Revenir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akhir adalah kepala setiap awal. Tidak ada yang benar-benar selesai.
- Louisa

.
.
.

Setiap anak berharap hidup yang bahagia. Tak muluk-muluk, bisa makan, tidur, dan bebas dari ketakutan adalah surga. Namun, bagi para penghuni rumah reyot ini, kedamaian tak lebih dari sekadar fatamorgana semu.

Pagi buta, sebelum matahari benar-benar muncul di bibir langit. Para manusia sudah bangun dari pembaringan, membawa obor-obor dengan api merah melambai-lambai tertiup embusan angin dingin. Menggedor setiap pintu yang ada pada bangunan segi empat bercerobong asap rusak. Tak luput jendela yang saling beradu dengan permukaan keras batu. Hari yang lebih buruk dari biasanya. Para laki-laki mulai berteriak nyaring, mengacung-ngacung garpu rumput atau tongkat berujung runcing, beberapa membawa serta pedang setinggi anak lima tahun; perempuan sibuk dengan rok yang dimainkan si nakal yang pula menerbangkan daun-daun mati basah, menyemarakkan dengan tangisan juga teriakan menyumpah.

Sementara, kelinci-kelinci kecil dalam lubang meringkuk sembari gemetar luar biasa. Satu-satunya orang dewasa yang memeluk sebisa mungkin anak-anak yang tengah melawan bulu tengkuknya sendiri. Si paling kecil tak kuasa. Tulang-tulang melemas oleh pandangan menakutkan dari jendela. Ia menjerit selayaknya disayat kedua tangan, diikuti yang lain.

"Aku tak akan melepaskan kalian," katanya menghibur. Berbanding dengan netra ungu yang menyirat kegetiran setengah mati. Wanita tiga puluh tahun itu merah pisau dapur di meja dan menyembunyikan di balik lengan baju panjang. Melirik kembali ke arah makhluk-makhluk terkasihnya yang menatap lebar. "Sayangku, kita pasti bisa melewati ini sekali lagi." Suara yang ia keluarkan menenangkan setengah dari mereka.

Mustahil untuknya menipu. Mereka percaya dengan jiwa-jiwa dalam raga bahwa perempuan yang tengah bersiap di depan pintu adalah orang paling jujur sedunia. Di mata setiap anak Adam dan Hawa yang memandang dengan tubuh memeluk lantai batu, ia adalah sosok paling berjasa di kehidupan para yatim piatu miskin. Seperti yang sudah-sudah. Sendirian, dirinya mampu mengusir manusia-manusia menakutkan di luar sana. Hari ini pun ia pasti berhasil.

Sekiranya begitulah pikiran-pikiran polos yang terlintas.

Wanita berambut cokelat terang itu meremas ujung baju, mendesah pelan seraya hendak membuka papan penghalang. Sekali ia menengok, menatap setiap kepala yang menangguhkan jiwa dan raga pada pundak kokoh sekaligus rapuh. "Tidak apa-apa," ucapnya. Menarik sudut bibir selebar yang ia bisa. Meski rasa berat bercampur ketakutan yang kerap muncul dari lutut dan menjalar ke sekujur tubuh, hampir berhasil menjatuhkan ketangguhan.

Langkah seorang perempuan berani begitu mantap, sepenuh hati menyingkirkan keraguan. Sekali lagi ia rela berlumuran dosa untuk mereka yang berlindung. Ia menarik napas sedalam mungkin, kemudian mendorong papan penghalang sekuat tenaga, lantas menutupnya kembali. Bersandar menjadikan tubuhnya penghalang kedua setelah pintu. Memperhatikan sekitar di mana puluhan orang berdiri arogan.

Pisau yang semula tersembunyi di balik kain kumal, menunjukkan jati dirinya. Bilah pisau mengilap terkena cahaya dari obor-obor, kilauan jingga menuju merah itu sepenuhnya melingkari rumah kecil dekat pohon besar tua. Jangkrik mendadak hening, embun membasahi kaki-kaki yang menjejak kasar. Tanah penuh bekas jejak kaki, terpampang jauh menuju pusat kota.

Ia menarik napas dalam. Mencengkeram satu-satunya harapan dan kekuatan, lantas berteriak mengutarakan perjuangan yang mati-matian ia serukan. "Sampai kapan pun, mereka tak akan kuserahkan!" Helaian-helaian rambut wanita itu mengapung, ujungnya memercikkan cahaya kekuningan menyilaukan disusul gebrakan keras dari gubuk kecil di samping rumah.

.
.
.

Televisi menanyangkan laporan cuaca di Wytheville. Kabarnya rintik hujan musim semi akan turun sekitar pukul satu siang. Gadis di tepi jendela sudah membuktikan bahwa ramalan dari wanita berjas merah di sana adalah benar.

Jemarinya mengikuti gerak tetesan air yang meluncur di permukaan licin kaca. Iris ungu yang langka itu memandang tidak peduli ke mana tetesan air berakhir, ia hanya merasa harus melakukan sesuatu agar kekosongan yang entah ada di mana terisi. Sementara, salah satu kakinya menggantung nyaris kebas. Sejak ayam berkokok sampai sekarang, posisinya masih tak berubah, kecuali stoples kacang almond yang tersuguh di hadapannya baru muncul tiga jam lalu.

"Sayang ...."

Panggilan barusan memberi stimulus, pupilnya sedikit membesar, tetapi tak lama kembali mengecil. Ia bergeser, kali ini kedua kaki Louisa menggantung, alih-alih mengangkat salah satunya ke bingkai jendela seperti tadi.

"Oh Tuhan ...," desah dari pria yang baru saja naik ke lantai dua. Rambutnya yang sebagian mulai beruban, tergerai ke belakang seraya diikat seutas pita hitam. Ia segera meraih wajah kecil nan lesu di hadapan, mengelusnya seraya menyentuhkan kening kepada lawan bicara yang masih bergeming. "Boneka kecilku yang malang ...." Siapa pun akan sadar luka luar biasa saat kedua pasang iris berwarna serupa berpandang dalam diam.

Orang tua mana yang tidak sedih melihat cintanya sakit?

Sekarang ini sudah keenam tahun Louisa jatuh sakit. Memang tubuhnya tak mengalami masalah, tetapi di dalam sana---dalam benda paling penting setiap makhluk hidup---gadis sepuluh tahun itu rusak, hancur, mungkin sudah berubah meleleh bak cokelat panas.

"Maaf, harusnya aku bisa membawa orang itu kembali. Ampuni aku Louisa, ampuni orang tua tidak beguna ini ...." Isak tangis Peter tertutup hujan yang kian riuh di luar. Ia menarik Louisa yang tinggal raga kosong. Membelai surai panjang sang putri lembut, menciumi kepalanya mulai dari puncak sampai ke tangan.

Peter gagal menjadi orang tua. Ia gagal menjadi seorang ayah yang bertugas melindungi setiap orang terkasihnya di bawah sayap. Cinta yang ia luapkan kepada anak semata wayang yang tengah kehilangan arah, belum cukup membuat gadis kecil itu menerima kenyataan. Ibarat sebuah susunan balok kayu, satu kepingnya hilang hingga istana yang dibangun susah payah oleh Louisa runtuh. Meskipun setiap orang tua mencintai anaknya, tetapi tidak setiap orang menjadi orang tua.

Louisa, anak perempuan yang hanyut dalam lamunan tanpa akhir. Patah hati oleh manusia yang ia percaya.

Suara dering telepon menggoyahkan keheningan. Pria berpakaian serba hitam  itu bergerak menuju benda berkabel di sebelah televisi. Peter melirik sejenak, Louisa ikut berpindah ke sofa kecil berselimut pun berbantal bulu---mungkin punggungnya pegal setelah duduk seperti patung---memandang acara membosankan tentang cara menjadi orang paling bodoh di dunia.

"Peter Mariozette di sini." Peter duduk di otoman. Mendengarkan dengan saksama seseorang yang berbicara di seberang. "Maaf, Tuan anak saya tidak---ah, baiklah." Nada suaranya lesu. Telepon ia letakkan kembali ke tempat semula, lalu mendekati Louisa seraya menarik selimut bergambar beruang kutub ukuran anak-anak yang tergolek dekat kaki meja.

Berat harus meninggal Louisa sendirian dalam kondisi seperti ini. Namun, tidak ada pilihan lain, jika Peter melepaskan kesempatan yang baru saja datang, besar kemungkinan mereka akan kehilangan rumah dan toko yang ada di lantai satu. Dan itu akan membuat keduanya berada pada kondisi yang lebih buruk.

"Papa pergi dulu, jangan ke mana-mana, ya." Peter mengusap wajah Louisa, mengecup singkat kening tertutup poni panjangnya. Ia melangkah dan berhenti sejenak di anak tangga kedua dari atas, sebelum turun lebih jauh. Meyakinkan hati bahwa anak perempuan yang serupa boneka porselen tak bergerak itu akan aman di rumah, toh, Peter sudah memasang kamera pengawas. Tikus pun tak mungkin lepas dari pengawasan pria empat puluh tahun itu.

Memastikan setiap sudut terkunci, mulai dari jendela dan pintu samping juga belakang, pintu dapur, dan ruangan tempat ia bekerja. Pun jalan atau celah yang sekiranya dapat dilewati di lantai kedua sudah dikunci paten sejak lama. Peter mengedarkan pandangan, memeriksa rak-rak penuh benda-benda lembut, pula lemari-lemari kayu yang menyimpan barang-barang cantik nan manis. Semua sudah berada pada tempatnya dan tentu yang terpenting tidak ada hal membahayakan yang bisa Louisa gapai.

Ruangan makin menggelap, cahaya dari sinar mentari di luar tersembunyi dalam awan-awan mendung dengan gemuruh. Rintik air berubah menjadi deras air terjun. Peter agaknya lupa menyalakan lampu dan Louisa tidak mau repot-repot menginginkan atau mengganti tugas sang ayah, meskipun letaknya hanya dua langkah menuju saklar. Hawa sejuk meniup-niup manja lewat ventilasi yang cukup banyak di atas jendela. Reflek membuat anak perempuan makin membenamkan diri dalam selimut. Sementara matanya masih senantiasa memandang berita komunitas terpopuler hari ini.

Saat kamera memperbesar salah seorang yang tengah berpidato. Dada Louisa mendadak pedih, ia bahkan spontan terbangun dan beranjak menjauh. Pedih itu kian menjadi-jadi, seperti ada benda tipis tajam menyayat-nyayat bagian di antara ulu hati.

"Papa!" Untuk pertama kali setelah sekian tahun ia membisu. Suara nyaring nan bergetar Louisa terdengar memenuhi penjuru ruangan. Ia berlari berkeliling sembari meremas kuat dada tak sabar. Kaki telanjang itu tak sengajak menabrak kaki lemari pendek berlaci. Membuat tubuh ringan Louisa menggelinding bak kelereng di tangga, sampai terdengar bunyi retakan.

Louisa melesat menabrak pintu dapur, menjebol papan cukup tebal dengan tenaga badak yang entah berasal dari mana. Melupakan kening sobek lantaran beradu dengan ujung tangga dan tak merasakan memar-memar yang tercipta berkat ciuman benda keras.

Ia memekik, kemudian membenturkan kepalanya sendiri ke pintu kulkas. Bertingkah seperti pemeran sinting dalam film. Cairan amis menciprat ke segala arah, membasahi baju berenda merah muda yang dibelikan Peter saat ulang tahun. Surai cokelat terang Louisa makin berkilau. Anak itu betul-betul setengah waras, meringkuk seraya mencengkeram kuat kepalanya merasakan seperti ada sesuatu yang mengikat dari berbagai arah. Menarik sekaligus hingga  terasa tengkoraknya nyaris pecah.

Louisa yang pendiam seperti batu, berubah seratus delapan puluh derajat menjadi seorang yang agresif dan melukai diri sendiri tanpa sadar.

"Aaaa!" teriaknya lagi. Darah kehitaman melesak keluar lewat lubang-lubang di wajah. Telinga, hidung, dan mulut tak ketinggalan mengadu siapa yang paling banyak memuntahkan cairan berbau besi itu.

Di tengah-tengah penyiksaan tak berdasar. Bayangan-bayangan muncul secara sembarang dan memuakkan. Mulai dari tawa-tawa bahagia yang menyedihkan, perkumpulan aneh, danau hitam, serta gunung tulang. Louisa menggeram memeluk lantai, kedua tangan masih bergantian menyentuh dada dan kepala. Aroma gosong tercium membuat dirinya tersedak ludah dan darah. Bagian putih mata pun memerah selagi si pemilik mengeluarkan tangis darah.

Rambutnya bersinar. Lebih terang dari lampu pada sebuah gedung lima lantai. Seterang matahari antara bulan Juni dan Juli, panas nan menyiksak mata. Ujung-ujung surai Louisa memutih kekuningan disertai getaran aneh pada benda-benda di sekitar. Sendok dalam lemari gantung beradu, piring-piring saling mengikis bahkan dari ruangan sebelah terdengar bunyi yang lebih berat dan nyaring daripada di dapur, semacam benda bercakar yang merangkak menggores dinding.

Sedetik sinar itu menghilang, menyedot pencahayaan yang ada di rumah Louisa seperti bangunan kosong tengah malam, kemudian melontarkan serangan kejut cahaya kuning menyilaukan sejauh dua ratus meter di sekitar kediaman Peter Mariozette.

Burung yang asik bersantai dan berlindung dari hujan pada batang pohon, ikut terkejut dan buta sesaat, termasuk seekor anjing pitbull dan majikannya yang lewat tepat ketika Louisa meledak menjadi serpihan cahaya.

.
.
.

To be continue

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
redaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro