LAFS | 07

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Aku mendapatkannya, Ma!" teriak Hyun Jun, berlari menuju Ji Hyun sambil membawa toples berisi kupu-kupu cokelat berbintik hitam.

"Hebatnyaaa... tapi, kau tidak bermaksud mengurung kupu-kupu seperti ini, 'kan?"

Anak laki-laki itu termenung, kemudian menatap toples yang dipegangnya.

"Jadi?" Ji Hyun memancing putranya untuk bertindak sesuatu.

"Aku harus melepasnya?" Ada keraguan dalam kalimat tanya Hyun Jun.

"Benar, lepaskan kupu-kupunya, dia butuh kebebasan untuk hidup."

Lantas tangan kecil Hyun Jun membuka tutup toples, membuat seekor kupu-kupu yang berhasil ditangkap terbang ke luar.

Ji Hyun mengusap surai legam sang putra sebagai penghargaan. Kim Hyun Jun tidak menyesal telah melepas hasil tangkapannya, ia beralih pada sesuatu yang lebih menarik; dedaunan kering yang gugur diterpa angin. Toples yang dibawanya dari rumah dilepas ke sembarang arah.

Beberapa saat, acara bermain Hyun Jun terhenti kala kedua matanya menangkap sosok yang ia tunggu-tunggu.

"Ayah!" Hyun Jun memekik lantang, dan tanggapan Young Hwa mengembangkan senyum semringah.

Hyun Jun meninggalkan posisinya demi sampai di hadapan Young Hwa, sementara laki-laki dewasa menyelaraskan tinggi untuk setara dengan Hyun Jun.

"Wah, kau sudah semakin besar. Kalau begini, anak ayah bisa mengalahkan Rita Repulsa!" Young Hwa berkelakar, lantas memeluk tubuh kecil putranya.

Tidak salah, putranya. Young Hwa baru mengetahui fakta getir itu saat Ji Hyun melahirkan di rumah sakit yang sama dengan Ri Jin. Young Hwa juga baru mengetahui fakta lain, bahwa ketika Ji Hyun datang ke apartemen menemuinya, wanita itu dalam keadaan mengandung Hyun Jun. Sungguh bodoh. Min Young Hwa selalu merutuk diri jika mengingat peristiwa tersebut.

Young Hwa melepas pelukan pada Hyun Jun, kemudian meminta sang putra bermain kembali. Sejalan itu, dirinya menghampiri Ji Hyun dan duduk di atas bangku taman, bersisian dengan Ji Hyun.

"Kau benar-benar mempertemukan Hyun Jun denganku lagi, aku berterima kasih karena kau tidak membatasiku untuk menemuinya. Tidak menutup kenyataan, dan membolehkan Hyun Jun menganggapku sebagai ayahnya."

"Sudah seharusnya aku lakukan," balas Ji Hyun, lalu memasang senyum; bukan kepada arah Young Hwa, melainkan arah ujung sepatu datarnya.

"Kau juga membesarkannya dengan baik," tambah Young Hwa. "Kau berjuang mempertahankannya, sehingga lahir malaikat kecil yang menggemaskan. Aku bahkan tidak bisa membayangkan sulitnya dirimu untuk mempertahankan Hyun Jun waktu itu."

"Aku juga tidak menyangka bisa bertahan dan mempertahankan." Masih jelas dalam ingatan Ji Hyun, bagaimana kemustahilan untuk tetap mempertahankan Hyun Jun dalam keadaan yang tak kenal lelah merobek-robek hati menghantui. "Kurasa... ini berkat suamiku, dia telah banyak memberikan energi positif. Kalau tidak ada dia, mungkin aku tidak bisa melihat Hyun Jun. Mungkin juga... aku tidak bisa lagi melihat dunia."

Min Young Hwa mengangguk sekali, paham betul betapa berpengaruhnya Kim Soo Hyun dalam hidup Ji Hyun.

"Aku sungguh bersyukur kau dipertemukan oleh pria sepertinya. Ah, dia belum datang juga, ya?"

Ji Hyun melihat sekilas jam tangannya. "Mungkin sebentar lagi, tapi kau bisa pergi jika tidak memungkinkan menunggu lebih lama."

"Tidak, aku ingin bertemu suamimu sebelum pergi, karena aku tidak akan kembali dalam waktu dekat, istri bersama putriku juga ikut ke Jepang dan akan menetap di sana. Jadi mungkin akan lama aku tidak bisa bertemu kalian." Mencoba menatap Ji Hyun, Young Hwa menampilkan wajah paling serius yang ia miliki. "Maafkan aku, Ji Hyun-ah. Apa yang kulakukan kepadamu dahulu, maaf."

Membiarkan Young Hwa leluasa berbicara, Ji Hyun hanya mendengarkan dengan mulut rapat.

"Aku tahu, harga maaf tidak semudah mengucapkannya, apalagi setelah yang terjadi. Setiap kali bertemu denganmu, aku ingin mengucapkan maaf berulang-ulang. Sejak hari aku tahu kau melahirkan anakku, aku terus merapal kata itu, setidaknya sampai aku merasa puas. Meski anehnya, aku tidak pernah puas, karena rasa bersalah terus merekat.

"Sungguh, maafkan aku...." lanjut Young Hwa. Dari sorot mata, tergambar jelas bagaimana perasaan bersalah membola.

Maka, Ji Hyun mengerti; Young Hwa manusia. Manusia tempatnya keliru, wajar jika laki-laki itu pernah melakukan kesalahan. Tinggal bagaimana diri masing-masing menyikapi, dan mengambil pelajaran dari kesalahan itu.

"Tidak apa-apa, sudah lupakan. Maksudku, lupakan masa yang telah berlalu, tapi jika dibutuhkan kita bisa menoleh ke belakang untuk belajar. Aku... diberi perkataan seperti itu oleh suamiku. Lagipula, aku sudah memaafkanmu, jadi jika kau merasa bersalah terus-menerus hanya akan menyiksa diri sendiri."

Atas perkataan Ji Hyun, sedikitnya ada kelegaan yang timbul dalam relung Young Hwa. Terkadang, yang paling sulit adalah berdamai dengan diri sendiri.

Young Hwa kehilangan kalimat, ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Young Hwa merasa Ji Hyun semakin dewasa, bahkan wanita itu tidak menyimpan dendam pada masa lalu.

"Papa!" Hyun Jun yang sedang asyik dalam dunianya—tengah mengais-ngais daun kering—kegiatannya kembali terhenti akibat melihat sosok yang juga ditunggunya.

"Maaf aku terlambat," ucap Soo Hyun, sementara Young Hwa beranjak dari duduk guna menyambut Soo Hyun.

"Tidak masalah, aku senang masih sempat bertemu denganmu."

"Aku juga. Oh, sudah saatnya, ya? Aku doakan agar urusanmu lancar." Kim Soo Hyun menepuk pelan lengan Young Hwa.

"Terima kasih atas doanya. Semoga saja, dan... terima kasih banyak untuk semuanya, Soo Hyun-ssi."

Soo Hyun agak tidak paham, 'terima kasih untuk semuanya' itu dalam konteks apa. Namun, sebelum pertanyaan keluar, Young Hwa mengatakan kalimat sekali lagi.

"Aku juga... mendoakan agar keluarga kecilmu selalu diselimuti kebahagiaan, pun cepat diberikan satu malaikat lagi untuk adik Kim Hyun Jun."

Ada sesuatu yang menggelitik Soo Hyun dari kalimat Young Hwa, sehingga ia tertawa sejenak. "Geurae, semoga Tuhan mengabulkan doa baikmu."

Kim Hyun Jun menarik ujung kemeja Soo Hyun, memecahkan fokus dua orang dewasa.

"Papa, apa itu balon untukku?" tanya Hyun Jun. Kepalanya sampai menengadah, menatap binar dua balon gas yang sedari tadi Soo Hyun pegang.

Astaga, Soo Hyun lupa!

Ia tersenyum lembut, lalu memberikan tali dari dua balon gas itu pada tangan Hyun Jun. "Tentu saja, ini untuk putra Papa yang paling tampan."

"Wuaah...." Saking gembira, mulut anak berusia enam tahun itu membulat, menambah kesan gemas yang membuat Soo Hyun menggemakan kembali tawa, diikuti Young Hwa dan Ji Hyun yang menyaksikan.

"Ya ampun, sudah saatnya. Aku akan tertinggal pesawat." Tidak ada nada kesal dalam kalimatnya, yang tertinggal adalah kesan hangat. Young Hwa lalu berlutut di hadapan Hyun Jun yang tengah memandangi balon berwarna biru dan merah.

"Sayang, Ayah akan berangkat ke tempat yang jauh, mungkin Ayah tidak bisa bertemu Hyun Jun seperti biasanya. Kim Hyun Jun harus menjadi anak yang cerdas, jangan membantah Ibu dan Papamu, oke?" Kalimat Young Hwa segera diangguki patuh oleh Hyun Jun.

"Anak pintar." Young Hwa memeluk sejenak Hyun Jun, kemudian mengecup dahi anak itu setelah dirinya melepas pelukan. "Nanti setelah Ayah kembali, Ayah akan menemuimu lagi."

Young Hwa beranjak berdiri, kemudian berpamitan kepada Ji Hyun dan Soo Hyun.

"Hati-hati." Ji Hyun berucap, kemudian berdiri dari bangku taman yang membuatnya nyaman duduk dari tadi.

"Kita bisa saling terhubung melalui telepon. Kapan pun kau ingin bicara kepada kami atau Hyun Jun," tambah Soo Hyun.

"Mm, pasti. Terima kasih...."

"Kau telah banyak mengucapkan terima kasih, Min Young Hwa," balas Soo Hyun, dan tanggapan laki-laki di hadapan hanya mengembangkan senyum cerah, seolah beban kesalahan yang ia rangkul terasa lebih ringan.

"Dahh Ayah!" seru Hyun Jun sambil melambaikan tangan kepada Young Hwa yang kini sudah berbalik—membuatnya menoleh, dan membalas lambaian tangan kecil Hyun Jun. Sesudahnya, ia benar-benar berjalan pergi, menghilang dari pandangan.

Sebelah tangan mungil yang melambai telah menurun, Hyun Jun tidak sengaja melihat objek yang menggiurkan.

"Papa, Hyun Jun mau bingsoo!" Dengan semangat, ia menunjuk kedai bingsoo yang tidak jauh dari posisi mereka berdiri.

Seketika saja Soo Hyun melihat arah tunjuk si kecil. "Uhm, bingsoo? Tidak, kita beli es krim saja bagaimana?"

"Kok es krim? Aku maunya bingsoo...."

Soo Hyun tertawa, merasa berhasil menjahili Hyun Jun. Ia mengangkat tubuh sang putra yang semakin berat dari hari ke hari.

"Baiklah, kita makan bingsoo. Apa kita perlu ajak Mama?"

Ji Hyun yang mendengar segera melirik Soo Hyun. Dia paham, pasti suaminya berpindah sasaran untuk bertindak jahil.

"Tidak, cukup kita berdua," jawab Hyun Jun. Anak dan ayah sama saja, pikir Ji Hyun.

"Ya sudah, Mama bisa makan bingsoo sendiri." Ji Hyun membalas perlakuan iseng mereka. "Lebih enak makan sendiri, Mama juga bisa menjernihkan mata, menatap pria-pria tampan jika sendirian."

Jun Ji Hyun mengangkat dagu angkuh, kemudian berjalan begitu saja melewati Soo Hyun bersama Hyun Jun.

Tentu, perkataan Ji Hyun adalah hal sensitif bagi keduanya. Bagi Hyun Jun, mama tercintanya hanya boleh menatap sang papa. Lalu bagi Soo Hyun, Ji Hyun amat tega jika berani menatap pria lain, karena bisa saja pria yang ditatapnya akan membalas, kemudian mereka... ya Tuhan! Soo Hyun tidak mau Ji Hyun sampai menyukai pria lain.

"Hei, Sayang! Tunggu...." Soo Hyun mengejar Ji Hyun yang kini sedang mesem-mesem, dan sudah bisa dipastikan senyumannya tidak terlihat dari belakang.

"Mamaaaa! Jangan begitu, Hyun Jun marah nih!"

"Menjengkelkan sih, kalian...." gumam Ji Hyun, ingin menyembur tawa, tapi nanti aksi merajuknya gagal. Mereka memang menjengkelkan bagi Ji Hyun, tapi juga membawa kebahagiaan sekaligus.

Iya, Ji Hyun telah menemukan kebahagiaannya. Kebahagiaan sebenarnya bagi masing-masing orang memang berbeda, tapi bagi Ji Hyun, memiliki Soo Hyun dan Hyun Jun saja adalah kebahagiaan paling bahagia.

Jun Ji Hyun yakin, Tuhan selalu memiliki cara untuk membuat umatnya menjadi lebih baik dengan proses jatuh lebih dulu. Jika karena belum jatuh, manusia tidak akan bisa merasakan bahwa Tuhan selalu ada untuk mereka, Tuhan memeluk mereka, dan menyembuhkan kala mereka terluka dengan cara yang ajaib.

Sebab Ji Hyun, menerima hasil dari ujian yang telah Tuhan berikan.

.
.
.

Selesai ~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro