Privy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu dua hal biarkan tetap menjadi rahasia. Terkubur dalam memori penuh sarang laba-laba, jangan biarkan seekor semut mengintip diam-diam. Tidak ada yang akan bertanggung jawab jika sesuatu yang buruk terjadi karena rasa penasaran.
- Louisa

.
.
.

Jarum jam di meja nakas sederhana menunjukkan pukul tiga pagi. Peter bangun dari tepi ranjang, merenggangkan badan kaku lantaran duduk terlalu lama. Tidak terasa sudah dini hari, ia agak gamang tak menemukan Louisa di kamar pun Nina yang enggan membuka barang sebentar kelopak mata. Berjalan ke ruang tamu, Peter menemukan sosok kecil tengah memandangi keluar jendela rendah dekat sofa, duduk melipat kaki membelakangi.

"Tidak tidur, Sayang?" Peter hendak mendekat, tetapi tidak jadi setelah melihat pakaian penuh noda di sofa. Mike tak tampak batang hidungnya semenjak berdebat dengan Louisa. Ke mana perginya pemuda itu? Ia merasa kurang enak menempati rumah sementara pemilik yang asli tidak ada.

"Iya." Kepala bersurai panjang itu bergerak ke atas dan bawah, tanpa berniat menatap langsung lawan bicara. Bintang yang berkedip di langit lebih menarik dibanding wajah Peter.

"Mike belum pulang?" tanya Peter lagi.

Sepertinya Louisa masih merajuk dan bergeming hanyut dalam pikiran, Peter akan memberi putrinya waktu untuk menenangkan diri. Beralih pada kaus kotor di sana dan beranjak menuju kamar mandi kecil di dekat dapur. "Tidurlah jika lelah," tutur Peter sebelum pintu tertutup. Laki-laki itu tidak menyadari bahwa yang sejak tadi ia ajak bicara bukan si kecil Louisa, melainkan boneka yang mirip dengannya tengah memainkan pisau sembari mempertajam indra pendengaran dan penglihatan.

Sebagaimana permintaan pemilik Deux. Tidak seorang pun yang boleh mengusik keluarga Louisa di bawah penjagaannya.

Ketenangan di kediaman Mike berbeda jauh dengan keributan yang ditimbulkannya. Dentuman yang berasal dari bom racun bunuh diri menimbulkan gelombang kejut beberapa puluh meter, membuat rumput-rumput kering, pohon-pohon menggugurkan daun, dan serangga-serangga seukuran jangkrik atau belalang mati menghirup gas hijau. Detektif Jason nyaris menjadi salah satunya jika ia tak sigap menyeret Louisa yang kesetanan melarikan diri sejauh mungkin. Ia tak terlalu memikirkan boneka-boneka agak menyeramkan di belakang mobil, toh, mereka tak bernapas dan akan terus mengikuti ke mana sang inang pergi.

"Astaga!" pekiknya tak terelakkan begitu bemper mobil terdorong cukup kuat efek gelombang, ia menutup setiap celah termasuk jendela dan mematikan AC. Berbelok tajam di perempatan, kemudian berhenti di balik pohon setelah merasa tidak akan terkena dampak. Detektif Jason mustahil untuk keluar saat ini, menunggu kabut-kabut mematikan adalah pilihan bagus. Kondisi Louisa juga terlihat tidak baik-baik saja. Beberapa kali ia muntah di kantong plastik bekas membeli minuman, dengan Sno yang sibuk memberi kantong baru atau menyeka keringat. Pria itu ingin membantu, tetapi ragu lantaran tahu tak ada yang bisa dilakukan selain menepuk-nepuk punggung memperlancar keluarnya isi perut.

"Salahku ...." Louisa mulai berbicara, tampang bocah yang harusnya ceria tampak tertekan dengan sorot mata kosong memperhatikan kedua tangan.

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, pada kondisi ini kita sama-sama tidak berdaya." Detektif Jason menekan sedikit tombol untuk membuka kaca mobil, mengetes apakah awan-awan itu sudah menghilang atau tidak. Yakin udara sudah bebas, ia membuka setiap jendela mobil membiarkan oksigen memenuhi setiap sudut mobil.

"Semua salahku! Kalau saja aku tidak marah, Mike tidak akan pergi dan mati!"

Orang waras pastinya sudah sinting bila ada diposisi Louisa. Kehidupan berat yang berakhir menjadi tragedi berdarah, sekarang di kesempatan kedua ia sama-sama menderita. Apa dosanya? Merasa ia hidup tidak menggigit orang lain, mengasuh dalam damai anak-anak yatim piatu. Meski kesulitan ekonomi, tetapi Louisa tak mempedulikan itu, makan tanaman liar dari hutan pun tidak masalah. Hanya saja kenapa orang-orang tak punya hati terus mengganggu kehidupan Louisa. Ia hanya ingin bernapas tanpa merasa was-was dan marah. Dirinya ingin menelan makanan tanpa mengingat anak-anak yang mati menjadi santapan. Api membara di dada makin membakar, menyulut bara-bada dendam yang menumpulkan akal.

"Akan kubunuh ... akan kubunuh!" Jeritan Louisa melempar Detektif Jason ke pinggir. Sno yang sejak awal menempel pada Louisa, ikut terguling ke jok paling belakang. Lima boneka yang berada di luar ikut mundur beberapa langkah merasakan kemarahan luar biasa.

"Harusnya kau bunuh dirimu sendiri."

Tersulut. Louisa menggerakkan Sno untuk menghancurkan kaca mobil depan. Kakinya bertumpu pada dashboard menerjang sosok bertudung yang berdiri menghadang. Tidak ada perlawanan, Nyonya Ma membiarkan tubuh bercahaya keemasan menduduki perutnya. Louisa bersiap dengan pisau perak yang dilempar Lulu, kulit yang baru sembuh terbakar oleh logam---musuh utama khas seorang penyihir---walau disebut seperti itu, nyatanya banyak perbedaan di antara Louisa dan sosok-sosok yang berada di bawah Nyonya Ma. Satu contoh, Louisa tidak merapal mantra.

"Kau selalu melupakan keluargamu sendiri!" Nyonya Ma menarik tudung yang menutupi kepala, wajah cantik berhiaskan manik hitam memberi air muka kesal. Margaret balik mencengkeram sisi tubuh Louisa dan menancapkan kuku-kuku hitam hingga merobek daging. Menggunakan gerakan mata, ia menyingkirkan Detektif Jason yang bersiap membidik kepala. Pria itu bak dilem pada kursi mobil, bersama boneka-boneka Louisa yang tak jauh berbeda dengannya.

"Apa---"

"Aku! Apa kau tak ingat? Margaret, saudari kembar yang lahir bersamamu dari rahim yang sama!" Margaret mengadu kening sampai terdengar bunyi tengkorak retak. Sepasang netra hitam itu menatap langsung iris ungu Louisa. "Kakak! Kau menghapus keluarga asli dari ingatanmu sendiri!"

"Berhenti mempermainkan hidupku!" Tidak terima disebut sebagai keluarga seorang pembantai. Louisa mengerahkan segenap tenaga melepaskan mantra yang menahan Joseph, tetapi Margaret lebih berpengaruh. Tahu perjuangannya sia-sia, ia menusukkan pisau ke arah leher orang di bawah.

"Aku benci melihat ingatan itu, tapi kau juga harus menyaksikannya! Kita akan menderita bersama!"

Dunia berputar cepat, mengguncang segala isinya termasuk membanting kedua perempuan ke tanah. Melempar Louisa dan Margaret yang merupakan saudari kandung sedarah, ke hari di mana senyuman masih seringan bulu.

Disambut aroma labu manis, dua bocah yang bermain di tumpukan dedaunan tertawa riang, saling mengubur satu sama lain di bawah kebahagiaan musim gugur. Terkadang mereka mengendap-endap ke kebun kecil di belakang rumah, mengagetkan seorang wanita yang tengah fokus memanen benda jingga dan kuning; atau melompat ke punggung seorang pria yang tengah membelah kayu bakar. Bentuk sebuah keluarga kecil yang hidup dalam ketenteraman nyata.

"Lihat-lihat!" Yang berambut hitam menarik-narik bocah bersurai cokelat agak menjauh dari kedua orang tuanya. Di hadapan mereka ada seekor tupai yang sedang mengumpulkan kacang di mulutnya. Margaret mengarahkan telunjuk pada tupai, seketika hewan berekor tebal itu berhenti dan mendekati keduanya dengan kaki belakang sebagai tumpuan. Hewan mungil itu mengangkat satu kaki, kemudian menari-nari seperti boneka yang dipasangi benang mengikuti ke mana telunjuk Margaret tertuju.

Takjub melihat yang dilakukan saudari kembarnya, Louisa bertepuk tangan heboh. "Hebat! Bagaimana melakukan itu?" Ia penasaran sampai-sampai hampir menggigit jari Margaret saking ingin mengetahui rahasia anak perempuan itu.

"Tinggal digerakkan saja," jawab Margaret masih dengan memainkan si tupai berpipi membulat sama seperti sepasang bocah berpakaian selutut yang mengembang.

"Hooo." Louisa membentuk lingkaran dengan mulut. Seekor katak yang lewat menjadi sasaran percobaan, mengikuti instruksi dari Margaret dengan menggoyangkan jari-jari pendek khas anak-anak. Namun, tidak seperti Margaret, katak itu tetap melenggang pergi tak mengacuhkan Louisa yang menunjukkan raut masam. "Tidak berhasil!"

"Ayo, coba lagi!" Margaret memberi semangat.

"Aaa! Tetap tidak berhasil ...." Louisa menunduk, menggambar lingkaran-lingkarang di tanah menggunakan potongan ranting yang ia temukan barusan. "Aku hanya bisa menggerakkan boneka kayu yang dibuatkan Ayah."

"Aku mau lihat, cepat lakukan!" Mata sehitam batu bara Margaret yang mirip sang ibu berbinar-binar. Berbeda dengan saudarinya yang bermata ungu mirip ayah mereka.

"Sebentar." Louisa berlari kencang menuju rumah dari kayu yang dibangun mandiri sang ayah. Mengobrak-abrik bawah tempat tidurnya mencari boneka kayu polos tanpa wajah, kemudian bergegas kembali ke saudarinya. Dengan cekatan memainkan jemari, boneka kayu di bawah berjalan-jalan mendekat si tupai yang masih berdiri kali ini hanya diam. Membelai makhluk imut itu menggunakan tangan-tangan kayu cokelat tua berbau harum.

"Wahh! Hebat!" Margaret berganti mengapresiasi usaha Louisa.

Sepanjang hari anak-anak manis itu bermain sampai ibu memanggil untuk makan malam. Sup labu dan semua yang berbahan labu tersaji hangat di meja makan kecil, hampir semua barang-barang dibuat sang ayah. Meski hanya berupa makanan sederhana, tanpa daging atau susu dan mentega, keluarga kecil itu menikmati setiap makanan yang masuk perut. Diiringi senda gurau hangat, saling membalas pelukan dan mencolek hidung.

Sampai segerombol penduduk marah menggedor-gedor pintu. Tanpa mendengar ucapan si pemilik rumah, mereka merangsek masuk menyeret perempuan yang berusaha mati-matian memeluk kedua putrinya yang ketakutan. Sang kepala keluarga mengangkat kapak besar mengusir tamu kasar tak diundang. Namun usaha mengkhianati hasil. Keempat manusia itu diseret paksa dengan rantai ke tempat terbuka.

Salah satu mengingkatkan tali di leher wanita yang meronta-ronta, si pria dipukuli dengan tongkat hingga rahangnya hancur. Sementara kedua anak mereka ditahan di tanah dalam posisi tertelungkup. Terinjak-injak kaki orang-orang dewasa yang murka entah karena apa.

Tangisan melengking tak dihiraukan. Membiarkan wajah-wajah polos menonton tubuh perempuan yang paling dicintai tergantung-gantung pada tiang di mana api menyala-nyala di bawahnya. Menyaksikan laki-laki lembut yang kerap menidurkan dengan nyanyian, ditarik kuda ke berbagai arah hingga anggota badannya terputus.

Louisa dan Margaret yang baru sepuluh tahun harus melihat penyiksaan yang dialami orang tuanya hanya karena ucapan omong kosong seseorang. Tidak berakhir begitu saja. Girilan sepasang anak yang menjadi pelepas nafsu mengerikan manusia yang dibutakan rasa takut.

Louisa digotong ke tempat sang ayah. Pisau mengiris-ngiris jemari yang siang tadi mengendalikan boneka. Perlahan-lahan dan menyakitkan. Dari jari-jari sampai kedua tangan bocah yang menjerit-jerit nyaris memutuskan pita suara itu habis. Tak membuat mereka puas dan kembali memotong-motong Louisa bak hewan ternak. Hal mengerikan pun menimpa Margaret, ia diikat rantai. Sekelompok orang yang sebagian besar adalah lagi-lagi, menarik tubuh kecil itu ke udara. Cekikan yang memangkas pasokan oksigen meremas-remas paru-paru, jilatan api membakar dengan gembira bocah yang sekarat di sebelah sang ibu.

Sebagai pelengkap. Keempat jasad satu keluarga itu dimasukkan dalam lubang, kemudian mereka menimbunnya dengan api panas yang melahap korban-korban keganasan masyarakat yang menyasar para pemilik kekuatan di luar nalar. Atau sering disebut sebagai penyihir.

"Entah bagaimana kita bisa hidup dari abu ibu dan ayah. Setelah semua penderitaan dan kesakitan, kau ... kau tiba-tiba melupakan aku dan memilih hidup bersama manusia yang membunuh kita!" Margaret menumpahkan segala hal yang tersimpan dalam hati busuknya. Mendorong Louisa yang lagi-lagi muntah berkat sensasi mengerikan yang timbul dari ingatan yang dipaksa bangkit berbarengan. "Aku cemburu! Aku benci kau! Benci sampai tulang-tulang ini nyaris patah bersamaan! Saking mencintai mereka, kau terlahir kembali untuk balas dendam!"

"Kenapa harus anak-anak?" Louisa menopang pada lutut dan telapak tangan, menatap muntahnya sendiri yang hanya berupa cairan kehijauan.

"Tidak ada alasan khusus," kata Margaret melangkah, secepat kilat ia meraih dagu lawan bicaranya dan menekan kuku-kuku dari tangan yang lain pada wajah Louisa. "Aku ingin kau menderita, merasakan bagaimana hari-hariku menanggung kepedihan sendirian!"

Deux terbang menerjang Margaret dengan kaki berhias pisau perak. Boneka yang bertugas menjaga Peter malah menyusul karena merasa ancaman besar menanti. Deux berdiri menjulang, menantang musuh di depan nyalang. Hanya dirinya yang mampu bergerak bebas berkat kebebasan jiwa yang diberikan Louisa.

"Kau bukan saudariku ...." Louisa berusaha berdiri meski getaran hebat menyelimuti tungkai.

"Ya, kita bukan saudari lagi sejak kita mati." Gaun panjang yang dikenakan Margaret tertiup angin yang muncul dari bawah, terkibar dramatis. "Aku akan menunggu. Menanti waktu saat-saat kepala terputus dengan tanganku sendiri." Tantangan sudah disampaikan dan diterima oleh yang bersangkutan, Margaret mengundurkan diri dengan cara menghilang seperti hantu.

Louisa terhuyung, beruntung Deux sudah mempersiapkan punggung untuk sang pengendali berlabuh. Boneka-boneka yang sebelumnya tertahan di mobil bersama Detektif Jason, dapat menggerakkan kembali tubuh mereka, termasuk pria yang kehabisan akal di belakang kemudi.

Perasaan letih mulai memberatkan tubuh, kelopak mata itu tampak sangat kesusahan untuk terbuka. Louisa ingin terlepas dari kelelahan jiwa sekaligus raga yang begitu membebani. Sampai-sampai ia pikir mati pun tak bisa mengurangi emosi yang berkecamuk di dalam diri Louisa.

.
.
.

To be continue

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
redaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro