Tiga : PREGNANT ?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana kantor sudah ramai pegawai ketika Yudhis tiba di kantornya. Ya, pagi ini dia sedikit terlambat dari biasanya karena tubuh Bella mendadak panas tinggi. Sementara Dave telah kembali ke apartemennya, hingga praktis tinggal Yudhis dan Dewi, serta beberapa pelayan rumah yang menjaga dan melayani Bella, seemikian rupa hingga Bella benar-benar merasa nyaman dan bisa melupakan kemalangannya.

"Selamat pagi, Pak", Vita , sekretarisnya yang cerdas itu menyapa dengan santun.

"Hmm .. ada jadwal penting untuk saya hari ini, Vita ?"

"Sepertinya tidak ada, Pak. Hanya beberapa berkas dari bagian HRD sudah ada di meja Bapak"

Yudhis mengangguk dan hendak berlalu.

"Maaf, Pak ...", Vita berkata ragu-ragu.

"Ada apa, Vita ?"

"Maaf, Pak ... tadi ada Ibu Ratna telepon. Dan beliau meminta Bapak untuk menghubungi beliau kembali"

"Baiklah, terima kasih, Vita"

Yudhis berlaku menuju ruangannya, sementara Vita menatap punggung bosnya yang sering membuat hatinya blingsatan itu dengan hati mencelos.

Vita tahu, seberapapun usaha yang dilakukannya untuk menjadi sempurna di hadapan Yudhis, sama sekali tak membuat laki-laki itu tergoda. Tentu saja, karena Ibu Ratna, seorang perempuan cantik dengan kariernya sebagai dosen itu telah mengisi hari-harinya.

Sampai di ruangannya, Yudhis segera meletakkan tasnya dan mengambil smartphone untuk menghubungi seseorang. Ratna.

"Halo, Na ..."

"Hei, nggak pernah bisa dihubungi kemana saja sih ? Jangan bilang sibuk dengan kerjaan, dengan Bella, dengan Dave, dengan ...", Ratna nyerocos begitu suara Yudhis menyapanya.

"Ratna .... "

"Memang begitu kan kenyataannya ? Kamu selalu sibuk dengan segala macam hal dan tak pernah memperhitungkan aku dan perasaanku", terdengar nada marah di seberang.

Yudhis sadar, semenjak peristiwa Bella, dia jarang bertemu dengan Ratna. Wajar jika perempuan itu uring-uringan karena merasa terabaikan.

"Helloooo...dan  sekarang di telepon pun kamu juga mengabaikan aku kan ?"

Yudhis tersentak kemudian tersenyum karena Ratna sewot.

"Oke .. sebagai permintaan maafku, kita makan siang nanti ?", Yudhis membujuk perempuannya.

"Kamu merayuku ?"

Yudhis tersenyum, sesuatu yang tak pernah dilakukannya lagi semala beberapa minggu ini. Kasus Bella benar-benar menguras energinya.

"Aku hanya ingin meminta maaf karena telah mengabaikanmu"

"Baiklah ... kamu selalu tahu cara meluluhkan marahku"

Yudhis tergelak.

"Jangan biarkan wajah cantikmu hilang karena marah"

Di seberang, Ratna menggerutu dengan rayuan Yudhisyang menyebalkan. Dan lihatlah, Ratna menjadi sangat berbunga-bunga hanya dengan rayuan Yudhis yang memang belum tentu setahun sekali terucap.

"Jadi jam berapa aku bisa menjemputmu ke kampus ?"

"Sebelum makan siang jadwalku mengajar sudah habis"

"Oke, Nona ... saya akan tiba sebelum Anda sempat menunggu", Yudhis menggoda.


* * * *


Resto makanan Padang itu terlihat sedikit lengang ketika Yudhis dan Ratna sampai di sana. Setelah Yudhis menjemput Ratna yang ternyata memang baru keluar dari ruang kuliah, mereka menuju ke salah satu rumah makan masakan Padang. Makanan favorite Ratna, meski Yudhis lebih suka makanan Sunda.

"Jadi bisa memberiku alasan kenapa kamu mengabaikanku sebulan ini, Yud ?", Ratna bertanya ketika beberapa makanan mulai tersaji di depan mereka.

Sejenak Yudhis terdiam, bimbang. Antara bercerita untuk menghilangkan kecurigaan Ratna, atau merahasiakan kasus Bella.

"Yudhis ? Kamu nggak punya selingkuhan sehingga nggak mau cerita kan ?", perempuan cantik itu bertanya dengan mata curiga.

"Ngaco kamu !"

"Jadi kenapa dong ? Kamu tahu Mami aku selalu nanya, kenapa kamu nggak datang beberapa minggu kemarin"

"Maaf, ada beberapa hal yang membuatku benar-benar sibuk"

"Kerjaan ?"

Yudhis menggeleng.

"Bella ? Kenapa lagi dengan gadis manja itu ?", Ratna bertanya dengan nada tak suka.

Entahlah, dia merasa sangat tidak nyaman dengan perhatian Yudhis pada adiknya yang terkesan sangat manja itu.

"Hei ... dia adikku, Na. Jangan bilang kamu cemburu sama dia ya ?"

Ratna meletakkan sendoknya, tiba-tiba nafsu makannya hilang.

"Bagaimana aku tak cemburu, jika kamu lebih perhatian dengan dia ?"

Yudhis menggeleng dengan senyumnya yang elegan.

"Dia adik aku, Na ...", kata Yudhis dengan nada datar.

"Adik angkat ! Ingat itu ! Dan siapa yang berani mejamin kamu nggak bakal jatuh cinta sama dia atau sebaliknya ?"

Uhukk !!!

Yudhis nyaris tersedak dengan prasangka Ratna. Laki-laki tampan itu menatap perempuan yang dipacarinya selama dua tahun ini dengan pandangan menyesal.

"Bagaimana mungkin kamu berpikir seperti itu, Na ?"

"Aku hanya mengatakan sesuatu yang mungkin bisa terjadi, Yud"

Yudhis menggeleng tak percaya bahwa Ratna mampu berpikir seperti itu.

Tiba-tiba handphone Yudhis berdering.

"Ya, hallo, Dew ...", Yudhis menyapa si penelepone yang ternyata adalah Dewi, pengasuh Bella.

Ratna mencibir mendengat Dewi menelepon.

"..... ..... ..... "

"Kok bisa, Dew ? Bukannya tadi sudah tidak muntah-muntah lagi ?"

" ..... ..... ....."

"Oke, sudah menghubungi dokter Ferdy ?"

" ..... ..... ....."

"Oke ...oke ... saya pulang sekarang"

Dan sungguh, jawaban Yudhis membuat Ratna sangat muak. Yudhis menutup telepon dan menatap Ratna dengan penuh permintaan maaf.

"Na ..."

"Apalagi alasannya ?"

"Ini tak seperti apa yang kamu pikirkan ? Aku minta maaf, tapi ini benar-benar penting, aku harus pulang ... "

"Stop !!! Kamu nggak usah ngasih penjelasan apapun sama aku, karena aku tahu semua hanya akan berakhir seperti ini. Jadi pikirkan kembali rencanamu untuk melamar aku, karena aku jelas tak akan menerima laki-laki yang tak bisa membuat aku menjadi yang nomor satu", tandas Ratna kemudian berdiri dan berlalu tanpa mempedulikan panggilan Yudhis.

Yudhis segera berlari ke arah kasir untuk  membayar makanannya kemudian menyusul Ratna. Tapi sayang, perempuan itu sudah masuk ke dalam taksi yang kebetulan lewat di depan rumah makan itu.

Yudhis menggeram prustasi karena sikap Ratna yang childis. Atau mungkin malah Yudhis yang tak bisa bersikap dewasa dan menghargai Ratna ? Ah, nanti Yudhis akan meminta maaf dan kembali menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, agar tak ada lagi kesalahpahaman.

Tiba-tiba dia ingat kata-kata Dewi bahwa Bella kembali muntah-muntah dengan suhu badan yang tinggi. Maka dia segera memasuki mobilnya dan melesat meninggalkan rumah makan.

Dalam pikirannya hanya satu, mengkhawatirkan keadaan Bella. Dan Ratna ? Entahlah, rasanya nama dan wajah gadis itu sering sekali lenyap dari angan Yudhis. Padahal mereka sudah bersama semenjak dua tahun lalu, tapi itu tak cukup membuat Yudhis merasa dekat dengan Ratna.

Entahlah ...

* * * * *

"Jadi bagaimana ? Sudah mendapat kabar tentang Bella ?", Ronald mencerca Eva dengan pertanyaan ketika siang ini laki-laki blasteran itu menjemput Eva dari sekolahnya.

Eva menggeleng sambil memasang seatbelt.

"Kabar terakhir yang aku tahu, dia memang cabut dari sekolah biasa, dan kakaknya menyuruhnya untuk home schooling aja"

Ronald menatap Eva dengan pandangan tak percaya ketika mobilnya berjalan pelan meninggalkan halaman sekolah Eva.

"Nggak usah melotot kaleee ... ??? Apa sih yang nggak mungkin buat Bella dengan kakak dan orang tua yang sedemikian kaya ?", Eva menjawab pelototan Ronald.

Ronald tersenyum.

"Tahu dari mana dia home schooling ?"

"David"

"David ?"

"Ya .... kakak dia yang satu lagi itu"

"Kamu kenal ?"

"Kenal meski nggak begitu deket.

"Bagaimana bisa deket dengan Bella kalau pagarnya begini rapat ? Belum lagi bodyguard yang nongkrong tiap hari ?", Ronald mengeluh.

Eva tertawa terbahak.

"Satu aja belum tentu bisa, lha ini ada banyak pagar ?", Eva kembali terbahak.

"Tapi aku sudah bertekad, tak akan menyerah. Sampai Bella sendiri yang menyatakan, tak mau sama aku, baru aku mundur"

Eva mencibir.

"Ini nih tanda-tanda buaya darat"

"Maksudnya ?"

"Lha iya, buaya kan gitu, kalo ngomong nggak pake otak"

"Aku ngomongnya pake mulut tahu !"

Ronald dan Eva tertawa ngakak.

Sejenak mereka lupa akan bahasan mereka tentang Bella, ketika tiba-tiba Bella punya ide nekad.

"Kita ke rumah Bela yuk ?"

Ronald menatap Eva, spontan.

"Beneran ?"

"Ya iyalah ... masa iya aku bohong ?"

"Gila !!! Berani ?"

"Kamu pikir aku takut ?"

"Come on ... !!!"

Ronald melajukan mobilnya ke arah rumah Bella. Jalanan masih demikian ekstrim dengan panas dan kepadatannya. Ronald bernyanyi-nyanyi riang, seriang hatinya yang hendak bertemu Bella.

* * * * *

Jalanan masih saja panas ketika Yudhis sampai di rumah. Dia tak menuju tempat yang lain, karena yang ditujunya hanya kamar Bella. Ketika dia sampai di kamar itu, dilihatnya gadis itu terbaring dengan Dewi ada di tepi ranjang sambil memikit kening gadis itu.

"Tertidur, Dew ?", Yudhis bertanya lirih, seolah takut mengusik kelelapan gadis itu.

"Iya, Tuan. Tadi Non Bella muntah-muntah, tapi menolak ketika saya hendak telepon dokter Ferdy"

Yudhis mengangguk, lantas duduk disisi ranjang. Sementara Dewi beranjak dari duduknya.

Dirabanya dahi Bella yang terlelap. Panas. Yudhis menatap Dewi.

"Hooeeekkk .... ", tiba-tiba Bella hendak muntah karena tak bisa menahan mual.

Dia segera menghadapkan mulutnya ke arah ember yang memang disediakan oleh Dewi.

Yudhis ikut memijit tengkuknya, mencoba meringankan.

Setelah mual yang tak berakhir muntah sama sekali itu, Bella tergeletak lemas. Yudhis mengusap dahinya yang penuh keringat dingin.

"Kakak sudah pulang ?", Bella bertanya lirih.

Matanya menatap Yudhis dengan pandangan redup.

Yudhis mengangguk.

"Kakak nggak kerja ?"

Yudhis menggeleng.

"Kamu lebih penting dari kerjaan Kakak"

Tiba-tiba setitik air mata meleleh dari sudut matanya.

"Sssttt...jangan menangis", Yudhis mengusap air mata Bella.

"Kalian terlalu baik sama Bella. Bella nggak tahu akan seperti apa jika tanpa kalian", Bella tersenyum miris.

"Sssttt....Bella akan selalu jadi adik yang manis buat Kakak"

Melihat kedua orang yang saling menyayangi itu, Dewi beranjak keluar dari kamar. Entahlah, dia merasa bahwa hati kedua orang itu tak seperti dua orang kakak beradik.

"Bahkan dengan keadaan Bella yang kotor dan menjijikkan seperti ini, Kakak masih baik sama Bella ?", Bella tak mampu membendung air matanya yang semakin deras.

Yudhis tak bisa menahan diri. Diraihnya tubuh Bella kemudian dipeluknya erat. Dibiarkannya tangis Bella tumpah di baju kerjanya.

"Tak ada manusia yang kotor atau bersih. Kita tak berhak menilai atau menghakimi"

Tangis Bella mulai mereda.

"Kita ke dokter Ferdy ?", Yudhis kembali membujuk.

Bella menggeleng.

"Bell ... jangan buat Kakak khawatir ya ?"

"Bella hanya capek, Kak. Bella lemes. Bella hanya butuh istirahat"

Yudhis kembali mmbelai Bella.

"Kakak minta maaf untuk semua ini, Bell", kaya Yudhis tiba-tiba.

Bella menatap Yudhis dengan dahi berkerut, tanpa tak mengerti.

"Kenapa Kakak bilang begitu ?", Bella bertanya lirih.

Yudhis menghela nafasnya yang berat.

"Ada orang suruhan Kakak yang mencari tahu akar permasalahan ini. Dia bilang, mereka menyakiti kamu karena dendam dengan Kakak"

"Kenapa harus Bella ?", isak gadis itu kembali terdengar membuat Yudhis semakin miris.

"Karena mereka tak tahu cara menghancurkan Kakak dan bisnis keluarga kita. Mereka menghancurkan Kakak dengan jalan menyakitimu", Yudhis memberi penjelasan.

Air mata Bella mengalir deras dalam isak lirihnya.

"Mereka tahu kelemahan Kakak ada sama kamu. Kamu tahu ? Mereka berhasil membuat Kakak mati sebelum ajal, karena harus melihatmu seperti ini", raut wajah Yudhis demikian sakit.

"Dia menyebut namanya Ben", kata Bella lirih.

Yudhis terkesiap.

Sekian lama, baru kali ini Bella mengatakan bahwa laki-laki biadab itu bernama Ben.

"Ben ?"

Bella mengangguk.

Yudhis terdiam dengan pikiran berkecamuk. Ben ??? Siapa lagi orang bermana ben yang begitu membencinya kalau bukan Ben Wijaya. Ya, pasti laki-laki itu adalah Ben Richard Wijaya, laki-laki yang usianya tak terpaut jauh darinya, yang juga pengusaha property. Laki-laki tampan yang terkenal dengan sifat playernya.

Dan ....

Ugh !!! Sial !!!

Pasti dia dendan karena tender apartemen di wilayah strategis kota itu jatuh ke tangan Sallem Group. Padahal sebelumnya proyek itu digadang-gadang akan diserahkan pada perusahaan Wijaya.

Yudhis mengusap wajahnya dengan ekspresi gusar.

"Kakak mengenalnya ?"

Yudhis menatap Bella dengan mata sendunya.

"Dia sesama pengusaha property seperti Kakak", jawab Yudhis akhirnya.

"Kenapa dia membenci Kakak ?"

Yudhis menggeleng.

"Mungkin karena beberapa kali Kakak yang memenangkan tender"

Bella tersenyum miris. Dia merasa menjadi tumbal untuk sebuah pembangunan kota. Tapi apa yang bisa dilakukannya ?

"Hoeekk ...."

Bella kembali merasa mual.

"Bell ? Kamu mual lagi ?", Yudhis kembali panik.

Bella terdiam dengan kening yang kembali banjir keringat dingin.

"Kita ke dokter sekarang"

Bella menggeleng.

"Bell... Jangan membantah Kakak kali ini saja"

Bella hanya terdiam, di aturnya nafasnya yang tersengal. Sementara wajahnya memucat. Ya, dalam pandangan Yudhis, gadis ini terlihat sangat kurus dan wajahnya makin terkesan tirus.

"Dewi !!!"

Pengasuh itu datang teropoh-gopoh memasuki kamar Bella.

"Telepon dokter Ferdy, Dew. Kita bawa ke rumah sakit", kata Yudhis memberi perintah dengan nada lirih.

Dewi mengangguk.

Tiba-tiba tangan Yudhis dipegang Bella yang tiba-tiba terbangun dengan mata yang masih redup.

"Kak ... kenapa nggak dokter Ferdy  saja yang kemari ?"

"Kita tak ada peralatan medis, Bell. Di rumah sakit kan lengkap ?"

"Segera siapkan yang sekiranya bisa dibawa, Dew"

"Iya, Tuan"

Dewi menyiapkan beberapa barang yang harus dibawa. Setelah semua siap, Yudhis membantu Bella bangkit dari ranjang dan menuntunnya untuk berjalan. Tangan Bella dingin, keringat dingin memenuhi tubuhnya.

Demikian mengenaskan.

Sementara Dewi membawa perlengkapan yang mungkin diperlukan, berjalan dibelakang Yudhis dan Bella. Beluam lagi mereka sampai di ruang tengah, Bella tak mampu lagi menbawa dirinya. Dia lemas dalam tuntunan Yudhis. Tapi laki-laki itu dengan sigap memegang Bella.

"Non, Bella !!!", Dewi terpekik ketika dilihatnya Bella luruh.

"Ya, Tuhan ... Bell ...", Yudhis meraih Bella kemudian mengangkat gadis itu.

Bukan hal berat buat Yudhis mengangkat tubuh ringkih itu. Mereka segera beranjak ke arah depan, domana mobil sudah menunggu mereka.

Bertepatan waktu itu mobil yang dikendarai Eva dan Ronald memasuki halaman rumah yang demikian luas setelah beberapa hal terjadi a lot antara mereka dan satpam. Untung saja salah satu satpam mengenali Eva.

Eva segera berlari keluar dari mobil begitu dilihatnya laki-laki yang dia taksir itu keluar dari rumah dengan Bella ada di gendongannya.

"Mas ?? Bella kenapa ?", Eva bertanya panik begitu dia sampai di dekat Yudhis.

"Oh, Eva ? Bella sakit, kami akan membawanya ke rumah sakit"

"Rumah sakit ? Boleh saya ikut ?"

Yudhis menatap Eva ragu-ragu, tapi demi dilihatnya perempuan itu terlihat khawatir dengan keadaan Bella, maka Yudhis mengangguk.

"Oke, saya pake mobil Ronald saja", lantas gadis itu berlari kecil ke arah mobil, sementara Ronald yang hendak keluar dari mobilnya ditahannya.

"Kita ikuti mobil mereka, Ron !", perintah Eva.

"Ke mana ? Ada apa dengan Bella ?"

"Nanti kita tanyakan, yang jelas Bella sakit dan akan dibawa ke rumah sakit"

Ronald mengangguk untuk segera mengikuti mobil Yudhis yang mulai melaju menuju rumah sakit.

* * * *

"Kamu sakit apaan sih, Bell ?", tanya Eva begitu Bella sudah dipindah ke ruang rawat inap mewah ini.

Sementara Ronald hanya terdiam, menatap Bella dengan pandangan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Antara rasa sayang, rasa kasihan dengan kondisinya yang sangat rapuh, juga rasa penasaran mengapa Bella begini mengenaskan.

Bella tersenyum sambil menatap Ronald.

"Kok Kak Ronald ada disini juga, Va ?", Bella malah menanyakan Ronald.

Kontan saja Eva mendelikkan matanya.

"Yaelah ini anak ? Siapa yang nanya siapa yang jawab ?", Eva ngomel membuat Bella tersenyum geli.

Sejenak dia lupa dengan dirinya yang menyedihkan.

Sementara Ronald tersenyum manis. Sumpah, kalau saja Bella tidak sekotor ini, tentu dia akan sangat ge-er dengan senyum yang diberikan Ronald untuknya.

"Nah itu dia. Dia ngotot banget pengen ketemu kamu, nggak tahu apa harus ngadepin Mas Yudhis, belum lagi David yang semuanya kayak bodyguard kamu ?", Eva manyun dengan sewotnya.

Bella tersenyum .

"Mereka kakak-kakak aku, kamu tahu kan aku masih saja anak kecil bagi mereka ?"

"Memangnya kamu sakit apaan, Bell ?", Ronald bertanya lembut.

Cessss...hati Bella merasa sangat dingin. Sementara Eva mencibir dengan aksi Ronald.

"Entahlah, Kak. Lemes melulu bawaannya. Kadang suka mual"

"Macam orang hamil aja pake mual segala", Eva nyeletuk.

Bella diam dan menatap Eva tajam, begitu juga dengan Ronald. Eva yang ditatap dua orang iru dengan pandangan membunuh, tiba-tiba merasa gugup.

"Wait ... ada yang salah dengan omonganku ?", Eva bertanya dengan nada pongah.

"Tentu saja salah, gimana Bella bisa hamil sementara dia belum nikah ? Ngaco amat ?", Ronald menjawab sewot namun segera tersenyum begitu dilihatnya Bella demikian tegang.

"Iya ... iya ... aku lupa", Eva menjawab.

Sementara Bella diam-diam tercenung dengan ungkapan spontan Eva.

Hamil ???

Bagaimana jika benar ?

Pikiran Bella rusuh, beberapa celoteh Eva dan pertanyaan Ronald ditanggapinya dengan jawaban asal, bahkan kadang nggak nyambung, membuat Eva melongo keheranan.

'Ada apa sih dengan Bella ?', Eva bertanya-tanya dalam hati.

Tiba-tiba pintu ruang rawat inap Bella terbuka, dan muncul wajah David di sana.

"Hai, Bell ??? Kenapa lagi, Sayang ?", David menyapa sambil mengusap rambut Bella dengan sayang.

Bella tersenyum, tap Ronald mencelos. Dia heran, bagaimana mungkin seorang Kakak demikian mencintai adiknya ?

"Bella lemes, Kak"

"Pasti bandel minum obat ?"

Bella menggeleng.

David lantas menoleh ke arah Eva dan Ronald.

"Hai, Eva ? Sudah lama disini ?", Dave menyapa.

Eva tersenyum manis dan ceria.

"Sudah dari tadi, Mas"

"Ini siapa ? Pacar kamu apa pacar Bella ?", David bertanya dengan senyum tertahan.

Ronald lantas mengulurkan tangan yang disambut oleh David.

"Ronald. Saya sepupu Eva"

"Saya David, salah satu bodyguard Tuan Putri Bella", Dave bercanda.

"Kakak apaan sih ?", Bella merengut.

David tertawa ngakak. Sementara Ronald merasa sedikit ringan hati melihat bagaimana welcome nya keluarga Bella.

"Dimana Kak Yudhis, Bell ?"

"Ke ruangan dokter Ferdy"

David lantas menoleh ke arah Eva. Gadis tinggi degan kulit kuning bersih itu terkejut dengan tatapan aneh David.

"Sudah makan siang, Eva ?"

"Saya ? Makan siang ?", Eva bingung kenapa tiba-tiba david menanyakan makan siangnya.

"Kayaknya belum, Kak", Bella menjawab.

"Bagaimana kalau kita makan di kantin ?", David kembali menawarkan.

Eva bingung. Coba kalau yang nawarin si Yudhis, pasti dia akan senang hati menerimanya. Lha ini si David ? Oke, David pun tak kalah ganteng dari si Yudhis, hanya saja David berkulit putih seperti Bundanya, sementara Yudhis berkulit coklat dan itu sangat seksi di mata Eva.

"Heloo...Eva ?", David membuyarkan lamunan Eva.

"Oh...ehm maaf, Mas. Sebenernya tadi sudah makan dikantin sekolah"

"Tapi tak ada salahnya kan menemani saya makan siang ?"

Eva menatap ke arah Bella dan Ronald bergantian, bingung. Tapi anggukan Bella dan Ronald membuatnya tak bisa menolak.

* * * *

"Apa diagnosa penyakit Bella, Fer ?", Yudhis bertanya gusar.

Sementara Ferdy menatap Yudhis dengan pandangan bingung harus memulai darimana.

"Begini, Yudhis .... Ehm, saya tadi sudah melakukan pemeriksaan dan berkoordinasi dengan Bidan Susi"

Deg !!!

Jantung Yudhis merasa kurang nyaman saat Ferdy menyebut kata 'bidan'. Kenapa harus melibatkan bidan ?

"Jadi kesimpulannya ...", Ferdy berhenti sejenak, seakan menimbang sesuatu.

"Ada apa, Fer ?", Yudhis mendesak.

"Bella hamil", jawab Yudhis yang meski nadanya datar tapi seperti bom yang jatuh dan menghantam kepala Yudhis.

Ben benar-benar berhasil menghancurkan hidupnya sekarang.

Sementara di depan pintu, seorang laki-laki mengurungkan niatnya untuk masuk ke ruangan dokter Ferdy karena mendengar ungkapan bahwa Bella hamil. Kakinya lemas seketika, jantungnya berdetak tak karuan.

'Benarkah ? Berarti gossip itu benar ?', si lelaki bertanya dalam hati.

Langkahnya gontai meninggalkan depan ruang dokter Ferdy.

Sementara di dalam, Yudhis dan dokter Ferdy terkurung dalam diam.

* * * *

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro