LBS-11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tanda cintanya jangan lupa, Kakak.

🖤
🖤
🖤

Kenangan kita menari-nari di benakku, diiringi tatapmu yang menyimpan berbagai makna. Teruskan saja, katakan saja.

Tidak apa-apa, Cinta. Aku mulai terbiasa terluka.

🔥

Sejenak Irish menjadi lemah. Atala menggoyahkan pertahanan yang Irish bangun. Tanpa tahu susahnya Irish mengumpulkan puing-puing hatinya yang berserakan, laki-laki itu begitu mudah membuatnya nyaris berkeping-keping lagi. Tahun-tahun sulit yang dilaluinya dengan rasa sakit, bukankah tak sekali saja Atala datang menanyakan kabar?

Sendirian, menangis tersedu-sedu di sudut kamar, dipeluk erat di luka yang sangat dalam, Atala tidak tahu semua itu. Atala tidak ada ketika Irish semua yang terjadi adalah mimpi buruk. Laki-laki itu tak ada ketika Irish membuka mata dan mengatakan bahwa segala perih itu palsu. Irish terbangun setiap hari dengan pedih sisa mimpi samalam. Begitu terus berulang-ulang, hingga dia merasakan dirinya tak lagi berharap.

Hidup normal yang Irish jalani terusik. Harusnya dia tak main-main dengan Madam Rose, hingga tidak perlu berujung seperti ini. Meskipun dia tak menyangkal ada rindu untuk Atala, Irish enggan mengungkapkannya.

Tidak semua hal harus diutarakan. Terkadang, lebih baik dipendam agar tidak memperburuk keadaan. Itu yang Irish pilih. Keinginan untuk mendekap laki-laki itu dia buang jauh. Irish tidak mau Atala menganggap kehadirannya telah diterima. Pun Irish ingin menegaskan bahwa tak ada yang berubah atas masa lalu mereka.

Dengan pembawaan tenang, Irish menyunggingkan senyum, membalas Atala yang kini menarik kembali kedua sudut bibirnya. Tidak ada tangis menggantung di sudut mata Irish. Dia telah bertekad untuk menutup kisah bersama Atala.

“Kamu mencoba menjelaskan,” kata Irish.

“Ya. Mencoba biar kamu paham situasi yang sebenarnya saat itu. Isi perjanjiannya cuma sampai kita pacaran, terus putus. Sisanya di antara kita inisiatif aku pribadi.”

“Dengan inisiatif kamu itu, kamu mengambil kesempatan. Apa yang berubah dari pernyataan kamu ini? Bukannya tetap aja kamu ninggalin aku?”

Atala mendekat, kembali duduk di sisi Irish. Dipindainya wajah bertabur riasan tipis yang sangat menarik perhatian Atala. Irish cantik, Atala mengakuinya, bahkan sejak dulu. Sejak jauh sebelum Irish bertransformasi menjadi gadis idaman para laki-laki.

“Setiap orang pernah berbuat kesalahan, Rish. Sorry, bukan bermaksud membela diri. Tapi, coba lihat ke sekitar bahkan diri kamu sendiri. Manusia mana yang dapat nilai seratus dalam setiap aspek hidupnya? Nggak ada, Rish. Tahu alasannya? Kesalahan ada untuk disesali dan menjadikannya pelajaran. Kalau nggak ada kesalahan, apa kamu kira orang-orang bisa introspeksi? Jawabannya nggak, Rish. Buat apa introspeksi, kan nggak berbuat salah?”

Irish bungkam.

“Otakku yang sialan saat itu, Rish. Lihat kamu yang basah, aku nggak bisa nahan kebejatanku. Aku nggak nyesal menjadikan kamu yang pertama. Dan aku tahu kamu merasakan yang sebaliknya. Seharusnya aku nggak ninggalin kamu. Maaf.”

“Berapa nominal yang kamu dapatkan saat itu?”

“Ya?” Atala bingung, tapi beberapa detik kemudian memahami ucapan Irish. “Jawabannya aku simpan untuk pertemuan kita selanjutnya.”

“Gimana kamu bisa tahu aku di sini?”

“Takdir.”

“Mustahil.”

Atala hanya tersenyum. Jawabannya tidak salah. Karena iseng mampir untuk membeli minum, dia lantas melihat kartu nama Irish. Bukankah itu memang takdir?

“Rish, aku masih mau ngobrol, tapi aku harus pergi."

Irish menghela napas lega. Akhirnya ketegangannya akan berakhir. Atala tampak sungguh-sungguh akan pergi, karena ponsel laki-laki itu berdering terus sejak tadi.

“Berat, sih, tapi aku ada kerjaan penting. Aku pamit, ya.”

Laki-laki itu melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, lalu menatap Irish yang bisa dipastikan berekspresi tidak peduli. Atala nyaris meraih gagang pintu sebelum dia membeku beberapa detik karena ucapan Irish.

“Dan jangan kembali ke sini.”

Tanpa membalik tubuh, Atala  menjawab, “Kalau gitu, maaf akan mengecewakan kamu, Rish.”

Tidak membutuhkan banyak waktu untuk mencerna, Irish bisa memahami dengan baik apa yang Atala maksud. Gadis itu membaringkan tubuhnya di sofa dengan satu lengan menutup mata. Dia tidak siap jika Atala kembali lagi, tapi mau menghindar juga sulit.

Jedaa milik Irish, dia bekerja di sana, menghabiskan seharian penuh, dan hanya karena Atala haruskah Irish tidak mendatangi tokonya? Ide itu buruk. Kepala Irish dipenuhi banyak tanya dan hatinya berselimut keresahan.

Tampaknya apa yang akan terjadi setelah hari ini akan lebih sulit lagi. Jika Atala kukuh ingin mendapatkan Irish, maka gadis itu akan kukuh mempertahankan garis batas yang telah dia buat selama ini. Irish harus bertahan, tekadnya dia bulatkan. Atala tak berhak membuatnya jadi lemah seperti tadi.

Gadis itu menegakkan tubuh, berniat membasuh wajah. Pemandangan yang dia dapati di meja kaca kembali menciptakan perasaan aneh. Tangan Irish terulur, tapi tertahan dan urung menyentuh benda berbentuk lingkaran itu. Dialihkannya pandangan, dia tidak habis pikir mengapa Atala meninggalkan cincinnya.

Tadi Irish agak terkejut ketika Atala bilang istrinya telah meninggal. Namun, Irish sadar, bahwa hal itu tidak berpengaruh untuknya. Mau Atala beristri ataupun duda, Irish tidak akan menggubris niat pendekatan yang disampaikan laki-laki itu.
Keluar dari ruangannya, Irish menyuruh Danu untuk membereskan pecahan kaca di dalam sana. Gadis berpipi tirus itu mengernyit ketika Danu menyerahkan sebuah paper bag.

“Dari Mas yang tadi di ruangan Mbak. Katanya buat Mbak Irish.”

Atala?

Ya, sudah pasti Atala. Baru laki-laki itu yang diajak bicara di ruang pribadinya. Dengan enggan Irish meraih benda itu dan segera memeriksa isinya. Sekali lagi Irish menghela napas panjang. Lima kotak susu UHT cokelat dan lima kemasan brownies. Di dalamnya juga ada sebuah kertas yang menggelitik rasa penasaran Irish.

Can’t wait to eat them with you, Bel Kring Kring.

Kata-kata Irish rasanya sudah habis. Dia tak tahu harus bagaimana lagi menanggapi Atala. Laki-laki itu tampak tidak terpengaruh pada penolakan-penolakan yang Irish beri. Di usianya yang ke 26, Irish malah merasakan dunianya dijungkirbalikkan lagi. Seolah-olah perjuangannya selama ini harus diulang lagi.

Selesai mencuci wajah, Irish kembali ke ruangan. Karena penat yang berlebih, dia melarang Dara untuk datang. Besok saja, kata Irish. Belum habis efek pusing yang Atala beri dan Irish tidak ingin menambah dengan memikirkan Keenan. Sayang, rencana Irish tidak berjalan mulus. Jari lentiknya tidak bisa dikontrol. Laman pesan yang memampangkan beberapa kalimat perkenalan dari Keenan menambah tekanan pikiran Irish.

Ken Ken:
Hei.
Stay di mana?
Aku harus manggil siapa?

Lama Irish menatap ponselnya, lalu memutuskan untuk menjawab. Penasarannya harus diobati, bukan? Sudah sejauh ini dia melangkah, tak seharusnya dia menunda apa yang sepatutnya dia ketahui.

Bel:
Hei.
Panggil Bel aja.
Baru kenalan udah nanya tempat tinggal. Mau ngapel?

Ken Ken:
Kalau diijinin kenapa, nggak? Meet up dibanding chat gini pasti lebih baik.

Bel:
Hahaha. Pacar kamu ntar marah, loh. Ogah dibilang ngerebut punya orang. Eh, udah punya pacar belum, sih? Tapi impossible wajah kece gitu nggak ada yang punya.

Ken Ken:
Pacar? Ngapain bawa-bawa pacar? Kita main MR pasti punya tujuan tanpa perlu pasangan tahu, ‘kan?

Bel:
Kalau kamu tujuan main MR apa?

Ken Ken:
Nyari FwB?

Bel:
Punya pacar tapi masih nyari FwB. Aku tebak dia nggak bisa puasin kamu.

Ken Ken:
Sedih buat ngakuin. Tapi iya, dia emang gitu. Bagian terparahnya dia nggak mau lebih dari make out.

Bel:
Wah, penganut seks harus dalam status legal, ya? Jadi, kamu di belakangnya cari kepuasan sendiri?

Ken Ken:
Iyalah. Hari gini mana ada pacaran tanpa seks.

Bel:
Hahaha. Sorry jadi kayak sesi wawancara. Case kamu menarik.

Ken Ken:
Nggak masalah. Sebelum meet up, kita emang harus jelaskan keadaan masing-masing. Biar enaklah ke depannya nentuin hubungan. Biar nggak ribet, FwB jelas pilihan yang bagus. Kamu dan aku masih bebas.

Dada Irish sangat sesak. Dia tak punya asma, tapi sekarang Irish benar-benar kesulitan bernapas. Air matanya menetes tanpa jeda. Sejak tadi Irish membalas pesan Keenan dengan jari bergetar, berusaha tak meluapkan emosi dalam setiap kata yang dia rangkai.

Tak kuat lagi menahan ledakan emosi yang memporak-porandakan dadanya, Irish meletakkan ponsel yang masih menampilkan percakapannya dengan Keenan. Mulutnya dia bekap, agar isak yang tak bisa dia kendalikan jangan sampai terdengar.

Irish tidak ingin menangis, tapi air matanya sungguh tidak bisa ditahan. Bagaimana dia bisa baik-baik saja setelah cintanya berkhianat secara nyata? Irish memberikan hatinya, memberi Keenan segala perhatian, berusaha menjadi pribadi yang tidak membosankan. Dan setelah segala ketulusan yang Irish beri, tak menyangka hatinya akan dipatahkan seperti ini.

Apa yang kurang darinya? Selain tidak ingin bercinta, Irish sangat yakin telah memenuhi kelayakan untuk menjadi pacar yang patut diapresiasi oleh Keenan. Irish tidak berselingkuh, tidak pula pernah menuntut Keenan yang macam-macam.

Gadis yang sedang menangis itu mengira bahwa mereka sudah saling memahami. Satu tahun kebersamaan mereka Irish kira berjalan seperti apa yang dia harapkan.
Di belakangnya Keenan bermain, menyapa ramah perempuan lain tanpa memikirkan Irish. Sakit sekali hatinya. Dia tak bisa menyuruh hatinya jangan terluka. Matanya juga tak menurut ketika Irish mencoba menyuruh jangan menangis.

Cintanya berkhianat, menghancurkan kepercayaan Irish begitu sempurna. Pupus sudah segala mimpi indah yang Irish bangun seorang diri. Keenan tahu bagaimana cara membunuh perasaan Irish.

Irish tidak tahan lagi. Dia tak kuat menanggung kesedihannya ini seorang diri. Irish harus menumpahkan emosinya segara. Kalau tidak, Irish takut dirinya kehilangan kewarasan karena mentalnya diserang habis-habisan. Irish tidak mau mengalami hal serupa seperti delapan tahun lalu. Masa-masa terburuk Irish, karena dia sering berteriak di tengah malam, lalu menangis sampai pagi.

Tidak, Irish tidak mau kembali ke masa itu. Kehilangan cinta serta harapan tak boleh membuatnya mengulang fase terburuk yang pernah dia alami. Psikolog Irish mengatakan kalau dia tak boleh memendam emosi sebesar itu. Dulu, Irish menahannya, berujung dia nyaris tidak mengenali sendiri karena tekanan-tekanan yang kian mengambil alih pikirannya. Irish harus menolong dirinya sendiri sebelum jatuh sempurna ke dalam kegelapan.

Ponsel itu dia ambil lagi, mencari sebuah nama di deretan panggilan. Jarinya masih bergetar, bahkan berulang kali salah menekan. Benda di tangannya dia tempelkan di telinga. Tangisnya semakin deras ketika di dering kedua seseorang di sana menjawab panggilannya.

“Ya, Sayang. Kalau langsung nelpon biasanya ada hal penting. Kenapa?”

Keenan mengenal Irish, tapi tidak cukup memahami, tidak cukup bisa ikut berkompromi dalam hubungan mereka. Keenan baik, tapi tak cukup baik atas segala permainan kotor laki-laki itu di belakang kekasihnya.

“Ken, aku ....”

Sial. Irish tahu dirinya ternyata masih sangat lemah. Bicara dengan Keenan pun dia terbata-bata.

“Rish, kamu nangis?! Kenapa?!”

“Aku di Jedaa. Aku mau ketemu kamu. Segera. Sekarang. Terserah.”

Lagi, gadis itu terisak keras. Telinganya tak salah tangkap atas nada panik Keenan. Namun, itu saja masih tidak cukup. Irish tidak suka dibohongi, dia tak ingin dikhianati. Baginya, hubungan bukan hanya sekadar saling mengkhawatirkan. Baginya, hubungan mencakup banyak hal. Keenan tidak memenuhi semuanya. Keenan cacat dalam poin terpenting suatu hubungan; kesetiaan.

“Aku ke sana sekarang. Tunggu aku, ya. Kamu tenang.”

Emosi Irish harus dilampiaskan, harus. Dia bisa kehilangan akal jika memendamnya lebih lama. Maka, setelah panggilan terputus, ponsel itu dia lempar ke jendela ruangannya. Dadanya naik-turun. Dada Irish sakit sekali. Sangat sakit. Tidak puas, Irish berdiri dan melempar cangkir kopi bekas Atala tadi.

Suara bising yang dia ciptakan mengundang Danu berlari untuk menghampiri bosnya. Laki-laki itu terkesiap melihat Irish yang berlutut dan menangis tersedu-sedu. Cangkir pecah di sekitar atasannya itu menambah kepanikan Danu. Danu tahu tidak perlu bertanya, tak akan ada jawaban yang akan didapatnya.

“Mbak Irish, saya bantu duduk di sofa, ya.”

Tubuh Irish yang lemah dan ringan tidak menolak ketika Danu membantunya duduk. Laki-laki itu keluar dan segera kembali ke ruangan Irish dengan segelas air. Bosnya masih menangis, tapi tidak tersedu-sedu. Tanpa bermaksud kurang ajar, Danu meminta maaf sebelum menempelkan tepi gelas ke bibir Irish. Perempuan itu harus minum untuk sedikit meredakan emosinya.

Setelahnya Danu membersihkan pecahan cangkir. Sesekali diliriknya Irish yang termenung dengan air mata menetes. Laki-laki itu iba, tahu Irish pasti dalam kondisi buruk sejak pagi. Sebelum meninggalkan ruangan Irish, danu mendekatkan kotak tisu.

“Mbak hapus air matanya, ya. Kalau perlu apa-apa, panggil saya.”

Irish bergeming. Danu menghela napas berat, sedih tak mampu berbuat lebih. Kelegaannya menyeruak ketika Keenan membuka pintu tergesa-gesa.

“Ada Mas Keenan, Mbak. Saya keluar, ya.”

Irish yang tadi menatap ke bawah, kini menaikkan pandangan. Kekasihnya berdiri dengan ekspresi penuh tanya. Danu sudah pergi setelah berpamitan pada Keenan.

“Sayang, kamu kenapa? Cerita ada apa.”

Laki-laki itu mendekat, berlutut di depan Irish. Tatapan Irish kosong. Mata bengkaknya jelas menunjukkan bagaimana gadis itu menangis sejak tadi. Keenan kebingungan ketika Irish masih saja bungkam. Hendak diraihnya tangan sang kekasih, tapi Irish menepisnya.

“Ken, aku kurang apa sebagai pacar?” Irish bertanya pelan, berusaha tersenyum untuk menguatkan dirinya sendiri.

“Nggak ada, Rish. Kamu kenapa tiba-tiba nanya gitu? Dan kamu belum jelasin alasan kamu kacau kayak gini. Aku panik banget. Untung aku kerja middle, jadi bisa langsung ke sini.”

“Di mata kamu, aku ini apa, Ken? Aku perempuan yang kayak gimana?”

“Rish, ada apa, sih? Bilang, biar aku ngerti.”

“Berapa banyak perempuan yang kamu ajak dalam status friend with benefit?”

Keenan tersentak, sedangkan Irish melebarkan senyum dan air matanya kian menetes. Ekspresi itu saja sudah menjadi jawaban untuk Irish. Segala situasi sudah bisa gadis itu pahami.

“Coba jujur, Ken. Aku mau dengar.”

“Rish, dengar aku dulu. Aku bisa jelasin. Tenang, ya, tenang.”

“Apa, Ken? Apa penjelasan kamu? Kalau aku nggak mau kita tidur dan kamu cari perempuan lain?”

Gadis itu menatap mata Keenan. Bayang-bayang kebersamaan mereka kian menyakiti hati Irish. Tatapan itu bisa Irish mengerti. Keenan bingung harus mengatakan apa, Irish bisa memahaminya. Keresahan laki-laki itu bisa Irish rasakan. Dia berusaha dipeluk oleh Keenan, tapi Irish enggan dan menolaknya mentah-mentah.

“Setidaknya aku harus dengar kejujuran kamu, Ken. Aku tunggu.”

Keenan masih diam, saling tatap dengan Irish. Air mata gadis itu tak tertahan. Dunianya seolah-olah hancur sekali lagi. Irish berteriak dan memukul dada Keenan, tapi laki-laki itu setia membisu.

To be continued

Poor, Irish. ☹️ Mari kita doakan agar dia kuat sebelum menghadapi kesedihan yang lain. Eh?😂

Apa yang kamu harapkan dalam kisah ini? Scene apa yang kamu tunggu-tunggu?

Follow ig putriew11

Lav,
Putrie

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro