Ouvrier

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan pernah berhenti sampai kaki dan tangan hancur, sampai sekujur badan disantap semut. Selama napas masih terpompa, sepanjang jantung tetap berdetak, hidup akan terus berjalan. Tidak peduli sukarela atau terpaksa.
- Louisa

.
.
.

Meja jamuan panjang dengan taplak meja hitam sudah menunggu bersama kudapan-kudapan mahal dan tentu menggugah selera. Dari kaviar albino yang langka sampai jamur truffle yang harganya setara dengan emas. Berada di gedung di lantai paling tinggi, menyanjikan pemandangan tepi laut menawan, aula besar bergaya klasik dominan warna hitam dan kayu memanjakan mata para penikmat arsitektur. Lukisan-lukisan karya seniman terkenal, yang indah memesona ada pula yang mengerikan mencekik leher. Musik karya Beethoven menyambut dengan nada-nadanya yang unik.

Pria gemuk berkarisma seorang penguasa duduk paling terakhir. Di sisi kiri dan kanan enam kursi saling berhadapan yang sudah diduduki masing-masing tamu undangan. Namun, tiga paling ujung tidak berpenghuni. Mereka yang datang bukan sembarang orang. Mulai dari sepasang burung cinta berbusana serba perlente, pemain film dan model yang cantik juga tampan, pengusaha terkaya seantero negeri Paman Sam, polisi, tentara, dan entah apa pekerjaan mereka, mungkin salah satu adalah dokter bedah gila yang tak melupakan pisau bedah berdarah di saku jasnya.

Semua tampak penasaran, semenjak rundingan panjang beratus-ratus tahun lalu digelar, baru kali ini diskusi pelik akan berlangsung lagi. Sebagian mendahului yang lain menyantap hidangan, ada yang saling bercengkerama atau sekadar basa-basi bersama kawan lama abadi. Saling bercerita perjalanan hidup setelah mendapatkan kesempatan dari cara kotor.

"Tolong dengar." Pria yang duduk berbeda---di ujung meja---memukul gelas berkaki tinggi dengan sendok, pipa rokok yang membulat di ujung bertengger manis di antara lipatan daging yang menghitam berkat nikotin.

Perhatian penuh untuknya. Berpasang-pasang mata bagai mata pisau yang berusaha mengorek-ngorek bagian terdalam. Menghela napas, kemudian mengembuskan bersama asap rokok berbentuk donat. Ia tampak gusar mengusap rambut putih ke belakang, tangan kanannya memegang dua foto orang yang sudah pasti mereka kenali, dan satu lagi foto seorang kakek tua berjanggut yang lebih bisa disebut hasil gambar seseorang.

"Igor lalu Rose," katanya melempar dua foto ke tengah meja, ia mencondongkan badan dengan menumpu pada sikut tak mempedulikan pipa rokok yang tergolek di atas asbak kepala singa. "Bagaimana ini?" Menatap setiap netra yang bergerak tidak sabar.

"Aku tidak berpikir itu terjadi, ternyata benar ...." Seorang meraih foto Rose, terpampang dari garis wajah bahwa ia menyayangkan wanita secantiknya mati begitu saja. Mereka termakan asumsi-asumsi sendiri saat getaran dan perasaan aneh saat itu, bukan berasal dari Igor dan Rose.

"Perempuan terkutuk itu sudah mati, bukan? Aku sendiri yang menusuk jantungnya," sosor laki-laki berjas putih, lengannya sibuk memutar-mutar pisau pipih sejengkal terbuat dari baja karbon. Memutar bola mata bosan dan angkuh. Berpikir tidak mungkin seseorang yang sudah mati seribu tahun lalu, hidup kembali, apalagi tubuhnya tak tersisa---mereka makan sampai ke tulang. "Kita bahkan memakannya!" Ia menusuk daging bakar di hadapan menggunakan benda yang ia genggam, daripada menggunakan garpu dan pisau makan layaknya orang normal.

"Lantas siapa lagi?" Kali ini pria berbadan besar yang mengeluarkan suara. Sedari tadi dirinya geram menahan gejolak amarah ketika mengingat anak yang ia sayangi menjadi korban. Topi yang identik pada para penggembala di Ameria, ia lempar ke meja. "Anakku bahkan mati karenanya!" Emosi tak dapat lagi terbendung. Gelas berisi minuman merah, retak perlahan begitu cengkeramannya menguat. Teringat Rea yang selalu marah karena diganggu saat menonton konser, kini tidak ada. Hanya tersisa raga tanpa kepala yang membusuk digerogoti cacing.

"Tenangkan dirimu. Kita sedang menghadapi sesuatu yang mustahil diselesaikan dengan kepala panas." Lelaki tambun yang mengenakan veste sebagai luaran kemeja, mengangkat tangan memberi tanda agar orang yang duduk selang dua kursi darinya untuk diam. "Karena itulah aku memanggil kalian semua. Igor dan Rose sudah jatuh, orang ketiga belas yang ikut memakan penyihir boneka tidak bisa ditemukan sejak saat itu. Tinggal kita bersepuluh yang tersisa," lanjutnya penuh penekanan di setiap kata, dan juga terdengar suara jengkel gara-gara hidup yang tenang selama ini tengah diusik.

"Jadi?" tanya perempuan yang sibuk mengunyah sebutir anggur.

"Kita harus menangkap---bukan, membunuhnya untuk kedua kali. Sebab hanya ia yang mampu memusnahkan kita. Sebanyak apa pun kita ditusuk perak, tetap tidak akan mati, kecuali orang yang melakukannya adalah penyihir yang asli sama seperti Nyonya Ma. Ancamannya lebih serius dibanding satu ton perak."

"Kalau begitu, ia pun bisa mati karena perak. Pada dasarnya kekuatan yang kita miliki berasal dari si pengendali boneka dengan pengorbanan," tutur orang paling jauh sembari mengangkat tangan.

"Betul sekali. Ibarat pedang ganda yang bisa melukai satu sama lain. Oleh karena itu, kita harus bergerak lebih dulu meraih pedang untuk menghujam perempuan itu."

Sisanya yang menyimak, mengangguk setuju. Kelangsungan hidup mereka bergantung pada keputusan hari ini. Jika sosok yang membayangi itu tak segera dibereskan, mungkin salah satu dari mereka keesokan harinya akan menjadi korban. Desakan-desakan mengenai solusi memenuhi aula bahkan alunan piano tersamarkan oleh polusi suara, dari kesepuluh manusia yang tak layak disebut makhluk berakal dan berhati.

Perut besarnya bergoyang begitu ia melangkah mendekati lelaki yang mengepalkan tangan. Meraih topi dan memakaikannya kepada sosok yang duduk di depan. "Nyonya Ma meminta dua orang dari para ksatrianya, untuk mengambil pedang dan mengalahkan sang pengendali boneka. Keputusan sudah Nyonya Ma ambil, Bob dan Jakson yang akan menangani ini. Bob sudah mengetahui identitas dan alamat baru wanita itu. Segera bereskan selagi ia belum membangkitkan kekuatannya."

"Aku?" Orang yang dimaksud menunjuk dirinya sendiri. Jakson menarik pisau bedah dari daging sapi yang sudah terpotong kecil. "Ya, tidak masalah. Aku pun ingin menusuk jantungnya lagi." Air liur menetes. Betul-betul ekspresi sinting orang gila yang ketagihan melukai orang lain. Jari-jarinya bergerak seperti kaki ubur-ubur. Melayang-layang membayangkan sensasi berdebar ketika bilah tajam menggores perlahan permukaan daging, darah semerah mawar begitu mengaduk-aduk hati Jakson.

"Ya. Kita tidak mau kerja keras selama ini hancur karena jiwa orang mati. Meski harus dibayar dengan nyawa sekali pun, aku menolak mati di tangannya!"

"Kau benar, Ritcher. Perempuan itu---Louisa, harus mati."

Pria bernama Ritcher itu kembali ke kursinya, menepuk tangan sekali memerintahkan pelayan-pelayan yang menunggu di luar ruangan, untuk masuk. Setiap pelayan yang berseragam hitam, menggandeng satu anak. Jumlahnya sekitar sepuluh pelayan dan sepuluh anak campuran laki-laki dan perempuan. Usia sosok-sosok kecil itu di bawah sepuluh tahun, masih di masa-masa melihat dunia sebagai taman permen kapas dan cokelat.

"Sebelum itu." Ritcher mempersilakan kawan-kawannya untuk berdiri berdampingan. "Selamat makan, saudara-saudariku!"

Kondisi berubah ricuh. Tangisan dan jeritan dari para manusia kecil tak tahu apa-apa menyaingi musik yang sengaja dibesarkan volume suaranya. Cairan amis memercik ke lantai membentuk lukisan skala besar, serpihan daging yang tercabik-cabik tercecer. Aroma lembut sebelumnya berganti amis lautan darah.

Sepuluh orang dewasa di sana berpesta dengan mulut penuh daging merah. Para pelayan menutup mata, tak berani melakukan apa-apa atau nyawa mereka dan keluarga menjadi taruhan. Ironi di atas tragedi. Manusia akan menyelamatkan diri dan orang paling mereka kasihi, walau mengorbankan orang lain yang sama-sama ingin hidup.

Wujud mereka tersingkap. Kelambu indah yang membungkus jiwa-jiwa busuk itu tak mampu menghalangi hasrat membabi-buta. Anak-anak yang malang. Mereka harus mengakhiri hayat dengan cara menyakitkan.

Sementara di kediaman Mariozette. Louisa tengah mematut rambut yang acak-acakan. Poni tersibak ke belakang kaku, padahal ia sudah keramas pagi ini. Barangkali sabun yang digunakan belum ia basuh sampai bersih, sebelum-sebelum ini surainya baik-baik saja.

Malam tadi terasa sangat membahagiakan untuk Louisa secara aneh. Walau sebenarnya ia lupa telah melakukan apa, yang jelas perasaan gadis berbaju terusan merah gelap, terasa seringan bulu burung. Tentram dan aman.

Ketukan di jendela mengalihkan perhatian, Louisa bergegas membuka kunci jendela. Di luar terlihat Deux dan lima boneka baru yang entah ia dapat dari mana, tengah menempel bersama cicak di dinding. Wajah-wajah boneka-boneka sangat mirip dengan bocah-bocah yang ia rawat. Mata mereka tertutup sepenuhnya, selain Deux yang terbuka lebar sembari menggendong Sno yang duduk anteng di bahu.

"Kuserahkan kepadamu, Deux," bisik Louisa.

Boneka berparas lugu di sisi kiri berkedip, kemudian melompat turun diikuti lima boneka lain, kecuali Sno yang meloncat ke pangkuan Louisa. Setiap pasang mata kaca di bawah sana terbuka memandangi jendela berhiaskan tanaman-tanaman rambat di setiap sisi, sebelum akhirnya berpencar ke setiap penjuru, diikuti tali-tali emas yang tersambung ke persendian di tubuh mereka.

Mendapati tinggal berdua dengan Sno, Louisa memutuskan untuk menemui Peter di bawah. Selain karena desakan tiba-tiba yang ingin melihat wajah pria itu, pun perutnya sudah huru-hara minta diisi makanan enak. Baru beberapa langkah, Louisa terantuk dinding dengan hidung lebih dulu mengecup permukaan berlapis cat merah muda pucat. Pandangan Louisa sedikit kacau, pasalnya dari beberapa saat lalu, ia dan boneka-bonekanya saling berbagi penglihatan bahkan dengan Sno yang tidak ia beri jiwa seperti halnya Deux. Namun, untuk lima boneka yang muncul saat ia bangun, Louisa tidak tahu kenapa mereka bisa seperti Deux.

Mengelus hidung sambil mengangkat bahu tak ambil pusing. Mungkin Louisa secara tidak sadar menciptakan mereka dan memberikan jiwa, yang terpenting jarak pencarian kini makin meluas dengan adanya itu.

Tergesa-gesa menuruni tangga. Louisa sangat ingin menemui Peter. Namun, niat itu harus urung lantaran seseorang lebih cepat beberapa menit mengambil waktu ayahnya. Polisi besar dan gagah yang dipanggil Detektif Jason berdiri menghalangi pintu masuk, raut mukanya serius ketika berbicara dengan Peter. Jarak Louisa dengan dua orang dewasa itu agak jauh, ia tak bisa menguping pembicaraan seru yang mereka lakukan.

Memilih pergi daripada harus menelan pil pahit, Louisa mengikuti ke mana perginya aroma seharum gula panggang dan jahe. Rupa-rupanya berasal dari ruangan kerja Peter, di sana ada Mike yang berdiri menghadap lemari tengah membuka sebuah kotak. Dibandingkan ruang kerja yang sibuk, entah kenapa kamar yang satu ini lebih cocok disebut gudang makanan lantaran Louisa sering mencium bau-bau enak dari sini, walau ia berada di atas.

Mike menjatuhkan sesuatu, tangannya dikibaskan cepat seolah baru saja terkena benda panas. Belum sadar bahwa ia tengah diawasi oleh sosok bermata ungu yang memeluk beruang putih berdasi.

"Mike!" panggil Louisa agak keras.

Orang itu terkejut, Louisa ikut terkaget kenapa reaksi yang didapat begitu berlebihan hanya untuk sekedar panggilan. Pemuda itu buru-buru membenahi benda yang jatuh sambil memalingkan wajah ke tembok. Menyimpan kembali pada lemari, kemudian mengambil tongkat kruk dan bergerak mendekati paper bag di kursi.

"Jangan muncul tiba-tiba seperti hantu. Kau tahu aku orang penakut." Mike mendengkus. "Berhenti tertawa!" pekiknya main-main saat Louisa melebarkan senyum sampai tampak gigi-gigi mungilnya.

"Maaf." Louisa mengistirahatkan kaki dengan duduk di sebelah tas kertas Mike. "Kakimu?" tanyanya selepas melirik singkat kaki terbalut perban dan tak bersepatu. Hanya memakai sandal plastik biru tua.

"Agak mendingan. Ini untukmu, aku membeli ini pagi-pagi sekali saat toko roti masih tutup." Mike menyodorkan sekantong kue berbentuk orang botak yang berekspresi marah, sedih, dan senang. Makanan manis beraroma jahe. Gingerbread atau biasa disebut juga kue pria jahe.

"Wahhh ... terima kasih ...." Tak mampu berkata-kata. Terpana kepingan-kepingan penganan pencuci mulut yang manis, terapi tidak terlalu lantaran campuran jahe yang hangat dan pahit.

"Sayaaang."

"Iyaa." Louisa menjawab otomatis, terbiasa dengan panggilan-panggilan kasih dari Peter. Mulutnya langsung mengembung terisi kue yang dibukakan Mike.

"Kemarin. Setelah pulang dari mal, Louisa pergi ke mana?" Pertanyaan dadakan tersebut tentu saja memancing seseorang tersedak.

Gawat! Louisa belum siap jika harus dihadapkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Sebelum menjawab, ia menerima segelas air dan meneguknya sampai tandas, melancarkan pernapasan yang sejenak terganjal kue pria jahe. "Di rumah dengan Mike." Louisa spontan menunjuk muka pemuda yang berkeringat sebesar biji jeruk.

"Betul?" Kali ini Detektif Jason yang mengambil alih.

"Itu benar." Mike menahan untuk tidak berpaling dan membuat suasana makin keruh, begitu tatapan penuh curiga Detektif Jason serasa menggeledah tubuhnya.

"Jujur, Papa tidak mengajarkan Louisa untuk berbohong." Peter menekan, berusaha mengorek lebih dalam.

Merasa terpojok, sifat anak kecil Louisa bangkit. Membuatnya mengambil langkah menjauh dan bersembunyi di balik badan Mike. Tekanan yang ia rasakan cukup untuk menggetarkan mental anak-anak yang kerap bangun di situasi kurang tepat.

"Tidak perlu takut."

"Pak. Pak Peter," ucap tegas Mike, tangannya menahan lengan Peter yang ingin meraih Louisa di belakang. "Sebenarnya saat Bapak pergi, ada orang asing masuk dan hendak melukai kami. Bapak melihat sendiri pecahan kaca jendela, itu aku yang melakukannya ketika terpaksa mendorong seseorang ke luar rumah. Ia langsung kabur saat aku ingin menelepon polisi."

Detektif Jason meletakkan tangan di bahu Mike. "Siapa? Apa ciri-cirinya? Ke arah mana  ia pergi?"

Mike menggeleng. "Aku tidak tahu. Sungguh. Ciri-cirinya yang sempat kulihat itu mata cokelat dan badan sebesar Detektif Jason."

"Kita harus memerik---"

Percakapan mereka terhenti suara benturan keras dan alarm mobil yang menyala nyaring. Detektif Jason bergegas ke sumber, diikuti Peter setelah memastikan Louisa aman bersama Mike.

Melihat pria-pria dewasa itu pergi, Louisa dengan sekantong sedang kue pria jahe berlari tergopoh-gopoh ke kamar. Sebelum sampai di tangga paling atas, Louisa memberhentikan langkah mendengar pernyataan Mike.

"Aku sudah melindungi punggungmu dua kali. Pastikan Louisa Mariozette membayar penuh untuk itu." Mike menarik senyum simpul dan melanjutkan pekerjaan membuat boneka.

Mematung. Seperti tiada akhir. Louisa harus mencari cara memotong rantai setan ini, agar tidak terus menggangu dan menjerat tungkai---menghambat acara balas dendamnya.

.
.
.

To be continue

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
r

edaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro