Amour

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bahkan para pahlawan super yang benar-benar hidup tak mampu mengalahkan perasaan sederhana dari lubuk hati terdalam manusia.
- Louisa

.
.
.

"Akhirnya, kukira kau mati di jalan. Sudah lama aku menunggu!" Pria tua menurunkan kacamata bulat di mata kanan. Gemerincing rantai alat bantu melihatnya bersautan dengan serangga-serangga malam. Sembari memegang penerangan tak seberapa dari lilin, ia mempersilakan tamunya masuk. Langkah pendek-pendek sedikit bungkuk, pun menggunakan tongkat dari kayu yang mulai lapuk termakan waktu.

"Aku tidak akan mati hanya karena tergelincir, Tuan," balas Louisa. Meski agak kesal dengan perkataan pak tua berjanggut pirang yang duduk di kursi goyang, tak dipungkiri ia tetap orang baik di antara manusia-manusia tak berhati. Setidaknya hanya ia seorang yang mau menerima hasil tangan Louisa.

"Ya, ya, aku hampir lupa kau itu bukan orang normal." Mengibas-ngibas tangan tak acuh, lalu menyentuh rambut-rambut dagu sepanjang dada. Ia membenarkan kembali letak kacamata yang mulai membayang. Meletakkan lilin di meja kecil dekat kursi, lengannya kini sibuk dengan kantong kain yang disodorkan Louisa barusan.

Nyenyat membelenggu rumah berdinding batu, lantainya pun terbuat dari cadas yang berdebu. Si pemilik malas membersihkan tempat tinggalnya sendiri, beralasan bahwa ia hanya tinggal seorang. Jendela-jendela masing-masing dua buah di sisi kiri dan belakang orang yang diperkirakan usianya tujuh puluh tahun. Di samping Louisa ada jalan masuk ke ruangan lain tanpa pintu, tercium dari sana aroma mentega, bau manis kentang, dan plum kering. Penerangan hanya mengandalkan obor di luar dan lilin-lilin yang diwadahi oleh benda dari tembaga yang diwarnai hitam, memiliki kaki membulat seperti mangkuk sedikit ceper dari biasanya.

Ini bukan kali pertama ia berkunjung, tetapi Louisa tak bisa menahan godaan untuk melihat-lihat seisi rumah si lelaki yang sibuk menilai boneka-boneka buatannya. Kadang perempuan yang selalu berpakaian sama---rok cokelat dan atasan putih kusam---setiap hari itu, ingin masuk lebih dalam. Louisa penasaran apa yang ada di balik pintu yang kerap tertutup jika ia datang mengantar pesanan. Barangkali ada hal menarik di sana. Namun, Louisa hanya mampu menggeleng dan berkata dalam hati untuk tak mengusik hidup orang lain.

Iris biru si kakek bertatapan dengan mata ungu misterius sosok yang melipat kaki di lantai. Itu tidak lama sampai laki-laki yang berpakaian rapi di sana memutus kontak, kembali memeriksa boneka-boneka marionette yang dipasangi tali pada kayu melintang, boneka dari kain-kain tak ketinggalan dari penglihatan rabun dekat, tetapi tetap tajam miliknya jika berurusan mengevaluasi.

"Tuan?" Louisa memiringkan kepala, menggambarkan bulatan-bulatan tak terlihat dengan jari tanpa sadar.

"Hem?"

"Kau terus meminta boneka-boneka dariku, padahal satu pun tak pernah Tuan jual. Kenapa? Apakah itu jelek atau begitu hinakah benda-benda yang tersentuh olehku untuk orang lain?" Ia berkata demikian lantaran bingung. Sungguh Louisa tidak mengerti jalan pikiran kakek yang selalu berwajah marah dan bersungut-sungut menyumpahi apa saja yang ada, entah ketika tongkatnya terantuk tangga depan pintu, atau makanan gosong di piring.

Setiap satu minggu sekali, ia akan meminta dibuatkan boneka sekitar empat atau lima, lalu ditukar dengan sekantong roti, atau tepung, atau apa pun yang ada di dapurnya. Kakek itu sendiri adalah seorang pembuat mainan dan pemilik toko yang cukup digemari di kota. Bisa-bisanya terpikir menyuruh orang lain membuatkan ia sebuah boneka, yang bahkan kualitasnya di bawah boneka hasil si kakek.

Memang Louisa mendapatkan untung dari sana, kalau-kalau kakek itu tak bersedia membeli bonekanya, mungkin ia dan anak-anak yang diasuh akan mati kelaparan. Mampus gara-gara perut kosong lebih menyakitkan daripada mati tertabrak kuda---atau sebaliknya? Entahlah! Satu hal yang pasti, orang-orang tak sudi memakai tenaga Louisa---ada satu orang, itu pun hanya sekali dan untuk yang terakhir---kakek pemarah itu bagai pahlawan yang mengulurkan tangan meski dengan tali kotor dan nyaris putus.

"Ck! Perempuan kecil bodoh tak perlu tahu masalah orang tua!" hardiknya melempar salah satu boneka kain ke arah Louisa. Kakinya yang gemetar melangkah bersama tongkat setinggi pinggang yang mempunyai kepala kucing.

"Lalu mengapa? Orang-orang membenciku,  mustahil untuk kau tidak, bukan?" Meremas boneka berbentuk manusia tanpa wajah gemas, Louisa menarik alis ke atas penuh pertanyaan. Pupilnya membesar berkat cahaya minim dan rasa tidak puas di dada.

"Setiap manusia di dunia akan membencimu, Louisa. Sudah jadi dasar manusia untuk memusuhi siapa pun yang berbeda. Termasuk aku." Kakek datang dengan bunyi ketukan khas berirama dari dapur, ia melemparkan bungkusan beraroma kentang rebus dan sekantong tepung tepat ke pangkuan Louisa dan duduk ke tempatnya semula. "Aku memang sangat membencimu bahkan ingin memenggal kepala kosong itu, tapi jujur, aku menyukai boneka buatan si orang aneh. Sekarang cepat pergi! Kau sudah dapatkan bayarannya! Hus!"

Sigap menghindari ujung tongkat sebelum memakan korban yaitu keningnya. "Iya! Aku pergi. Terima kasih, Tuan!" Louisa melambai sebentar lantas berlari menjauh ke bukit menuju puncak, tak kesulitan meski ia mengenakan rok semata kaki, sebelum kakek pemarah itu melempar batu atau sepatu ke kepalanya. Dari sekian banyak orang di kota terpencil paling jauh dari peradaban luar, hanya pria pirang berumur itu saja yang berani Louisa goda.

Garukan lembut di telapak kaki membangunkan perempuan kecil berpiama selutut. Sosoknya langsung terduduk di tepi ranjang empuk, memandang kosong lantai parket seraya bergelut dengan pikiran yang belum fokus. Selimut merosot dari tubuh Louisa ketika tangan pucat menariknya dari bawah ranjang. Menengok ke bawah, Deux menyembulkan kepala saling pandang dengan pemiliknya, kemudian menyerahkan sisa tubuh Sno yang berhasil ia ambil. Kurang lebih sejak tiga jam lalu, boneka berjiwa itu bersembunyi di bawah pembaringan lantaran ada seseorang yang berdiri memperhatikan Louisa lama sekali.

"Kalian menderita karena aku." Jemarinya meraih Deux lembut selepas mengusap-usap kepala Sno dengan mimik muka bersalah, kemudian membawa boneka yang tinggal setengah badan itu ke punggung.

Melongok sejenak, di sofa yang berubah menjadi kasur sederhana---Mike terlelap dengan mulut terbuka, giginya tampak bersinar terkena lampu yang lupa dimatikan. Ia juga memakai selimut Louisa yang sering dipakai saat menonton televisi. Hati-hati mendekat. Di punggung, Deux memeluk lehernya sembari memegangi kuping Sno kuat agar tak terlepas. Memeriksa apakah pemuda yang mengorok lumayan keras itu akan bangun atau tidak. Namun, Louisa rasa tidak, Mike tidur seperti orang mati bahkan ia tak bereaksi saat dengan sengaja bocah itu mencolek hidungnya.

Ia juga merasa lebih baik. Tidurnya yang singkat malam ini tak menimbulkan kengerian di tulang-tulang, atau keringat dingin yang membanjiri tubuh. Ingatan terakhir Louisa hanya seputar elusan nyaman dan senandung menenangkan.

Cukup mengamati muka orang lain. Mike tidak akan menimbulkan masalah, toh, seperti tak ada yang bisa membangunkan ia selain dirinya. Sekarang giliran mengintip ke kamar sebelah. Melalui lubang kunci, Louisa memeriksa bagian dalam kamar. Dari awal ia terbangun di rumah ini, sekali pun belum pernah menginjakkan kaki ke kamar Peter. Begitu mendorong sedikit papan setinggi dua meter lebih, pintu tidak mau terbuka. Setelah satu menit kurang berlalu, Louisa tak menemukan sosok lelaki berambut diikat. Hanya ada kasur dan lemari juga jendela yang terhalang tirai abu-abu. Kalau ayahnya tidak ada di atas, berarti tempat paling berkemungkinan ia berada ialah di ruang kerja.

Tak mau menunggu, tetap dengan langkah seringan bulu Louisa bergegas menuju tujuan. Benar saja, Peter masih duduk memandangi boneka-boneka sebesar lengan bawah orang dewasa. Benda-benda bermata palsu itu berjejer seperti hendak melompat ke arahnya. Louisa mengusap mata yang diserang kantuk. Jarum jam di dinding pun berada di antara angka satu dan dua.

Menaruh Deux dan Sno di meja, Louisa menyentuh jempol yang terdapat banyak goresan. "Papa?" panggilnya pelan makin berani mengawai bahu Peter. Saat melihat wajah lelah sang ayah, ia baru sadar ternyata pria yang berbau seperti kain yang sudah lama disimpan, tertidur melungguh.

Tak perlu kalimat-kalimat panjang untuk menjelaskan semua yang terpampang di depan mata. Sempat beberapa kali mencuri dengar percakapan Peter dan Mike, keadaan toko jatuh nyaris gulung tikar. Semua itu karena perbuatan Louisa yang berkelahi dengan Igor. Perasaan tidak enak begitu memandang wajah rupawan Peter yang mulai berkeriput, kerap mengganggunya.

Dorongan kecil di hati makin kemari kian kuat, Louisa bergerak ke belakang Peter. Memeluk punggung lebar dan nyaman pria yang sepertinya memaksakan diri bekerja sampai larut. Terbentuk rasa baru yang begitu candu. Louisa menikmati setiap sentuhan lembut, hangat, dan penuh cinta Peter. Perlakuan yang tiba-tiba ia rindukan tanpa alasan dari orang tua di kehidupan lalunya, yang tidak pernah Louisa ketahui. Pelan-pelan tumbuh benih kecambah yang membawa kucing-kucing manis di sanubari.

"Peter adalah orang tua Louisa, bukan aku, tapi ... bolehkah sekali saja aku betul-betul menjadi anakmu, Papa," pinta Louisa tulus. Bulir-bulir bening yang luruh menganak sungai. Masih memeluk pinggang Peter dari belakang, ia terus berbisik menyampaikan permintaan tak masuk akal itu.

Tak disangka. Walau Peter tengah berada dalam ilusi bunga tidur, tangannya membalas pelukan Louisa. Menekan punggung tangan menggunakan lengan agar makin menempel ke tubuhnya.

Kelap-kelip seperti kunang-kunang bermunculan dari rambut Louisa yang mengembang. Memenuhi seisi ruangan kerja, hinggap di kepala boneka atau meluncur di surai Peter. Deux dan Sno terangkat ke udara, tangan-tangan cahaya meraih anggota-anggota badan baru untuk dua boneka rusak. Benang-benang emas menjahit sambungan begitu rapi dengan pola jahit yang cantik.

Di luar itu. Keajaiban kembali menaungi ayah dan anak yang larut dalam suasana kasih sayang. Boneka-boneka lain yang berbeda dari hasil buatan Peter, berjajar lima buah. Membangun tubuh-tubuh dari potongan-potongan plastik dan baju boneka yang seukuran anak-anak. Benang yang berasal dari rambut Louisa mengingat di masing-masing kelingking, tanpa terkecuali---termasuk Deux dan Sno yang sudah kembali pada tubuh sempurnanya.

Gelak tawa riang mengalun, menelusuk dinding-dinding juga lantai dengan nada yang menenangkan. Aroma rumput musim semi yang segar, wangi labu kuning besar di musim daun berguguran, embusan sesejuk bulan putih, pancaran hangat sepanas langit di saat matahari bersinar lebih terang. Lima boneka yang baru tercipta itu membuka mata mereka; si anak lelaki yang merapatkan kedua tangan tersenyum manis; si kembar berambut merah yang saling bergandengan tangan; si seniman yang bersiap dengan kuas sebesar sapu; dan yang paling kecil berada di tengah-tengah, perawakan bak peri berparas jelita dengan sayap mirip capung berwarna biru transparan.

Mereka berjalan memutari meja dengan suara langkah sopan di pendengaran. Di mulai dari boneka yang paling tinggi, ia menyentuh Louisa dari sisi kiri, menyipitkan bola kaca indah yang berbeda dengan mata boneka biasa, kemudian yang lain mengikuti. Meletakkan tangan mereka di tubuh Louisa yang belum ingin melepaskan diri, mendekap Peter semampunya.

Deux memangku Sno yang tampak agak lebih besar dari sebelumnya dengan dasi pita yang lebih panjang dan lebar. Sosok yang serupa Louisa itu berdiri di meja---di hadapan Peter yang tidak merasa terganggu sama sekali---menunduk dalam dengan anggun. Sayap besar terbuka di punggung Deux sampai bayangannya menghalangi cahaya hingga ke sudut dinding. Iris ungu bercahaya dengan tetesan air mata. Selayaknya induk burung yang mengepakkan sayap, melindungi telur-telur rapuh di bawah.

"Kami mencintaimu ...." Mereka berlima berkata bersamaan, lantas memeluk Louisa erat.

Joseph, Lulu, Lily, Ludwig, dan Mia. Anak-anak korban keganasan manusia telah kembali dalam wujud lain. Mengemban tugas untuk membantu perempuan yang mengasihi mereka. Saling memikul beban untuk menjadi batu pijakan Louisa meraih keberhasilan.

Kemenangan dalam peperangan melawan para predator haus darah yang berkeliaran di luar sana.

.
.
.

To be continue

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
redaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro