kalian mengejar bokong artis kalau hanya untuk nilai semata!" Detektif Jason sampai melepas fedora yang ia sukai dan melemparnya ke tanah. "Oh, atau bergulat satu lawan satu denganku? Kalau kalian pernah menonton tinju tahun dua ribuan, tidak akan asing denganku." Setelah melontarkan ancaman, badan berotot yang selama ini tersembunyi di balik jaket, terpampang jelas. Mengilap terkena sinar matahari. Terbayang rasa sakit yang bakal timbul kalau saja kulit wajah beradu dengan kepalan sekeras batu.

Mereka mulai menyingkir, meski ada saja yang keras kepala dan perlu diberi sedikit elusan manja di dagu. Beberapa masih waras untuk menantang pria yang diberi julukan The Golden Arms---juara tinju dunia berturut-turut. Tak menutup kemungkinan, gigi bahkan nyawa melayang dalam sekali tampar.

Ruangan depan toko kosong, mainan, boneka, serta lemari-lemari berisi benda-benda cantik yang dilihat Louisa tidak tampak. Hanya sebuah ruangan lapang tanpa ada satu furnitur, termasuk dapur, dan ruang kerja yang sama-sama kosong.

Berterima kasih kepada Mike yang dedikasinya untuk Mariozette. Ia dan relawan bersedia membantu membersihkan tepat ini setelah penyelidikan selesai. Membetulkan dinding atau lantai yang rusak, juga melapis anak tangga dengan karpet tambahan yang tebal agar tak menjatuhkan korban lagi. Merenovasi kondisi yang betul-betul cerminan dari rumah jagal yang sebenarnya.

Masih menggendong Louisa, Peter mengangguk. Menyalurkan tatapan terima kasih meski tanpa gerakan mulut langsung, dan Mike tidak mempermasalahkan itu, dirinya bersungguh-sungguh ingin membantu.

Lantai dua tampak lain, bersih dan tertata. Selimut-selimut bulu yang sering tergolek, terlipat wangi di sandaran sofa, stoples kacang almond dan kue kering berjajar di meja kayu lengkap dengan vas dari plastik berisi bunga palsu.

Peter menurunkan Louisa di atas ranjang kecil. Ia berjongkok seraya meremas tangan si anak cemas, kemudian beralih memainkan rambut cokelat terang---mirip seseorang yang telah pergi dari hidup keduanya.

"Papa tidak akan bertanya lagi, tapi kalau saja Louisa mau bercerita apa-apa saja yang membuat putri Papa yang cantik ini takut. Papa akan sangat bersyukur." Peter menguatkan genggaman seraya menatap dalam iris ungu Louisa yang membelalak.

Ia pikir pertanyaan ini berakhir kemarin setelah pertarungan panjang. Bukannya Louisa tak mau, tetapi ada risiko besar yang dapat menyebabkan masalah baru. Bagaimana kalau saja Peter sadar bahwa yang berada dalam tubuh yang ia tempati, bukan Louisa yang pria itu kenal. Belum lagi jika perkelahian dengan Igor tersebar dari kepolisian, kemungkinan mereka yang bersekutu dengan Igor akan mengincarnya. Tubuh yang ia tinggali belum kuat secara fisik, kecil, lemah, dan tak berdaya. Mental Louisa dewasa dan Louisa anak-anak tercampur satu sama lain, hingga terkadang dirinya sulit membedakan perasaan siapa yang tengah meluap.

Louisa menarik tangan yang dipegangi Peter, kemudian berdiri memandanginya yang lebih pendek dari tinggi Louisa. "Aku tidak ingat semuanya, tapi saat itu ada orang yang tiba-tiba masuk. Tingkahnya aneh, lalu aku tak ingat apa-apa lagi." Louisa berkilah. Memilih jalan tengah dengan menceritakan sebagian dan sebagian lagi biar ia simpan sampai waktunya nanti.

Ada lampu hijau. Tak membuang-buang waktu, Peter melemparkan pertanyaan lain. "Sendirian?"

"Iya, sendirian." Louisa berusaha menjaga agar air muka pun emosi yang pelan-pelan bangkit mengambil alih. Mati-matian menekan perasaan ingin menangis begitu mengingatnya, padahal ia adalah orang dewasa.

"Louisa tidak melihat apa pun. Maksud Papa apa tidak ada orang lain di sekitar? Hanya berdua?" Peter mencengkeram lengan atas gadis itu, berharap akan jawaban memuaskan. Namun, yang ia dapat ialah gelengan singkat. Peter tak lagi menekan Louisa untuk menjawab lagi, setelah melihat mata bocah sepuluh tahun di sana berkaca-kaca sembari memeluk boneka beruang pemberian Mike.

"Kenapa?" Louisa dalam kepura-puraan menanyakan balik. Biasanya orang dewasa akan menghindar jika ditanya mengenai sesuatu yang mereka sendiri penasaran, lantas mengganggap anak-anak tak perlu tahu.

Terbukti dengan Peter yang menyuruh dirinya tidur sebelum makan siang nanti, meninggalkan stoples kacang kalau-kalau Louisa lapar sebelum jam makan. Kabur begitu saja, langkahnya terdengar menjauh ke bawah.

Akhirnya setelah berjam-jam panjang yang melelahkan, ia bisa sendirian. Louisa memutuskan bersila di lantai tanpa alas, membiarkan dingin dari lantai parket menyejukkan seluruh tubuh bersama pembuluh darah yang terasa mau meledak. Menempatkan kedua tangan lurus ke depan, boneka beruang ia simpan berhadapan dengan dirinya. Percikan kuning beterbangan dari balik rambut tebal Louisa, membuat beberapa helainya terbang seperti benang emas yang bercahaya.

Boneka yang duduk diam, mulai menggerakkan salah satu lengan berisi dakron. Disusul kepala yang terkulai ke belakang dan tegap kembali dalam gerakan pelan. Jari telunjuk kanan Louisa tersentak, beruang setinggi tiga puluh sentimeter itu ikut terlonjak.

Dahi Louisa mengerut. Ketika melawan Igor  tidak sesulit ini. Keringat membanjiri, mengalir dari pelipis ke dagu, pun punggung yang tampak basah dilihat dari warna pakaian yang lebih gelap dari warna asalnya. Masa bodoh! Sesulit apa pun, Louisa tetap berteguh. Membiarkan stamina direnggut begitu saja oleh cahaya-cahaya yang menjadi benang pengikat untuk Louisa pada boneka.

Selang beberapa menit ia makin mahir. Beruang kutub berpita di leher itu tengah berjalan-jalan mengitari kamar, lalu melompat indah dari kasur dengan gerakan gemulai, dan mendarat menggunakan sebelah kaki bak penari profesional. Mengangkat stoples yang sebesar dirinya ke arah Louisa. Mata dari kaca sewarna lautan itu memandang tepat ke mata Louisa yang seindah langit kala mentari tenggelam.

Tangannya yang membulat meraih sebelah lengan penuh luka bakar Louisa yang terbuka di atas lutut. Rentetan gambar-gambar masuk serentak tanpa permisi, memenuhi seisi kepala Louisa dengan ingatan-ingatan keji.

Louisa kembali ke rumah lamanya. Berdiri menggenggam sebilah pisau dapur berhadapan dengan segerombolan manusia yang tengah marah. Nyala api bergoyang-goyang, burung malam berkicau sendu, rumput-rumput landai dipijak kaki-kaki. Garpu-garpu rumput di pundak menertawakan, pedang yang identik dengan kesatria terhunus ke tanah menunduk menutup keadilan, tombak bersiap menusuk-nusuk.

Louisa berteriak! Sekeras yang ia bisa, hingga membangun mereka yang terlelap dalam bangunan tua. Cahaya kuning menerbangkan rambut, menciptakan siluet serupa benang panjang di angkasa. Suara gebrakan mengalihkan perhatian mereka dari Louisa.

Berbondong-bondong boneka tanpa wajah dari kayu melesat mengikuti gerakan. Menyasar kepala yang bisa mereka raih dengan lengan tipis nan tajam.

Tak ingin mampus begitu saja di tangan-tangan makhluk tak bernyawa. Manusia mulai memamerkan taringnya. Ras paling kuat di muka bumi mengangkat senjata, melawan bawahan seorang wanita penyihir yang meresahkan.

Denting besi yang saling beradu bagai musik orkestra mahal di telinga para makhluk malam. Menyaksikan dari balik kelambu gelap bersama para hantu dan legenda-legenda dari dunia lain. Berbekal kerikil-kerikil di tanah, mereka bertaruh siapa yang akan mengangkat bendera kemenangan.

Louisa dan penduduk kota tua yang kehilangan nama. Bermandikan darah saling mempertahankan kebenaran di masing-masing pihak. Perempuan yang bertahan demi anak-anak yatim piatu di rumah nyaris rubuh. Mempertaruh seluruh hidupnya melawan sekumpulan manusia yang ingin ia mati di tiang gantung, yang menunggu Louisa terbakar diiring musik pengusir malapetaka.

Hanya waktu yang mengetahui peristiwa mengerikan apa yang akan terjadi setelahnya dan ia berharap tidak tahu apa pun.

.
.
.

To be continued

salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
r

edaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro