LAFS | 02

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau—"

Ji Hyun mematikan sambungan telepon dari ponselnya, dia kesal selalu suara operator yang terdengar ketika menghubungi nomor Young Hwa. Berulang kali sampai Ji Hyun berdecak, memang kekasihnya operator apa?

Ini sudah tiga minggu sejak malam yang mendebarkan penuh gairah, dan Young Hwa tidak lagi menemui Ji Hyun, bahkan sulit hanya untuk dihubungi.

Apa terjadi sesuatu kepadanya?

Belum habis pemikiran tentang Young Hwa, Ji Hyun segera menutup mulut menggunakan kedua tangan ketika mual mendesak. Rasanya ada satu gejolak tidak kalem dalam perut, belum lagi pusing yang melanda.

Bukan yang pertama, ini sudah kesekian kali dalam dua hari Ji Hyun merasa mual di pagi hari. Namun, ketika menjelang siang tiba-tiba tubuh Ji Hyun yang lemas bisa menjadi segar. Ji Hyun jadi curiga akan sesuatu.

Jangan-jangan... tidak, Ji Hyun tidak mau menduga-duga. Daripada berpikir yang tiada jelas, dan tidak akan ada ujungnya, lebih baik bertindak.

Tidak butuh waktu lama untuk membeli alat tes kehamilan, lalu mengetesnya. Di dalam kamar, Ji Hyun keluar dari toilet sambil menatap tanda merah bergaris dua.

Dari mual, kini seolah ada benda berat mengimpit tubuh hingga remuk. Ji Hyun mungkin bodoh karena terlambat tahu bahwa ada kehidupan lain dalam dirinya, tapi dia cukup mengerti apa arti garis itu.

Ini tidak nyata, 'kan? Ji Hyun masih dalam keadaan syok, membuat kedua kakinya tetap terpaku pada posisi yang dipijak. Tidak seperti kedua kaki, pikiran Ji Hyun melalak, memori-memori lalu mencuat, tapi cuma ada satu kesimpulan; janin ini adalah hasil dari hubungannya bersama Young Hwa... malam itu?

Ji Hyun tahu benar jawaban atas pertanyaannya sendiri. Bergerak cepat, Ji Hyun berusaha meraih ponsel di atas kasur, segera menghubungi kembali Young Hwa. Akibat memaksakan bergerak, kaki Ji Hyun rasanya kesemutan sampai tidak sadar terduduk di lantai tepi ranjang.

Tidak apa, Ji Hyun. Setidaknya janin dalam kandunganmu memiliki ayah. Dia mencoba menenangkan diri, yakin saja bahwa Young Hwa akan bertanggung jawab.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, silakan hubungi kembali setelah...." Tetap sama seperti terakhir kali, Young Hwa tidak dapat dihubungi.

Hari sudah siang, Ji Hyun bertekad untuk menuju apartemen kekasihnya kala tubuh sudah lebih baik. Menaiki bus, membutuhkan tiga puluh menit untuk sampai tujuan.

Sepanjang perjalanan, Ji Hyun merasa cemas. Perasaan tidak enak semakin menjadi. Sebetulnya, perasaan demikian tidak pernah hilang, padahal Ji Hyun sudah berulang kali menepis perasaan-perasaan yang memicu pikiran negatif.

Setelah sampai pada gedung bertingkat, Ji Hyun menuju unit Young Hwa. Kini dirinya merasa takut tanpa ada alasan, atau sebetulnya... ada alasan? Perasaan sendiri. Terkadang, perasaan manusia lebih mengerikan dari bayangan pahit. Ji Hyun bisa memahami, dia takut; bagaimana jika apa yang dirasa menjadi kebenaran? Bagaimana kalau sebetulnya apa yang dipikirkan adalah kenyataan?

Di depan unit Young Hwa, Ji Hyun terdiam sejenak seraya memandang nomor 309 yang tertempel pada pintu.

Sesudah banyak meyakinkan diri, Ji Hyun mulai menekan bel yang berada di samping pintu. Sekali, dua kali, hingga sampai ketiga kalinya, pintu terbuka—menampilkan sesok perempuan berambut sebahu.

Perempuan itu... ah! Ji Hyun ingat, ia perempuan yang pernah Ji Hyun pergok sedang bercumbu bersama Young Hwa saat itu. Jadi, mengapa sekarang ia berada di dalam unit kekasihnya? Tunggu, ia juga yang membukakan pintu?

"Mencari siapa?" Perempuan itu bersuara keheranan. Namun, memori otak sedang mencari data-data yang tertuju pada Ji Hyun, ia pernah melihatnya.

"Mengapa kau... di sini?" Ji Hyun justru balik bertanya.

"Ada masalah aku di sini? Kau ini siapa?" Sesaat kemudian, data yang dicari ketemu. Perempuan itu tersenyum singkat. "Oh ya, kenapa aku bisa sampai lupa, kau... kekasih Young Hwa yang sudah dia campakkan, benar?"

"Dan kau, selingkuhan Young Hwa yang tidak tahu malu." Tatapan Ji Hyun menajam, tapi tidak bisa menampik kalau tersirat luka yang tampak dari lingkaran merah dalam matanya.

"Selingkuhan Young Hwa? Aku? Tidak lagi. Kini statusku istri dari Young Hwa. Min Young Hwa adalah suamiku," sahutnya, penuh penekanan di kalimat akhir.

Kedua tungkai Ji Hyun lemas, jantung seolah hilang detak sebentar, membuatnya menahan napas. Kesakitan yang merobek hati berdominasi dengan rasa ketakutan yang kian membesar. Mungkin Ji Hyun hanya membayangkan bahwa Young Hwa tidak mau bertanggung jawab dan mengusirnya. Namun, tidak pernah berpikir ada alasan dramatik begini.

Mengapa tidak ada darah yang keluar dari tubuhnya, walau Ji Hyun amat kesakitan? Pada luka yang tidak terlihat, ini lebih menyakitkan dibanding sakit fisik.

Ji Hyun bersikeras tidak memercayai apa yang telah dia dengar, dengan tersenyum miris sebagai hiasan muka—entah ditujukan untuk sosok perempuan itu, atau diri sendiri.

"Khayalanmu tinggi sekali. Young Hwa meminta maaf kepadaku tiga minggu lalu. Kami sudah baikan, dan dia... dia tidak mungkin menyakitiku lagi." Ji Hyun tercekat. Benarkah kata; tidak mungkin menyakiti lagi? Ji Hyun sendiri ragu. "Jadi tidak ada alasan Young Hwa menikahimu."

Perempuan itu menggeleng perlahan, merasa kasihan pada Ji Hyun—mungkin—sambil melipat tangan di depan dada.

"Dasar wanita naif. Kau percaya begitu saja perkataannya? Bagaimana pun Young Hwa pria, dia bisa saja bermulut manis di depan, tapi kenyataan? Aku dan Young Hwa telah menikah dua minggu lalu. Kami mengucapkan janji pernikahan di hadapan pendeta, dan disaksikan kedua keluarga."

Bolehkah sekarang Ji Hyun berteriak? Ingin sekali rasanya berteriak, menangis sekencang-kencangnya, lantas berkata ini semua tidak mungkin.

"Aku ingin bertemu Young Hwa. Sebelum dia sendiri yang mengatakan kebenarannya, aku tidak percaya kepadamu."

Mungkin kini, penilaian naif pada Ji Hyun yang diberikan perempuan itu benar adanya. Bagaimana bisa, Ji Hyun terlalu memercayai Young Hwa? Meski telah membangun kasih selama dua tahun, tapi tidak pernah ada yang tahu rahasia hati terdalam manusia. Pada dasarnya setiap orang berubah-ubah pada fase-fase tertentu.

Hanya... lagi-lagi, karena cinta yang membuat Ji Hyun begitu memberi kepercayaan besar.

"Baik, terserahmu saja." Lalu si perempuan memanggil Young Hwa, tubuhnya masih di ambang pintu.

Dengan perasaan tidak tenang Ji Hyun menunggu sesaat, sebelum laki-laki yang sempat menghilang itu akhirnya muncul, memperlihatkan batang hidung di sebelah perempuan yang mengaku sebagai istrinya.

"Ji Hyun?" Kedua mata pria itu membulat ketika melihat gadisnya. Ah, atau lebih tepat, mantan gadisnya?

"Ini tidak benar, 'kan? Kau tidak menikah dengannya, 'kan?" Pertanyaan Ji Hyun itu terasa menghantam keras indra pendengaran Young Hwa.

"A-aku... Ji Hyun...."

"Jawab aku Young!" Desak Ji Hyun, sekarang ini dia tidak butuh basa-basi.

"Ya, aku sudah menikahi Ri Jin. Maaf."

Maaf? Sekali lagi pria itu dengan mudahnya mengucapkan maaf?

Hati Ji Hyun mencelis bersama langkah yang memundur. Dia telah jatuh ke jurang paling dalam kedua kalinya. Kepercayaan Ji Hyun pada Young Hwa yang awal dipertahankan menjadi retak, kemudian hancur di waktu bersamaan.

"Dia hamil anakku, jadi aku harus bertanggung jawab." Young Hwa memberikan penjelasan, tapi justru membuat kesakitan yang dirasa Ji Hyun bertambah.

"Lalu kau tidak bertanggung jawab kepadaku, setelah apa yang kau lakukan?" Air mata yang menggenang di pelupuk, nyatanya tidak sekuat itu untuk terus bertahan. Kedua pipi Ji Hyun basah, giginya bergemeletuk menahan amarah yang timbul.

Kalimat terakhir itu menjadi awal kepergian Ji Hyun, dia menjauh dari unit Young Hwa. Derap langkahnya menggema di sepanjang lorong apartemen, meninggalkan sisa-sisa keterdiaman dirinya di sana. Sementara Young Hwa tidak bisa berbuat apa-apa, ia juga tidak mungkin mengejar Ji Hyun. Hubungannya bersama Ji Hyun telah usai, sejak pertama ia memutuskan menikahi Ri Jin.

Hancur, bahkan kata itu tidak dapat mengidentifikasi bagaimana kondisi Ji Hyun sekarang. Jun Ji Hyun hanya tahu, kalau dirinya menjelma manusia hina, harga diri sebagai perempuan telah rusak oleh orang tepercaya.

Kenyataan memang tidak pernah mau berbaik hati dari harapan Ji Hyun, bahwa dirinya akan hidup bahagia bersama Min Young Hwa adalah fantasi manis yang Ji Hyun ciptakan sendiri. Sebab yang namanya cinta, bukan sekadar tentang warna merah jambu, tapi juga dapat berwarna abu-abu.

"Astaga!"

Pundak Ji Hyun terasa tertahan oleh kedua tangan besar saat tubuhnya hampir tersungkur lantai. Langkahnya jelas sudah terhenti bersama seseorang yang baru saja menabrak tubuhnya.

Tidak, tidak... bukan orang itu, tapi Ji Hyun yang menabrak orang tersebut karena melangkah terlalu buru-buru, lalu terkejut dan memekik. Tidak tahu bagaimana ceritanya, sampai Ji Hyun berada di posisi membungkuk dengan pasang tangan orang asing sebagai sangga.

Menoleh sedikit ke arah sisi, bola mata Ji Hyun mengamati sosok laki-laki yang masih memegang kedua pundaknya dari belakang. Kecil saja gerakan, muka Ji Hyun akan mencium lantai, maka sekuat mungkin laki-laki itu bertahan dengan posisinya.

"Agassi... kau baik-baik saja?"

Napasnya terasa membelai halus telinga Ji Hyun. Tanpa menjawab, Ji Hyun segera beringsut, lalu menepis kedua tangan laki-laki itu.

"Jangan menyentuhku." Ji Hyun berucap tidak ramah sama sekali, alih-alih berterima kasih.

Melihat pandangan Ji Hyun yang tajam, tapi menyimpan air melapisi mata membuat si laki-laki asing tertarik. Um... bukan hanya tertarik, jantung yang tadinya berdetak normal, sekarang rasanya tidak beraturan seperti habis berlari mengelilingi ruang sepuluh hektar.

"Maaf, aku tidak bermaksud...." Perkataan itu meredam saat Ji Hyun memalingkan wajah, dan melangkah pergi—mengabaikan apa yang mau dijelaskan si laki-laki.

"Ya ampun, galak sekali," gumamnya. Kedua mata mengekori Ji Hyun yang sudah mulai menghilang ditelan cahaya dari ujung lorong.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro