LAFS | 04

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tidak apa-apa, 'kan ya?" Membuka pintu kembar lemari baju, gerak tangan Ji Hyun amat perlahan dan hati-hati. Dia meyakinkan diri bahwa apa yang dilakukan tidak masalah.

Banyak baju yang terlipat, sementara di bagian sebelah kemeja tergantung. Ji Hyun memilih salah satu kemeja, dia tidak memiliki pilihan selain menggunakan baju pemilik rumah. Baju yang dipakainya sudah kotor, dan sedikit... bau.

Ji Hyun segera berganti baju usai mencuci wajah di wastafel dalam kamar. Setelah selesai, wanita itu keluar, melangkah arah Soo Hyun yang tengah sibuk membolak-balikkan lembar halaman dari buku tebal.

Seketika saja arah pandang Soo Hyun teralihkan oleh Ji Hyun yang berdiri di hadapan. Sebelah tangan gadis itu meremas ujung kemeja Soo Hyun yang panjangnya di atas lutut.

Soo Hyun tahu, Ji Hyun canggung. Sejak awal wanita ini memang unik di mata Soo Hyun.

"Mm...." Mengapa rasanya sulit sekali suara ini dikeluarkan? Ji Hyun semakin meremas ujung kemeja putih bergaris hitam yang dikenakannya.

"Soo Hyun-ssi...." Satu kalimat penyebutan berhasil keluar. Ji Hyun masih harus kesulitan lagi mengeluarkan suara. Sementara Soo Hyun hanya berdiam diri—mendengarkan apa yang ingin Ji Hyun katakan.

"Aku... baju ini." Ji Hyun menunjuk si kain kemeja, kemudian merapatkan bibir; tidak kunjung bisa berkata normal.

"Ya?" Soo Hyun mulai menanggapi, memancing Ji Hyun untuk segera berkata tuntas.

"Ini, baju yang aku pakai, milikmu."

Soo Hyun tahu. Ia menyungging senyum hangat sebagai respons.

"Aku tidak bisa mengenakan baju kotor terus-menerus, jadi... aku mengambil baju di lemari pakaianmu. Aku pinjam. Maaf." Lantas kepala Ji Hyun tertunduk. Demi apa saja, Ji Hyun lebih berani menatap ubin yang dia pijak.

"Aku senang akhirnya kau berbicara kepadaku."

Ji Hyun mendongak perlahan, melihat Soo Hyun tengah memasang raut keramahan.

"Jadi... bajumu, tidak apa-apa aku pinjam?" tanya Ji Hyun. Sepertinya dia sudah bisa bicara normal.

"Karena kau sudah memakainya, tidak masalah."

Grukkk

Suara apa itu? Pasang mata Soo Hyun menurun—melihat tangan Ji Hyun yang kini memegang perutnya. Astaga, lucu sekali. Soo Hyun ingin tertawa, tapi ia memilih melepas buku tebal yang berada di tangannya sambil berdiri, membuat tubuhnya terihat sedikit lebih tinggi dari Ji Hyun.

"Kita makan, kau pasti lapar." Soo Hyun menarik lengan Ji Hyun menuju meja makan sederhana, lalu mendudukkan wanita itu di kursi hadapan meja yang sudah tersedia beberapa hidangan.

Semburat merah tampak di kedua pipi Ji Hyun—menahan malu karena ketahuan lapar. Soo Hyun jadi gemas melihat kedua pipi Ji Hyun. Ia melihatnya sekilas kala duduk di kursi berlawanan.

Sebagai tuan rumah, Soo Hyun segera mengambilkan nasi dan lauknya untuk Ji Hyun. Selagi wanita ini makan, Soo Hyun hanya memerhatikan saja, karena dirinya sendiri pun sudah sarapan lebih dulu sebelum Ji Hyun.

Cara makan wanita di hadapan yang cepat—terkesan terburu-buru, membuat Soo Hyun menuangkan air bening ke dalam gelas tinggi. Karena dirinya yakin, sebentar lagi Ji Hyun akan—

"Uhuk uhuk...."

—tersedak.

Soo Hyun memberikan gelas kepada Ji Hyun secara cepat. "Hati-hati, perlahan saja."

Gelas yang diberikannya disambut oleh Ji Hyun, dia segera meminum isinya sampai tandas. Perlahan Ji Hyun menaruh gelas itu sambil melihat Soo Hyun ragu-ragu. Tatapannya... seperti kucing yang meminta ampunan.

"Ayo dimakan lagi, habiskan. Anggap saja rumahmu sendiri, jadi kau bisa menambah sesukamu."

Lantas Soo Hyun dapat senyuman tulus dari Ji Hyun. Laki-laki itu sangat baik, seolah ia malaikat penolong Ji Hyun kala dirinya terpuruk.

Soo Hyun menopang dagu, dengan sikut yang bertumpu pada meja, memerhatikan Ji Hyun. Gadis lugu, pikirnya. Sebagai psikolog, Soo Hyun sedikit paham watak seseorang dari garis wajah, bahkan Soo Hyun tahu apa yang Ji Hyun rasa pada saat tertentu hanya karena gestur tubuh wanita itu.

"Kemarin malam, kau ada di tengah jalan. Kau sengaja berdiri di sana?" Soo Hyun bertanya setelah piring Ji Hyun bersih, tanpa ada satu butir nasi.

Ji Hyun terdiam, saat ini pun Soo Hyun tahu bahwa wanita itu bimbang untuk menjawab.

"Mungkin pertanyaanku mengganggumu, tapi aku harus tahu karena aku yang menolongmu kemarin. Kau sengaja?"

Bukankah ini saat yang tepat untuk interogasi? Soo Hyun hanya ingin tahu mengapa wanita itu sampai berada di tengah jalan. Membahayakan diri sendiri, dan nyaris tertabrak truk.

Sebetulnya, Ji Hyun baru saja melupakan masalahnya, lalu sekarang ia harus kembali mengingat yang terjadi karena pertanyaan-pertanyaan Soo Hyun hampir mirip desakan.

"Ya, aku memang sengaja," sahut Ji Hyun. Senyum tulus miliknya hilang, diganti oleh wajah pilu yang sempat Soo Hyun lihat kemarin siang. "Aku ingin mengakhiri hidupku kemarin."

"Dalam arti, kau ingin bunuh diri?"

Ji Hyun hanya mengangguk. Soo Hyun sampai mengerjapkan mata dua kali, detik selanjutnya ia berdecap halus seraya mengalihkan pandangan dari Ji Hyun. Ia tidak habis pikir bahwa di zaman seperti ini masih ada orang yang ingin mengakhiri hidup. Asal tahu saja, itu kuno bagi Soo Hyun—pribadi. Namun, bagi sebagian orang dengan cara mengakhiri hidup bisa membuat mereka puas. Soo Hyun mengerti itu, hanya saja... ia tidak menyukai seseorang yang bertindak berlebihan dalam menghadapi hidup.

"Apa yang membuatmu ingin mengakhiri nyawa?" Pandangan laki-laki itu kembali menetap pada Ji Hyun.

"Aku tidak mau memberitahumu, sekali pertanyaanmu dijawab pasti akan ada pertanyaan lain. Aku dibuang bagai sampah, kekasihku malah menikah dengan perempuan lain tanpa sepengetahuanku. Padahal aku sudah memberinya kepercayaan, tapi dia justru mengecewakanku."

Rahang Soo Hyun sedikit jatuh akibat kalimat Ji Hyun. "Tidak mau memberitahu, ya?"

Sindiran yang tepat sasaran itu membuat Ji Hyun benar-benar malu sekarang, dia merapatkan bibir. Oh Ji Hyun, mengapa kau sampai bersikap seperti ini? Jun Ji Hyun terbuka pada Soo Hyun dengan sendirinya, tanpa ada paksaan, bahkan tanpa diri berkehendak.

"Tidak apa-apa... hahaha...." Soo Hyun tertawa pertama kalinya di hari ini, lalu menghentikan tawanya yang membuat pipi pucat Ji Hyun sedikit kemerahan. "Lanjutkan saja kalimatmu. Ah sebentar, sebelum itu... apa aku boleh tahu namamu? Aku harus mengetahui nama seseorang yang berada di rumahku."

"Jun Ji Hyun, namaku," balas Ji Hyun pelan. Dia masih merasa kikuk karena malu.

Sejalan nama itu tersebut, Soo Hyun terpaku sejenak untuk mengaggumi nama yang selaras dengan wajah pemiliknya. Cantik.

"Sekarang, kau bisa menceritakan masalahmu kepadaku. Terhitung mulai dari hari ini, aku adalah temanmu. Senang mengenalmu, Jun Ji Hyun." Soo Hyun tersenyum kemudian. Ia selalu banyak tersenyum, membuat siapa pun yang melihatnya senantiasa merasa nyaman, menyisakan atmosfer hangat.

"Jika kau temanku, aku bisa memercayaimu?" tanya Ji Hyun, sorot matanya penuh harap.

"Tentu saja."

"Bahkan jika aku menceritakan semua masalahku?"

"Semua ada di tanganmu, Ji Hyun."

Wanita itu terdiam kembali. Terlihat bahwa Soo Hyun adalah orang yang tulus dan dapat dipercaya. Namun, apa jadinya jika Soo Hyun tahu semua masalahnya? Apa pandangan Soo Hyun?

"Aku merasa Tuhan sedang menghukumku." Ji Hyun memulai ceritanya. "Malam itu, aku mengira tidak akan kehilangan kekasihku setelah aku memberikan segalanya. Tetapi ternyata aku salah. Saat aku... mengandung anak Young Hwa, aku mengetahui kenyataan pahit bahwa dia sudah menikah dengan selingkuhannya."

Soo Hyun tidak memperlihatkan ekspresi terkejut atau apa pun. Dari sini Soo Hyun bisa melihat luapan kesedihan dari Ji Hyun, hanya dengan melihat sorot matanya.

"Jadi aku pikir Tuhan menghukumku karena melakukan sesuatu di luar batas. Pikiranku kalut kemarin, aku ingin berakhir, aku menyerah pada semua yang aku alami. Itu kenapa aku berdiri di tengah jalan untuk mengakhiri hidupku. Mungkin... itu lebih baik, aku dan janinku akan bahagia jika tidak ada lagi di dunia." Ji Hyun menundukkan kepala guna menahan air mata yang sudah berada di pelupuk.

"Tidak Ji Hyun, Tuhan bukan sedang menghukummu." Soo Hyun berkomentar, sesaat telah menyimpulkan bahwa Ji Hyun sudah selesai akan kalimatnya. "Melainkan, Tuhan menyayangimu sehingga Dia ingin kau bisa sadar bahwa kekasih yang kau anggap baik, bukan terbaik untukmu. Kekasihmu adalah yang terbaik bagi orang lain, dengan artian dia bukan jodohmu."

Akhirnya tangis Ji Hyun pecah, lantas mendongak untuk menatap Soo Hyun. Rasanya, luka dalam relung hati kembali terkoyak hingga menimbulkan perih.

"Lalu sekarang, apa kau masih ada niat ingin berakhir? Tidakkah kau berpikir kalau janin dalam kandunganmu adalah keajaiban dan titipan dari Tuhan, untuk kau jaga?"

"Tidak...." Ji Hyun menjawab sambil terus terisak, lantas Soo Hyun sempat kaget kala jawaban 'tidak', yang kemudian Soo Hyun ingin mentertawakan diri kala Ji Hyun melanjutkan kalimat; ia salah tangkap.

"Aku berubah pikiran saat kau menolongku. Sekarang, aku berpikir akan membesarkan janinku meski tanpa seorang ayah. Kau benar, anak ini adalah keajaiban juga titipan Tuhan. Aku akan menanggung risikonya, apa pun yang terjadi nanti."

"Bagus sekali. Ji Hyun, asal kau tahu... ketika kau memutuskan untuk tidak menyerah, kau adalah perempuan yang kuat, maka Tuhan juga akan membantu. Dia justru tidak suka pada manusia yang mendahului takdir. Jadi jangan berlaku nekat lagi, kau bisa menjadi lebih kuat dari ini. Percayalah."

Mengangguk, adalah respons satu-satu Ji Hyun. Pada kenyataannya, pandangan Soo Hyun tidak berubah, sorot mata itu masih hangat memandang Ji Hyun.

Mendengar dan melihat Ji Hyun menangis, Soo Hyun hanya membiarkan. Ia berpikir, tidak masalah Ji Hyun menangis untuk saat ini, dan air mata itu tidak akan pernah kembali keluar di masa yang akan datang.

Tidak akan. Soo Hyun tidak akan pernah membiarkan Ji Hyun menangis lagi ke depannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro