Wake Up

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidur adalah cara terbaik melepaskan lelah, tetapi apa yang terjadi jika tidurmu saat itu membangunkan seseorang di tempat lain?
- Louisa

.
.
.

Pemuda basah kuyup di sana masih mengusap kedua mata yang mendadak gelap. Peliharaan bergigi tajam di sebelah pun tak ketinggalan menggerakkan kepala ke kiri dan kanan, sampai tubuh hewan berkaki empat itu mundur beberapa langkah. Keduanya saling pandang, si majikan menggaruk pipi kebingungan, si anjing pun ikut menggaruk telinga dengan kaki belakang. Heran, kenapa mereka masih berdiri depan sebuah toko di tengah hujan, bukannya buru-buru pulang sebelum gagang sapu tercinta sang ibu mengelus kedua kaki.

Louisa terbaring sendirian pada meja kayu besar bersama sekumpulan boneka yang sudah selesai maupun setengah jadi. Boneka hewan melingkari meja dalam barisan unik, di mana yang paling depan berbentuk seekor kucing dan paling belakang adalah beruang seukuran satu meter. Rambut cokelatnya masih mengeluarkan sinar kuning remang-remang, setiap helaian sebesar jari kelingking digenggam oleh para boneka berpostur perempuan dan laki-laki berwajah bulat, sebesar anak empat tahun. Pada bagian kosong yang harusnya terisi mata palsu, mengalir cairan bening yang bekerlip begitu jatuh menghantam wajah Louisa.

Satu tarikan kuat mengangkat tubuh anak sepuluh tahun itu lima sentimeter ke udara, membuka kedua iris yang tersembunyi di balik kelopak mata. Tubuhnya jatuh dengan bunyi gedebuk lumayan keras---bagian belakang kepala lebih dulu mendarat. Louisa bangun dari posisi berbaring dan duduk berselonjor kaki bersama pikiran-pikiran yang belum terurus, masih di meja. Boneka-boneka yang berada dalam posisi tegak berdiri, terkulai bersamaan, kehilangan kekuatan---tergeletak dengan setiap siku-siku menekuk ngilu---tak berdaya di lantai parket hitam. Kembali pada hakikat sebuah benda mati.

"Aw!" pekik Louisa saat tak sengaja menyentuh kening. Lewat indra peraba, ia merasakan ada garis melintang dari tengah kening menuju alis sebelah kanan, berikut air merah kental yang terkadang menetes melewati sudut mata. Bilur biru yang tercetak di beberapa bagian tubuh ikut memainkan alat musiknya, menambah perih dan panas, menyakiti sensor saraf yang kembali berfungsi.

Perhatiannya teralih dari rasa nyeri pada sekeliling. Ia betul-betul tak mengenali benda-benda atau apa pun yang ada di ruangan dengan cahaya hanya dari lampu gantung yang mulai redup. Sama sekali tidak ada sumber penerangan lain, ruangan tertutup dari segala arah, satu-satunya jalan hanyalah pintu yang terbuka lebar di depan.

Boneka-boneka yang berserakan menyulitkan dirinya melangkah, alih-alih menginjak benda khas anak-anak itu, Louisa memilih menyusahkan diri dengan memilih perlahan pijakan walau rasa pening di kepala mulai kehilangan mati rasanya.

Ia betul-betul tak punya ide kenapa bisa sampai terbangun dalam kondisi seperti sehabis bergulat. Ingatan terakhir Louisa tidak begitu jelas, ia yakin tempat yang ia datangi sebelum kemari ialah di luar. Langitnya abu-abu, rumput yang hijau bertukar menjadi hitam dengan warna merah menyala di bagian-bagian tertentu.

Butuh perjuangan mencapai pintu setelah melewati lautan mainan. Ia menengok ke kanan, mendapati benda bening yang memantulkan wajah mengenaskan. Louisa mengernyit sembari menyentuh benda yang terpasang pada kotak besar yang ia pikir sebuah lemari.

Lidahnya terjulur sambil membelalakkan bola mata, tak lupa dua jari telunjuk menarik sudut bibir ke samping. Dengan tampang bodoh, Louisa bertepuk tangan melihat bayangan di sana mengikuti setiap gerakan yang ia lakukan dengan sempurna. "Menakjubkan," bisiknya, "ini seperti cermin di rumah tuan tanah kaya, tapi lebih bersih."

Bisa jadi Louisa berada di kediaman seorang bangsawan, pasalnya orang-orang biasa seperti ia apalagi yang kesulitan ekonomi, merasa buang-buang uang membeli barang untuk bersolek. Beralih ke tempat lain, di lemari yang tak jauh darinya benda-benda seukuran kepalan tangan tersimpan rapi. Patung hewan dari keramik di lukis seindah mungkin. Kelinci dengan telinga besar dan mata merah, lalu burung, kucing, dan binatang-binatang lucu lain. Ada pula yang berbentuk pipih membulat dengan lukisan anak perempuan berkerudung merah.

Louisa menganga, mundur selangkah demi selangkah tanpa melepaskan pandangan dari sekumpulan hiasan-hiasan porselen. "Demi roti keras dicelup air. Ini sangat mewah dan mahal!" Kehilangan kendali atas tubuh, ketika otaknya merespon hormon kebahagiaan selepas melihat sesuatu yang cantik. Louisa berkacak pinggang, mengangguk-angguk lantas memuji pemilik tempat luar biasa ini.

Itu tak lama sampai jantungnya serasa hendak melompat ke tenggorokan. Louisa buru-buru berdiri di hadapan cermin. Memandang lekat wujud asing dalam balutan pakaian selutut sederhana, tetapi enak dilihat. Menyentuh hidung, kemudian berpindah ke pipi. Ia sangat yakin bahwa dirinya tak seputih ini. Badan kecil anak-anak, rambut panjang sepunggung. Lantas yang paling membuat Louisa terkejut adalah ia menyadari bukan berada di raga miliknya.

Tumit gadis itu menubruk pot dengan tanaman sebesar dirinya. Orang normal mana yang akan mengganggap hal yang dialami Louisa biasa saja. Lengan penuh lebam itu terangkat, menggerakkan telapak tangan ke atas dan bawah sambil menggeleng kepala. Mulut dengan sobekan kecil di bagian sisi pun ikut berkomat-kamit. Sekarang ini sebuah kalimat berteriak nyaring hingga kupingnya berdengung. Bagaimana bisa ia tiba-tiba terbangun di dalam tubuh orang lain?

Louisa merosot. Memandang dari kejauhan cermin yang memantulkan raga milik seorang anak perempuan yang jelas bukan miliknya. Ia bukan orang gila ataupun mereka yang berkhayal masuk dunia lain. Louisa adalah perempuan dewasa tiga puluh tahun, seorang perawan yang belum menikah dan tak ingin menikah. Mustahil ia menyusut menjadi anak kecil berumur sepuluh tahunan begitu saja, bukan? Ia bukan daging yang akan menciut begitu diasapi. Kemungkinan yang mendekati bahwa Louisa sudah mati atau merebut tubuh orang lain.

Dipikir lagi malah makin membuat luka-luka entah darimana asalnya, di sekujur tubuh menggila. Hal-hal di luar nalar memang sering terjadi, Louisa percaya itu. Ia meyakini ada kekuatan yang tak mungkin dicapai seorang manusia seperti dirinya. Namun, walau begitu ia tak menampik banyak dari mereka berkemampuan melebihi yang lain, dan ya, ia percaya. Tetap saja! Membolak-balikkan hidup dan mati itu sudah berada di tingkat berbeda.

"Aku ini kenapa? Di mana?" tanya Louisa. Penglihatannya menyapu ke segala penjuru dan mau berusaha sekeras apa pun otak terbatas itu, juga ia tak ingat bagaimana bisa berakhir di bangunan penuh sesuatu yang bakal membuat pemiliknya, jadi orang kaya di kota Louisa yang penuh pejabat rakus dan orang-orang kejam.

Ia mengusap wajah penuh darah, berasumsi bahwa jiwanya terlempar ke masa yang lebih maju lantaran benda-benda, dinding, lantai, suasana bahkan udara pun terasa sangat berbeda. Menempati tubuh anak perempuan yang tinggal di bangunan ini.

Lukisan berdiameter sepanjang lengannya baru terlihat setelah menengadah. Gambar gadis kecil dalam balutan baju balita putih bersama seorang laki-laki berambut panjang, menyentak jiwa Louisa. Ditambah tulisan indah pada hasil karya serealistis itu, membuat benaknya tak lagi dapat bekerja.

Namanya dan tulisan yang ditunjukkan untuk pemilik potret gadis kecil manis pada lukisan, memiliki kesamaan. Kedua orang manusia itu sama-sama bernama Louisa.

Tanpa komando, begitu denting lonceng terdengar, Louisa segera berdiri tegak memandang ke arah pintu yang sebagian besar bagiannya terbuat dari benda bening transparan.

Lelaki seumuran dirinya jika masih dalam tubuh asli, dengan pakaian super aneh yang baru pertama kali Louisa lihat. Atasan kebesaran seperti mantel, tetapi pendek sepinggang dan terlihat nyaman, pun celana hitam yang tampak tebal nan ketat sekaligus fleksibel. Pria itu menarik senyum tipis begitu melihatnya, kemudian berjalan perlahan mendekat.

Meski wajahnya menunjukkan pertemanan. Louisa merasakan gejolak aneh di sekitar tengkuk, menggelitik sampai ke tulang ekor mendapati sorot mata lembut si pria.

"Halo." Suaranya betul-betul menggetarkan tulang. Rendah dengan pelafalan yang baik, layaknya pensyair padahal hanya kata biasa---agak berlebihan, tetapi Louisa berani bertaruh para wanita bisa jadi bertekuk lutut saat ia berbisik di telinga tanpa perlawanan.

Mendapati lawan bicaranya malah termenung, ia mengibaskan tangannya sekali, lantas bertanya, "Ayahmu ada?"

Louisa tidak menjawab, malah merapatkan diri ke dinding sambil menampilkan raut permusuhan. Sejak kemunculannya yang tiba-tiba seperti penagih utang, tidak ada pikiran baik yang singgah tentang orang itu. Louisa bukan orang yang sangat bodoh, ya, walaupun ia sempat kecolongan makanan pada masanya. Kalau dipikir-pikir lagi, seorang dewasa yang minimal ia sudah punya anak atau setidaknya punya simpati dan empati, tak akan ragu-ragu menunjukkan kepanikan melihat sosok bocah berlumuran darah dan bau anyir tepat di depan mata.

Sungguh! Pria itu malah mengusap dagu dengan ekspresi sulit diartikan, jari-jarinya yang panjang seimbang dengan tubuh jangkung seperti tongkat pemukul yang digunakan para ibu saat anaknya nakal. Makin meresahkan, pria itu melirik ke segala arah, memastikan bahwa hanya ada mereka berdua di tempat ini. Tawa menggelegar, dalam dan mengancam. Berbanding terbalik dengan nada bicaranya sekian detik lalu.

"Kebetulan sekali. Sudah sejak lama aku ...." Ia tidak melanjutkan ucapan, melainkan merentangkan tangan sembari menarik napas sedalam paru-paru bisa menampung. Senyumnya menjadi mengerikan disertai decapan lidah. "Darah itu, sangat manis!" Gerakan tubuh pria itu seperti orang kerasukan. Membungkuk ke arah belakang dengan kedua tangan menutupi wajah disertai suara geraman aneh.

Jawaban atas bertumpuk-tumpuk pertanyaan masih nihil, lalu ia malah bertemu dan terjebak berdua saja dengan seorang yang patut diragukan keasliannya.

Belum sempat bereaksi, pria itu melesat dengan kecepatan sinting dalam sekali kedip ke hadapan Louisa. Raganya menjulang bak dinding, menyelimuti tubuh kecil target menggunakan bayangan. Hal yang terlintas untuk menggambarkan sosok di depan, Louisa tak mampu memberi persamaan yang lebih cocok selain serigala lapar. Ia melotot mengikuti tetesan air liur yang lolos lewat celah gigi yang merenggang. Pria tinggi dan rupawan tadi, menghilang menjadi itik buruk rupa.

"Sejak lama. Sejak lama! Aku mengawasi, memperhatikanmu. Kelinci yang begitu---Peter sialan! Selalu saja berada di sekitar milikku!" seru pria, kemudian mengangkat tubuh Louisa agar pandangan mereka sejajar, tanpa menyentuh sedikit pun. "Tapi sekarang, kita hanya berdua. Bukan begitu?"

Sekian lama sensasi mendebarkan dalam diri Louisa bangkit. Sorot mata buas milik sosok itu, membangunkan sesuatu yang tertimbun dalam memori. Louisa mengingatnya. Orang yang kini memiliki niat setan kepada seorang anak adalah lelaki yang sama hari itu. Petani yang dengan bangganya mengacung-ngacungkan kepala makhluk-makhluk tak berdosa. Pria tak berhati yang bersenang-senang bermandikan tangisan-tangisan memohon, seolah itu hanyalah musik tarian di pesta.

Percikan kemerahan memenuhi seluruh pandangan Louisa, panas membara memenuhi dada juga wajah. Sinar yang sempat meredup, terpancar kembali pada ujung-ujung rambut Louisa. Mengambang di udara melawan gravitasi.

Ketika pria itu bersiap mengoyak leher Louisa menjadi dua, seekor beruang menabraknya dari samping. Lebih tepatnya boneka berbentuk binatang khas kutub itu berdiri seraya menunjukkan taring dan cakar tajam, kain berbulu halus yang membungkusnya tak lagi selembut semula. Ia membuka rahang lebar-lebar, mempertontonkan isi mulut yang harusnya terbuat dari dakron, memberikan aura ancaman lewat raungan seekor hewan buas.

Di lain sisi, Louisa terlempar efek dari tubrukan. Ia mendarat aman di atas kucing-kucing yang berjajar tepat di posisi ia mendarat, lengkap dengan ekor mengibas-ngibas gusar dan mata kaca yang mengisyaratkan sebuah pertarungan. Prajurit pendek benda mati di belakangnya pun bersiap, walau beberapa anggota badan tak sempurna, tetapi setiap boneka mampu mengeluarkan senjata dari tangan, kaki, ataupun punggung yang tidak cacat.

"Hah!" Lelaki itu mendesah kasar. Bintik-bintik hitam bermunculan di pipinya, beserta gigi-gigi membesar berujung tajam dan menghitam, dua lipatan daging merah muda di wajah ikut menggelap. Serupa dengan giginya. "Kau ... hanya wanita berengsek itu yang bisa!"

Di sela-sela memori lama tumbuh, melukai, dan mencabik-cabik dirinya dari dalam. Louisa meneteskan cairan bening dari mata kiri. Lagi seperti dulu, ia akan berusaha mati-matian mempertahankan tubuh seorang anak. Tak menyia-nyiakan kesempatan yang entah akan datang lagi atau binasa.

Kali ini berbeda. Satu lawan satu. Louisa berhadapan dengan sesosok dari masa kegelapan. Dengan satu tujuan menggebu-gebu, terbakar dalam rongga hati Louisa. Ia mengulang kembali perkataan sebelum kedua netranya tertutup, menggunakan suara terlemah, tetapi begitu menikam.

Suara derit akibat gesekan plastik tebal dan keras di belakang Louisa, siap beradu dengan kekuatan milik pria yang melepaskan kedok indahnya. Louisa dengan surai bersinar dan pasukan manis sekaligus menakutkan, berhadapan seorang pria mengerikan dengan rapalan magi berhias asap-asap hitam busuk.

Satu peraturan tak kasatmata terbentuk. Di mana hanya seorang di antara mereka yang akan berdiri sampai akhir dengan dua buah pilihan. Dimakan atau dihancurkan.

.
.
.

To be continue

Note:
Bagi yang masih bingung tanda (---) di sana. Saya menggunakan itu sebagai pengganti M dash. Masalahnya Wattpad sering error, di mana harusnya tanda (—) yang muncul, malah berganti jadi (-). Jadi, mohon dimaklumi. ^^

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
redaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro