Empat : My Girl ( Part 1 )

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ronald melangkah gontai meninggalkan depan ruang dokter Ferdy. Sekalipun tak terlintas dalam otaknya bahwa apa yang digosipkan Melly benar adanya. Rencananya yang akan memanggil Yudhis atas permintaan Bella, diurungkannya. Dia kembali ke ruang rawat Bella.

Tapi hanya sampai di depan ruang rawat inapnya, karena pikiran Ronald berkecamuk hebat. Dihempaskannyatubuhnya ke kursi tunggu yang tersedia di depan kamar. Hening, meski pikirannya ramai dengan bermacam tanya.

Memorinya mendadak menyeruak hebat, memaksanya untuk ingat bagaimana gadis itu mampu mengacau hatinya.


* Ronald PoV *


Ya, Tuhan ...

Otakku mendadak tak mampu bekerja dengan wajar hanya karena satu informasi yang nyaris membekukan saraf otakku. Oke, siapapun tau betapa encer otakku apalagi untuk mencerna mata kuliah tersulit sekalipun. Tapi informasi tentang kehamilan Bella ini seperti godam yang menghantam otakku dan seketika membuat batok kepalaku hancur berkeping.

Masih sangat jelas terekam dalam ingatanku, ketika itu, saat aku terpaksa memasuki wilayah area SMU tempat gadis ini sekolah. Karena itu artinya tempat Eva, sepupu jahilku itu sekolah. Menunggu di kantin sekolah yang kebetulan tempatnya malah berada di depan sekolah, meski agak ke samping. Hari itu aku janji akan mengantarnya ke toko buku.

Setelah beberapa jenak menunggu Eva di kantin, tapi gadis itu tak juga muncul, padahal nyaris semua siswa SMU ini sudah hampir habis, kuputuskan untuk beranjak hendak mencarinya ke halaman dalam.

Tapi begitu aku keluar dari kantin, tanpa sengaja aku bertubrukan dengan salah satu siswa yang ... Ya, Tuhan ... sesempurna inikah perempuan ini Kau ciptakan ? Matanya yang bulat dengan binarnya yang cemerlang, kulitnya yang bening dan kupastikan akan sangat halus jika terpegang, rambutnya yang lurus dan legam, bahkan bibirnya yang merah dan sangat proporsional dengan raut wajahnya.

Belum lagi sebentuk dagu runcing yang sangat sensual, mengundangku untuk mengikhlaskan diri menggigitnya, juga hidungnya yang meski nggak mancung tapi sungguh, sangat pas dan tidak berlebihan.

"Maaf ...", dan demi Tuhan, bahkan baru sekali ini aku gugup berhadapan dengan perempuan.

Gadis ini hanya tersenyum.

Dan senyumnya saja sudah mampu membuat nafasku nyaris terhenti di tenggorokan. Tuhan, tolong jangan biarkan aku mati sebelum memiliki gadis ini, aku memohon dalam hati.

Oke, aku memang konyol saat tiba-tiba sangat ingin memilikinya, padahal baru sekali ini bertemu dengannya.

"Tak apa-apa, saya juga salah ... tadi nggak lihat jalan"

Lihatlah, suaranya pun merdu selayaknya suara biduan era jaman jadul. Aku tersenyum menanggapi suaranya yang jujur saja membuat telingaku mendadak budek dan ingin mendengarnya lagi dan lagi.

Aku salah tingkah hanya dengan melihat senyumnya.

"Maaf, permisi ... saya mau lewat"

Lihatlah, aku bahkan dengan konyolnya hanya berdiri menghalangi jalannya.

Spontan aku menyingkir dengan senyum terkonyol yang pernah kusunggingkan. Lantas dia berlalu melewatiku dengan aroma wanginya yang bahkan sangat memabukkanku.

Gila !!!

Semahal apa parfumnya sehingga wanginya seharum ini ?

Dia berlalu, tapi ada yang tertinggal di benakku. BELLA A. SALEEM. Name tag nya terpatri dalam ingatanku, sampai kini.

"Hei ?! Ngelamun ?", Eva, sepupu jailku mengagetkanku yang terpana menatap Bella yang berlalu menjauh, menuju sebuah mobil super mewahnya.

"Siapa dia ?", tanyaku pada Eva.

"Siapa ? Gadis itu ?"

Aku mengangguk.

Kamu berjalan bersisihan menuju ruang parkir karena aku hendak mengantarnya ke toko buku.

"Selebritis kami. Namanya Bella. Perempuan satu-satunya keluarga Saleem. Salah satu gadis most wanted yang kecerdasannya juga bikin yang lain ngiler"

"Segitu lengkapnya informasimu ?", aku heran dengan banyaknya info yang dia tahu tentang gadis perfect itu.

Kami meninggalkan area parkir, melesat pelan menuju jalanan yang demikian panas.

"Tentu saja aku tahu, orang dia teman sebangku aku"

Sialan !!! Pantesan dia paham sekali ?

Dan sejak hari itu, aku dengan sukarela bangun pagi hanya untuk dapat melihatnya berangkat sekolah diantar bodyguard berpakaian seragam serba hitam. Gila !!! Seketat ini keluarganya menjaganya ? Oke, semua nyaris tahu siapa dan bagaimana kayanya keluarga Saleem.

Dan tahukah kamu ? Sudah hampir satu semester aku menghabiskan waktuku hanya untuk menatapnya dari kejauhan. Katakan aku seorang stalker, tapi apapun kata kalian, aku tak akan pernah peduli. Karena nyatanya, aku begitu obsesi dengan gadis perfek itu. Sehingga telepon manja dari seorang gadis yang selama ini mengejarku, Melly namanya, tak pernah kuhiraukan. Karena tak satu perempuan pun yang mampu membuatku memalingkan wajah dari perempuan perfek yang satu ini.

Ya, tak seorangpun mampu mengalahkan pesonanya dimataku. Pesona seorang Bella Amora Saleem.

Tuhan ... sungguh, aku ingin memilikinya.


* * * *


Author PoV


Ronald tak menyadari berapa lama dia termangu di depan ruang rawat Bella, ketika sebuah tangis terdengar. Dari ujung koridor, terlihat beberapa suster mendorong brangkar dengan pasien yang ditutup kain putih. Tangisan beberapa orang yang mengiringinya mengisyaratkan bahwa si pasien telah tiada.

Dia terkesiap dan teringat, bahwa tadi dia diminta Bella untuk memanggil Yudhis yang ada di ruang dokter Ferdy.

Ketika masuk, dilihatnya gadis yang digilainya itu sedang membaca sebuah majalah remaja. Wajahnya yang putih kini terlihat pucat, selain perubahan pada wajahnya yang tirus. Sejenak Robald nelangsa dengan apa yang disaksikannya.

"Kakak sudah balik ? Sudah ketemu dengan Kak Yudhis  ?", Bella memberondong Ronald dengan pertanyaan.

Ronald mendadak bingung seperti tersadar dari lamunannya. Maka didekatinya gadis itu.

"Bell ...", Ronald memanggil Bella lirih.

Bella meletakkan majalahnya, dan ditatapnya mata Ronald dalam.

"Ya ?"

"Ehmm... sebenarnya Kakak pingin sekali nanya sama Bella", Ronald berkata lirih.

"Nanya ? Sesuatu yang penting ?", Bella heran dengan keseriusan Ronald.

Oke, dia memang tahu bahwa Ronald menaruh hati padanya. Tapi tak terpikir dalam hatinya akan ditanya sedemikian intens.

"Selama ini Bella tahu kan kalau Kakak suka sama Bella ?", Ronald menatap Bella.

Gadis itu terdiam dan menunduk malu.

"Jadi ... apa selama ini sudah ada laki-laki dalam hidup Bella ?"

Bella mendongak menatap Ronald dengan pandangan menyesal.

Lantas Bella menggeleng.

Deg !!!

Hati Ronald bagai dipukul palu godam melihat gelengan kepala Bella. Hatinya berkecamuk, siapa gerangan yang telah menghamili Bella seperti apa yang dikatakan dokter Ferdy ?

Kalau melihat keseharian Bella yang jauh dari laki-laki, selain kedua kakaknya yang super protektif, sepertinya tak mungkin Bella hamil karena tercemar oleh ulahnya sendiri.

Tapi ucapan dokter Ferdy juga bukan hal yang main-main kan ?

"Apa Bella memberi ruang kalau Kakak ingin masuk dalam kehidupan Bella ?"

Gila !!! Ini hal paling gila yang pernah Ronald lakukan, karena dia bahkan tak peduli meskipun Bella hamil. Dia tetap ingin menjadi laki-laki yang ada dalam hidup Bella.

Siapapun ayah bayi dalam perut Bella, Ronald tak peduli.

Bella menatap Ronald dengan tajam.

Lantas dia menggeleng pasti. Bella merasa tak pantas untuk menjadi perempuan Ronald. Laki-laki ini terlalu baik dan tampan untuk dirinya yang kotor.

"Kenapa, Bell ? Kamu nggak percaya dengan cinta Kakak ?"

Bella menggeleng.

"Bella yang nggak pantas untuk Kakak. Bella tak seperti apa yang Kakak tahu", Bella berkata lirih.

Air matanya mulai mengambang. Bahkan kini mulai mengalir, melintasi pipinya yang tirus meski tak menghilangkan kecantikannya.

"Ada apa sebenarnya, Bell ? Boleh Kakak tahu ?", Ronald bertanya lirih. Ditatapnya Bella yang menunduk dengan wajahnya yang muram.

Gadis itu kembali menggeleng.

"Kita akan lebih baik seperti ini. Kakak menjadi teman yang baik untuk Bella. Dan Bella akan menjadi teman yang baik untuk Kakak", Bella menolak halus.

Hati Ronald patah, hancur berkeping.


* * * *


Keheningan masih menyelimuti ruang praktek dokter Ferdy.

"Kamu punya solusi, Fer ?"

Ferdy menggeleng.

Yudhis prustasi. Ben benar – benar mampu membuatnya mati meski masih bernafas. Hidupnya terenggut dan terhempas di waktu yang bersamaan.

"Satu – satunya solusi memiliki resiko besar, dan demi Tuhan aku tak ingin mengambil resiko itu", Dokter Ferdy bersuara.

Yudhis menatap teman kuliahnya itu.

"Menggugurkan kandungannya ?", Yudhis menyelidik.

Ferdy mengangguk.

Yudhis melenguh karena tak akan mampu membayangkan resikonya yang demikian besar dan menakutkan. Dan resiko termahal yang bisa saja terjadi adalah nyawa Bella akan terenggut. Dan jika itu dilakukannya dan bahkan benar-benar terjadi, maka Ben akan sangat berhasil membunuhnya dengan jalan terkeji yang tak pernah terbayang olehnya.

"Atau kita akan menuntut bajingan itu ?", dokter Ferdy memberi solusi.

"Kita tak punya bukti kuat untuk menyeretnya"

Pembicaraan mengalami jalan buntu.

"Bella harus segera dinikahkan, tak mungkin dia menjadi seorang ibu tanpa suami. Karena itu akan membuatnya semakin depresi"

Yudhis menatap dokter Ferdy.

"Fer ... kau tahu, bahkan selama ini dia sama sekali tak memiliki seorang kekasih ? Jikapun punya, tentu laki-laki itu tak mau menjadi penutup aib bagi Bella"

"Kalian memang harus berunding dengan kepala dingin. Kurasa Oom Romi dan Tante Rin wajib tahu akan hal ini. Jadi kusarankan, segera hubungi mereka sebelum kehamilan Bella semakin besar"

Yudhis terdiam.

"Aku akan memikirkannya"

Yudhis beranjak keluar dari ruang dokter Ferdy. Langkahnya terlihat lesu. Ferdy memandang sahabat dekatnya ini dengan perasaan yang kacau juga. Bagaimana pun, baru kali ini dilihatnya Yudhis demikian terpuruk. Bahkan saat dulu perusahaannya nyaris gulung tikar karena kerjasamanya dengan seorang investor dijegal perusahaan property lain, laki-laki ini tak sebegini hancur.

Bahkan aura singanya semakin kelihatan dengan berbagai tantangan usaha yang ditemuinya.

Tapi kini, Yudhis benar-benar hancur.

Karena nafas dan jiwanya, hanya ada pada Bella. Dan lelaki bajingan itu sangat tahu, bagaimana cara menghancurkan seorang Yudhistira Saleem.


* * *


Yudhis PoV


Tak pernah terbayangkan begini rasanya hancur dalam hidup. Bahkan saat kecilpun, aku telah sering melihat dan merasakan sakit karena perpisahan Ayah dan Bundaku. Hingga ketika mereka kembali rujuk, aku merasa bahwa inilah surga yang disuguhkan Tuhan untukku.

Hingga kemudian Bunda hamil lagi dan hadirlah David. Keluarga kami begitu sempurna. Apalagi perusahaan Ayah berjalan pesat, Bunda yang semakin cantik diantara kami yang notabene laki – laki semua, yang dengan sukarela mengabdikan hidupnya untuk meladeni kami, aku, Ayah, dan David. Juga ketika kulihat Ayah demikian mencintai Bunda, hingga aku ingin suatu hari bertemu dengan perempuan yang membuatku jatuh cinta setiap hari, seperti Ayah yang selalu jatuh cinta kepada Bunda setiap hari.

Hingga ketika aku melihatnya, gadis kecil berambut lurus dan legam dengan binar matanya yang cemerlang namun terkesan sendu. Dan kusadari, aku telah menyukainya bahkan sebelum aku tahu apa arti cinta. Karena yang kurasakan, aku sangat menyukainya. Ingin mengembalikan senyum yang seolah tenggelam, ingin membuatnya tertawa dan ingin selalu melindunginya.

Hingga puncaknya aku memaksa Bunda untuk membawanya pulang dari Panti Asuhan yang dikelola oleh salah satu perusahaan Kakek. Menjadikannya bagian berharga dalam keluarga Saleem. Dan benar saja, kehadiran gadis kecil ini mampu mengalihkan duniaku. Aku sering bertengkar dengan David hanya karena ingin merebut perhatian gadis kecil kami itu.

Ayah dan Bunda yang terlihat bahagia dengan kekompakan kami bertiga. Aku, David, dan Bella. Bahkan disaat belajar kelompok sewaktu aku duduk di bangku SLTP, aku selalu membawa Bella kemanapun aku belajar kelompok.

Dan Bella kecil memang anak termanis yang pernah aku temui. Karena tak sekalipun dia merepotkan aku. Bahkan teman-teman belajarku juga menyukainya. Ayah dan Bunda pun tak pernah membedakan kami dalam perlakuan. Kami diperlakukan sama. Jika Bella salah dalam bertindak, Bunda pasti akan menegur dengan disertai pengarahan. Demikian pula jika suatu hari aku ayau David melakukan kesalahan, Bunda juga menegur kami.

Bella menjadi mutiara keluarga kami. Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik, anggun dalam bersikap karena Bunda menanamkan kepribadian yang anggun dalam dirinya. Bahkan yang mencengangkan, setiap akhir tahun Bunda selalu dengan bangganya naik ke panggung pentas perpisahan karena gadisnya selalu menjadi yang terbaik.

Hingga ketika dia memasuki masa remajanya, masuk ke SMU yang telah diidamkannya sejak mulai dari SMP, aku merasakan sedikit rasa khawatir yang berlebihan. Aku menjadi sangat protektif padanya.

"Sekali – sekali berilah Bella kebebasan untuk sekedar hang out dengan temannya, Yud", masih kuingat dengan jelas bagaimana Bunda memberiku pengertian karena tak mengijinkan Bella ikut kemah.

Ya, gadis kami itu baru saja meminta ijin untuk ikut kemah dengan teman-teman sekolahnya.

"Bell ... udara malam tak bagus untuk kesehatan kamu. Belum lagi air yang digunakan untuk mandi juga belum tentu steril ? Ingat, kamu selalu alergi dengan cuaca dingin yang ekstrim ", aku memberinya petuah panjang lebar ketika dia meminta ijin.

"Hanya dua malam, Kak ...", wajahnya yang cantik terlihat memelas.

Lihatlah, aku bahkan tak peduli dengan pandangannya yang memohon padaku.

Aku menggeleng.

Dan kulihat Bella masuk ke kamarnya dengan wajah cemberut. Aku tahu aku jahat, tapi semua kulakukan demi dia. Aku ingin dia selalu save.

"Kamu nggak bisa memperlakukan dia dengan begini protektif, Yud. Dia sudah dewasa, kita hanya perlu mengawasinya dan menjaga sekuat tenaga"

Bunda mulai dengan ceramahnya. Malam ini kami sedang duduk di ruang tengah usai makan malam. Ayah sedang tugas keluar kota. Kata-kata bunda semakin menyesaki otakku yang hari ini penuh dengan pekerjaan kantor.

"Bun ... Yudhis hanya ingin membuatnya selalu save", aku menjaga intonasi suaraku agar tak meninggi.

Bunda menggeleng.

"Bunda tahu kamu menyayanginya. Tapi cobalah mengerti"

Nah, nada Bunda yang seperti ini yang selalu mampu meluluhkan hatiku yang memang keras kepala. Tentu kalian tahu bahwa aku berasal dari dua orang yang sama-sama keras kepala.

Maka segera kuletakkan smartphone yang sedari tadi kugunakan untuk memantau cek email yang mungkin masuk dari beberapa kolega bisnisku.

Aku bangkit dan berjalan menuju kamar Bella. Kamarnya tertutup, dan tak terdengar suara apapun.

Tok...tok...tok...

Kuketok pintu kamarnya. Diam. Tak ada sahutan. Hmm...aku tahu dia pasti ngambek.

"Bell ... ini kakak"

Diam, tak ada sahutan.

Tanganku kuangkat hendak mengetuk pintu kembali, ketika pintu terbuka dan wajahnya yang lesu terlihat.

"Boleh Kakak masuk ?"

Dia mengangguk. Dan aku masuk kekamarnya. kuedarkan pandanganku mengelilingi interiornya yang sangat girly. Jujur, aku tak pernah masuk ke makarnya semenjak dia beranjan dewasa, semenjak dia mulai masuk sekolah SLTP.

Dia duduk di tepi ranjangnya yang cantik. Sungguh, aku tak tahu kapan Bunda membelikannya perabot yang begini manis dan benar-benar girly. Soft blue mendominasi interior kamarnya. Sebuah boneka besar teronggok di sudut ranjang. Aku ingat, aku membelikannya saat pulang dari Singapura.

"Masih ingin ikut kemah ?", aku bertanya lembut.

Dia menggeleng. Hmm...aku tahu dia benar-benar ngambek kali ini.

"Meskipun kakak mengizinkannya ?"

Dia terlihat ragu, menatapku tapi menunduk lagi dan menggeleng.

Huft !!! Aku benar-benar membuatnya patah semangat. Kuacak rambut dikepalanya, kusadari bahwa Bunda benar,  bahwa Bella kami ini telah menjadi gadis remaja sekarang.

"Kakak mengijinkanmu ikut dengan syarat"

Dia menatapku dengan binar matanya.

Sejenak aku terbius, terseret arus pesonanya yang tiba-tiba.

"Syarat ?"

"Ya"

"Apa ?"

"Kakak harus ikut kemah juga"

Dia melotot.

"Kakak ikut kemah ??? Kami anak sekolah semua, hanya ada beberapa guru dan kakak – kakak OSIS ?! Mana boleh Kakak ikutan ? Sebagai apa coba ?", Bella nyerocos dengan marahnya.

Dan sungguh, aku lebih senang mendengar kemarahannya daripada melihatnya hanya diam, menunduk, menggeleng. Huft !!! Itu semakin membuat rasa bersalahku semakin besar.

Aku tertawa.

"Kakak akan minta ijin sama Guru Pramuka kamu"

"Ayolah, Kak .... Bella sudah besar. Masa iya Kakak ngawasin Bella kemah ?", dia merengut kesal.

Dan ... Ya, Tuhan ... bagaimana mungkin aku terpesona begini ? Oke, memang aku jarang memperhatikan secara detail bagaimana perkembangan gadisku ini semenjak perusahaan Ayah diserahkan kepadaku. Aku terlalu sibuk dengan duniaku sehingga aku mempekerjakan seorang bodyguard untuk menjaganya.

"Apa kamu pikir Kakak nggak ingin refreshing ? Kakak juga jenuh dengan pekerjaan Kakak. Dan rasanya ini akan jadi refreshing sekaligus menjaga kamu. Gimana ?"

"Kakak Pembina nggak bakal ngijinin ide Kakak", dia masih merengut.

"Kita taruhan ?"

"Taruhan apa ?"

"Kalau Kakak bisa ikut. berarti kamu kalah. Dan yang kalah tentu punya konsekuensi dong ?"

Bella menatapku ragu, tapi mengangguk.

Dan begitulah, dengan berbagai macam alasan aku meminta pada pihak sekolah untuk bisa ikut dalam kemah yang mereka selenggarakan. Tentu saja harus membawa peralatan kemah sendiri. Dan kalian tahu, aku sedemikian repotnya mencari tenda yang bisa kugunakan untuk kemah bersama mereka.

Sepanjang acara, kulihat Bella demikian ceria bersama temannya yang bernama Eva. Berbagai permainan kemah yang diikutinya membuatnya demikian senang. Aku tak ingin ikut campur untuk urusan yang ini, cukup aku melihatnya dari jauh dengan segala keceriaannya, maka akupun dapat merasakan bahagia yang tak kurasakan sebelumnya.

Dan di acara kemah itulah aku bertemu dengan Ratna. Perempuan manis yang hingga dua tahun ini menjalani harinya bersamaku. Dia yang berprofesi sebagai dosen itu adalah teman salah satu guru Pembina di sekolah Bella. Mulai dari itu, kami dekat. Katakan kami pacaran secara dewasa, meski aku tak pernah menyentuhnya, sekalipun.

Tapi entah mengapa, aku merasa Ratna tak menyukai Bella. Padahal dia tahu bahwa Bella adalah adikku, meski hanya adik angkat. Bahkan aku sudah lupa bahwa dia adik angkatku.

Dia memang adik angkatku, yang sudah kusukai sejak pertama melihat binar matanya.

Tapi tahukah kalian, bahwa sejak acara perkemahan itu aku merasakan suatu rasa yang lain terhadapnya. Aku tak suka melihat ada banyak laki-laki teman sekolahnya yang mencari perhatiannya dengan berbagai macam alasan. Mencoba mendekatinya dengan dalih ini itu. Sungguh, aku sangat marah. Dan jika sudah begitu, aku akan mengiriminya sebuah pesan singkat yang mungkin bosan dia lihat.

'Hati-hati dengan cowok yang ini, yang itu, yang anu ... kakak nggak suka dengan dia', begitulah selalu aku mengawasi dan menjaganya.

Dan anehnya, Bella menuruti kata-kataku. Karena sejak itu, memang dia tak pernah dekat dengan laki-laki manapun, dan siapapun. Hingga siang itu, aku lengah menjaganya, hingga bencana itu menghancurkannya, menghancurkan hati dan hidupku.

Entahlah ... sampai kapan aku bahkan dia mampu bertahan dalam badai ini. Aku tak tahu ...

"Bella harus segera dinikahkan, tak mungkin dia menjadi seorang ibu tanpa suami. Karena itu akan membuatnya semakin depresi", kata – kata Ferdy kembali terngiang di kepalaku.

Ya, Tuhan ...

Bella kini hamil karena ulah keparat itu, yang entah karena tender atau hal lainnya, dia begitu dendam kepadaku. Menghancurkan hidupku melalui Bella.

'Ben ... kalau kau mebgira aku akan diam terbunuh diam-diam olehmu, kamu salah ! Kamu akan melihat bagaimana tegarnya aku menantang kehancuran yang kau ciptakan', aku berjanji pada diriku sendiri.

Ya, aku akan merintis jalanku untuk tegar. Dengan satu jalan ... Ya, kurasa ini satu-satunya jalan yang mungkin dan pasti akan bisa kutempuh. Biarlah mereka semua memandang hal ini tak lazim, karena aku tak peduli, asal apa yang kulakukan tak melanggar kelaziman Tuhan.

Ya, aku sudah memutuskan solusi dari masalah ini ...

Aku harus menghubungi Bundaku. Kusentuh nomor Bunda, dan mencoba menghubunginya ...

Tuuuttt... tuuuttt ... tuuuttt ...


* * *


Author PoV


Sementara di belahan bumi yang lain, Rin yang sedang menemani Romi, suaminya untuk memeriksa beberapa berkas kerja, menerima telepon dari tanah air.

"Halo, Yudhis ..."

'Halo, Bun ... Bisakah Bunda pulang lebih segera ?"

"Ada apa, Sayang ? Ada masalah ?"

Suara di seberang terdiam sejenak.

"Yudhis tak bisa membicarakannya lewat telepon"

"Ada apa sebenarnya, Yudhis ?"

"Kapan Bunda bisa pulang ?"

"Bunda tanya Ayah dulu"

Sejenak, Rin berundiang dengan suaminya yang meski usianya tak lagi muda, tapi masih terlihat gagah dan semakin karismatik.

"Halo, Yudhis ... Ayah bilang lusa baru bisa pulang"

"Baiklah, Bun ... Yudhis tunggu"

Telepon ditutup. Dalam hati, Rin bertanya-tanya. Apa yang terjadi ? Tak biasanya Yudhis demikian. Maka Rin kembali menghubungi Yudhis .

"Halo, Bun ... "

"Ada apa sebenarnya, Sayang ??? Katakan pada Bunda .. "

"Yudhis akan menikah"

Rin terlonjak kaget. Menikah ? Yang benar saja ? Bukannya kemarin dia menolak saat Ratna, pacarnya meminta untuk segera dilamar ?

"Dengan siapa, Yud ?"

Sepi. Tak ada sahutan. Ternyata sambungan telah ditutup.

"Halo, Yudhis ... Yudhis ...", Rin memanggil panik.

Romi menatap Rin.

"Ada apa, Bun ?", Romi bertanya melihat kepanikan Rin.

Rin menatap Romi terpaku.

"Yudhis akan menikah, Rom", kata Rin lirih dengan pandangan kosong. Berbagai pikiran buruk berkecamuk di otaknya. Apa Yudhis menghamili kekasihnya sehingga akan menikah sebegini cepat ? Tapi itu tak mungkin. Karena Rin tahu siapa dan bagaimana Yudhis. Dia bukan penganut free sex.

Sementara Romi yang mendengar permintaan Yudhis akan menikah, hanya tersenyum. Tapi hanya sekejap, karena dia memikirkan suatu hal.

'Secepat ini ? Dengan siapa ? Kenapa ?'

Keduanya hanya saling pandang, dan terdiam dengan pikiran masing-masing.


* * * *

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro