Acoperit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak seorang pun ingin melihat kebusukan. Tutupilah hingga anjing menyalak frustrasi.
- Louisa

.
.
.

Lampu bohlam bersinar biru, menerangi sepanjang jalan besar. Rumah-rumah berjarak agak jauh satu sama lain, sekitar lima puluh meter untuk sampai ke rumah yang berada di sebelah. Malam itu hujan reda meninggalkan bekas genangan di trotoar rusak atau membentuk lumpur dan membasahi rumput. Burung hantu memutar kepala di dahan, kelelawar terbang menjauh dari sumber cahaya. Sunyi, semua orang bergelut dalam selimut masing-masing padahal belum larut. Dingin memaksa mereka duduk melingkar di depan perapian atau pemanas.

Berbeda dengan Mike yang berdiri menenteng sapu dan tong plastik sampah. Berdiri melihat sekitar, hanya ada dirinya yang mematung. Kediaman Mariozette menjadi yang paling sunyi. Ramai dari bayangan jendela membuat Mike menyipit, sentilan kecil mengetuk pintu di hati. Mungkinkah ia rindu? Namun, rindu kepada siapa?

Pecahan-pecahan kaca berserakan di depan toko Mariozette, berasal dari jendela atas tempat biasa Louisa menenggelamkan diri dalam pikiran. Mike mengumpulkan pelan-pelan benda-benda berujung tajam itu, memasukkannya ke tempat sampah yang sebelumnya sudah dilapis kantong plastik, memudahkan ia nanti ketika membuang benda yang berbahaya jika terinjak. Tongkat kruk disandarkan di pintu yang terbuka satu sisi saja. Ia berjongkok, meringis begitu luka dari duri milik Rose tergerakkan.

"Ach!" Baru saja dirinya berkata tanpa suara untuk tak merobek jari, Mike malah dengan senang hati melakukan itu. Telunjuk tergores, darah hitam menetes ke atas pecahan lain yang belum terkumpul. Pandangannya tak terjelaskan, ia mengeratkan kepalan di mana luka kecil cukup dalam itu perlahan mengeluarkan asap, kemudian beriringan menuju kaki terlilit perban. Mike menggigit bibirnya sendiri.

"Sedang apa di luar?" Peter muncul dari dalam mobil. Menurunkan belanjaan, selagi melakukan itu ia melirik ke arah pecahan kaca, lalu ke lantai dua di mana salah satu jendela kehilangan penghalang. Angin tampak memainkan tirai yang menutupi pemandangan ke dalam rumah. "Sekarang apa?" tanyanya tidak percaya. Akhir-akhir ini Peter curiga kenapa satu demi satu peristiwa, terus mengguncang keluarga kecil yang berusaha ia jaga.

"Sekali lagi aku minta maaf." Mike meraih kruk dan berdiri menghadap Peter selepas membuang isi tempat sampah kecil ke tempat sampah besar yang ada di setiap depan bangunan. "Aku tidak sengaja memecahkan jendela dengan tongkat. Akan kuganti sepenuhnya, Pak Peter." Memalingkan wajah, Mike lebih senang memperhatikan kaki daripada muka orang.

"Tidak masalah. Hanya aku merasa kenapa minggu-minggu ini begitu sulit untuk kita. Mulai dari Louisa lalu sekarang kakimu. Apa kita dikutuk seseorang? Mungkin saingan toko?" Peter meletakkan belanjaan ke dalam, kemudian kembali lagi untuk mengambil yang lain dibantu Mike meski kesulitan karena hanya menggunakan sebelah tangan.

Terkikih, Mike mengekori Peter seraya berucap, "Aku tidak tahu kalau Bapak percaya hal mistis." Betul, pasalnya baru kali ini ia mendengar Peter mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal di luar nalar. Biasanya kepala pria itu hanya diisi Louisa, boneka, dan toko.

"Yah, habisnya belakangan ini banyak hal yang tidak bisa kumengerti. Louisa bertingkah berbeda, ya, memang bagus jika ia banyak bicara seperti sekarang, tapi aku tetap merasa ini aneh." Alis Peter terangkat, meletakan kantong kertas besar di meja dapur yang baru ia bereskan siang tadi. Mengeluarkan isinya yang berupa beberapa kantong roti, selai, kopi, gula, dan bahan pokok lain. Tak lupa belanjaan lain yang tak jauh dari barang-barang atau bahan-bahan khas dapur. "Terkadang aku berpikir bahwa Louisa tengah menyembunyikan sesuatu."

Gerakan tangan Mike terhenti di udara, menggantung saat hendak meraih bungkusan bubuk hitam yang pahit. "Anak-anak selalu punya rahasianya sendiri," tutur Mike, "aku juga waktu masih kanak-kanak dan sering mengompol, kerap berbohong agar orang lain tak tahu." Melanjutkan acaranya menyeduh dua cangkir kopi. Malam yang lebih sejuk dari biasa, akan sempurna dengan secangkir minuman hangat.

"Yaaa ... aku tahu." Peter mengibas-ngibas tangan. "Omong-omong Louisa di mana?" Peter celingak-celinguk tak mendapati sosok setinggi pinggang bersurai panjang itu.

"Tidur. Sepertinya kelelahan berpergian bersama hari ini." Mike berkata jujur. Menyodorkan secangkir minuman hangat ke hadapan Peter yang duduk sembari merenggangkan badan.

"Ia belum makan 'kan? Akan kupang---"

Mike memotong. "Tidak usah, Louisa baru saja menghabiskan kue kering di atas. Kupikir biarkan saja ia istirahat." Menarik kursi dari kayu eboni di samping Peter.

Peter mengangguk. "Louisa menyusahkamu, ya? Kau lebih pucat kali ini." Tangan Peter cekatan menyibak poni Mike, memperhatikan lebih teliti paras pemuda itu.

Kepala Mike bergoyang ke kiri dan kanan menyatakan ketidaksetujuan dari perkataan Peter, ia lalu melontarkan kalimat tentang Louisa yang begitu manis dan penurut.

"Oh, ya Pak." Mike tampak ragu membuka mulut, tangannya memilin taplak meja putih kecoklatan bermotif kotak-kotak biru muda. "Bapak yakin menerima pesanan dari Nona Margaret?" Meski detak di nadi dan dadanya serasa mau menerobos kulit, Mike memberanikan diri mengeluarkan kalimat yang mengganjal sejak di rumah sakit hari itu.

"Jujur saja Mike, aku pun tak betul-betul yakin tentang ini. Kita tak punya pilihan lain. Setidaknya uang Nona Margaret bisa menyelamatkan toko, rumah, dan masa depan Louisa beberapa bulan ke depan, sebelum aku bangkrut." Dari getaran suara saja, siapa pun tahu bahwa Peter tengah tertekan dari segala arah. Penjualan boneka tahun-tahun ke belakang menurun, sampai sekarang.

Menerima jawaban menyedihkan seperti itu, Mike bisa apa? Ia mencoba menempatkan diri pada sepatu pria yang tak pelit senyum. Peter bukan orang lain baginya, meski hanya Mike yang menganggap itu dan orang yang dimaksud tidak merasakan hal sama. "Apa pun pilihan Bapak, aku tetap bersamamu. Tinggal tempat ini yang satu-satunya memberiku perasaan pulang dan pengampunan."

"Pengampunan?" Peter terkejut dengan kata yang terucap dari Mike.

"Bukan apa---oh tidak!" Pekikan kecil diikuti pukulan kesal di meja mengalihkan topik pembicaraan. Mike mendesah seraya bersandar pasrah, mencengkeram kepala dan bergumam begitu bodohnya ia. "Aku lupa mengambil uang dan aksesoris!" sambungnya setengah kesal kepada diri sendiri.

"Beruntungnya Nona Margaret menambah jumlah uang muka sepuluh persen, aku sudah membelikan beberapa aksesoris. Dan lagi, ia meminjamkan tiga orang pegawai dari pabrik kenalannya untuk membantu di sini. Kau tidak harus mengorbankan tabunganmu yang berharga, Mike. Gunakan itu untuk hidupmu." Peter menyeruput kopi, kemudian mencomot satu keping biskuit hambar dari piring yang disiapkan Mike.

"Oh, itu ... oke." Mike kehilangan kata, memilih mengaduk-aduk minuman pahit tanpa gula; manisnya hanya berasal dari madu dan krim.

"Aku akan melihat Louisa sebentar. Buat makanan untukmu, jangan hanya minum kopi. Jarang sekali melihat kau makan." Peter melesat, langkahnya terdengar bak raksasa di pendengaran Mike yang membisu.

Ucapan anak muda di bawah benar adanya, stoples kukis sudah kosong setengah. Beralih ke pintu kamar Louisa, Peter menekan handel pelan tak ingin mengganggu sosok yang terbaring telentang di bawah selimut putih. Masih segar di ingatan suasana yang memaksa ia membelinya. Kalau tidak salah saat itu tengah malam, Louisa yang baru empat tahun menangis nyaris kejang karena demam tinggi. Merengek kepada ibunya minta dibelikan selimut bergambar beruang salju yang berbulu tebal. Peter tersenyum simpul, ia sampai harus menggedor toko kasur dan segala perlengkapannya malam-malam, demi selimut beruang.

Membuka nakas berhias lampu tidur merah muda, masih saja satu lembar foto usang tersimpan berdebu di sana. Tiga orang begitu bahagia tertangkap kamera. Louisa memeluk tangan Peter dan tangan wanita yang menutup sebagian wajah dengan rambut panjang. Sendu menaungi ruangan penuh kenangan. Elusan penuh kerinduan tertuju pada potret wanita bermata biru tua.

"Nina sayang, kenapa kau pergi hanya karena merasa tak cantik untuk kami? Padahal Ninaku sudah cukup untuk dua Mariozette yang butuh sentuhan kasih seorang perempuan. Apakah kau tak rindu putrimu sendiri. Sudah bertahun-tahun---ibu terkasih tak pernah kembali pulang ...." Tarikan napas Peter menjadi perantara pada dunia betapa sesaknya hidup, jika salah satu bagian dari kepingan cinta hilang. Dunia seolah hancur, Peter tetap kukuh demi Louisa seorang---untuk gadis kecilnya yang masih memiliki jalan panjang.

"Maafkan Papa, Louisa," sesal Peter, menarik ujung selimut agar menutupi seluruh tubuh Louisa terkecuali kepala. Mengecupnya agak lama di kening, berbisik tidak ada satu benda pun yang mampu menunjukkan betapa ia sangat mencintai putri semata wayangnya. Peter melirik sebelum benar-benar menutup pintu, memandang dengan sorot prihatin, lantas menutup pintu meninggalkan Louisa bersama mimpi-mimpi kecilnya.

Sepeninggal Peter. Tak lama sebuah tangan dengan jari-jari putus merangkak dari bawah ranjang. Deux menemukan jalan pulang, meski anggota yang tersisa tinggal dari pinggang ke atas. Bersama Sno yang menyisakan kepala saja. Kedua boneka itu berhasil meloloskan diri dari banteng yang menyeruduk ketiganya.

Seperti ulat, Deux tak menyerah bergeser ke sudut dekat lemari pakaian, tepat di kaki ranjang di mana Louisa sedang mendengkur halus. Menunggu, Deux dan Sno hanya mampu menanti sang pengendali terbangun untuk membetulkan tubuh mereka, dari pemutaran mimpi yang tak ada bedanya dengan pengingat paksa, neraka yang belum rela membiarkan Louisa tidur dengan hati tenang.

Di tempat yang jauh. Bangunan penuh tanaman rambat seperti halnya rumah terbengkalai yang keren. Jendela-jendela seperti tengah menatap siapa saja yang lewat dengan bola mata tajam. Dinding bercat putih mulai terkelupas, jamur-jamur memakan tembok. Sebuah syarat yang cocok untuk sebuah tempat tinggal hantu. Pun dikelilingi pagar besi setinggi dua meter berujung macam tombak. Jalan setapak batu yang di pinggirannya diletakan pot bunga.

Dua orang berjalan berdampingan masuk ke salah satu pintu yang terbuka. Orang yang berbadan lebih kecil terlihat sedikit pincang dan mesti dipapah. Berbeda dengan muka bangunan tiga lantai yang tua dan menyeramkan, bagian dalam cukup nyaman dengan lantai berkarpet merah. Lantai marmer hitam mengilap bersih tanpa debu. Patung-patung torso juga baju besi berjejer selang-seling sepanjang lorong menuju ruang tengah.

Seorang pelayan berpenutup kepala kain hitam polos sepanjang dada, membungkuk kepada tamunya. Dengan satu tangan di belakang dan satunya lagi mempersilakan sepasang perempuan dan laki-laki untuk mengikuti ke mana ia melangkah. Atmosfer hangat, tetapi membuat paru-paru tak nyaman. Lampu-lampu kuno dan lilin merah menciptakan bayangan mereka yang menari-nari di dinding.

Si tamu yang mengenakan topi, melepas aksesoris kepalanya membiarkan rambut hitam agak ikal diujung yang diikat karet terpapar cahaya lampu gantung. "Nyonya Ma," katanya sembari membungkuk dalam.

Sosok yang dipanggil mengetuk-ngetuk jari pada lengan sofa yang terbuat dari kayu, sandarannya tinggi berbentuk sayap dan ukiran-ukiran yang tidak teridentifikasi. Sosok wanita yang mereka panggil Nyonya Ma, berdiri. Kain dengan bordiran timbul yang menutupi kepala sama seperti pelayan tadi, menyapu lantai. Tampak kepala di balik kain berpola kelelawar itu bergerak seperti menengadah. Kedua tangannya terulur meraih satu tangan dari kedua tamunya.

"Gagal." Satu kata dari Nyonya Ma menimbulkan cambukan ketegangan pada masing-masing tengkuk.

Rea yang sudah tak tahan, meloloskan air mata sembari tetap menahan agar tak bersuara. Nyonya Ma menyadari itu lantas memfokuskan perhatian kepada remaja yang bergelut dengan ketakutannya sendiri.

"Siapa namamu?"

"Re ... Rea." Agak terisak. Napasnya memburu diikuti ingus yang menumpuk di rongga hidung. Rea melirik sang ayah di sebelah yang tak berkutik, selain hanya menundukkan kepala.

"Rea, lihatlah ke bawah sini." Mengangkat kain yang menyembunyikan rupa misterius bersuara perempuan dalam dan lembut mengerikan.

Kepala Rea bergerak ke pria yang mengangguk pelan. Mengikuti bimbingan tangan Nyonya Ma, ia masuk guna melihat rupa dari nyonya besar penguasa gedung ini. Rasa penasaran pun tak luput hinggap di benak Rea. Namun, itu semua tinggal angan. Suara gigitan barusan memutus kehidupan gadis malang itu bersama kepala yang hilang entah ke mana. Tubuh Rea merosot menyisakan leher yang seolah tergigit hiu dengan bekas yang memualkan. Karpet yang sudah merah makin menghitam berkat cairan yang terus-menerus keluar dari leher Rea.

"Selesaikan atau giliranmu selanjutnya," ancam Nyonya Ma, membalikkan badan menuju tangga megah di ujung. Membiarkan satu-satunya orang yang tersisa meratapi mayat putrinya yang mati mengenaskan.

Nyawa Rea seperti seekor ikan, tidak berharga dan gampang untuk dikorbankan. Sebagian kesalahan yang dilakukannya bukan atas keinginan gadis remaja yang sedang sibuk dengan dunia anak muda. Contoh lain anak yang jatuh sebagai korban orang tua.

Pria itu mengangkat sisa tubuh sang anak, berjalan dengan pandangan kosong ke arah yang semula mereka lewati. Langkahnya terhenti begitu sudah berada di ambang pintu. Nyalang di mata hitam sepekat malam bisa saja memecahkan pot-pot tanaman.

"Semua karena Louisa!"

.
.
.

To be continue

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
r

edaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro