Run Away

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Melarikan diri seperti pengecut, pada beberapa kondisi adalah pilihan bijak daripada memaksa bertahan dan memilih, antara mati atau sekarat.
- Louisa

.
.
.

"Pak, pikirkan lagi!" Mike mengikuti ke mana perginya Peter yang tengah kacau. Kesulitan gara-gara tongkat sialan itu, ia hanya bisa tertatih-tatih di tangga. Terkadang melirik Louisa yang mematung di tengah-tengah ruang depan, sembari memeluk Sno yang Mike rasa lebih besar dari boneka yang ia berikan.

"Tidak ada." Peter menyalip Mike, menjinjing ransel besar berisi kertas-kertas bermap juga barang-barang penting, uang, dan foto-foto berdebu dalam album tua. "Aku akan pergi! Ini sudah terlalu gila untukku!" hardiknya memegang kerah pemuda di depan. Padangan ayah satu anak itu tidak seperti orang normal. Berkaca-kaca dan bergerak liar. Ketakutan yang terpupuk kian memuncak menembus awan-awan empuk, trauma yang dialaminya cukup menempatkan Peter pada posisi kurang menguntungkan. Nina---wanita yang pergi meninggalkan suami beserta anak yang masih balita, menorehkan luka dalam.

"Hentikan ini!" Menepis cengkeraman Peter, Mike mejantuhkan tongkat lantas berbalik menarik kerah pria yang terguncang itu. "Setelah apa yang kita lakukan, Bapak mau melepas tanggung jawab begitu saja? Bagaimana dengan pesanan Nona Margaret? Bagaimana dengan toko? Bagaimana dengan hidupku? Bagaimana dengan hidup kalian, Pak Peter! Pikirkan baik-baik!" Rasa sakit di betis Mike berangsur-angsur menghilang bahkan bisa berdiri tegak tanpa bantuan kruk, terganti luapan amarah meledak-ledak. Apa yang dilakukan Peter, membuat hati kecilnya ketakutan. Ia tidak ingin kehilangan tempat di mana Mike melupakan semua dosa-dosanya.

"Terlalu menakutkan, Mike! Aku tak kuat!" Laki-laki itu berontak, berhasil lepas dari terkaman Mike ia buru-buru menyeret ransel menuju Louisa yang terduduk memandangi ke luar toko. Jemarinya bergerak-gerak di permukaan kaca yang dingin, membiarkan sinar matahari mencium dirinya dengan kehangatan dan vitamin untuk tulang.

"Apa yang menakutkan? Pak Peter!" Mike mengejar lantas menahan bahu kasar. "Memang apa yang kau lihat?"

"Kau berbohong kepadaku." Tanpa aba-aba tubuh jangkung berpakaian kemeja lengan panjang, berbalik menubruk Mike, keduanya terjungkal lantaran dorongan kuat Peter. "Kau berkata kalian ada di rumah kemarin. Sebenarnya tidak, bukan!" Teriakan bariton yang menggema. Peter menekan leher orang yang ada di bawahnya. Betul-betul kehilangan kendali atas dirinya, nafsu, emosi, dan tak mampu berpikir jernih saat perasaan bergejolak tidak baik. Menjadikan Peter orang yang berbeda dari lelaki yang bahkan tak tega membelah ikan hidup.

"Kami ada di rumah!" balas Mike panik melepas cekikan yang memotong pasokan oksigen ke otak.

"Bohong! Bahkan saat kau membawa Louisa ke mal, kalian sebenarnya bukan terjatuh, tapi makhluk mengerikan melukai kalian!"

Mendapatkan kekuatan, Mike menegangkan tungkai yang tidak nyeri lantas menjejak perut Peter hingga si empunya terdorong kuat ke lantai. "Pak, kumohon hentikan!" pintanya sungguh-sungguh. Denyut perih di dada membuat mata Mike mulai memanas disertai embun yang menghalau pandangan.

"Aku tahu semuanya, Mike. Tadinya kupikir yang dikatakan orang-orang di swalayan hanya bualan semata, tapi semua berubah begitu kedua mataku ini menyaksikan ada sosok yang mirip Louisa tengah bertarung dengan monster gorila!"

Ketika Peter sibuk memilah tepung di toko swalayan kecil yang tak jauh dari rumah, beberapa orang mulai berbisik aneh. Awalnya ia mengabaikan itu, berpendapat para ibu memang suka bergosip bahkan di tempat ramai sekali pun. Hanya saja, makin lama cerita yang terlontar dari bibir-bibir bergincu merah menyala itu menarik perhatian Peter. Bukan tiga empat orang yang membicarakan topik serupa, kiri, kanan, lalu di balik rak bahan makanan mentah, orang-orang sibuk menebak-nebak tentang insiden mengerikan yang terjadi di lantai empat mal terbesar di Wytheville. Kebetulan Mike dan Louisa akan mengunjungi toko aksesoris di lantai yang sama.

"Itu betul, Nyonya. Suamiku berada di tempat kejadian saat itu. Ia pulang dengan wajah lebih putih dari pantat bayi, betul-betul syok dengan yang dilihatnya. Sampai saat ini suamiku masih mengurung diri di kamar." Seorang ibu berperawakan berisi berbicara di sela-sela meletakkan barang belanjaan ke troli. Anaknya juga duduk bersama kotak-kotak sereal memandang sang ibu dengan raut wajah bingung sekaligus lapar.

"Ya ampun!" Temannya menutup mulut dengan kipas kecil. "Ia baik-baik saja 'kan? Memang suami Nyonya menyaksikan hal apa, sampai-sampai terpukul seperti itu?" tanya wanita berpakaian seperti perayaan tahun baru yang meriah. Anting-anting sebesar gelang bergerak mengikuti kepalanya yang tidak mau diam, dan tangan yang sibuk mengipas juga menaruh sebotol kecap yang kelima.

"Entahlah, Nyonya, aku sendiri tidak tahu itu apa. Ia sempat menunjukkan foto yang diambil sebelum suamiku pergi." Ia merebut ponsel yang dimainkan si anak. "Lihat ini. Ah! Sangat menakutkan!"

Layar menampilkan foto makhluk yang entah harus disebut hewan atau tumbuhan. Monster berselimut tanaman berduri itu merobohkan tampak menggeliat di lantai, lalu di bagian sudut kanan foto terlihat seorang anak kecil berambut cokelat terang berdiri di antara puing-puing bangunan.

"Permisi, boleh saya lihat," sambar Peter yang muncul dari balik tumpukan makanan kaleng yang disusun menyerupai piramida. Mendapat respon anggukan, ia mengambil ponsel secepat kilat.

Matanya menelisik teliti. Gambar yang sedikit goyang---barangkali orang yang memotret sedang gemetar---foto yang diambil dari jarak sekian meter menyuguhkan suasana kacau saat perkelahian Deux dan Louisa melawan Rose pagi tadi. Peter berusaha sekuat tenaga menahan untuk tidak membanting ponsel kelap-kelip penuh lampu hiasan kecil. Anak yang tengah digendong seseorang yang Peter langsung kenali sebagai Louisa, begitu mirip dengan bocah bertenaga Superman di tembok yang terjebol.

"Tuan, Anda tidak apa-apa?" Perempuan kurus itu mengipas sekali tepat di wajah Peter yang membeku.

Masih mencerna apa yang dilihat, Peter menggeleng sejenak, kemudian mengembalikan ponsel dan pamit. Jalannya menuju kasir terasa melayang, hampir menabrak kereta dorong orang lain yang berpapasan di lorong rak-rak makanan ringan. Foto barusan memberikan efek kejut selayaknya bermain wahana ekstrem. Dalam benak Peter hanya ada satu kata yang terus-menerus muncul bersama wajah Louisa, yaitu pulang.

"Pak Peter. Kukira siapa." Tepukan kecil di punggung nyaris menjatuhkan jantung Peter ke usus. Wanita yang tersenyum canggung di belakang, berdiri sama cemasnya seperti lelaki itu. Margaret dengan keranjang merah berisi roti dan batang cokelat, bergerak-gerak gelisah dengan menghentak kaki, pun melihat berulang kali ponsel hitam di tangan kiri.

Peter tidak menjawab, dirinya masih kalut berharap-harap bahwa Louisa yang tengah jauh dari sang ayah tidak apa-apa. Semoga Mike bisa melindungi diri mereka dan berhasil keluar dari mal hidup-hidup dengan anggota badan lengkap.

"Lama sekali," keluh Margaret. Kasir bergerak bagai kura-kura, menghitung belanjaan padahal ia menggunakan mesin khusus. "Hei! Bisakah dipercepat. Aku tidak menghabiskan waktu hanya untuk mengantre!" Margaret menghardik seorang yang berada di depan kasir, yang malah sibuk memilih permen untuk sang anak yang rewel digendongan.

Bagaimana tidak kesal? Antrean terhenti cukup lama demi si wanita yang tidak selesai-selesai memilih makanan perusak gigi. Bukannya buru-buru, ia malah tak acuh dan tetap membujuk anaknya, yang entah kapan berhenti mengeringkan cadangan air mata di kepala botak itu. Ditambah kasir lambat, makin memanaskan cuaca sore hari yang hangat.

Setelah bersabar-sabar cukup lama. Peter berhasil keluar dengan belanjaan banyak. Saat hendak menancap gas, Margaret berdiri di depan mobil menjinjing tas kain. Ia meminta pria berambut panjang itu untuk memberi tumpangan, gara-gara kendaraannya mendadak mogok. Tujuan kedua manusia itu sama, kantor polisi Wytheville. Mencari daftar korban selamat dari peristiwa tak terjelaskan. Jawaban yang diterima---apakah itu merupakan serangan teroris, kelompok bersenjata, atau senjata biologi---para polisi belum bisa memberi penjelasan apa pun sebelum hasil investigasi keluar. Dugaan sementara adalah senjata biologi.

Di antara tangisan keluarga korban tak selamat, Peter bernapas lega. Nama Louisa dan Mike tidak ada dalam daftar jenazah dan korban luka.

"Bagaimana kau menjelaskan itu, Mike?" Peter memakaikan jaket lantas mengangkat Louisa. Ransel memeluk punggung gemetarnya. "Aku tak ingin mengambil risiko. Sudah dua kali Louisa nyaris mati. Kapan saja ia bisa meninggalkanku sama seperti ibunya."

Mike bergeming. Ia meremas kepala yang terasa dipukul palu dari kayu, belum siap menerima bahwa Mariozette---toko boneka yang ia anggap sebagai surga, harus berakhir. "Pak Peter, aku mohon kepadamu. Tolong pikirkan lagi ...." Mike menunduk, merasakan ujung-ujung jari mendingin serentak diikuti debaran hebat.

"Hem, menarik."

Peter terperanjat mendekap Louisa yang menguap, gadis itu tidak lagi fokus. Mike yang tengah sendu, langsung bersiap dengan kuda-kuda seorang petinju, luka di kaki langsung sembuh berkat seorang pria gagah berotot masuk entah lewat mana. Sosok yang dimaksud menurun melewati tangga, memainkan sapu tangan bermotif bunga krisan. Wajah yang dewasa dengan rahang tegas dan kulit cokelat mengilap. Menampilkan seringai merendahkan yang membuat siapa pun ingin memukulnya dengan kaki meja.

"Kenapa begitu buru-buru," ucapnya dengan nada yang terkesan main-main. "Kau pasti tak ingin melewatkan ini, Peter."

Anak perempuan di pangkuan, tersentak sekaligus, kemudian mendorong wajah Peter hingga mendongak. Telat sedikit saja Louisa bakal mandi darah orang tuanya sendiri. Sebilah pisau panjang nyaris menusuk kepala sang ayah dari samping. Muncul sosok baru yang mengenakan penutup kepala berpola bunga krisan. Dilihat dari tubuh, lekukannya seperti badan seorang wanita.

Sebelum mengenai orang-orang awam, Mike menggunakan kaki menendang lengan wanita hingga pisau terpental dan menancap di dinding. Sepersekian detik, segera memelintir tangan terbungkus kain biru tua ke belakang dan menahannya dengan lutut. Mike memanfaatkan berat badan sebagai penahan sosok di bawah.

"Lari!"

Terbangun oleh teriakan Mike. Peter mempercepat langkah yang kian memberat menuju pintu. Atmosfer seperti udara di puncak gunung yang minim oksigen. Deru napas itu sampai terdengar, lelah, tidak percaya, dan kecewa. Peter menggedor-gedor pintu kaca yang terkunci kuat bahkan ketika ia mencoba memecahkannya, tidak berefek sama sekali. Namun, seakan burung yang terjebak dalam sangkarnya sendiri. Peter---sekuat apa pun mencoba, pintu terasa seperti baja. Mereka terkurung di rumahnya sendiri, bersama dua sosok yang pasti bukanlah manusia.

"Mau ke mana?" Laki-laki bersetelan mewah bermerek Gucci dan Prada berjalan mendekati sosok yang berdiam dengan tangan menggenggam pisau baru. Tercium pula aroma kayu manis lembut, tetapi mendominasi secara bersamaan. "Ada seseorang yang ingin bertemu." Ia menepuk bahu wanita yang wajahnya tidak terlihat.

Perlahan kain putih meluncur, meloloskan raut muka kosong milik seorang wanita bermata biru. Kulitnya begitu putih seperti mayat dengan urat-urat biru tampak menonjol di leher dan pipi. Bibir hitam yang terlihat dingin, sedikit terbuka, mengucapkan sepatah kata tanpa suara.

"Mama ...." Louisa tidak sadar, mengulurkan tangan ke arah wanita yang bukan dalam kendalinya. Lihatlah pupil mata yang melebar nyaris memenuhi iris, tanda si pemilik yang begitu menginginkan perempuan bergaun panjang itu. Hati kecil milik Louisa yang masih anak-anak, bangkit memenuhi rongga kosong yang berdebu. Retakan-retakan pada tembok bendungan yang dibangun sekian tahun di hati, mulai merembeskan rasa rindu yang begitu menyakiti jiwa.

Peter pun ikut meringis sembari membisikkan nama dari orang yang ia cintai. Istri yang putus asa lantaran luka bakar mengerikan di wajahnya. Pria itu menyentuh dada yang berdetak disertai nyeri, pun diikuti cairan hangat mengalir membasahi lengan Louisa.

Enam tahun lalu, ia pergi meninggalkan kedua orang yang mencintai sepenuh hati dirinya. Menuruti ego akan kecantikan di wajah; seorang Nyonya Mariozette kalah melawan hinaan dan perkataan manusia tak berotak. Nina, kembali dari pelarian panjang dengan wujud bak pengantin mayat. Namun, bukan untuk merengkuh kasih-kasih yang terluka berkatnya, melainkan menghunus pisau mengincar jantung keluarga yang menanti kepulangan Nina.

.
.
.

To be continue

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
r

edaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro