Rue

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak ada cara membayar penyesalan. Itu akan tetap hidup sampai napas di ujung tenggorokan.
- Louisa

.
.
.

Kotak plastik di meja baru terlihat setelah Louisa menenangkan diri, Peter masuk ke kamar kembali menemani sang ibu yang belum juga ingin membuat mata. Sebelum menyelidiki apa yang ada di dalam kotak, Louisa bergegas mengambil satu potong baju dari lemari tempat ia bersembunyi. Memakai kaus kebesaran yang dirasa paling kecil milik Mike. Menyampirkan pakaian penuh noda merah dan cokelat ke sandaran sofa. Berjalan sembari memijit kening.

Bungkusan berwarna hitam dengan pita putih sebagai hiasan. Saat membuka perlahan tutupnya, aroma pahit dan manis memenuhi indra penciuman. Memberikan stimulus pada epinefrina untuk meningkatkan detak jantung dan perasaan senang. Terdapat sepuluh benda manis berbentuk bulat sebesar tutup gelas. Ada yang ditaburi kismis, kacang almond, dan cokelat putih. Louisa mengambil satu yang paling terlihat enak. Rasa gurih kacang bercampur dengan legit dari biji kakao membuat iris bunga lavender itu menutup pelan.

"Enak," katanya mengecap serius setiap gigitan cokelat, tangan yang terkulai di sisi tubuh meremas ujung kaus lengan pendek yang tampak seperti menelan tubuh Louisa.

Membiarkan sisa cokelat tergelatak begitu saja. Kepalanya terasa dihujam paku, rasa sakit di pelipis menyebabkan Louisa tak mampu berpikir yang lain. Saat ini benaknya tertuju pada satu fakta yang menjadi salah satu faktor sakit kepala menyebalkan. Kenapa Louisa baru menyadari Mike adalah salah satu dari ketiga belas orang yang membakar ia dan anak-anak? Aturannya ia akan menyadari itu begitu beradu pandangan sekali. Namun, Louisa dan Mike bahkan bisa bersentuhan tanpa saling melempar kutukan.

Spontan berdiri dari kursi meja makan yang tersisa, cepat-cepat mengikat kotak dengan pita lantas menjinjing kuat cokelat mungkin tadinya akan dimakan bersama. Sampai di depan pintu, Louisa melirik ke kamar di mana Peter dan Nina berada, mengelus dada sebelum akhirnya berlari menembus malam sembari bertelanjang kaki. Udara malam menusuk-nusuk kulit, embun di rumput menggelitik tungkai yang tampak memutih dan lecet.

Lampu jalan yang terlihat seperti titik putih, terlihat setelah Louisa berlari menyusuri jalan setapak menurun dari tempat tinggi. Rumah Mike berada di sebuah daerah tinggi kaya pepohonan, terpencil, dan jauh dari jalan besar, serta rumah-rumah lain. Jalan beraspal lengang, Louisa melirik ke segala arah serata menarik napas yang membekukan paru-paru. Sekarang ia harus ke mana?

"Mike!" teriak Louisa melangkah ke tengah jalan. Pemuda itu menghilang tanpa jejak. Erangan frustrasi terdengar bersautan dengan jangkrik dan suara burung hantu. Louisa memilih ke kiri, mengikuti tiang-tiang bersinar seraya berharap Mike tidak jauh dari sini, tak ketinggalan panggilan nyaring dari pita suara.

Dari arah belakang sesuatu menyoroti Louisa diikuti suara deru. Kendaraan beroda empat berhenti tepat setelah Louisa melipir ke pinggir. Detektif Jason muncul dengan kemeja, kali ini tanpa topi khas dengan janggutnya tampak pendek. Ia mendekati dengan wajah heran. Menyapu area sekitar dengan mata hitam yang tajam, kemudian beralih kepada bocah yang berjalan-jalan sendirian di tengah jalan.

"Sedang apa kau?" tanya Detektif Jason, berkacak pinggang.

Alih-alih menjawab, Louisa malah menyerobot masuk ke mobil. Melompat ke kursi belakang mengabaikan pertanyaan-pertanyaan dari pria berkulit eksotis itu. Tidak salah lagi, Louisa kenal dengan aura yang berasal dari dalam sini. Betul saja, kepala bersurai cokelat terang muncul dari balik kain yang sengaja digelar menutupi sesuatu yang ada di situ. Deux membuka mata begitu jari Louisa menyentuh kening, boneka yang lain pun sama---mengerjap merasakan kehadiran sang pusat kekuatan. Sno bergerak ke bahu Louisa dan bergelayut, seperti halnya perintah awal untuk boneka beruang yang tak boleh terlalu jauh dari si pemilik.

"Jadi benar dugaanku."

Suara di belakang mengejutkan. Pasukan plastik itu membentuk benteng, di mana Deux bergerak paling depan sebagai tameng pertama. Di kursi pengemudi, Detektif Jason melemparkan sebutir permen ke mulut, sebenarnya ia ingin merokok, tetapi agak tidak pantas jika dilakukan di hadapan seorang anak.

Merasa dipergoki, Louisa hanya bergeming. Berpura-pura tak lagi berguna, semua rahasia yang ia sembunyikan pelan-pelan terbongkar juga. Selagi menyiapkan hati ia berpindah ke kursi penumpang di sebelah Detektif Jason, merebut bungkusan permen dari tangan pria itu dan ikut memakannya.

"Aku tidak akan bertanya tentang mereka," kata Detektif sembari memberikan gestur kepala ke arah kawan-kawan Louisa. "Hanya satu. Apa orang---monster yang sebelumnya itu mengejarmu?" Melihat anggukan kecil. Ia menepuk tangan keras.

"Deux, temani Papa." Louisa menggerakkan telunjuk. Namun, boneka itu enggan menurut dan malah menatap dirinya dalam-dalam. "Aku percayakan mereka. Ini perintah."

"Baik." Deux turun, sebelum itu ia melepas sepatu yang dikenakan dan memasangkannya untuk Louisa, lantas berlari lebih cepat dari singa menuju rumah kecil tempat orang tua majikannya.

Penonton satu-satunya menaikan sebelah alis kagum. "Jadi---"

"Tidak ada waktu, cepat hidupkan kendaraan ini!" Louisa menunjuk lurus ke depan. Ekspresinya gelisah dengan keringat yang bercucuran.

"Ke mana?" Detektif Jason bersiap, menarik pintu di samping Louisa dan juga dirinya.

"Kau ingin tahu tentang mereka, bukan? Jadi cepatlah!"

Mobil melaju di jalanan sepi. Louisa tak menyia-nyiakan waktu dan mulai memakan cokelat yang ia bawa, tak mengacuhkan pandangan penuh tanya dari polisi di sebelah, untungnya pula ia tak banyak berbicara dan mau tahu kenapa dirinya sendirian. Bukan tanpa alasan Louisa meminta itu, sekilas tengkuk gadis itu meremang merasakan letupan dari tempat yang tak jauh. Berbicara dalam hati, semoga Mike tidak ada di sana.

Prediksi Louisa terkadang tidak pernah salah. Mike tengah berhadapan dengan lima orang bertudung kain, salah satunya seorang wanita. Pandangan pemuda itu kosong dengan iris biru yang menggelap di bagian putihnya, di leher benda-benda hitam bergerak merambat ke wajah dan seluruh tubuh. Dari embusan napas mulut Mike, asap hijau mengepul ke udara, terhirup burung malam yang seketika terhempas ke tanah.

Wanita bergaun ala viktorian itu berbalik masuk ke bangunan tiga lantai tua mengerikan. Pelayan-pelayan yang rata-rata pria, bergerak sesuai perintah. Empat orang bergerak menyerang Mike, tidak ada yang memberi komando hanya mengandalkan perasaan dan kepatuhan kepada penguasa---Nyonya Ma yang sudah sampai saja di lantai dua dan menonton pengeroyokan lewat jendela dengan balkon berteralis besi melengkung-lengkung.

"Maaf ...." Mike berbisik di sela-sela menghindari dari cengkeraman tangan-tangan pucat itu. Namun, itu bukan tandingan untuk seorang yang hidup dalam neraka penyesalan. Mike dengan mudah memelintir salah satu pelayan dan menyerangnya dengan awan-awan racun yang masuk lewat pori-pori.

Orang bersetelan jas itu menggelepar, bagian lengannya meleleh menjadi gumpalan benda hitam. Mike yang masih mengincar, menarik paksa tudung kain. Wajah rusak terpampang jelas menakuti hantu-hantu di dimensi lain. Bagai mayat yang tengah dimakan belatung, rupa lelaki itu membusuk dengan daging sebagian hilang, menyisakan tengkorak. Tidak ada mata, melainkan rongga kosong merah kehitaman, hidung sama-sama kosong, gigi di rahang rusak sebagaimana tengkorak lama. Mike sempat tersentak, tak lama ia melancarkan pukulan tepat ke wajah mengerikan itu hingga tertembus.

Bagaimana bisa Mike dulu bergabung dengan iblis sepertinya Nyonya Ma? Melihat orang-orang yang pastinya punya kehidupan diubah sedemikian rupa menjadi pelayan mayat hidup, tanpa jiwa, melainkan digerakkan dengan kekuatan wanita jahat itu. Ia melakukan hal yang sama untuk ketiga bawahan Nyonya Ma. Merasa bersalah untuk orang-orang malang yang mati dalam keadaan yang mustahil dibayangkan orang normal. Tepuk tangan di atas sana mengalihkan perhatian Mike, Nyonya berdiri lantas berpegang pada pembatas karatan. Menyibak sedikit kain penutup memperlihatkan bibir merah hampir menghitam yang tengah melengkung bak bulan sabit.

"Haaa, aku tidak mengerti kenapa kau malah berbalik. Ekor yang berusaha menyerang kepala. Betul-betul menyedihkan." Nyonya Ma menerima gelas pemberian dari seseorang yang Mike kenal, pria gendut yang mengajak dirinya bergabung. Meneguk minuman merah, membiarkan tetesan yang tidak sempat masuk ke mulut membentuk jalan menuju dagu. "Kau meminta solusi dan aku memberikannya. Lalu, di mana letak kesalahanku?"

"Diam ...," desis Mike mengeratkan kepalan diikuti kepulan asap yang makin menebal di sekitarnya.

"Ahh, aku tahu. Kau menyesali apa yang sudah terjadi. Apa itu karena anak perempuan Mariozette? Tak kupungkiri ia memang gadis kecil yang menarik hati. Atau mungkin, kau takut wanita itu menghukummu." Nyonya Ma tertawa kecil sampai tubuhnya condong.

Sekumpulan orang, campuran wanita dan pria keluar dari pintu depan yang tinggi berukir bunga. Mereka tak lain ialah manusia sejenis dengan Mike, orang-orang yang berdiri bersamanya dulu untuk membantai demi mendapat keinginan terdalam.

"Kasihan ... lagi pula itu pilihanmu, pilihan kalian semua sendiri." Sembari berkata, Nyonya Ma merapatkan tangan di depan perut. Berjalan anggun masuk ke kediamannya, membiarkan kedelapan orang mengurus manusia keparat yang berani menusuk dirinya setelah menghilang ratusan tahun.

Di dekat guci besar, Jakson bersama Ritcher menunggu. Penampilan laki-laki itu acak-acakan, hasil dari pertarungannya melawan boneka-boneka manis pagi tadi. Satu matanya hilang tercongkel Ludwig, ia tak bisa beregenerasi lagi jika terkena serangan dari para pemilik bakat asli. Jakson menunduk malu, lebih tepat ketakutan bahkan dengan melihat kaki bersepatu tinggi itu nyaris membuat jantungnya melompat ke mulut.

"Ya, sudah terjadi."

Jakson mundur, dari belakang Ritcher memegangi supaya ia tak kabur. Melihat sosok yang menyibakkan tudung sepenuhnya, mata hitam Jakson membelalak. Meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari genggaman ketakutan yang tengah melebarkan mulut. "Aku akan melakukannya lagi! Aku berjanji! Tolong, Nyonya---"

Melawan pelayan dengan salah dua dari tiga belas ksatria, jelas berbeda. Mike kesulitan meski tak lagi menahan kekuatan. Tubuhnya melayang ke sana-sini menghindar dari sepasang burung cinta yang menyerang dirinya dengan tali-tali merah. Benda panjang itu lengket seperti lem, mungkin serupa jaring laba-laba raksasa merah yang berusaha melilit Mike.

Mike melentingkan badan seraya meluncur melewati laki-laki tampan di antara kaki, kemudian menendangkan kaki terkuat tepat ke tungkai perempuan yang menjadi sumber tali-tali bermunculan. Meraih lengannya dan menembakkan racun dari telapak tangan tepat ke mulut.

Efek dari awan hijau kehitaman itu melepuhkan permukaan kulit. Wanita berpakaian glamor menjerit sembari memegangi wajah yang berasap. Rahangnya tampak, kulit mulus hasil perawatan terkelupas menunjukkan daging merah. Si pasangan menggeram marah menyaksikan belahan jiwa kesakitan, ia menghentak tali membentuk gelombang besar. Menyelimuti si wanita yang meraung-raung menahan rahangnya agar tak jatuh.

"Bergerak, sialan! Sampai kapan kalian menonton dengan tampang bodoh!" Pria itu berteriak kepada sejumlah orang yang menyaksikan di teras bangunan.

Beberapa yang mendengar itu terkikik, satu per satu turun tangan. Menampilkan wujud masing-masing sesuai dengan kekuatan yang dimiliki.

Di sisi Mike yang berdiri sebagai musuh, dibuat menelan ludah kasar. Seorang diri melawan delapan orang yang sama-sama memiliki kelebihan. Walaupun ia tak akan mati di tangah mereka, tetap saja sebagian besar tubuhnya akan hancur. Namun, entah kenapa Mike merasa itu lebih baik daripada harus menghadapi tangisan Louisa. Menatap langit yang mulai menjingga di timur, pemuda berjaket merentangkan tangan melepaskan kekuatan penyembuhan yang mampu bertukar menjadi racun mematikan.

Mike melawan delapan orang. Pertarungan penebusan dosa yang sia-sia.

Louisa mendesak Detektif Jason agar lebih cepat menginjak gas. Perasaannya kian tidak nyaman melihat awan-awan gelap berjarak lima ratus meter. Boneka Mia mengambil langkah lebih dulu dengan terbang menggunakan sayap capung. Melesat ke sumber kekhawatiran Louisa. Pandangan mereka yang saling berbagi memudahkan bocah itu mengetahui kejadian apa yang menjadi pusat perasaan menakutkan ini.

"Terlalu lama!" Tidak puas terhadap pelayanan sang polisi setengah baya. Louisa mengode Joseph untuk memberikan punggung. Tidak berpikir dua kali, Louisa bergegas dengan digendong boneka anak laki-laki, mendahului Detektif Jason yang menyaksikan si cantik kesayangan dikalahkan dalam hal kecepatan oleh sekumpulan mainan hidup. Kaki-kaki kecil itu menapaki aspal begitu ringan, terkadang tampak seperti sama sekali tidak menjejak pijakan.

"Aku tersinggung," ucap Detektif Jason menyeringai tertantang balapan sampai tujuan. Ia menyiapkan diri dengan senjata berpeluru putih dari kursi tengah. Seperti nasihat keluarga, selalu bawa senjata turun-temurun. Mau itu berguna atau tidak.

Melihat makhluk-makhluk aneh berkumpul pada satu titik, Louisa mengepalkan kedua tangan. Boneka-boneka di sisi kiri dan kanan termasuk Mia yang terbang di atas Louisa, melesat menabrakan diri ke tengah-tengah mereka. Dentuman kuat tercipta disertai debu-debu yang menggulung ke cakrawala, batu-batu terlempar bersama sosok-sosok yang terpencar tak ingin terkena tangan-tangan berpisau perak.

"Pergi!" Di tengah-tengah muntah, Mike sempat-sempatnya memperingati manusia pendek yang memegangi kerah baju belakang. Ia terkejut kenapa Louisa repot-repot mendatangi, Mike sadar bahwa sekali masuk ke kandang harimau lapar mustahil dapat keluar hidup-hidup. "Kubilang pergi!" usirnya. Berdiri membelakangi Louisa menatap segala arah, waspada akan serangan yang mengincar si bocah. Mike tak paham, kenapa Louisa bertindak bunuh diri semacam ini.

"Masih ada yang perlu kita bicarakan. Jangan harap kau bisa lepas dariku." Louisa  menatap nyalang setiap wujud yang berupa gabungan hewan dan tumbuhan, juga benda-benda tak lazim. Benang pengendali terhubung pada setiap lengan boneka. "Terima kasih untuk cokelatnya. Putuskan kepala mereka untukku!"

Lima boneka serentak menyebar dengan senjata masing-masing, Sno tidak ikut terjun ke lapangan dan bersiaga dengan badan membesar menjaga punggung Louisa. Si kembar menghadapi tiga orang, Joseph mengadu pedang melawan dua orang yang berubah menjadi laba-laba merah. Sisanya satu lawan satu, berhadapan muka. Pun Mike menyerang membantu bergantian.

Ritcher mengangkat pedang besar bersiap menyasar leher Mike yang lengah. Sebelum menyentuh pemuda itu, tubuh besar membulatnya terjengkang. Sesuatu melubangi jidat dibarengi letupan kencang dari arah pepohonan, Ritcher tidak mati hanya menggelepar di tanah. Melihat kesempatan, Louisa bergerak bersama Sno. Pisau perak sengaja dibungkus oleh beruang putih sebesar hewan sebenarnya, menyodorkan kepada si pengendali.

"Selamat tinggal, dasar rakus!" Louisa menghujam tepat di leher. Memutar-mutar pisau perak melubangi sosok yang menjerit kesakitan di kakinya. Tanpa ampun menikam sampai kepala Ritcher terlepas dari badan, meletup-letup sebagaimana oli panas, kemudian hancur. Kepala Louisa berputar ke cahaya yang berkedip di balik pohon.

Detektif Jason meniup pegangan sniper riffle yang dipesankan khusus keluarganya secara ilegal. Mengisi amunisi sembari melihat dari jarak aman lewat scope yang terpasang pada senjata sejenis senapan runduk.

Kedudukan berpindah. Mike dan Louisa meraih dominasi, sementara musuh menyisakan lima orang dari delapan bawahan Nyonya Ma. Timbul dalam hati Louisa sebuah kemenangan, dendamnya akan terbalas selepas melihat mereka berjatuhan di tangan-tangan bonekanya, juga bantuan dari Detektif Jason dengan serangan aneh.

"Terlalu cepat untuk senang." Wujud Nyonya Ma muncul di belakang Mike, sebelum berkedip tangan berkuku panjang itu merobek dada pemuda yang melotot merasakan tubuh tercabik-cabik.

"Hentikan!" Louisa hendak meraih Mike yang kembali dihujani luka menganga di dada. Getaran di dada saat melihat Mike memandang sayu dirinya, mengantarkan perasaan pedih yang sama seperti ia kehilangan orang-orang terdekat.

"Huss, sama seperti ketika aku memerintah Ritcher memusnahkan anak-anak itu. Ekspresimu yang begitu tertekan dan luluh lantah, membuatku bahagia." Nyonya Ma tertawa dari balik tudung, menggelegar diikuti angin yang berembus cukup kuat.

"Cukup. Pergi! Jangan mengampuniku, Louisa! Pergi!" Mike berteriak sekuat tenaga seraya menarik tubuh dari wanita itu. Ia mencengkeram sosoknya, meski darah terus mengalir dari setiap lubang, Mike meyakinkan hati untuk melancarkan serangan terakhir.

"Tidak mau!"

"Tetaplah hidup! Aku sayang kepadamu!"

Tubuh Mike membesar seperti balon. Kian mengencang dengan gas yang keluar dari sobekan daging akibat tak mampu menahan tekanan dari dalam.

Louisa yang histeris ditarik paksa Detektif Jason menjauh sebelum buntalan berisi racun itu meledak. Tidak ada pilihan lain untuk sekarang selain mundur, mereka tak boleh gegabah dan malah menempatkan diri pada perjuangan bunuh diri.

Ledakan racun menghempas kediaman Nyonya, Mike mengorbankan diri dengan serangan besar meski harus membayar dengan nyawa. Hujan darah membasahi perempuan yang kehilangan lengan oleh serangga kotor. Nyonya Ma terdengar menggertakkan gigi, tampak kesal dengan yang dilakukan Mike. Tak butuh waktu, tangan baru tumbuh dari potongan bahu miliknya.

Tangan Louisa menggapai putus asa dari gendongan Detektif Jason. Tak percaya melihat orang di sana kembali melarikan diri dari dirinya. "Mike!" Louisa benci mengakui cokelat yang dimakan adalah hadiah terakhir dari Mike.

Mike atau Mikhael---kakek tua depresi karena sang cucu sekarat---orang baik yang membantu Louisa berjuang dengan menukar boneka dengan makanan. Kisahnya selesai. Keabadian penuh awan kelabu dalam tubuh saat ia muda, berakhir dengan senyuman.

.
.
.

To be continue

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
redaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro