Danse

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hidup itu seperti menari. Setiap langkahnya memiliki irama tersendiri. Perhatikan dengan baik agar tak berakhir di tepi jurang.
- Louisa

.
.
.

Tinggal membubuhkan tanda tangan dan semua selesai. Begitu ucapan hati Peter dua puluh menit lalu. Nyatanya ia duduk berdiskusi dengan salah seorang pelanggan yang cukup merepotkan. Tak akan menyalahkan siapa pun, memang membeli sesuatu dalam jumlah banyak bukanlah perkara sepele. Wanita anggun di hadapan penuh perhitungan dalam mengambil langkah.

Jemari lentik bercat merah muda pastel menyentuh bibir cangkir kopi yang mulai mendingin. Bukannya segera menandatangani surat kontrak pemesanan, wanita muda yang kira-kira usianya dua puluhan malah kembali mengajukan persyaratan. Dirasa makin jauh dari pembahasan. Disebut sebagai teliti, ia lebih terkesan membuang-buang waktu Peter yang berharga.

"Jika Nona keberatan, sebaiknya kita tidak perlu melanjutkan ini," tutur Peter. Kesabarannya hampir habis. Pikiran orang tua tunggal itu terbagi-bagi antara pekerjaan dan Louisa. Apa putrinya baik-baik saja? Ia khawatir begitu pulang mendapatkan kejutan tubuh kaku di kamar mandi. Kenapa pula Peter tidak terpikirkan meminta seorang karyawan toko untuk menemani Louisa, setidaknya ada orang dewasa di sana.

"Tidak, bukan begitu." Lengannya yang terbungkus pakaian biru langit, menahan agar Peter tak benar-benar pergi. "Saya pernah tertipu sekali. Bapak tahu sendiri bukan orang-orang zaman sekarang. Saya hanya berusaha agar boneka dan mainan yang dipesan untuk anak-anak, tidak lagi berakhir kesedihan," jelasnya seraya menarik kedua tangan ke samping tubuh. Ia melirik bunga mawar palsu, hiasan tanaman yang berada di setiap meja kafe.

"Nona betul, tapi kalau terus seperti ini tidak akan ada akhirnya. Waktu yang bisa digunakan untuk memproduksi malah habis untuk syarat-syarat yang bahkan tidak ada hubungannya." Peter menegaskan.

"Baiklah, saya percaya." Ia tertawa kecil sejenak, kemudian menggoreskan pena pada kertas. "Silakan," ujarnya.

Persyaratan dari kedua belah pihak sudah sah dan didukung materai. Jika ada salah satu dari pemesan dan penjual yang melakukan kecurangan, entah itu barang rusak atau terlambat; telat melakukan pembayaran atau mangkir tanpa persetujuan; maka keduanya bisa ditarik ke meja hijau.

"Omong-omong, Bapak sangat gelisah sejak sampai tadi. Tidak bermaksud mencampuri, tapi saya bisa membantu jika Bapak mau." Menyesap kopinya yang tak lagi nikmat. Menelisik penasaran pada raut wajah pria yang umurnya jauh di atas.

"Ah, bukan apa-apa. Saya hanya harus segera pulang. Nona Margaret pun harus melanjutkan kembali pekerjaan, bukan?" Peter menunduk membereskan kertas-kertas di meja.

"Hmm, begitu." Terdengar ada kekecewaan di sana. "Senang berbisnis dengan Anda, Pak. Setengah pembayaran akan saya transfer hari ini." Margaret menyodorkan tangan seraya berdiri. Saling bersalaman sebagai tanda akhir dari diskusi alot yang telah dilalui keduanya.

Peter mengangguk. "Terima kasih." Ia mengundurkan diri, meninggalkan perempuan yang sepertinya masih ingin berlama-lama di sofa empuk. Belum cukup jauh, langkah pria itu terhenti mendengar pernyataan Margaret yang mengejutkan. Ia memandang si perempuan dalam diam.

"Kau pasti ayah yang baik, Pak. Aku penasaran seperti apa rupa menawan anak perempuan atau laki-laki yang bermata sepertimu." Senyuman memesona itu melemahkan kaum lelaki di sekitar. Lesung pipi serta mata hitam misterius menambah kesan bahwa Margaret adalah wanita kalangan atas. Ia menumpu dagu menggunakan kepalan tangan, sementara yang satunya lagi menyentuh garpu kecil dan memotong kue merah berlapis dengan sejuta luapan di hati.

Tanpa menengok dua kali, Peter melesat ke parkiran. Menginjak pedal gas sedalam yang ia bisa. Alarm sebagai seorang ayah berbunyi nyaring, kekhawatiran itu makin bertumbuh lebih tinggi dari pohon kacang ajaib milik Jack. Ia melupakan hal penting sebelum pergi menemui klien. Harusnya Peter membawa Louisa pergi bersama, alih-alih meninggalkan anak yang sedang sakit sendirian. Juga, hal yang membuat jiwa Peter meronta-ronta adalah sosok yang kerap berkunjung ke toko, setiap hari. Meski penampilan orang itu selayak orang terpelajar, berkecupan, dan baik. Peter melihat sesuatu yang mengerikan ketika orang itu berpapasan dengan putri cantiknya. Ia tak ingin melempar tuduhan tak masuk akal. Hanya saja, sesuatu tentang sosok yang dimaksud, tercium seperti predator anak-anak.

Langit pelan-pelan menyingkirkan kelabunya ke utara, membuka tabir mempersilakan matahari bersinar meski tak secerah pagi hari. Trotoar digenangi air, aroma rumput basah dan tanah membelai indra penciuman setiap penyuka suasana selepas hujan. Toko berpapan nama 'Mariozette' tampak sepi, jendelanya terhalang tirai-tirai. Pengunjung sempat berhenti satu dua menit berharap pintu kaca tertempel tulisan tutup itu terbuka sebentar, memohon agar si penjaga bermurah hati menjual dagangannya saat libur, untuk mereka yang memburu hadiah bagi sang buah hati.

Cicak-cicak di dinding berkata lain. Menonton sembunyi-sembunyi pertempuran gratis pengendali boneka melawan ahli sihir hitam. Semut di bawah tanah berdoa supaya pijakan yang berada di atas kepala mereka tak runtuh.

Dua beruang jadi-jadian dari kubu Louisa, tak dapat lagi menahan tekanan dari kuasa yang dilontarkan ke arahnya. Ia ikut terpelanting membentur dinding yang berubah menjadi benda lentur dan tahan banting. Nyaris tertimpa rak kayu besar, ia berguling menghindar sambil menggerakkan telunjuk, salah satu dari boneka berbentuk manusia yang tersisa berlari mengincar lengan milik sosok pria muda tadi yang sepenuh menjadi orang tua.

Taktik sederhana tersebut dapat dengan mudah dihindari. Sosok itu menjentikkan jari kanan, kata-kata tak jelas kembali terdengar dari mulutnya. Menghancurkan benda menyebalkan yang muncul tiba-tiba di belakang.

"Seperti dulu. Kita menari menari bersama-sama, hanya kali ini tak ada api bergejolak," ucapnya, mengarahkan masing-masing lengan ke atas dengan jari-jari menegang. "Mari kembali ke masa itu! Jatuh!" Selepas mengatakan kata terakhir dengan nada yang lebih keras. Jari yang semula mengacung ke plafon, kini beralih kepada Louisa.

Anak perempuan malang itu meringis, disusul punggungnya yang dipeluk satu-satunya beruang menghantam pintu dapur kuat-kuat. Engselnya bahkan terpental lima meter jauhnya. Louisa mendarat dengan musik dari patahan kayu yang terdengar menyakitkan, tak lupa menghancurkan meja makan.

"Rasanya betul-betul gila!" Sosok itu mendekat tanpa berpijak, menghempas boneka-boneka yang dikendalikan Louisa ke pinggir dan menahannya pada dinding. "Kupikir kau hanya anak kecil biasa, putri seorang pengrajin barang-barang tidak berguna. Ternyata, bau legit yang membuatku tak tahan dan candu berasal dari seseorang yang pernah melewati kerongkonganku. Pantas saja."

"Kau bahkan tak menyesal!" Louisa menekan aura yang dikeluarkan manusia berkulit abu-abu kebiruan. Darah segar mengalir sederas air mancur taman kota, dari lubang hidungnya yang mengembang dan mengempis seiring napas memburu. Meski harus dibayar rasa sakit di tengah kening, Louisa tetap mengerahkan kemampuan lamanya lewat tubuh lemah seorang anak.

Tak sia-sia, pria tua itu mengeluarkan mimik kesal mendapati senjata milik Louisa yang ditahan, mulai terlepas. Salah satu boneka anak laki-laki berambut pirang memutar kepala plastiknya hingga bagian mulut di atas, salah satu mata yang terisi bola kaca tertembak langsung. Mengincar bagian tubuh musuhnya yang menurunkan penjagaan.

Jari tengah terlepas dramatis dari lengan. Cairan hitam dengan hewan-hewan menggeliat sebesar lidi di lantai. Pria itu mundur, tekanan di atmosfer sedikit mengendur.

"Sial! Sial!" Teriakannya mampu memecah kaca, gelas, dan piring yang berhasil bertahan dari gelombang sebelumnya. Ia mundur seraya menggenggam telapak tangan kiri, mengumpat kepada Louisa yang telah bergabung kembali bersama boneka-bonekanya.

Luka yang ditorehkan Louisa tak seberapa. Terdapat batasan kemampuan yang bisa ia keluarkan pada tubuh kecil nan lemah ini. Andaikata dirinya masih pada tubuh asli, walaupun sama-sama lemah dan tak berguna, setidaknya daya tahan perempuan dewasa dibanding bocah sepuluh tahun lebih tinggi. Memaksakan tubuh yang sudah penuh sayatan dan memar, malah akan menghancurkannya dari dalam.

Melirik lewat ekor mata, benda berkilau di bawah wastafel yang setengah hancur itu sedikit mengganggu Louisa. Mungkinkah seperti yang ada dipikirannya. Pandangan yang mampu menjangkau jarak dari penglihatan normal, menyapu seisi lantai satu---bukan berarti Louisa melihat menembus tembok. Hanya saja sebagian dinding telah hancur.

Potongan-potongan boneka yang tersisa dari bentuk utuhnya tergelatak bagai sampah, bergerak seperti ulat menuju titik yang sama, yaitu di tengah-tengah ruangan tepat di depan meja dengan mesin aneh di atasnya. Saling bertumpuk, mengikat, dan merekat satu sama lain membentuk wujud setinggi satu setengah meter.

Kawan lama menggeram, menghantarkan getaran setara gempa bumi. Memaksa bulu-bulu di tubuh meremang bahkan untuk Louisa sendiri. Memang makhluk itu tak tinggi, tetapi tubuhnya padat dan berat. Tangan-tangan kecil bergerak-gerak di permukaan, bertugas menarik objek dekat dan meremasnya hingga berkeping-keping. Kepala monster bermata banyak itu membulat dengan kuping kucing yang bergerak-gerak lincah.

Satu hentakan dan ia melesat. Memanfaatkan bobot yang luar biasa, ia menghimpit pria yang baru sadar dari acaranya yang berlebihan untuk satu jari. Louisa nyaris menjadi salah satunya jika saja ia malah terhipnotis dan tetap bergeming. Kaki telanjangnya yang terluka berkat serpihan kaca, mulai menghambat pergerakan, menambah kesulitan untuk Louisa berpindah.

"Kumohon ...," bisiknya selagi menyingkirkan sisa-sisa benda rusak yang menghalangi di atas wastafel. Di sana, sekotak benda putih tercecer dalam berbagai bentuk. Saat menyentuh salah satunya, rasa panas membakar telapak tangan Louisa hingga melepuh kemerahan. Senyuman penuh harap terkembang di wajahnya, seperti dugaan. Ada sedikit titik terang untuk gadis itu.

Gebrakan dari belakang menyadarkannya, boneka raksasa dan sosok tua bersurai jarang-jarang itu tengah sibuk saling melempar serangan. Si boneka dengan tinju dan teknik gulat ala beruang, dan si penyihir dengan rapalan sihir mengerikan yang sulit diterjemahkan ke dalam kata-kata.

Sesuatu yang besar tak menjamin akan bertahan selamanya. Boneka Louisa menggeram untuk terakhir kali sebelum habis dimakan si merah panas.

Sosok bungkuk berjalan membelah api yang membakar santapannya. Sebagian tubuh milik pria itu mulai mengerut dan terkelupas dari tulang. Mempertontonkan bagian dalam tubuh seorang pendosa penuh serangga menjijikkan. "Hanya ini! Lebih baik kau menyerah dan segera berbaring di piring! Louisa!"

Fokus tertuju hanya untuk Louisa, ini sebuah kesempatan sekaligus jalan bunuh diri. Menggunakan tubuhnya sendiri, ia mengumpulkan seluruh kekuatan pada tungkai berdenyut-denyut perih, berlari lurus ke arah sosok di depan. Perhatian untuk boneka-boneka yang masih terjebak pada dinding sudah tak lagi sekuat tadi, secara bersamaan tiga boneka yang tersisa bergerak berlawanan ke arah benda-benda putih di bawah wastafel.

Sebelum tangan penyihir itu berhasil melubangi kepala Louisa, salah satu boneka menarik spontan tubuh yang penuh darah dan menggantinya dengan boneka lain, yang bersiap menghunuskan garpu dan sendok perak. Boneka ketiga mengambil tempat persis di belakang sosok yang tengah terkejut, lengkap dengan peralatan makan terbuat dari logam perak.

Serangan depan berhasil ditepis, meninggalkan luka gores kecil yang menimbulkan efek meleleh pada kulit si pria tua. Serangan belakang berhasil menghujam punggung bungkuk, memancing erangan kesakitan luar biasa.

"Kurang ajar!" Masih bertahan meski sebagian tubuh mulai hancur. Ia merapalkan mantra terakhir sekaligus penutup. "Jika aku tak bisa memakanmu lagi, bagaimana kalau kita mati bersama?"

Gumpalan kehitaman muncul di setiap penjuru, mengembuskan hawa panas dan aroma busuk mayat. Cacing-cacing sebesar jempol kaki berjatuhan dari asap-asap itu.

Louisa tak peduli. Menjadikan boneka yang menariknya sebagai tumpuan, tubuh itu melayang di udara. Kedua tangan terbakar yang meneteskan cairan amis, terangkat tinggi. Musuh di depan mengendurkan penjagaan saat mengucap magi berskala besar.

Dua pasang mata berbeda itu terkunci pada satu garis, memandang satu sama lain. Iris keunguan yang penuh amarah berkilat di udara, netra gelap di bawah membelalak di tengah ketakutan yang singgah meski sebentar. Boneka-boneka pun tak membiarkan sang pengendali bertarung sendirian, ketiganya menancapkan garpu-garpu yang serupa besi panas untuk makhluk seperti pria itu.

Dari kepala tersembur darah hitam, membasahi wajah Louisa dan segala hal yang berada di sekelilingnya. Retakan demi retakan tercipta di sekujur tubuh pria yang tidak lagi dapat berteriak, saat keningnya tertancap pisau makan milik Louisa.

Retakan itu dilanjutkan dengan daging-daging yang meletup-letup seperti sup dalam kuali panas. Tulang-tulang melembek menjadi bubur, kemudian makin meleleh menjadi cairan hitam menggenang di bawah kaki Louisa.

"Kau terlalu tamak, Igor," desis Louisa, "bayaran untuk semua kelakuan tak cukup hanya dengan kau mati seperti ini." Ia memandang wajah-wajah tanpa ekspresi dari boneka yang membantu Louisa.

Sesuatu mulai mendesak dalam sanubari Louisa, saraf-saraf menerjemahkannya sebagai getaran di kedua tangan yang kehilangan separuh kulit, menyisakan daging merah terbakar. Tak hanya itu, perasaan pedih berurutan menghampiri setiap anggota badan Louisa dan berakhir menjadi derai air mata. Melemahkan lutut, membuat dirinya jatuh terduduk di atas cairan kental hitam dengan campuran mayat-mayat serangga.

Sambil menatap kedua tangan gemetar, Louisa mengingat satu per satu serigala yang memburu para kelinci. Dalam pelukan erat ketiga boneka, kegetiran itu lepas menjadi tangisan menyayat, bersautan dengan teriakan yang membawa rasa sakit ratusan tahun lalu. Membuat kepala kecil Louisa terasa dibentur dengan palu, begitu memori pembantaian melesak memenuhi seisi benak.

Ketika para manusia keji menari-nari di atas mayat mereka yang paling Louisa kasihi.

.
.
.

To be continue


#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
redaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro