Lullaby

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kupu-kupu mengepak sayap melewati kelambu berbintik terang. Diam-diam masuk ke dalam telinga manusia. Mengeluarkan biola. Memainkan sebuah lagu pengantar menuju alam mimpi. Tak peduli apakah itu lagu indah pembawa sukacita atau lagu kematian pembawa duka.
- Louisa

.
.
.

Telat sedikit saja membanting setir ke kiri, Peter mungkin berakhir di kantor polisi lantaran tak sengaja menyundul seorang badut yang membawa balon, ketika menyeberang jalan. Panik mengambil alih seluruh tubuh, pria itu buru-buru memarkirkan mobil di pinggir jalan depan toko, lantas bergegas merogoh saku yang mendadak dalam untuk mencari kunci.

"Pak." Seseorang muncul di samping, pemuda itu menenteng kantong plastik berukuran sedang. "Kenapa tak angkat teleponku?" tanyanya.

Peter terlalu sibuk dengan kunci selicin belut. Butuh perjuangan ekstrak untuk sekadar memasukkan benda sebesar kelingking itu ke lubang. Orang di sebelah mengangkat sebelah alis penuh tanya, ia ikut memperhatikan atasannya yang biasa setenang air dalam berperilaku, sekarang macam ikan dibawa ke darat.

Kepanikan menjelma menjadi ketakutan. Toko yang ditinggalkan Peter semula baik-baik, begitu ia membuka pintu, kayu-kayu patah serta serpihan kaca berserakan di segala penjuru, tirai penutup jendela---ia sangat ingat tak menurunnya saat pergi. Noda-noda merah di sudut dan dinding menambah kengerian yang menjalar di rongga dada. Ayah satu anak itu mencengkeram kepala tidak mengerti, hilang akal atas apa yang baru saja dilihatnya.

"Telepon polisi, Mike!" teriak Peter.

"Ba-ik!"

"Louisa .... Louisa!" Peter melesat ke lantai dua, menengok ke sofa kosong depan televisi dengan layar warna-warna statis. Tak ada gadis kecil yang ia cari.

Keadaan lantai dua baik-baik saja, tidak ada sesuatu yang aneh atau berbeda. Setiap barang tersimpan pada tempat yang sama. Tergesa-gesa nyaris memecahkan lampu duduk, Peter mendobrak pintu kamar tidur bernuansa merah muda dan putih. Masih nihil, sosok kecil itu tak tampak di dalam sana. Peter berkaca-kaca ketika tubuh bercucuran keringat dingin itu, merangsek ke kamar tidur pribadinya. Berharap Louisa ada di sana, tengah berbaring atau asik mengacak-acak lemari pakaian. Kenyataan tidak sebaik itu.

Peter turun kembali, sedikit tersandung pijakan tangga. Ia bersumpah akan membongkarnya setelah ini. Bayangan-bayangan menyebalkan tanpa permisi mengambil alih fokus pria setengah beruban itu. Kalimat-kalimat yang berbunyi  bahwa Louisa diculik seseorang atau sekelompok manusia jahat, organisasi yang menjadi anak-anak sebagai barang dagangan. Pikirannya sempat tertuju kepada pelanggan yang bertingkah aneh semenjak bertatap muka dengan sang putri . Peter tak bisa berpikir jernih sekarang. Hatinya dipenuhi desiran-desiran tak nyaman sekaligus mengganggu.

Mike di bawah hanya termangu, menatap potongan-potongan dari boneka yang ia buat bersama sang atasan. Kepala beruang tersangkut di kaca lemari yang tinggal sebelah, ekor kucing bak daun di musim gugur memenuhi jalan, dan yang paling---siapa pun yang melihat itu akan jatuh pada trauma berkepanjangan. Untuk pertama kali selama hidup di dunia, Mike menemukan setumpuk boneka rusak saling memeluk membentuk gunung kecil. Sekilas terasa tekanan yang memaksa kedua lututnya bersujud di lantai.

"Hei! Louisa tak ada di atas, bantu aku mencari di dapur!" Peter berlari ke ruangan kerja.

"Baik," balas Mike. Hanya sepatah kata itu saja yang bisa ia keluarkan. Meski ia sangat penasaran kenapa toko tempatnya bekerja bisa berubah seperti rumah jagal boneka. Nyatanya ia tak tega menanyakan itu kepada seorang ayah yang tengah berada pada ketakutan terbesarnya. Meringis sejenak melihat percikan merah di meja, pada tumpukan barang rusak, dan barang-barang lain yang tersapu mata biru Mike.

Dadanya mencelos ketika sudah mencapai pintu dapur yang tampak diterobos seekor badak bercula besi. Kepalanya bergerak sendiri melihat ke arah boneka-boneka itu. Merasakan aura tak terjelaskan yang mengelus-elus lengan untuk mendekat.

Mengikuti kata-kata yang terngiang-ngiang di telinga, Mike menyingkir satu per satu boneka-boneka kotor oleh sesuatu yang hitam. Menyadari bahwa ada yang benda-benda itu lindungi di bagian paling bawah. Mike mempercepat gerakan, melempar sembarang sambil mengerahkan seluruh stamina dan kekuatan yang terpupuk di tempat ia berolah raga. Agak sulit. Entah kenapa, badan-badan boneka itu melekat begitu kuat satu sama lain bahkan lebih berat dari besi yang sering ia angkat.

Sehelai rambut cokelat terang tertangkap mata, Mike makin mirip anjing yang menggali tulang. Matanya membulat sempurna, getaran kengerian mengalir pada peredaran darah menuju ubun-ubun. Meledakkan sesuatu dalam tubuh berkulit kuning kecokelatan Mike. Melepaskan rasa dingin membeku ke sekujur tubuh.

"Pak Peter! Louisa!" pekik Mike. Sekuat tenaga menarik tubuh lemas Louisa dari tumpukan boneka. "Ya Tuhan!" Betul-betul terkejut setengah mati mendapati menampakkan yang sangat jarang terjadi.

Orang yang dipanggil sigap mendekat secepat kilat. Melihat apa yang ditemukan Mike, jantung Peter tercubit. Air matanya tak terbendung lagi, menciptakan anak sungai deras. Mengucapkan kalimat-kalimat penenang untuk dirinya sendiri, menjaga agar jiwa dan raga Peter tetap terjaga saat menatap tubuh penuh luka Louisa.

Kelopak mata yang sedikit biru---barangkali terantuk sesuatu---terbuka, sembab serta memerah. Louisa memandang lekat setiap lekuk wajah Peter dalam diam, disusul jeritan begitu raganya sudah berada di antara lengan besar sang ayah.

"Papa di sini, Sayang, Papa sudah pulang ...," kata Peter lembut mengelus bagian belakang kepala Louisa. Memang yang terluka bukan dirinya, tetapi bagi orang tua rasa sakit seorang anak sama saja seperti menerimanya secara langsung.

Bagaimana tidak. Louisa berteriak sejadi-jadinya oleh rasa sakit dari dalam dan luar tubuh. Refleks menarik kemeja Peter sekuat tenaga, ia mengeluarkan suara serak putus asa, kedua kaki menegang sekaligus membenamkan seluruh wajahnya pada dada hangat Peter. Louisa tak lagi mempedulikan lengan yang nyaris sebagian kehilangan kulit, makin lecet tergesek kain. Ia tak lagi mau memikirkan pasal perih-perih yang tak seberapa itu. Ada hal yang lebih dari seluruh luka paling menyakitkan di dunia.

Para tetangga yang tak sengaja lewat berkumpul depan kediaman Mariozette, beriringan dengan mobil berlampu dan bersuara nyaring, pun mobil putih yang membawa para tenaga medis menuju tempat tujuan.

Bisik-bisik tersebar, lebih cepat dari burung pembawa surat saat perang. Cerita-cerita yang belum tentu sebenarnya, sudah terbumbui lewat kisah yang dibuat oleh mulut-mulut kurang kerjaan. Tentang perampokan sadis yang menimpa lelaki beranak satu penjual boneka, atau kisah organisasi hitam yang kerap menghancurkan anggota pembangkang. Dari cerita-cerita itu, tak ada satu pun yang dapat dipercaya, tetapi digemari para manusia yang menyukai drama kehidupan tanpa peduli itu benar atau tidak.

Berjam-jam yang lalu adalah pengalaman tersulit bagi sebagian orang. Louisa terus menempel kepada Peter di tengah-tengah para perawat yang membersihkan lukanya. Jeritan kerap kali terdengar tatkala luka-luka menganga dan memerah tersentuh tangan bersarung lateks.

Mike yang ikut menaiki ambulans dibuat mati kutu oleh bocah sepuluh tahun berkekuatan gorila. Pasalnya Louisa sempat menendang selangkangan perawat laki-laki hingga membuatnya meringkuk, kalah telak tanpa perlawanan seraya meracau masa depannya hancur. Dua tangan yang terluka pun masih sanggup merobek busana sang ayah, saking ia yang tidak mau lepas dan berbaring di brankar.

Terpaksa memberinya obat penenang untuk meringankan gejala yang diduga PTSD. Barulah Louisa mau bekerja sama meski dalam pengaruh bahan kimia.

Kini ia terbaring tenang di ranjang dengan kedua tangan macam mumi dari Mesir. Terbungkus perban sampai sikut, tak terkecuali robekan di kening, juga sayatan-sayatan karena pecahan kaca di masing-masing kaki. Cairan infus menetes   setiap detik, mengalirkan mineral dan zat-zat yang dibutuhkan untuk mencegah dehidrasi, lewat jarum yang dipasangkan di kaki kanan Louisa. Memasangkan itu di tangan, terdengar menyakitkan lantaran kondisinya jauh lebih parah dari bagian lain. Para medis bahkan menggeleng kepala, menerka-nerka apa yang terjadi pada gadis semanis apel di musim gugur.

Dua orang dewasa di sisi kiri dan kanan larut menatap damai wajah pulas Louisa. Betul-betul berbeda dengan ekspresi penuh kengerian sebelumnya. Peter mengusap pipi bulat yang memucat kehilangan darah, bulu mata lentik si gadis tampak bergerak begitu si pemilik menggerakkan bola mata di pertengahan mimpi.

Dalam dunia yang membuatnya makan hati. Louisa berdiri depan ranjang reyot tanpa kasur, pada wujud perempuan cantik dan kusam dalam artian sebenar-benarnya. Lentera pada meja kecil di bagian kepala ranjang berkedip tertiup angin. Iris ungu itu menerawang lewat jendela rusak. Kepalan tangan mengeras di sisi tubuh selagi ia bergegas menuju ruang tengah.

Anak-anak yang harusnya masih berselimut imajinasi dari para peri tidur, saling memeluk di bawah meja makan. Menatap ngeri ke arah pintu.

"Bibi." Yang paling besar, sekitar dua belas tahun memanggil dibarengi getaran lewat suara yang dapat dengan mudah diartikan. Anak lelaki itu menggendong bocah perempuan kecil, dengan tangan dan kaki pendek yang memeluk erat leher si anak.

"Tidak apa-apa." Louisa ikut berjongkok di sana, menggunakan kedua lengan panjangnya ia berusaha merengkuh ke lima anak yang bernaung bersama.

Teriakan-teriakan dari balik tembok papan kayu, perlahan menggedor dinding-dinding rumah tua, peninggalan seorang nenek yang meninggal dalam kesendirian. Cahaya merah begitu mempermainkan detak jantung yang makin berkejaran dengan paru-paru. Suara besi beradu pun tak mau kalah menyombongkan sisi tajamnya, kepada mereka yang meringis dalam tangis.

Panas tiba-tiba memenuhi udara, membakar oksigen menjadi biang keladi leher tercekik, api yang semula berada di luar melahap dengan cepat bagian-bagian rumah. Louisa menjerit seraya berusaha menarik anak-anak yang ditarik lengan merah menyala.

Mereka terbakar tepat di depan mata Louisa. Berpelukan erat dengan wajah sedih penuh amarah. Aroma daging bakar memenuhi angkasa. Wanita dalam balutan pakaian api bernyanyi keras disertai air mata yang jatuh lantas menguap. Louisa tersandung kakinya yang putus, hancur dimakan serangga-serangga yang muncul dari balik api. Tawa-tawa menggema begitu pertunjukan sudah mencapai tahap yang paling dinanti-nanti.

Louisa memaksa tenggorokannya bekerja hingga tak ada suara yang dapat terdengar. Rapuh, meleleh sembari merangkak menuju tumpukan tubuh-tubuh kecil tak berdosa. Ia terhempas ke belakang saat satu sentimeter lagi menyentuh kaki gosong bersepatu. Louisa memeluk lantai sepanas bara api, ia tersungkur dengan darah mendidih.

Mati. Tanpa bisa menyelamatkan salah satu dari malaikat-malaikat kecilnya.

Gadis di pembaringan terlonjak. Louisa memukul-mukulkan lengannya ke tepi ranjang. Berusaha membebaskan diri dari penjara mimpi yang membunuh. Peter yang terbangun dari istirahat singkat, segera meraih Louisa sebelum kedua tangan yang sudah sakit itu, patah gara-gara amukan sang anak yang tiba-tiba muncul.

Mendekap erat Louisa. Mendekatkan kepala bersurai acak-acakan ke dada hingga detak jantung penuh kekhawatiran itu, terdengar oleh sel-sel darah yang berlomba dengan adrenalin. Menenangkan gejolak pada ulu hati yang membuat Louisa mengucurkan kesedihan lewat bola matanya.

Menyenandungkan irama asal-asalan, menidurkannya dalam pelukan aman seorang ayah. Peter tak tahu, ia tak pernah tahu apa saja yang sudah terjadi di dalam benak putrinya. Namun, apa pun itu, semata-mata bukan hal baik dengan makhluk-makhluk lucu di padang bunga, melainkan gambaran tempat penuh pohon-pohon mati di mana ketakutan yang menjadi rajanya.

Siapa pun orang kejam yang berbuat hal seperti itu kepada Louisa, bukanlah seorang manusia. Peter yakin, tak ada manusia waras yang mengubur seorang anak sekarat di bawah boneka yang banyak dan berat. Jika ada, beri kesempatan pria itu menghancurkan rahang manusia gila yang berani melakukannya. Hanya orang berkelainan mental dan pengecut yang berani melukai seorang bocah.

.
.
.

To be continued

Note:
PTSD atau singkatan dari Post Traumatic Stress Disorder yang merupakan gangguan stress atau serangan panik pasca trauma, umumnya akibat dari kecelakaan, perang, luka hebat, atau peristiwa-peristiwa yang mengancam nyawa. Menempatkan penderita pada ketakutan berkepanjangan akan terjadinya kembali trauma. Penderita yang tidak mendapatkan penanganan dapat mengalami gangguan mental lebih jauh.

Jadi bagi teman-teman atau orang terdekat yang mengalaminya, segera berkonsultasi dengan dokter agar dapat segera terlepas dari PTSD.

Sehat selalu! ^^

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
redaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro