LAFS | 03

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lampu kamar sengaja dimatikan bersama gorden yang ditutup, membuat kesenyapan malam di luar menular ke dalam. Isak tangis Ji Hyun satu-satunya yang terdengar, amat jelas.

Tangis penyesalan terasa tanpa akhir, walau sudah tiada guna menyesal, mengingat sejak awal diri sendiri yang memilih jalan. Jun Ji Hyun salah, dia sudah sadar akan hal itu sekarang, tapi apa yang telah terjadi tidak mau mengembalikan Ji Hyun ke waktu itu. Persetan bahwa Ji Hyun telah kehilangan harga diri, lalu bagaimana nasib janin yang berada dalam kandungannya?

Ji Hyun semakin terisak kala bayangan kedua orang tuanya berputar dalam kepala. Jika mereka masih hidup, sudah pasti akan kecewa.

"Ayah, ibu... maafkan aku, maaf kumohon maafkan aku...." Berulang kali Ji Hyun mengucapkan kata itu, berulang kali juga kedua tangannya menjambak rambut sendiri.

Merasa sesak, Ji Hyun tidak tahu harus bagaimana menjalani hari esok, semua terasa kelam dan buntu. Janin dalam kandungannya akan lahir tanpa seorang ayah, itu akan dapat cemooh orang. Mereka-orang-orang itu, tidak pernah mau tahu alasan di balik Ji Hyun yang kini mengandung, mereka hanya akan tahu bahwa Jun Ji Hyun perempuan yang tidak bisa menjaga diri.

Ji Hyun tidak sanggup membayangkan hal yang bakal terjadi nanti, hal buruk yang menimpa di masa mendatang hanya akan menambah kepedihan. Namun, Ji Hyun juga tidak mungkin membunuh janin yang belum terbentuk dalam rahimnya, bagaimana pun, Ji Hyun tidak sejahat itu.

Hanya satu hal yang terpikir olehnya kini, terlintas begitu saja dengan sendirinya.

"Kita akan meninggalkan dunia ini bersama." Tangan yang sebelumnya berada di rambut, kini menurun-memegang perutnya yang masih rata.

•••

Kaki Ji Hyun bergerak perlahan, melangkah secara tidak pasti, membawa sejuta perasaan bergemuruh. Dunia seolah mentertawakan kebodohan Ji Hyun yang terpuruk ke lubang galian sendiri.

Menyorot trotoar sendu, Ji Hyun menarik sebelah ujung bibir. Atas rasa sakit, mungkin Tuhan sedang menghukumnya. Maka Ji Hyun merasa tidak bisa hidup lagi setelah hari ini, tidak ada hari esok bagi Ji Hyun.

Air matanya sudah kering, bahkan menangis pun tidak ada yang berubah, bukan? Langkah kecil itu kemudian berhenti di area penyeberangan.

Belum ada tanda lalu lintas untuk orang menyeberang, Ji Hyun sudah mengayunkan kaki-menuju jalan raya satu arah meninggalkan trotoar. Desaran angin, bunyi mesin kendaraan... Ji Hyun tidak peduli. Dia juga tidak peduli pada suara klakson yang mengarahnya ketika berhenti tepat di tengah jalan.

Kedua matanya terpejam, sementara mobil-mobil pribadi berusaha menghindar guna tidak menabrak tubuh Ji Hyun. Ini adalah akhir dari rasa sakit, keterpurukan, kebodohan bersama rasa kecewanya.

Truk kontainer yang tidak bisa mengerem mendadak, terus memberi peringatan pada seseorang di jarak tidak jauh melalui klakson keras. Tidak ingin ada kecelakaan beruntun atau mobil yang terlindas, pengendara truk tidak mungkin mengambil jalan yang dilewati banyak mobil pribadi.

Kian dekat truk pada Ji Hyun, wanita itu sudah siap untuk merasakan sakit sekali lagi. Setidaknya, sakit itu akan menyerang tubuh, bukan batin.

"Ibu... ayah... tunggu aku, hm? Tunggu aku sebentar...."

"Awas!"

Dengan sigap, laki-laki yang tadi berteriak menarik tubuh Ji Hyun. Mereka terguling arah bahu jalan, dan langsung dapat umpatan dari salah satu pengendara. Bukan pengendara truk yang sudah berlalu bagai angin, tapi pengendara bermobil pribadi yang sempat memberhentikan mobilnya.

"Dasar tidak tahu diri. Kalau mau mati jangan melibatkan orang lain!"

Mobil itu melewati dua orang yang tidak memerhatikan jalan raya lagi, bersama mobil-mobil lain yang telah berjalan pada posisi semula.

Pemuda yang telah menyelamatkan Ji Hyun bernapas tersengal-sengal. Belanjaan yang dibawa tidak tertolong, semua terlindas kendaraan. Namun, ia tak perduli, keselamatan seseorang lebih penting. Ia melihat wanita di bawahnya, lalu berpindah posisi-duduk di samping Ji Hyun yang terpejam, tampak tenang.

Tunggu, wanita ini....

"Si ketus?" Ia ingat, bahkan masih jelas ketika kedua mata itu menatap tajam, juga kalimat ketusnya di lorong apartemen. Baju si wanita pun masih sama seperti yang terlihat siang tadi.

Sadar dari pemikiran, ia mulai panik kala menyadari wanita yang baru saja ditolongnya tidak sadarkan diri.

"He-hei, Agassi. Hei, aduh bagaimana...." Pemuda itu mengatup bibir, matanya menutup sekilas guna bisa berpikir cepat dalam kondisi cemas.

Tidak lama, ia akhirnya tahu harus ke mana, dan bagaimana.

•••

Matahari mulai muncul ke permukaan bumi ketika pagi tiba. Pasang mata yang terpejam kini terbuka akibat cahaya dari celah jendela, juga karena rasa mual yang membuat Ji Hyun harus beranjak duduk.

Selimut putih nan tebal masih membalut setengah tubuh, Ji Hyun mulai membawa pandangan pada arah sekitar.

Seperti kamar. Ya, Ji Hyun yakin ini adalah kamar, lalu nakas dengan lampu tidur di atasnya, vas, ranjang sederhana, dinding yang... oh astaga!

Jun Ji Hyun terkejut.

Sejak kapan Ji Hyun menyimpan vas tanpa bunga di atas nakas? Sejak kapan dinding kamarnya berwarna krem cerah? Sejak kapan... Ji Hyun memijat tepi kepala yang pusing. Ruangan ini asing baginya, ranjang tempat dirinya duduk, Ji Hyun tidak mengenal.

Dengan rasa mual yang masih terasa, hati Ji Hyun bertanya-tanya; di mana aku? Bagaimana aku bisa berada di sini?

Mencoba mengingat saat malam terakhir kemarin, tapi semua pemikiran Ji Hyun buyar sesaat pintu cokelat itu terbuka. Sosok laki-laki tinggi menawan memasuki kamar.

Betul menawan, untuk ukuran Ji Hyun yang baru bangun dari ketidaksadaran. Bahkan rasa mualnya berangsur hilang saat melihat laki-laki itu.

"Sudah bangun, Agassi?" Sapaan itu terdengar hangat, bersama senyum yang membuat pagi cerah terkalahkan.

Laki-laki berpakaian sweter kebesaran lengan panjang itu menempatkan bokongnya di pinggir ranjang. Meski sweternya terlihat kebesaran, tapi mengapa bisa cocok menempel pada tubuhnya? Sampai-sampai, hal itu mampu menyita perhatian Ji Hyun yang kini tengah mati-matian menahan belah bibir untuk tetap rapat.

"Semalam, mengapa kau berada di tengah jalan?" tanyanya kemudian.

Ah, benar! Ji Hyun baru mengingatnya. Terakhir kali, dia ingin mengakhiri hidup, dan sekarang... dia masih hidup?

"Apa suaramu mendadak habis? Aku kira kau akan menjawab ketus seperti kemarin siang." Lantas laki-laki itu tertawa kecil, sementara Ji Hyun mencoba memakai ingatannya lagi yang tersendat.

"Kau...." Ji Hyun tercenga. Hilang sudah pertahanannya untuk tetap rapat bibir.

"Benar, aku orang yang kau tabrak kemarin siang di lorong apartemen Huanan. Oh iya, aku Kim Soo Hyun, kau?" Soo Hyun memampang senyum, tangan kanannya terulur arah Ji Hyun yang bungkam.

Ini aneh sekali, kemarin siang laki-laki di hadapan sama sekali tidak terlihat menawan, tapi mengapa kini ia tampak berbeda? Sesaat, Ji Hyun meringis, merasa konyol pada pemikiran sendiri, sekaligus merapatkan kembali bibir.

Merasa Ji Hyun tidak mau menjabat tangannya, Soo Hyun menariknya kembali. "Sekarang kau berada di rumahku, dan ini kamarku. Kemarin aku tidur di luar."

Soo Hyun sengaja menjelaskan, untuk tidak ada kesalahpahaman.

"Umm... kalau kau sudah ingin bicara, aku ada di luar. Jika kau lapar, kau juga bisa mulai bicara padaku," kata Soo Hyun, mengakhiri kalimat seraya beranjak berdiri, lantas keluar dari kamar dengan gerak cepat.

Jun Ji Hyun hanya memerhatikan Soo Hyun, dan melihat bagaimana gugupnya laki-laki itu menutup kembali pintu kamar.

Di luar, Soo Hyun mengendalikan napas yang tidak teratur. Dekat dengan wanita yang tidak diketahui namanya itu, membuat reaksi berlebih pada jantung dan tubuh Soo Hyun. Ia menyandarkan punggung sebentar pada pintu kayu kamarnya.

"Ayolah jantung, kau jangan lemah begini."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro