White Tulip

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada hal yang lebih sulit dan menyakitkan dibanding merangkak di atas jarum-jarum besi. Memberikan hati berdarah-darah dengan senyum merekah.
- Louisa

.
.
.

Terang yang membelah langit sudah hilang tertelan lembut sinar matahari. Puing-puing yang tersapu tekanan kuat, berhenti menggelinding, bangunan tinggi bergaya kuno penuh tanaman rambat dan jendela-jendela tua rata dengan tanah. Menyisakan pilar-pilar patah atau tembok yang masih tersisa sebagian. Mayat-mayat membusuk tak lagi tampak, hanya tanah berumput merunduk yang memenuhi halaman. Tak terlihat satu pun makhluk hidup, selain pohon-pohon tumbang dan bunga-bunga yang tercabut dari akar.

Mobil sedan memacu kencang, benda itu sempat tersentak ke depan saat pengemudi menginjak rem kasar, lantas berlari menuju wilayah yang sudah menjadi reruntuhan. Peter mencengkeram kepala, surai panjang yang diikat pita terlihat berantakan dengan anak-anak rambut mencuat. Sang istri yang menyusul memberikan reaksi lebih, ia terjatuh bertumpu lutut seraya mencakar tanah. Menatap sekeliling menggunakan mata berkaca-kaca.

Pontang-panting Peter menuju ke tempat di mana dinding-dinding kokoh sempat berdiri, sebelum mencapai pintu yang terpotong menjadi beberapa bagian, sebuah tangan milik seseorang tergolek di bawah runtuhan. Tanpa ragu menyentuh lengan itu yang langsung disambut suara laki-laki. Sosok itu merupakan Fire setelah sebagian benda yang menimpa dirinya disingkirkan, tak jauh dari sana ada teriakan lain yang meminta untuk mengeluarkan dari sisa-sisa reruntuhan. Water selamat, sehat meski salah satu kakinya patah tertimpa tiang. Sementara Fire kehilangan dua jari, dan memar-memar di sekujur tubuh.

"Di mana Louisa?" Nina yang berusaha tetap waras meraih lengan Fire. Sorot matanya betul-betul kehilangan harapan, walau ia masih meyakinkan hati bahwa putri kecilnya bernapas di suatu tempat.

Mendapati gelengan, kegetiran menjadi-jadi. Tangisan tak terbendung mulai mengambil alih, Peter menepuk pelan punggung pasangannya yang membenamkan wajah di dada pria itu. Detik terus berjalan menjadi menit. Empat orang dewasa mulai berpencar, Fire dan Water memanggil-manggil Detektif Jason yang tidak tampak batang hidungnya, Peter dan Nina kembali dalam pencarian Louisa.

"Louisa!" Peter menempatkan tangan di sisi mulut, melangkah kesulitan sembari menggandeng Nina yang sudah kepayahan.

Jauh di dalam sana, gadis kecil itu tengah duduk bersimpuh di ruangan sempit gelap tanpa penerangan. Tetesan air berjatuhan dari langit-langit, berwarna merah juga dingin. Louisa menunduk, membiarkan tengkuknya basah dan rambut tersibak menutupi wajah. Semua sudah berakhir bersama dengan nyawa yang ditarik lewat pucuk kepala. Perlahan ia mengangkat kepala, menelisik setiap guratan kesedihan dan kebencian yang terpahat di paras manis Margaret. Sepasang kembar identik yang saling berlawanan. Mengadu pandang tentang siapakah yang paling menderita. Hingga tarikan napas berat dan panjang terdengar dari salah satu bocah.

"Ini belum berakhir ...." Margaret membuka suara, setitik cairan membentuk garis meliuk di pipi. Rambut hitam yang tergerai, terkibar sebentar diikuti dua bola cahaya kekuningan muncul di belakangnya, sosok-sosok yang membawa luka menampilkan air muka kecewa. Orang tua Margaret dan Louisa.

"Cukup, kau tidak lelah?" Giliran Louisa yang berbicara. Getaran pada nada suaranya sudah mampu memberitahu bahwa ia betul-betul menyerah. Hati rapuh itu tak kuasa jika harus mengulang-ulang rantai setan yang tiada ujungnya.

"Kau. Orang yang paling tahu bagaimana rasa sakit mengingat orang-orang yang paling dicintai mati di depan mata!" Gema-gema pilu merangsek tanpa permisi, bermain dengan emosi yang sudah tak berbentuk dalam kuali rusak. Margaret merangkak, menyentuh lengan Louisa sembari menggertakkan gigi-gigi sampai cairan amis menetes membasahi baju mereka yang putih kusam. "Apa kami memang sudah mati untukmu, Kakak?"

Louisa tak sanggup, ia makin menunduk. Keningnya hampir menyentuh lutut saking tak ingin bertatap muka. Terisak sendirian.

"Demi orang lain kau rela melakukan apa saja, tapi kenapa untuk keluargamu ... kau malah melupakan mereka!" jerit Margaret, "aku benci saat kau bisa tertawa lepas bersama lima anak manusia, daripada mencari saudarimu! Aku membencimu sampai mati! Semoga kau hancur seperti kami!" Kata-kata barusan menjadi perpisahan tanpa pelukan hangat. Margaret beserta pria dan wanita di samping, mencair menjadi genangan kental hitam di bawah Louisa. Meninggalkan seseorang yang tengah merengkuh sisa-sisa dari cintanya yang terlupakan.

Memukul-mukul dadanya sendiri, suara sepanas air mendidih tertahan di tenggorokan. Mencekik dan menyesakkan. Louisa bahkan tak sudi menatap bayangan menyedihkan di lantai. Margaret sukses menempatkan ia pada neraka tak berapi, menenggelamkannya pada lautan minyak.

"Gara-gara aku ... semuanya karena aku!" Jika saja waktu bisa diputar, mungkin ia mampu menyelamatkan keluarganya dari kutukan berkat. Andai Louisa hari itu tidak bermain-main dengan boneka kayu bersama Margaret---orang tua dan saudari, serta dirinya pasti hidup bahagia sampai tua. Tidak akan ada yang terluka. Joseph, Lulu, Lily, Ludwig, dan Mia tak akan menjadi korban kebencian Margaret kepadanya. Tidak akan ada orang-orang yang meregang nyawa di tangan Margaret. Andaikan saja Louisa tidak lahir, mungkin semua hal akan baik-baik.

Sudah berakhir. Dendam terbayarkan tanpa membawa kegembiraan seperti yang dibayangkan di awal. Tidak ada kelegaan yang melepaskan tali-tali pengekang, malah makin membebani pundak yang ringkih. Kedamaian musnah terganti kesedihan dan kehampaan berkepanjangan. Tertelan kegelapan hati yang pelan-pelan menghancurkan raganya menjadi debu, dari ujung kaki dan tangan. Louisa bersujud, meratapi takdirnya yang begitu indah dan sempurna.

Louisa!

Louisaaa!

Belum berakhir!

Sentuhan kecil menarik tubuh Louisa, memaksanya dengan lembut untuk tegak memandang lurus ke depan. Senyuman yang menggetarkan hati kecil tertarik lebar di mata ungu lavender yang mati. Joseph melompat menghentak sebelah kaki, menari-nari di udara---tertawa renyah bersama anak-anak lain yang melepas pegangan kepada Louisa.

"Jangan menangis." Mia menangkup pipi Louisa, kemudian memberikan kecupan kecil di kening.

Lulu dan Lily berputar-putar mengitarinya semangat, membiarkan rambut benang merah membelai tubuh Louisa, mengumpulkan debu-debu yang bergerak menjauh. "Jangan bersedih."

"Jangan berhenti." Ludwig menempatkan lengannya di antara ketiak anak perempuan yang menengadah terpapar cahaya lembut. Mengangkat mudah Louisa, membuatnya menjejakkan tungkai yang lemas.

Giliran Joseph, anak tampan bermata lembut dan murah senyum. Ia menyelipkan bunga tulip putih di telinga Louisa, memeluk sosok yang kini berlinang tanpa alasan menerima perlakuan yang membingungkan. "Ini bukan salahmu. Lepaskan kami, Bibi. Jangan biarkan hatimu mati."

Kelima anak yang terbungkus cahaya bergerak melayang ke hadapan Louisa. Berjajar dari urutan anak paling tua sampai yang termuda. Menghadiahkan wajah paling berseri-seri.

"Pengampunan ada untuk semua orang ...." Mereka berucap bersamaan diikuti cahaya yang makin menyilaukan, menyelimuti sosok yang menangis lepas tanpa beban.

Detektif Jason berteriak---ia muncul beberapa saat lalu mengendarai sepeda, berkata bahwa dirinya terpental jauh ke sebuah toko pakaian, beruntung keajaiban menaungi Detektif Jason sehingga tak ada cidera parah yang ia alami---mengais tumpukan tembok hancur dan kayu-kayu bingkai pintu juga jendela. Menarik badan setengah telanjang dengan pakaian compang-camping. Boneka beruang yang ikut terkubur, sobek hingga lengannya lepas dari badan.

Peter langsung mengambil alih, meletakkan raga yang mendingin ke lantai. Menutupi bagian bawah Louisa dengan kemeja yang ia kenakan. "Sayang ...." Ia menepuk-nepuk pelan pipi, memberi stimulus kecil untuk membangun putrinya yang tampak enggan membuka mata. Namun, tidak ada respon.

Kegelisahan memenuhi diri Peter, tergesa-gesa mendekatkan telinga ke hidung Louisa, mendapati tak ada suara aliran pernapasan dari sang anak. Segera ia menempatkan kedua tangan di dada Louisa, menekan sebanyak tujuh kali sedalam empat sama lima sentimeter, kemudian meniupkan oksigen lewat mulut seraya menjepit lubang hidung.

Setiap kepala meneteskan keringat. Nina bahkan sudah meraung-raung ditahan Detektif Jason. Menyaksikan CPR yang dilakukan Peter, lebih menegangkan daripada menonton adegan gulat penuh darah. Peter mulai kehilangan kesabaran, tangannya gemetar saat menyentuh Louisa. Sudah berkali-kali ia menekan dada sang anak, tetapi kenapa mata bulat itu tidak mau terbuka.

"Bangun," bisik Peter di tengah-tengah kegiatan pemberian napas buatan. "Bangun!" Sekarang ia berhenti, berganti meraih kepala yang terkulai, memandangi bibir ranum yang pucat kebiruan. Gadisnya terlelap terlalu nyenyak. Isakkan menjelma menjadi teriakan tak terima. Peter mendekap sosok kecil ke dalam pelukan ketakutannya, meracau tak jelas sembari mengguncang Louisa yang tetap bergeming.

Nina menerjang, ikut bercucuran air mata. Ia baru saja diberi kesempatan kembali memeluk Louisa, tetapi keadaan merenggutnya tanpa memberi jeda. Sekeras apa pun Nina memanggil, sekuat apa pun ia menjerit. Buah hatinya membisu.

"Kumohon! Aku mohon! Tuhan!" Leher Peter menegang, cengkeraman erat di punggung Louisa menunjukkan ketidakpercayaan yang besar. Menampilkan kehilangan menyakitkan yang tak terobati.

Tiga polisi yang memegang janji melindungi si kecil, hanya bisa memandang sepatu dalam diam. Menyesal tidak lagi ada gunanya.

Louisa sudah pergi jauh.

"Papa ...."

.
.
.

Kedua tangan sibuk merapikan ikatan pita gaun kuning pucat pada daerah pinggang. Pun tak ketinggalan menyisir rambut cokelat terang panjang dan mengatur senyuman selebar apa yang harus ia pakai saat keluar nanti. Setelah dirasa cukup bersolek, gadis pendek bersepatu putih itu melesat keluar kamar bernuansa merah muda, menenteng boneka beruang putih berdasi hitam.

Louisa tertawa saat menuruni tangga, tanpa aba-aba ia melompat ke pangkuan pria yang muncul dari dapur. Membenamkan seluruh wajahnya ke leher Peter. Membaui sang ayah yang seharum padang lavender dan kapas.

"Hari ini mau makan apa?" tanya seorang wanita.

"Sup labu," jawab Louisa dilanjutkan menerima elusan tangan dari sang ibu yang telah pulang.

Keluarga Mariozette sudah lengkap, kehangatan kembali menaungi mereka sekali lagi. Cuaca cerah seolah ikut bersukacita menyambut kebahagiaan sederhana di meja makan. Kesempatan kedua datang dan Louisa akan menjalaninya sebaik mungkin. Menjadi anak yang baik dan penurut, menjadi manusia yang betul-betul manusia, dan menjadi pengrajin boneka yang luar biasa.

Begitu ucap Louisa kepada dirinya. Memang tak mudah menerima sesuatu yang merenggut sepenuhnya hidup, sesuatu yang menjadi alasan kenapa Louisa menderita sepanjang ia melangkah. Namun, meski harus berdarah-darah, tidak ada yang tidak mungkin selama napas masih terembus, selama jantung berdetak.

Tanpa sepengetahuan dua orang dewasa yang menyodorkan semangkuk sup labu kuning dan sepotong roti panggang. Boneka-boneka di rak toko melongok dengan pandangan tertarik, mencium aroma gurih dan manis dari arah dapur sederhana di rumah sekaligus toko Mariozette. Mereka menatap langsung mata Louisa yang mengedipkan iris ungu indah ke arah mereka.

.
.
.

End

Note:
Horey! Sebulan penuh menulis, saya berhasil melewati batasan dengan menyelesaikan novel Louisa. Hahai! ^^

Meskipun kisah Louisa dibuat buru-buru sambil mengejar waktu. Semoga pesan yang hendak saya sampaikan di setiap part dapat pembaca sadari. Sebuah kehormatan menjadi salah satu dari pembawa pesan sederhana yang terselip lewat kisah.

Tidak ada hal lain. Selamat menikmati hingga akhir. Terima kasih telah berjalan bersama Louisa! Papay!

#salamwritingmarathon #challengemenulisbersama_tim3
redaksisalam_ped

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro