Weirdo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lima puluh persen umat manusia adalah orang aneh. Seorang jenius, penemu, ilmuan, bahkan penjagal. Salah satunya mungkin ia yang duduk di samping, tengah berpikir cara menemukan planet baru atau berencana menjadikanmu manekin baru.

.
.
.

"Ini tak masuk akal!" sungut si kacamata yang memandang heran layar. "Bagaimana bisa?" Lagi-lagi ia mengangkat tangan, bertanya-tanya pada nyamuk yang hinggap di pangkal hidung, kemudian mengisap selinting tembakau kering.

Terputar sebuah video dari dalam bangunan dua lantai. Seorang anak perempuan tengah berlari berputar-putar di ruangan bersama televisi yang menampilkan tayangan aneh---gambaran seperti sosok pria juga wanita berkepala kelelawar. Tak lama, anak itu terjerembab ke tangga. Ia tak tiba-tiba terjatuh, ada sesuatu yang muncul dari lantai. Orang-orang yang tengah menyaksikan rekaman singkat, pun tak dapat menarik kesimpulan benda apa yang meraih kaki si anak sampai terguling, lantas terantuk sisi tajam tangga.

Berpindah ke rekaman selanjutnya. Anak yang berperan di sana adalah putri semata wayang dari Peter Mariozette. Louisa melangkah terburu-buru dari ujung tangga ke arah dapur. Namun, selanjutnya hanya ada rekaman hitam untuk beberapa menit.

Pria keriting yang bertugas sebagai operator komputer menggeleng singkat. Sudah menjadi pekerjaannya memastikan barang bukti dalam bentuk bukan fisik, semacam video, rekaman suara, atau yang lain sebagai bukti asli. Hanya saja, ia sedikit agak terganggu. Sudah biasa, bukan lagi hal spesial jika dirinya mesti melihat hal-hal aneh dan menjijikkan seperti penyiksaan yang tak sengaja tertangkap kamera, tetapi kali ini agak berbeda. Ia baru saja menerima reaksi bulu kuduk berdiri begitu melihat kembali Louisa yang berada di meja bersama boneka-boneka telanjang.

Bisa jadi kamera penjaga di kediaman Mariozette sudah mulai tua dan sering terganggu kinerjanya. Lagi-lagi layar menghitam dengan bunyi seperti kantong plastik digesekkan satu sama lain. Pada menit pukul dua siang, di video---seorang laki-laki berperawakan tinggi masuk lewat pintu depan.

Peter yang menonton di sebelah mengernyit. "Aku menguncinya sebelum pergi." Seraya menunjukkan wajah serius.

"Begitu," sahut Detektif yang menangani kasus menggemparkan Wytheville beberapa hari ini. Mata setajam elang itu senantiasa tak berpaling barang sedetik saja dari layar komputer enam belas inci. "Anggap saja ia seorang tukang kunci atau perampok yang pandai membuka pintu." Pria berdarah Afrika-Amerika di sana mengelus janggut hitam sepanjang leher, tangan kanannya sibuk memutar-mutar pena.

Tiga pasang mata menatap lekat pada gambar Louisa yang merapatkan diri ke dinding. Siapa pun tahu maksud dari ekspresi yang dikeluarkan si anak, begitu sesosok pria dewasa tertawa mengerikan dengan punggung menekuk ke belakang.

Diulang berapa kali pun, mereka masih sulit menerima dengan logika manusia. Butuh waktu lama untuk menerima ada seseorang yang mampu bergerak lebih cepat dari seekor citah dengan kedua kaki melayang di udara.

Peter menarik napas gusar, tersadar setelah cukup lama memikirkan rekaman kamera pengawasan di kantor polisi, kemarin malam. Mengalihkan perhatian pada sosok kecil yang tengah menjejalkan roti pemberian Mike, betul-betul berlawan dengan Louisa yang ketakutan saat berada di toko.

Bibir yang mulai merah seperti sediakala itu mengerucut seiring makanan dari tepung memenuhi rongga mulut. Senyuman samar tertarik di wajah lelah Peter, ya, ia lebih tenang sekarang---Louisa tidak mengamuk lagi dan melukai dirinya sendiri.

"Enak?" Sudah sejak lama dirinya tak melihat Louisa makan sebanyak itu. Betul-betul mirip karakter permainan Kirby merah muda dengan wajah membulat, saat roti kesekian bergantian masuk ke perut dalam balutan piama putih.

Louisa berhenti sejenak memandang sang ayah dengan wajah aneh. Lengannya yang terbungkus perban mirip pemukul drum yang sama-sama terlilit kain. "Iya," katanya pelan.

"Makan yang banyak," timpal Mike yang kesenangan hadiah yang dibawa diterima. Satu kotak roti lagi ia keluarkan dari ransel di sofa, lantas meletakkannya tepat di pangkuan Louisa.

"Boleh?"

Dua pria di sana membulatkan mata seraya memandang bergantian. Ketimbang Louisa yang biasa sangat sulit untuk mengeluarkan satu dua patah kata, kini ia lebih banyak berbicara. Sorot mata yang biasanya selalu menatap satu titik, sudah tidak ada lagi. Lebih hidup dan bersinar. Mike yang mengenal bocah itu sejak ia masih balita, berstatus bukan bagian dari keluarga Mariozette pun peka akan hal itu.

Di lain sisi Louisa pun ikut heran, kenapa orang-orang di sisi kiri dan kanan itu seolah baru mendapatkan potongan bulan. Apa ia melakukan kesalahan? Rasanya tidak. Sejak sadar kemarin Louisa berpura-pura bersikap seperti layaknya seorang anak. Lagi pula makanan yang baru pertama kali dirasakan indra perasa itu sangat enak. Lebih enak dari roti berlapis mentega yang dulu ia dapat saat bekerja pada seorang nyonya; atau mungkin ia pelit dan hanya memberi makanan sisa? Louisa harusnya tak berpikir buruk tentang orang lain. Pengecualian untuk mereka.

Mengingat kembali kejadian yang menimpa tubuh aslinya beratus-ratus tahun lalu, membuat darah naik ke puncak Himalaya. Louisa menggertakkan gigi hingga berbunyi ngilu. Namun, ia harus tetap tenang. Menarik napas panjang lalu mengembuskan perlahan, berulang-ulang sampai dirasa adrenalin yang berkumpul di nadi kembali tertidur. Rambutnya pun hampir saja melepaskan cahaya---bakal timbul masalah baru jika itu terjadi. Louisa bahkan masih memikirkan harus berkata apa, jika ayah dari anak yang tubuhnya ia tempati bertanya perihal kekacauan kemarin.

"Louisa?" Peter menyentuh singkat bagian pelipis orang yang dipanggil. "Papa ingin tanya." Tangan kirinya menekan sesuatu berbentuk kotak. Ada lampu merah kecil berkedip-kedip di sisi yang menghadap kepada Louisa.

Mike yang semula bersandar santai sambil memasangkan pita pada sebuah boneka beruang kecil, ikut memperhatikan sepasang ayah dan anak itu. Menunda pekerjaan dan mendengarkan kata-kata apa yang akan ia dengar dari si bocah di pembaringan.

"Kemarin, saat Papa tidak ada, apa ada orang yang datang?"

Tidak langsung menjawab, Louisa memilih memundurkan sedikit badan. Menimbang-nimbang baik buruk yang akan timbul jika dirinya berkata jujur, tetapi bodoh sekali kalau saja Louisa dengan ringan membeberkan bahwa ia baru saja berkelahi dengan seorang pria tua berkekuatan sihir. Terdengar lelucon ketika Louisa berkata selesai baku hantam sampai luka-luka bersama para boneka. Bisa saja lehernya malah berakhir di tiang gantung, sebab dianggap orang sebagai penganut ilmu hitam.

Apa ia tak usah beritahu? Ini menyulitkan Louisa. Tubuhnya bahkan ikut bereaksi ketika memikirkan kejadian yang berhubungan dengan Igor. Dingin menjalar dari telapak kaki menuju tengkuk, disertai bola mata yang mendadak panas dan buram.

"Tidak tahu!" Louisa memekik diikuti derai tangis. Ia sendiri kebingungan kenapa merasa sesedih itu. Perih di balik perban berdenyut-denyut seiring suara yang kian mengeras. Ini berbeda dengan dugaan. Walau yang berada di dalam adalah jiwa seorang perempuan dewasa tegar, nyatanya wadah yang ditempati adalah milik seorang anak kecil yang bisa ketakutan hanya karena mati lampu.

"Papa di sini, tidak perlu takut, Sayang." Peter sigap menarik tubuh gemetar Louisa, mendudukkannya di pangkuan. Tak lupa mengecup lembut kening yang juga terbungkus perban. Menggeleng ke arah Mike seraya menyodorkan benda yang sejak tadi berada di genggamannya.

Dalam hati Louisa berterima kasih kepada serangan tangis barusan, ia tak perlu susah payah menjelaskan kejadian tempo hari. Waktu memberinya jeda yang cukup untuk pertanyaan seperti itu lagi, dan Louisa bisa memikirkan harus menjawab apa. Walau harus dibayar perasaan tidak nyaman dan menjengkelkan seperti sekarang.

Detik berlalu menjadi menit. Louisa masih anteng memeluk leher Peter, membenamkan kepala di pundak sang ayah, menikmati hangatnya sentuhan di punggung dan belaian menenangkan di pucuk kepala. Pria itu adalah orang tua dari anak yang bernama Louisa, nama yang sama seperti dirinya. Ia baru tahu fakta tersebut setelah beberapa waktu memperhatikan tingkah laku pria berhidung mancung itu.

Perilaku memanjakan sekaligus melindungi, Louisa dapat dari sosok berbadan seharum lavender, pun aroma gurih kacang, dan bau kapas. Hatinya tersentuh, terkadang berubah menjadi iri nyaris mengutuk. Selama hidup sampai usianya tiga puluh, sekali pun ia belum dan tak pernah mendapatkan yang sekarang diperoleh secara intens selama seharian ini. Dirinya justru kehilangan memori kanak-kanak sudah sejak lama. Lupa, musnah sebagaimana setetes air jatuh di lautan.

Louisa tersentil, meringis diam-diam. Apakah berdosa bila ia mensyukuri ini?

Pintu di kanan belakang Mike terbuka, seseorang masuk seraya membawa aroma bunga begitu menyengat. Louisa terbatuk sekali, kemudian menengok ke arah sumber bau yang menggelitik hidung.

Peter pun ikut memandang ke mana arah mata Louisa. Mike yang sibuk dengan jarum dan pita, ikut melirik dan mendapati sesosok wanita berbalut rok dan atasan senada warna hijau muda. Rambut sehitam malam diikat tinggi seperti ekor kuda. Pesona wanita miliknya memancar hingga membuat pemuda yang lewat menabrak tempat sampah.

Sangat cantik. Louisa sampai tak berkedip melihat pahatan Tuhan yang begitu menawan. Di satu sisi, ia merasa bimbang. Kecantikan yang disempurnakan titik hitam di pipi, nyaris membuat dirinya tercekik ribuan tangan bersamaan dengan terhipnotis mata hitam legam si wanita.

Tiga orang dewasa dan satu bocah berjiwa tua, saling memandang. Bergeming tanpa ada yang berniat mengawali pembicaraan, di tengah-tengah kecanggungan. Mike menegakkan tubuh, alih-alih bersandar seperti halnya di rumah sendiri seperti tadi. Tampak di mata Louisa laki-laki dua puluh lima tahun itu, seperti sedang menahan sesuatu dengan salah satu kaki yang ia tempatkan di bawah ranjang rumah sakit bergerak cepat---Louisa melihatnya sekilas barusan---menahan sesuatu ... atau mungkin Mike gugup karena bertemu wanita cantik? Ia tak tahu.

"Sepertinya saya salah kamar," tutur wanita itu, tidak tahan dengan suasana. "Saya pikir ini kamar sepupu laki-laki saya, ternyata Pak Peter." Bukannya segera menyingkir, ia malah memilih posisi nyaman di sebelah Mike yang sudah tidak jelas ekspresinya seperti apa.

"Begitu." Peter membenarkan posisi duduk putrinya yang agak merosot, kaki kanan yang dipasangi infus ia letakkan di tepi kasur, dan bantal sebagai alasnya. "Oh, Mike. Ini Nona Margaret, orang yang memesan boneka hari lalu."

"Hai," sapa Margaret, ia mengulurkan tangan setelah menaruh seikat bunga matahari di meja kecil samping sofa.

"Halo." Mike betul-betul tak berdaya, gerakan tangan yang nyaris tak terbendung itu membuat Louisa ingin sekali menghantam wajah berkeringat Mike dengan roti. Gemas. Maksudnya meski ia nyaris pingsan begitu bersentuh dengan orang-orang rupawan, barang sedikit ia bisa menahan harga diri, toh, pemuda itu tidak jelek untuk ukuran manusia, tidak ada manusia yang buruk selama bertingkah macam manusia sesungguhnya. Kenapa harus merasa rendah?

"Wah, apa ia putri Anda?" Margaret seketika menampilkan wajah semangat setelah mendapat anggukkan singkat dari Peter. "Sangat manis! Saya tidak tahan jika melihat anak-anak, rasanya seperti ingin memakan mereka!"

Oke, Louisa waswas. Segera memasang tanda bendera merah bergambar tengkorak imajinasi di atas kepala Margaret.

Seorang diri, wanita itu tertawa gembira hingga meneteskan air mata. Ia melambai-lambai tangan sembari berkata ucapannya barusan hanyalah bercanda. Tidak mungkin Margaret tega menelan buntalan daging nan lucu itu. Perempuan yang asik memilih setangkai buka dari buket, malahan ingin punya anak lima puluh. Saking menyukai para manusia pendek yang belum ternodai dunia.

"Siapa namamu, Nak?" Wanita itu memandang dengan pupil membesar bak seekor kucing yang sedang berburu.

"Louisa, namanya." Peter menggantikan menjawab.

"Untukmu!" Margaret antusias menyodorkan setangkai bunga matahari, lengkap dengan hiasan kupu-kupu yang dijadikan ikatan. Berdiri agak membungkuk lantaran ranjang berada di antara Louisa dan dirinya.

Bunga masih jauh, tetapi Louisa sudah berhasil menghirup serbuk sari. Hidungnya mulai memerah disertai bersin kuat, debu-debu bunga menggelitik pernapasan, sampai salah satu lubang hidung gadis berlengan perban itu mengeluarkan ingus kekuningan.

"Sepertinya Louisa punya alergi." Peter mengambil alih kendali sebelum salah satu pihak salah paham. Tak lupa meraih kotak tisu, kemudian membersihkan liquid kental yang terus-menerus mengalir bak pipa air.

"Sayang sekali ... saya agak sedih, tapi tidak apa-apa." Perkataan yang sarat akan menenangkan diri sendiri terlontar dari Margaret, ia menarik kembali bunga kuning itu dan menyimpannya dalam buket. "Lain kali, akan saya bawakan yang tidak berbahaya!" Tekadnya belum pudar ternyata. Masih menggebu-gebu jika berurusan dengan anak-anak.

"Tidak perlu, Nona." Peter tersenyum kikuk. Tidak masalah kalau Margaret ingin dekat dengan Louisa, tetapi melihat ada orang yang baru dikenal berusaha sedemikian rupa, sedikit membuat pria itu kurang nyaman. Terlebih kejadian yang menimpa Louisa juga berasal dari orang asing yang mencoba mendekati mereka.

"Saya berjanji membawakan satu kotak cokelat untukmu, Louisa."

Margaret terkejut sampai dagunya nyaris jatuh; Peter secepat kilat meraih tangan Louisa yang terangkat dengan bisikan tidak percaya; sementara Mike sudah kering kerontang macam gingseng yang dijemur di bawah terik matahari.

Tak ada satu pun yang menduga Louisa akan menepis tangan yang hendak menyentuhnya, sekeras mungkin dengan lengan yang luka. Raut muka gadis kecil itu berubah, surai-surainya mulai memercikan cahaya di ujung.

Seseorang yang berdiri dengan segala macam pikiran di benaknya memiliki hal tak terjelaskan. Louisa---menggunakan bola matanya sendiri melihat ribuan tengkorak bergelayutan di tubuh Margaret. Diikuti suara tidak teridentifikasi apakah itu perempuan atau laki-laki yang berteriak-teriak minta pertolongan.

.
.
.

To be continue

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
redaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro