Liar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bohong adalah pintu masuk semua dosa.
- Louisa

.
.
.

Menerima sekantong penuh kue kering dari Sno yang baru menyusul setelah beberapa saat. Masih dengan mulut penuh, Louisa mengelak setiap serangan kaki berbahaya yang mampu menghancurkan tulang sekali tendang---Deux perlu waktu regenerasi, dua lengannya hancur. Jarak antara toko dan tempat mereka terpaut ratusan meter. Taman terbengkalai sepi yang jauh dari pemukiman. Louisa bersyukur berkat tempat yang lebih mirip taman para arwah, tidak ada orang yang berkemungkinan terkena dampak.

"Cih!" Rea mengeratkan kepalan, terdengar suara kretek dari sarung tangannya. Meludah sembarang. Bagaimana mungkin bocah yang tampak lemah dalam busana bebek norak di depan, mampu tak terkena satu pun pukulan Rea yang terbilang mematikan dan cepat.

Perempuan-perempuan muda itu sama-sama kehabisan oksigen, mulut terbuka saling berebut udara. Keringat membanjiri pakaian hingga basah di sana-sini. Pegal-pegal menggerogoti otot-otot yang butuh rehat sejenak dari perkelahian tanpa pemenang. Meskipun terlihat berat sebelah bagi yang menyaksikan, di mana Rea lebih unggul dengan postur badan besar dan panjang, sementara Louisa kurus dan pendek. Namun, secara kualitas keduanya sama rata.

Berkata bahwa Louisa mengingat siapa itu Rea, tetapi jujur sama sekali otak dan hatinya tidak merespon itu sama sekali. Katakanlah saat itu Louisa berbicara asal karena terpancing. Tak seperti ketika bertemu Rose dan Igor yang sontak menimbulkan sengatan menyakitkan di dada, pertemuannya dengan Rea terasa biasa-biasa saja selain kekaguman akan kekuatan remaja itu.

Berguling ke dekat perosotan, Louisa merangkak di bawah tangga---mempersempit jangkauan Rea. Namun, memang dasar wajah manis bertenaga gorila. Tumit berlapis boots kulit membelah perosotan yang terbuat dari besi dan sebangsanya, sekali hantam. Bagian-bagian itu hampir menimpa bocah yang panik, beruntung walau kondisi tubuh kelelahan, Louisa berhasil menyingkir meski dibayar dengan robekan di lutut.

Dipikirkan lagi, selama Louisa menghadapi Rea. Gadis itu tidak mengatakan kalimat-kalimat aneh seperti halnya Igor atau Rose, selain umpatan kasar yang lumrah di zaman sekarang. Mengambil kesempatan ketika kaki Rea kembali mengacung ke langit, Louisa melemparkan Sno yang menggenggam garpu perak. Serangan itu berhasil ditangkis, boneka imut itu terpental jauh. Akan tetapi, goresan kecil sukses menembus lapisan celana jin biru pudar Rea.

Tetesan merah itu membuat bibir Louisa tertutup rapat dengan netra menyipit. "Siapa kau?" tanya Louisa, ia mundur dan digantikan Deux yang sudah sepenuhnya menumbuhkan tangan baru. Gaun putih tulang yang dikenakan robek di bagian bahu dan dekat pinggang.

"Kau itu bodoh atau pikun! Aku orang yang memakanmu." Setengah jengkel, Rea melemparkan sisa-sisa perosotan, sesekali menendang potongan-potongan besi ke arah Louisa, berharap semoga kepala berwajah mengesalkan itu segera berlubang dan mati.

"Pembohong," gumam Louisa sembari menggerakkan jemari penuh bekas luka bakar yang berganti kulit. Mengabaikan fakta hari makin menggelap diikuti rintik air yang terbawa angin.

Menelan kue cokelat kesepuluh, Louisa menghentak tangan dengan kekuatan penuh, memerintahkan Deux yang menutup setengah mata bila perintah dipegang penuh anak perempuan di belakang. Sepatu pantofel Deux copot, terlempar berkat dorongan kaki plastik berkaus kaki renda. Koyak dengan bagian bawah jebol. Jejak-jejak tungkai menjiplak tanah yang mulai basah, lumpur ikut memercik begitu Deux dan Rea secara bersamaan mengadu betis.

Kali ini Deux lebih kuat, tenaga-tenaga yang diberikan Louisa mengubah plastik bonekanya menjadi sekuat baja. Posisinya berada tiga langkah di udara, lebih tinggi dari Rea yang masih menginjak tanah. Deux berputar ke kanan, balik membelakangi musuh seraya melancarkan kaki kiri tepat ke pipi Rea, pun dengan sisa pisau perak yang muncul dari tumit.

Goresan kembali terpahat pada kulit mulus Rea. Ia menyentuh luka sayatan dalam di pipi yang melintang sampai hidung, bau amis langsung memenuhi udara, bercampur dengan aroma air, dan lumpur. Sang surya tenggelam, melambaikan tangan jingganya seolah mengucapkan selamat tinggal dan sampai jumpa esok hari. Bintang-bintang berkedip-kedip lucu, tetapi awan-awan hujan menggantung rendah mulai menangis keras.

Louisa benci hujan. Sensasi basah, dingin, juga lengket begitu menjijikkan mengguyur kulit. Namun, dibandingkan hujan, ia lebih membenci dirinya. "Aku tanya sekali lagi. Siapa kau?" Nada bicara Louisa agak berubah, suara nyaring dan cempreng sebelumnya sedikit memberat disertai geraman kesal. Gigi yang sebagian masih berupa gigi susu itu saling bergesek menimbulkan bunyi gretek-gretek.

"Perempuan naif." Rea melepas jaket yang ia kenakan. Biarlah basah sekalian, toh, sejak awal mereka sudah basah oleh keringat. "Memang pantas untuk mati." Ucapannya barusan bak peringatan langsung. Rea sudah berada di depan Louisa dengan kuda-kuda siap meninju ke rahang.

Asisten kecil Louisa juga cepat. Jangan pernah meremehkan si kecil Sno hanya karena sejak awal ia bertugas sebagaimana seorang pengantar barang, atau budak yang membawakan ini dan itu. Badannya membesar dua kali lipat, menggunakan tangan tanpa jari ia menangkap tinju Rea saat beberapa senti lagi menyentuh hidung kecil nan mancung Louisa. Deux ikut bergerak, mengambil bagian di atas Rea bersiap dengan tangan berpisau.

Terjepit! Rea tak bisa melepaskan bola bulu aneh yang mencengkeram lengan. Wajahnya yang seketika pucat, bertatap langsung dengan muka Louisa yang kehilangan ekspresi. Iris ungunya mengeluarkan aura mencekam yang belum pernah Rea rasakan dari siapa pun. Ah! Mungkin sama dengan perempuan yang sering memerintah orang tua itu.

"Hati-hati. Aku lebih tua darimu." Louisa menjentik, Deux menjejak kaki di pinggang dan satunya dekat tulang rusuk Rea bersamaan dengan menikam bagian kiri punggung.

Jatuhnya Rea menyebabkan lubang berdiameter sekitar tinggi remaja itu. Pekikan tertahan tanah yang masuk ke mulutnya, tersedak hingga darah berlarian dari hidung juga sudut bibir yang tidak terhalangi. Melihat itu, Louisa hanya mengangkat dagu angkuh. Marah karena pembohong kecil atau barangkali ia murka karena orang yang mendatanginya bukan bagian dari ketiga belas orang dalam daftar kematian.

"Kena-pa?" Kata-kata terjebak di antara lidah dan bibir luka. Rea tertarik tangan dingin Deux di leher. Lubang sebesar jari telunjuk tampak di dada kiri, dari luka itu mengalir darah merah segar yang menggoda makhluk-makhluk pengisap darah.

Kepala Louisa miring ke kanan, rambut yang terurai menutupi sebagian wajah tersingkap berkat gravitasi. Menampilkan gurat-gurat kemarahan di sudut mata dan bibir. Dugaannya tak salah, Rea bukan salah satu yang ia cari, meski ketidakwajaran tubuhnya bukan milik seorang manusia normal. Lantas apa? Mustahil orang biasa mengetahui kisah yang hilang dari sejarah, mungkin orang-orang akan menganggap kisah pilu di mana anak-anak tak berdosa menjadi korban keganasan dari hasrat, tak pernah terjadi. Mulutnya terbuka membentuk bulatan hitam, hanya ada satu asumsi paling mendekati. Mereka merekrut anggota atau berkembang biak.

"Berengsek!" Siapa sangka ungkapan mengatai itu lolos dari lipatan merah milik Louisa. Menyentuh pipi Rea dengan kedua tangan seraya mendekatkan pandangan mata keduanya, Louisa mendesis bak ular berbisa---Sno memeluk kaki Rea, kemudian Deux makin mengeratkan genggaman seiring benang-benang emas yang menggerakkan boneka-boneka itu mengencang.

"Lepas!" Rea mengejang, kaki yang dipeluk beruang kutub palsu menendang-nendang udara putus asa. Cekikan di leher kian menghentikan pasokan O2 untuk peredaran darah. Warna biru menggantikan riasan wajah sederhana Rea. Tak luput mencakar, meninggalkan bekas memanjang di bawah dagu dan bagian leher yang tidak terpegang Deux.

Sesuatu runtuh dari diri Louisa, pandangannya makin terlihat gelap. Lampu-lampu pinggir jalan tak cukup menerangi jantung hati yang kehilangan berlian cahaya. Pada awalnya ia teguh untuk tak membunuh siapa pun yang bukan termasuk dari tiga belas orang itu, tetapi sebuah jiwa yang belum berhasil diselamatkan kembali menghadapi ketakutan pun kemarahan yang sanggup membakar hutan---tidak pernah ada yang tetap.

Sudah seperti hukum alam, kebencian kerap membawa tenaga lebih. Louisa merapatkan telapak tangan seperti orang tengah memohon, masih memiringkan kepala tersenyum kecil serta mata menyipit, membawa teror tersendiri untuk Rea yang makin gelagapan tak bisa bernapas. "Kau bukan manusia, sudah cukup untukku," katanya dengan suara tenang, lebih tenang dari lautan dalam.

"Argghh!"

Teriakan barusan berubah menjadi suara mengerikan, selayaknya ringikan anjing bercampur suara tercekik. Deux menikmati seraya merunduk membiarkan air membasahi seluruh rambutnya. Louisa kian melebarkan senyum begitu percikan-percikan darah menghujani wajah mati rasa, sekaligus kedinginan.

"Aku tidak peduli lagi," bisiknya. Surai cokelat terang keemasan Louisa terapung makin tinggi, dari setiap ujungnya keluar benang-benang berpijar kuning transparan. Menjerat sekeliling, menjadi ombak yang hendak menggulung setiap peselancar yang ada.

"Wah, wah." Tepuk tangan terdengar entah dari mana.

Jantung Louisa tiba-tiba terasa melompat ke tenggorokan, lalu spontan melirik ke segala arah, bersiap dengan kemungkinan serangan besar tak terprediksi. Ketika dirinya mengalihkan pandangan kepada Rea, sosok perempuan berwajah pasrah itu sudah berpindah ke dekat gazebo bersama sosok besar bertopi. Terkapar mendekap salah satu lengan orang itu seraya menangis hebat selepas udara memenuhi paru-paru.

"Betul-betul dendam yang menakutkan," tuturnya seraya memeluk sendiri tubuh besar bak banteng di balik jaket kulit ketat. "Sampai membuat Rea tak berdaya dengan satu serangan." Lagi, tepuk tangan menggema di wilayah sunyi bahkan kuburan lebih ramai dibanding tempat mereka berpijak.

"Kau." Kecepatan pompa darah menggila. Adrenalin memuncak menciptakan pening dan hawa panas di sekitar ketiak dan ulu hati. Tentu! Inilah yang harus dirasakan ketika Louisa berhasil bertatap muka dengan serigala pemburu domba. Menelisik  lekuk wajah tegas yang tersembunyi di balik masker kain. Memori lama menyapa dengan tamparan keras. Seperti film hitam putih, ingatan Louisa memainkan harta yang disimpan aman. Ketika laki-laki berbau sapi tengah menebas leher seorang anak tak bersalah dalam gerakan lambat.

"Seperti Joseph. Bagaimana kalau kita melakukan rekayasa ulang." Mengatakan hal tabu seolah bukan apa-apa. Sesosok yang bersuara berat, pria yang berpostur mirip orang dari kepolisian---Detektif Jason---menerjang lurus ke arah Louisa.

Benteng Deux dan Sno ditembus seperti memotong tahu. Tubuh boneka-boneka kesayangan Louisa hancur menjadi beberapa bagian akibat dari tubrukan keras yang tercipta tak sampai satu detik. Gara-gara itu pula, tubuh kecilnya terpental menabrak tiang ayunan karatan yang berderik sedih.

Muntah air ludah diikuti darah dan kue yang dibawa Sno. Louisa menatap genangan air yang membayang, rasa sakit tak terelakan mengaduk-aduk organ dalam yang masih dalam masa perkembangan. Sakit di atas pinggang menjadi kepanikan bahwa ia mengalami patah tulang rusuk. Trauma hebat mulai mengganggu mental anak-anak yang sebisa mungkin dirinya tahan. Penglihatan Louisa dipenuhi kilat-kilat putih.

"Bagaimana bisa Igor dan Rose mati hanya karena bocah ingusan. Memang mereka lemah, tapi itu keterlaluan." Tak sadar jika satu kakinya sudah sebesar Louisa. Ia tanpa ampun menginjak tengkuk anak kecil di bawah sana. "Tidak peduli siapa---"

Sesuatu melesat ke arah pria itu seraya menarik kepalanya hingga keseimbangan goyah, menjauh beberapa langkah dari Louisa yang tertelungkup setengah sekarat.  Sosok yang mengenakan pakaian tebal bertopeng kucing, berlari secepat mungkin---meraih tubuh tak ada daya Louisa yang kehilangan kesadaran. Masuk ke kabut dan menghilang di dalam sana.

Meninggalkan pria yang meremas topi sembari bersumpah serapah lantaran mangsanya lolos begitu saja.

Di ruangan paling depan di kediaman Mariozette---Louisa terbaring menyamping dengan jejak merah melukis wajah pucat, dibiarkan oleh sosok yang langsung menyingkir setelah mengantarnya pulang kurang selamat. Dari arah dapur, Mike buru-buru mendekat mesti dengan cara melompat-lompat menggunakan satu kaki yang tidak cidera. Pemuda itu menyentuh lembut Louisa yang pelan-pelan membuka mata, membopongnya pelan-pelan tak ingin menimbulkan rasa sakit untuk luka-luka tersembunyi.

"Mike ...," panggil Louisa yang menggeliat meminta agar digendong seperti yang dilakukan Peter. Membenamkan wajah penuh lebam di leher Mike, mengizinkan anak-anak rambut pirang laki-laki itu menusuk geli pipi. Beberapa hari membuat keduanya memiliki ikatan yang cukup kuat meski hanya di sekitar roti, boneka, dan ranjang rumah sakit.

Mike berhenti di tangga, kakinya berdenyut lagi berkat tongkat bantuan tak mengambil peran sebagai penyangga. Memilih duduk di pertengahan anak tangga dengan Louisa menempel seperti anak koala yang kehilangan rumah. Mike menjawab panggilan barusan dengan sentuhan kecil di kepala yang terkulai lemas.

"Jangan berbohong ...." Louisa berkata lagi di tengah kantuk yang menyerang.

"Ada apa?" Mike mengeratkan pelukan. Air mukanya berubah tegang diikuti perih yang menyelimuti sanubari.

"Aku takut ...," resah lemah terdengar di sela-sela tarikan napas lelah. Louisa jatuh ke dalam pikiran. Memulai kembali perjalanan ulang tidak menyenangkan ke masa lalu yang serupa pembantaian.

Merasakan embusan napas teratur menerpa kulit, Mike menatap kosong dinding berhias lukisan kucing berpakaian formal menjinjing tas. Kebohongan akan menjadi induk kebohongan lain, dan sampai sekarang entah sudah berapa dusta yang Mike paparkan pada dunia.

Dua-duanya sama-sama penipu. Louisa dan Mike sama-sama menutup wajah dengan membalik kisah yang menakuti masing-masing jiwa. Tidak ada dari mereka yang berani terbuka dan berkata sebenarnya.

Rahasia kecil bertumbuh menjadi gunung dosa.

.
.
.

To be continue

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
redaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro