Bloody Hand

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kengerian sesungguhnya adalah ketika kau berlumuran darah orang yang paling dicintai. Dunia dan dirimu akan hancur.
- Louisa

.
.
.

"Pak Peter!" Sekuat tenaga Mike menerjang ayah dan anak, sebelum pisau wanita yang serupa mayat itu menghujam tepat ke dada. Ketiganya tersungkur.

Sekeras apa pun Mike berteriak atau menampar pipi, Peter tampaknya enggan merespon. Terpaku pada netra sebiru lautan, begitu dalam, dingin, dan menghipnotis. Hati dan pikiran pria itu dipenuhi nama dari wanita yang mengisi hidupnya. Air mata menetes melewati dagu, Peter terlena dalam pikiran. Memikirkan luka di mata Nina sepenuhnya sembuh. Bertanya-tanya ke manakah Nina selama ini? Kenapa perempuan yang ia kenal sangat lembut berubah menjadi sosok yang tanpa hati.

Louisa yang berada di antara Mike dan Peter, tersadar berkat Sno yang menimpa tepat di wajah. Kenangan-kenangan anak yang ia tempati bermunculan, membawa angin hangat dan senyuman, pun ratapan di tengah danau kesedihan. Louisa prihatin, lewat memori yang tertimbun emosi ia melihat sosok pendek bertelanjang kaki, yang baru empat tahun berlarian mengejar benda beroda, jeritan nyaring balita itu menyakiti nurani siapa saja yang ada. Keinginan mengejar sang ibu, begitu besar. Dalam pandangan yang masih tidak jelas---Louisa menyaksikan sendiri betapa teganya wanita yang kini bersiap menusuk Mike, meninggalkan bocah yang baru bisa mengekspresikan diri penuh luka-luka karena terjatuh.

Sudut bibir merah itu turun disertai mata yang tertutup sebagian. Tangannya mulai bergerak perlahan, Sno melesat menjauh ke arah ruang kerja Peter tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia sendiri bangun memandang Nina dengan pandangan tanpa arti. Menarik napas berat, Louisa berdiri serentak menepuk-nepuk baju belakang yang terkena debu.

"Kumohon ...." Peter perlahan melangkah mendekat, kemudian memeluk sosok itu dari belakang. Membenamkan wajah pucuk kepala Nina, menahan agar tangan pucatnya berhenti menyasar leher Mike. "Nina!"

"Aiss! Kau ini." Suara barusan muncul tepat di telinga Peter. Pria berpakaian mewah itu menekan bahu lawan bicaranya hingga tertelungkup di bawah kaki. Senyuman merendahkan merekah tampak menghiasi, begitu melihat air muka Peter yang menyedihkan baginya. "Jangan mengganggu, Tuan Tampan. Pantas saja Nina kabur dan memilih aku." Perkataan barusan keluar tanpa rasa bersalah.

"Kau ... semua ini karena kau!" Peter murka. Berusaha melawan kekuatan yang besar mencengkeram dirinya. Perhatian pria itu tertuju hanya untuk sosok tengil yang tertawa penuh kemenangan. "Orang macam apa yang tertawa membawa kabur istri orang lain!" Kedua tangan Peter merapat di lantai, diikuti geraman marah tubuhnya perlahan terangkat meskipun harus disertai berat di punggung dan sesak.

"Wow." Ia sedikit terkejut lantaran ada yang mampu terlepas dari posisi di mana dirinya menginjak punggung. Satu kedipan ia sudah berada di belakang Louisa yang bergeming dengan wajah aneh. Tangan jailnya meraih pipi bulat bocah di hadapan, mencubit hingga meninggalkan bekas kemerahan.

"Lepaskan." Penuh penekanan. Peter berlari dengan tinju siap menghantam wajah menyebalkan. Setelah menculik Nina, berani sekali pria pengecut itu menyentuh putrinya. Peter mulai gelap mata, tak mampu berpikir jernih bahwa sosok yang tengah ia serang bukanlah seorang manusia biasa, bukan tetangga kurang ajar yang memainkan musik seperti konser metal.

Sia-sia saja. Tinju Peter ditangkap dengan mudah. Manusia biasa melawan makhluk yang menumbalkan anak-anak, tentu saja berat sebelah. Satu tarikan di tangan membuat Peter kehilangan keseimbangan nyaris menimpa Louisa. Setelah menemukan kembali pijakan, kepalan tangan sudah mendarat di ulu hati. Ia terpental beberapa meter, menubruk tembok hingga bagian-bagiannya retak dan berjatuhan. Di sudut bibir, segaris jalan merah menjadi penanda luka dalam dan tulang patah. Warna-warna hijau dan kuning berlarian di mata Peter, sepersekian detik kesadarannya sempat hilang terganti ruangan gelap.

Melihat bosnya terkapar, Mike kehilangan fokus. Sayatan melintang berhasil melukis permukaan lengan. Darah bukan lagi menetes, mewarnai kaus yang ia kenakan dengan cairan amis berbau besi. Mereka terpojok, Mike harus mengeluarkan dua orang yang tengah berada dalam dunianya sendiri, sebelum berakhir jadi daging cincang. Menahan tangan kiri yang tersayat, bergerak asal menghindari Nina yang ternyata merupakan seorang ahli senjata tajam.

Benda pipih tajam dilempar begitu saja, melewati sisi kepala Mike. Sementara Nina melebarkan langkah kaki, berusaha mengejar. Kecepatannya bertambah drastis, ia sudah menyusul menggapai pisaunya lagi. Berbalik sekaligus sebelum Mike bisa mengambil langkah memutar.

"Bagaimana? Louisa?" Mengangkat Louisa di ketiak agar posisi wajah mereka sejajar.

"Si bodoh ini lagi," kata Louisa. Menantang adu tatapan tajam, dagunya terangkat angkuh. Menepis kegetiran yang sempat hadir. "Laki-laki mesum yang mengintip para janda di pemandian. Seekor tikus got yang mencuri di dapur orang lain. Ratta."

Kejutan kecil menanti. Sno yang berlarian di langit-langit, melompat begitu berada tepat di kepala Louisa. Tangan bulat itu menggenggam sendok makan perak. Beruang itu berkedip, menumpu dengan telapak tangan pada ubun-ubun sang majikan, kemudian berputar menendangkan kaki ke hidung Ratta yang spontan melepas Louisa. Gadis itu segera menerima lemparan Sno, menusuk tepat ke lutut, mengoreknya lebih dalam tak peduli ia ikut terbakar oleh perak. Ditutup Sno yang berhasil mencongkel salah satu mata Ratta yang mengalihkan perhatian ke lutut tersayang.

"Enak?" Louisa berpindah ke bagian belakang lutut dan mencacah saraf-saraf. Sepertinya ia punya hobi baru sekarang, menusuk-nusuk kaki seseorang ternyata menyenangkan. Meskipun Louisa juga tersakiti perak, tetapi untungnya Sno segera melempar kain kasa untuk membungkus tangan. Sekali lagi ia menarik tangan melewati kepala, dengan wajah bak penjagal yang siap memotong hewan. Louisa menghujam hingga lutut tertembus pisau makan yang tertinggal sebagian di dalam. Memberi Ratta sensasi terbakar dan nyeri berkepanjangan selama benda itu masih di sana.

Kehabisan kata-kata, ia hanya meraung memegangi lutut yang sudah berlubang seraya melirik ke arah pelaku yang sudah mengambil jarak aman. Ratta mendesis kesal. Dengan tangan sendiri merogoh lutut, mencari benda mengerikan untuk kaum sepertinya. Ujung pisau selebar satu buku jari berhasil didapat, ia melempar asal dan mengikat luka menganga nyaris memutuskan kaki jika saja tidak ada kulit yang menahannya.

"Aku tidak perlu menjelaskan untukmu, kalau kau memang tidak sebodoh yang kupikirkan." Louisa mengibas tangan memerintahkan Sno menarik Mike yang berada di ambang kematian. Kecupan pisau Nina berhasil dihindari dengan sempurna berkat pahlawan berbulu putih yang membawa Mike ke tempat aman bersama Peter, di belakang Louisa yang tegak.

Kaca jendela diterjang Deux yang baru sampai. Gaun bergaya Lolita yang khas dengan renda dan kerutan lucu di atas pinggang, berkibar menyaingi rambut benang. Sosok yang manis itu bergerak mengambil tempat di samping bersama Sno yang meloncat-loncat kecil, bersiap dengan kedua tangan belati untuk menebas siapa saja yang berani mendekat. Tidak ada pilihan untuk Louisa, mungkin kelima boneka dapat bertahan melawan dua musuh yang sudah berubah pada wujud asli---terdengar dari raungan mengerikan primata di kejauhan. Sementara Deux akan bersama dirinya melawan Nina---orang tua kurang ajar yang melepas tanggung jawab dan si tikus mata keranjang.

"Selesaikan apa yang kau mulai." Ratta mundur dengan seringai menyebalkan itu lagi. Tipikal orang yang akan melarikan diri setelah menerima sedikit goresan. Tubuhnya berpindah entah ke mana, bisa jadi di selokan penuh sampah atau di toilet perempuan. Meninggalkan Nina yang melempar-lempar pisau seperti pemain sirkus.

Pertarungan sesungguhnya dimulai. Deux mengambil langkah lebih dulu. Percikan-percikan menyala timbul dari gesekan bilah pisau. Sno menjalankan tugas dengan baik, ia menyodorkan makanan manis dari lantai atas untuk Louisa, kemudian membesarkan badan memindahkan Peter yang perlahan-lahan kembali ke kenyataan bersama Mike.

Asupan kalori Louisa tidak boleh berkurang untuk sekarang ini. Energi yang dikuras dua pertempuran tidak sebanding dengan tubuh kecilnya yang kurus. Walau kue-kue enak itu terasa susah saat ditelan dikala ketegangan berkuasa, Louisa tetap harus menjejalkan makanan kaya gula untuk mempertahankan stamina. Atau ia akan kalah.

Peter melihat punggung dengan surai-surai bersinar remang-remang, memancarkan aura yang nyaman untuk ia yang tengah bersandar pada tembok. Di sebelah Mike meringis diam-diam, ini kedua kali Sno menolongnya dalam urusan luka, pun perlakuan boneka itu masih sama. Sedikit kasar.

"Apa aku mati?" Peter menegakkan tubuh, mengatur keluar-masuk oksigen di sela-sela dirinya menyentuh bagian agak di atas ulu hati. Lebam tampak jelas, tumpang-tindih dengan warna kulit putih miliknya. Mual mulai terasa mendorong-dorong di kerongkongan yang memanas.

"Kurasa belum. Ah!" Mike menarik lengan yang selesai diikat, seperti biasa pertolongan pertama ala Sno yang ala kadarnya.

Pengalaman berharga Peter yang berhasil selamat dari pukulan yang terasa bagai ditabrak sepeda motor, bahkan tungkainya ikut merasakan sakit dengan cara bergetar begitu ia paksakan berdiri. Masih memanfaatkan dinding, Peter mengembus napas kasar diikuti batuk. "Kita harus pergi," ucapnya, "Nina yang sekarang kita lihat, bukan Nina yang aku cinta." Ia bisa berkata demikian lantaran wanita yang tengah menusuk, menendang, dan membanting sosok kecil yang sebelumnya dilihat, betul-betul memukul Peter. Harapan untuk istri yang paling dirindukan, pupus seketika.

"Caranya? Tidak mungkin kita menerobos duel mengerikan di depan atau leher yang jadi taruhannya." Perkataan Mike betul adanya, siapa yang mau berjalan santai ke tengah-tengah gladiator yang mempertaruhkan hidup mereka masing-masing untuk kemenangan. Hanya orang pendek pemikiran yang akan melakukan itu.

"Pintu belakang ... satu-satunya tiket kabur," jelas Peter."

Louisa membelalakkan. Satu tetes berma dari hidung membawa anak perempuan itu pada perjalanan cepat melintas lorong gelap bergelombang. Penglihatan dari kelima boneka terputus, sesuatu yang buruk telah terjadi. Tercium aroma busuk yang lebih menyengat dari bangkai, lebih gelap dari Igor, Rose, ataupun pria yang memiliki kemampuan teleportasi.

"Aku kembali ...." Ratta menyembul dari balik tubuh Peter, memamerkan barisan gigi hitam dan lidah panjang seperti hewan melata. "Selamat jalan!"

Mike memekik menyeruduk Ratta. Louisa menjatuhkan stoples kaca. Jantungnya mendadak berhenti mendapati Peter bersimpuh lantas roboh menyamping memegangi dada. Cairan sewarna mawar membasahi lantai, mewarnai baju pria yang menatap sedih putrinya.

"Tidak ... Papa!" Jeritan menggema. Deux tiba-tiba berhenti bergerak, ambruk, Sno yang hendak menyerang Ratta yang akan kabur lagi, mengecil menjadi ukuran semula. Di tempat kelima boneka yang tengah sibuk menyerang Bob dan Jakson, mereka terkapar kehilangan kuasa.

"Jangan, Pak ... jangan mati!" Mike menekan luka untuk menghentikan pendarahan.

Itu tidak berguna. Peter mulai meracau, matanya tak lagi fokus dan bergerak liar, tubuh ikut mengejang, serta napas yang tersendat-sendat, pun tersedak darah yang keluar dari mulut. Imbas dari kehilangan banyak darah sekaligus. Dalam posisi terbaring ia melirik ke arah Louisa, bibir yang memucat itu bergerak memanggil nama-nama yang terukir di alam bawah sadar.

Louisa tak menyadari telah memberi Nina kesempatan menghunus pisau panjang yang terarah tepat ke punggung kecil yang terguncang. Membiarkan penjaga terbuka. Mengikuti jejak Papa yang sudah merebut kasih sayangnya. Kemalangan menimpa Louisa lewat tangan ibu yang sudah melupa.

Lagi dan lagi ..., lirihnya tanpa suara. Waktu berjalan lebih lambat. Louisa melihat saat-saat benda dingin menembus dirinya, darah menciprat, Mike yang menjaga mati-matian agar Peter tetap sadar, dibuat kembali menelan empedu.

Kegagalan membayangi setiap langkah yang ia ambil. Louisa memeluk lantai bermandikan darah segar miliknya sendiri, memandang sepasang kaki bersepatu tinggi. Nina menarik pisau dalam sekali tarik, menyebabkan pendarahan menjadi-jadi. Tangan wanita itu berubah merah, mengeratkan genggaman pada gagang pisau berpola bunga krisan.

Tak ada yang berubah dari wajah yang tetap berekspresi datar. Apakah Nina memang sudah membuang semua yang ada di masa lalu? Termasuk anak dan suaminya sendiri. Kenapa? Bagaimana ia bisa setega itu melukai darah daging dan buah cintanya bersama Peter, demi kecantikan yang mati.

Gelap, cahaya dipadamkan oleh awan-awan hijau yang memenuhi seisi ruangan. Sesak melilit seluruh tubuh yang mendingin. Sakit dari tikaman tak seberapa dengan kebencian, dendam, dan patah hati yang makin lahap memakan Louisa.

Di tarikan napas terakhir, Louisa hanya mampu mengucapkan satu kata penuh kekecewaan dan nada tidak percaya. "Mama ...." Iris mata ungu itu terpejam oleh keadaan.

.
.
.

To be continue

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
redaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro