Mitéra

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Otak boleh saja melupa. Namun, tidak dengan mata, hidung, telinga, kulit---tubuhmu, mereka punya memori masing-masing.
- Louisa

.
.
.

Sepasang kaki menapaki tangga, bunyi sepatu bertemu lantai hitam mengilap menggema menghasilkan suara ketukan yang enak didengar. Wanita bertudung putih berhenti di anak tangga terakhir, menatap dari balik bordiran yang agak renggang. Meski terhalang, nyala matanya mampu melemahkan otot-otot orang-orang yang menunduk di hadapan. Lengan yang semula tersimpan di depan, saling berpegangan kini tergantung di samping tubuh lantas bergerak ke belakang.

"Aku tidak peduli. Lakukan!" Perintahnya dibalas anggukan serentak, ketiga manusia jadi-jadian segera meninggalkan penguasa rumah yang bergerak menuju kursi agung. Salah satu kaki bersepatu dengan hak rendah, menopang kaki lain.

Seorang pelayan yang sama-sama menutupi kepala---entah bagaimana cara ia melihat, sudah menjadi budaya dan tradisi yang harus dilakukan di rumah yang lebih mirip gedung. Mungkin?---meletakan gelas berkaki tinggi yang terbuat dari emas dengan hiasan batu obsidian di meja kecil dekat si wanita.

Tangan berkuku panjang meraih tangkai gelas, memutar-mutarnya beberapa kali. Mengendus aroma yang memenuhi indra penciuman, merangsang saraf-saraf menjadi aktif. Tegukan pertama tidak begitu terasa. Begitu, perempuan yang menyibak separuh penutup wajah menghabiskan satu gelas minuman merah, yang bukan dari anggur. Bibir merah yang senantiasa datar itu, turun.

"Harus berapa kali? Sudah kukatakan aku tidak suka darah bayi."

.
.
.

Bibi!

Monster!

Louisa ....

Angin membangunkan ia yang terbaring lemah. Beberapa detik dihabiskan dengan termenung berselonjor kaki. Berusaha menyalakannya kembali otak yang terasa membeku. Louisa mengedarkan pandangan, menemukan jendela kecil yang dipasang tinggi tidak ditutup. Bulan terlihat mengintip sebelum awan menghalanginya lagi. Kamar seluas tiga kali tiga meter dengan furnitur berupa ranjang, lemari berlaci pendek, dan sebuah sofa minimalis. Dinding dilapisi wallpaper garis-garis putih dan hitam. Lantainya dari kayu, seperti yang ada di rumah. Pencahayaan satu-satunya berasal dari lampu di nakas yang menyala biru.

Setelah satu menit menebak-nebak tempatnya berada, Louisa spontan menarik baju atasan. Memeriksa lubang yang harus merenggut nyawa. Namun, luka itu tidak ada, hanya ada bekas kemerahan agak membiru di bagian kiri dada. Berbagai pertanyaan muncul. Siapa dan bagaimana.

Gerakan kecil di sebelah memberikan kejut ringan di ulu hati. Louisa melotot, mata yang sembab bangun tidur makin memerah akibat air di otaknya kembali dikuras. Sosok yang terlelap di sana, membuat anak perempuan yang bersimpuh di kasur bersujud. Kelegaan serasa bagai air dingin di kala panas, ketika melihat dada yang terhalang selimut naik-turun sebagaimana orang bernapas. Ia menarik ujung kaus sang ayah, memastikan supaya hatinya makin yakin. Bekas yang sama, merah kebiruan tepat di bagian luka.

"Terima kasih ...." Louisa berisik meremas seprai putih yang sudah dibasahi air mata dan ingus, sembari menahan agar tangisan tak lepas. Berulang-ulang mengucap syukur kepada siapa pun yang menyelamatkan mereka, terutama Peter. Kesempatan, Tuhan memberikan ia waktu untuk menyelesaikan tugas sebelum nyawa direnggut sepenuhnya.

"Oh ... it's okay ... it's okay, Sweetheart. Jangan menangis bayi manisku ...." Peter tiba-tiba mengelus pipi Louisa. Pria itu memandang hangat meski tubuhnya terasa bak dirajam. Pusing ikut menyertai, tetapi itu bukan sebuah halangan untuk ia bangkit dan merengkuh raga kecil tersedu-sedu. Menghadiahi ciuman di ubun-ubun, kening, dan tak ketinggalan pipi kenyal Louisa yang sedikit asin.

Louisa mendekap erat leher Peter, mencium sebanyak mungkin aroma khas bercampur wangi bunga lavender, meredakan gemetar hebat di sekujur tubuh. "Maafkan aku!" pekiknya. Kalau saja Louisa tak ceroboh atau ia yang lebih kuat, mungkin kejadian yang menimpa mereka tidak akan terjadi. Rasa membebani bahu kian memberat seiring hati kecilnya mengucap penyesalan.

"Ini bukan salahmu, tidak apa-apa, Sayang." Ia menepuk-nepuk pelan punggung si anak, menenangkan jiwa yang tak pernah damai. Cukup singkat elusan itu memberi rasa aman. Kehidupan bukanlah sebuah film dengan tokoh yang kuat. Badan Peter perlahan ambruk saat dirasa sakit yang bergelayutan melemahkan, ia kemudian berkata dengan wajah sedih. "Papa hanya minta satu hal. Jangan benci Mama, ya ...." Lantas kedua mata ungu itu terpejam lelah.

"Sulit sekali, aku tidak bisa ...." Kedua tangan Louisa menggosok mata berusaha meredakan gejolak tak tertahankan di dada. Napas mulai tersumbat dengan lendir yang mengotori wajah.

Tidak ada waktu untuk meratap! Memaksakan kedua kaki berdiri serentak, mengabaikan pijakan yang bergoyang-goyang. Louisa berjalan keluar kamar, sebelum itu ia sempat mengambil benda yang tergolek di dekat pintu. Benda dari kulit sebesar telapak tangan dewasa, berisi kartu-kartu yang tidak ia mengerti, berlembar-lembar kertas bernominal kecil, lalu sebuah foto di mana tiga orang tengah duduk di sofa, memangku seorang balita berbaju merah.

Mengingat wajah perempuan yang menusuk dari belakang, amarah Louisa memuncak. Tak habis pikir, Nina tega menghabisi tubuh anaknya sendiri, walau Louisa hanya sebagai penumpang di raga bocah itu. Wanita berdarah dingin yang sanggup menyakiti bagian dari dirinya sendiri, tak pantas menyandang gelar begitu agung dan mulia seorang ibu, bahkan hewan sekalipun menyayangi keturunan mereka.

Sesuatu melesat dari arah pintu dekat kulkas. Louisa refleks menunduk menghindari benda sepanjang satu jengkal lebih yang menargetkan leher. Sosok berpakaian serupa seseorang yang Louisa pikirkan, berdiri membelakangi. Nina melirik dengan bola mata yang kosong seperti awal mereka bertemu.

Decihan lolos begitu sadar Deux dan kawan-kawan jauh dari jangkauan. Louisa hanya bisa mempercayai badan kecilnya untuk bergerak lincah dari kejaran Nina. Merangkak di bawah meja, berguling ke celah-celah sempit di antara lemari dan tembok, atau melempar barang-barang yang berhasil didapat---panci berpantat gosong berhasil melewati penjagaan si pembantaian cantik, dan mendarat dengan santai tepat ke jidat memberi label hitam---yang jelas, Louisa sebisa mungkin tidak melibatkan orang yang tengah memulihkan tenaga di ruangan sebelah.

"Aaa!" jerit Louisa. Kaki bercelana panjang itu ditarik lewat bawah kursi, membuat si empunya membenturkan kepala ke pijakan kayu tempat duduk itu. Untuk saat-saat genting, Louisa merindukan Sno yang selalu muncul dramatis dengan pertolongan. Boneka beruang kutub pemberian Mike, kerap menyelamatkan bokong Louisa. Ke mana perginya mereka?

"Aku akan sembuh," desis menakutkan itu berasal dari Nina yang menduduki pinggang Louisa. Menghujamkan pisau dengan kedua tangan menggenggam gagang kayu bilah tajam itu.

"Mama!" Mulut Louisa bergerak sendiri selagi menahan dengan tangan kosong pisau. Darah mengucur ke wajah dan mulut yang terbuka panik, napas terdengar mendominasi malam yang tengah memainkan simfoni para jangkrik.

Mata biru dan iris ungu membulat. Keduanya tampak kaget sekaligus heran. Nina terdorong oleh sesuatu yang tak tampak, menarik-narik rambut seraya menjerit dengan nada melengking dan nyaring. Sementara Louisa beringsut mundur merapat ke dinding. Perih dari garis-garis melintang acak di telapak yang dalam, menghidupkan sensor air mata dengan sendirinya.

Dibanding itu, Louisa lebih tertarik sosok Nina yang tengah mengadu banteng kepalanya sendiri ke kulkas satu pintu, seperti nostalgia, kemudian melempar barang ke segala arah, mulai dari piring sampai sendok dari laci lemari dapur. Kalimat-kalimat tak jelas mengalun dari mulut yang tak henti-henti memekik kesakitan. Gadis itu tidak mengerti, sebenarnya musuh yang bertingkah macam orang sinting di ruang tengah rumah kecil entah milik siapa---tengah melakukan apa?

"Hentikan!" Nina memegang pisau yang terlepas beberapa saat. Melangkah cepat ke arah Louisa yang mulai panik. "Kau!" Teriakan barusan saking kencangnya membuat gelas di meja pecah. Menyerang kepala dengan ujung pisau, tetapi tidak sampai cidera fatal---sayatan dan pukulan mewarnai muka Louisa.

Tak ingin berlanjut menerima siksaan yang memberi dampak lebih dalam, daripada saat-saat berurusan dengan monster sejenis Igor. Susah payah Louisa meraih pot, ia menghantam langsung ke pelipis Nina hingga wanita itu kehilangan keseimbangan dengan darah mengalir di sisi kanan. Bergegas menuju pintu yang terbuka gara-gara Nina. Jalan satu-satunya adalah kabur, Peter akan mendapatkan risiko besar jika ia tetap berada di tempat.

"Sno ... Deux ...." Mendekap tangan terluka, Louisa menyusuri halaman rumah yang dipenuhi pohon-pohon rindang yang besar. Ia tak tahu mesti ke arah mana, yang terpenting Louisa harus terbebas dari Nina yang menyusul tak jauh di belakang.

Bukan hari untuk Louisa.

Nina berhasil menyergap dengan memeluk tubuh, keduanya tersungkur ke sekumpulan bunga-bunga kuning dan merah muda. Membalikkan kasar Louisa, Nina kembali bersiap membuat karya seni lubang merah kedua pada tubuh berkeringat di bawahnya.

"Argg!"

Louisa gamang menyidik-nyidik bergantian raut muka orang di atasnya dan pisau yang tertancap nyaris memotong telinga. Nina memejam seraya mengigit kuat bibir sampai tetesan darah membasahi pakaian Louisa yang sudah penuh cairan merah. Satu menit mereka habiskan saling mengadu napas siapa yang jelas-jelas terembus kuat-kuat.

Kelopak mata itu terbuka. Netra biru yang sebelumnya dingin terasa berbeda, seperti laut musim panas yang bersinar memantulkan matahari. Senyuman kecil tertarik disertai sudut mata berkaca-kaca. "Pumpkin?" Nama dari buah berbentuk bulat oranye merupakan panggilan khusus Nina untuk putri kecilnya.

Ingatan-ingatan manis ibu dan anak berdesakan masuk ke benak Nina tak mau mengalah. Secara bersamaan layar merah muda menampilkan seorang perempuan tengah menggendong bayi dalam balutan selimut putih lembut. Tayangan beralih pada balita pada kursi tinggi, sedang menyuap sepotong lemon yang merangsang sensor asam di lidah, menjadi sumber tawa renyah sepasang cinta. Aroma panggangan kue memenuhi penciuman Nina, atmosfer familier bersama dua Mariozette yang berebut sekeping biskuit cokelat. Sentuhan menenangkan, panggilan penuh kasih ... Nina terjengkang memegangi kepala. Tersadar bahwa dirinya adalah istri dari Peter dan ibu dari anak perempuan yang telentang pasrah di atas bunga.

"Aku---ada apa---kenapa---" Nina betul-betul tak ingat, ketika melihat tangan berlumuran darah ia terpekik sendiri. Bagaimana dirinya bisa lupa? Kenapa ia bisa mengubur keluarga kecilnya begitu saja seolah bukan apa-apa. "Louisa ...." Tangan terulur, Nina memperhatikan saksama setiap lekuk wajah putri yang dulu begitu kecil, sekarang tumbuh menjadi anak yang cantik seperti sang ayah. Oh, Tuhan! Sudah berapa lama Nina kehilangan momen-momen terbaik di hidup. Menghampiri, memeluk erat, mengecup tanpa terkecuali wajah penuh lebam Louisa.

"Apa-apaan ini!" Ratta menjulang di belakang Nina, menarik kasar surai panjang wanita itu, menjauh dari Louisa yang kehilangan banyak darah. "Dengar. Aku yang menyembuhkan dirimu dan kau bisa-bisanya berpaling!" murka tak terelakkan, ditandai lengan di leher yang mengangkat tubuh Nina ke udara.

"Kau berkata akan membantuku! Kenapa malah---"

"Tidak ada yang gratis, Jalang! Kau harus membayar!"

Merasa bahaya mengincar nyawa sang buah hati, Nina mengumpulkan seluruh tenaga pada pita suara. "La-ri, Pumpkin!" Peringatan Nina pada sang buah hati makin memupuk bara api dengan minyak.

Sayang seribu sayang. Langkah lemah Louisa tersandung akar pohon, terjerembab menabrak semak yang berbuah ungu, memudahkan Ratta mendekat masih dengan membawa-bawa seseorang di tangan kiri. Menggunakan tangan yang kosong, ia memosisikan keduanya sejajar.

"Ya, tak ada untungnya lagi. Nina, terima kasih sudah menjadikan mainanku bertahun-tahun lamanya."

Seorang ibu yang benar-benar orang tua akan melakukan segalanya untuk mereka yang dicintai. Nina mengerahkan kedua kaki, menancapkan hak sepatu ke perut Ratta. Hal itu membuahkan hasil, pria tinggi itu mundur memegangi perut, dan itu memberi waktu Nina merebut sang anak dan berlari menjauh sekuat tenaga.

Lingkungan sekitar tampak serupa pepohonan kokoh juga semak-semak di sisi-sisi tak terduga. Nina linglung, melirik Louisa di pangkuan yang berkeringat dingin pun panas meninggi gara-gara luka yang terkena kotoran. Jalan setapak yang bercabang menjadi cobaan tersendiri, dirinya tak tahu harus lewat jalan mana.

"Kuberi pilihan untuk merangkak di kakiku dan kau malah melepaskan itu." Ratta berbicara rendah, menarik bahu Nina ke arahnya dan melesakkan belati ke tulang punggung.

"Penyesalan terbesarku adalah bertemu denganmu!" Dengan sekuat tenaga, Nina mencampakkan Louisa---sebelum mendarat dengan patah tulang, seseorang bertudung meraih dirinya dalam kecepatan kendaraan bermesin---lantas berhadapan menghujam pisau lipat yang tersembunyi di antara lengan baju ke leher Ratta.

"Hemm, yang jelas kau mati." Sekali lagi, Ratta menusuk belati berhiaskan ukiran tanaman rambat.

Orang itu ternyata kembali, barangkali merasa tidak enak meninggalkan seorang perempuan bersama laki-laki berwajah mesum. Dari tangan berbungkus kain, terbentuk kumpulan asap hijau yang pekat. Mengarahkan tepat ke mulut Ratta saat dirinya tengah tertawa lebar, sombong dengan kemenangan yang bahkan belum diraih.

Ratta limpung, dari rongga hidung dan mulut sesuatu semacam lendir hitam mengalir lengket. Menghalangi paru-paru menarik oksigen, mengeratkan dinding-dinding mulut agar korbannya tak mampu mengeluarkan suara.

Ia yang berdiri menurunkan tudung jaket. Surai pirang tertiup sayup-sayup angin malam. Iris biru cerah yang bersinar secerah bulan, memandang Ratta yang terduduk mencakar-cakar leher. Kulit-kulit itu terselip di antara kuku-kuku tajam, menyebabkan perih juga gatal. Ia juga memutar kepala ke arah raga sekarat Nina. Walau wanita itu mempunyai kekuatan sama seperti tiga belas ksatria, tetapi ia tetap manusia dengan kelebihan.

"Mikhael!" pekik tertahan Ratta, sebelum melarikan diri dengan cara berpindah ke tempat lain, seperti terakhir kali. Betul-betul menyedihkan.

"Kau berbohong, Mike?" Louisa yang berhasil berdiri dengan bantuan batang pohon mati, memberi pandangan menyakitkan.

"Maksudku---" Mike atau Mikhael---nama dari masa lalu yang mencoba ia lupakan. Tersentak mendapati kekecewaan dari sorot mata Louisa.

Sesempurna apa pun Mike menutupi wujud aslinya, Louisa lebih perasa dari kebanyakan orang. Ketika pemuda itu menggunakan kelebihan yang ia dapat setelah melahap bocah-bocah dari panci sup, paras muda kakek pemilik toko mainan yang selalu membantu Louisa saat di tubuh dahulu, muncul dengan tanda hitam menjalar dari leher ke sekujur tubuh termasuk wajah.

"Kau bagian dari mereka! Kau kakek tua baik yang memakan anak-anak asuhku! Kenapa? Kenapa!"

Sifat anak-anak itu sederhana, jika orang berbuat baik kepada mereka maka dengan senang hati mereka membalas dengan cinta. Louisa seperti itu. Suara gertakan gigi, sorot nyalang penuh kebencian tertuju kepada Mike yang hanya mampu memalingkan muka. Ia merasa dicurangi padahal Louisa mulai menyukai Mike---pemuda cerewet yang berbau seperti kue manis.

.
.
.

To be continue

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
r

edaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro