LBS-13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

WARNING! SENSITIF CONTENT!
🔥

Tanda cintanya jangan lupa,Kakak.

🖤

Kamu memberiku rasa sakit, maka izinkan aku membalasnya walau sedikit.

🔥

Seharian Irish berpikir, dia terlalu terburu-buru mengungkap kebusukan Keenan. Tidak ada artinya dua tamparan dibanding sakit hatinya. Ya, benar, Irish harusnya memberi lebih dari sekadar  tamparan. Namun, Irish tidak bisa menahan diri karena merasa jijik pada Keenan.

Tangan itu menyentuh Irish dan juga menyentuh banyak perempuan lainnya. Tak habis pikir oleh Irish bagaimana Keenan bisa sangat liberal. Keenan datang dari keluarga yang hangat, tapi mengapa bisa bertindak begitu jauh dari batas?
Sejak kemarin Irish bertanya-tanya, mungkinkah Keenan berlaku seperti itu karena Irish yang menolak dirinya? Pertanyaan itu dia berusaha tepis habis-habisan. Sudah terbukti bahwa Keenan hanya main-main. Kalaupun Irish mau bercinta, tetap tidak ada jaminan kesetiaan yang bisa Keenan beri.

Sudah dia putuskan, dirinya tak akan menangisi Keenan. Walau Irish tak menampik dadanya nyeri setiap kali mengingat bagaimana laki-laki itu mengkhianatinya. Irish pernah menghadapi situasi yang lebih berat, maka dia yakin kali ini juga bisa dilaluinya.

“Rish, yakin mau jalanin rencana itu?” Dara menatap Irish yang sudah rapi.

Semalam Irish menginap di rumah Dara, tentunya sekalian untuk bercerita. Dara ikut bersedih atas putusnya cinta sang sahabat, tapi sangat merasa lega Irish akhirnya terlepas dari Keenan. Laki-laki yang otaknya hanya dipenuhi tentang kenikmatan surga dunia, sepantasnya dibuang jauh-jauh.

“Iya, yakin. Sakit hatiku harus dibalas dong. Kamu udah atur yang aku minta, ‘kan?”

“Udah.”

Dara menyibak selimut, lalu duduk di pinggir ranjang. Kepalanya dia garuk-garuk pelan sambil memperhatikan bagaimana sempurnanya penampilan Irish meski semalam masih sedih.

“Keenan harus tahu akibat mempermainkan aku, Dara. Setahun aku buang-buang waktu. Sialan banget sih dia.”

Dara setuju ucapan Irish, bahkan turut membantu rencana out of the box yang Irish kemukakan semalam. Benar adanya, jika seseorang terlalu sakit hati, apa pun bisa dilakukan. Keenan mungkin akan berpikir ulang tentang niatnya yang tidak serius sejak awal. Kali ini Irish ingin menunjukkan bahwa dia tidak lemah. Orang lain tak berhak memberinya rasa sakit.

“Kamu kelihatan baik-baik aja, Rish.”

Irish tersenyum, dari pantulan cermin Dara dapat melihatnya. Gadis itu sangat manis dengan setelan berwarna putih dan bando. Aura ceria kembali menyelimutinya, seakan gadis itu tidak sedang patah hati. Irish hanya sedang menjadi dirinya yang biasa, mengesampingkan nyeri dadanya akibat ulah Keenan.

Terpuruk lagi karena laki-laki tidak termasuk ke dalam daftar hidup Irish. Boleh saja dulu dia meraung-raung selama puluhan hari. Namun, kini hatinya bisa tegar dengan segera sebab Irish telah banyak belajar. Masa lalu memberinya berbagai warna yang menyemarakkan hidup Irish. Meski kali ini dia tersandung, padahal sudah berhati-hati, Irish enggan menyesal lagi. Akan dia anggap rasa sakit yang Keenan beri adalah bentuk pelajaran baru.

“Ya, ‘kan? Aku emang kelihatan baik-baik aja, ‘kan? Baguslah. Gimana sakit hatiku kemarin cukup aku sembunyikan. Irish yang penuh semangat udah balik. Yeay!”

Mata Dara panas oleh perasaan haru. Ketakutan akan Irish yang kembali terpuruk lenyap. Dara sangat bersyukur Irish tidak lagi meratapi apa yang terjadi. Sahabatnya tetap menjadi dirinya sendiri.

“Aye aye! Kita basmi cowok berengsek itu! Horeee!”

Teriakan Dara mengundang tawa Irish. Namun, seketika lenyap ketika Irish teringat sesuatu. Gadis itu membalik tubuh dan menggigit bibirnya. Dara mengerutkan dahi melihat perubahan mendadak ekspresi Irish.

“Kok, lusuh lagi itu wajah?”

“Dara ....”

Irish berjalan mendekat, Dara mulai menebak-nebak. Kalau ekspresi Irish lemah begitu dan menggunakan nada rendah, pasti ada hal penting yang hendak disampaikan. Biasanya sesuatu yang akan membuat sisi barbar Dara keluar.

“Ketahuan. Hayoo, sembunyiin apa kamu?”

Deretan gigi Irish terpampang. Dara memang mengerti Irish sangat baik. Gadis itu duduk di sebelah sahabatnya, lalu melingkarkan tangan di lengan Dara. Wajahnya kini serupa anak kecil yang tenaga merengek meminta pengampunan.

“Jangan bikin penasaran, deh. Bilang, Rish.”

Entah bagaimana Irish harus memulai ceritanya. Kemarin dia terlalu kesal pada Keenan, sampai-sampai ketika curhat pada Dara  perihal kedatangan Atala terlupakan. Kemarahan dan rasa tidak suka yang Dara tampakkan sewaktu reuni membayangi Irish. Bulu kuduknya kini berdiri, menebak beberapa tindakan kriminal yang mungkin akan Dara lakukan jika tahu Atala mendatangi Irish.

“Jangan marah dulu, ya. Aku udah mumet dari kemarin soal Keenan. Janji jangan marah, ya?”

“Emmmm.”

“Dara, ayo janji!”

Lengan Dara diguncang-guncang Irish, menambah kecurigaan sahabatnya. Sampai detik itu, Dara tidak bisa menebak apa yang hendak Irish sampaikan. Apa lagi hal yang bisa membuat seorang Dara marah kalau bukan sahabatnya diganggu orang?

“Rish,” panggil Dara penuh penekanan, “semoga ini nggak kayak yang ada di kepalaku.”

Mana Irish tahu apa yang ada di pikiran sahabatnya. Dia hanya menyuruh Dara untuk tidak marah jika mendengar cerita Irish.

“Ya, ya, janji. Nggak marah.”

Napas Irish terembus panjang. Perasaannya sangat lega. Setidaknya dia tak perlu menambah beban pikiran akan kemurkaan Dara hari ini.

“Jadi kemarin aku ... ketemu Atala.”

“Nah, benar apa yang aku pikirin! Kok, bisa?! Kamu janjian sama dia?”

Baru tadi Irish lega, tapi ternyata tak bertahan lama. Segala hal tentang Atala memang selalu berhasil mengusik Dara. Mau protes, sungguh Irish kehilangan daya. Reaksi Dara adalah bentuk kasihnya pada Irish, mana mungkin gadis itu punya hak untuk melarang.

“Nggak, nggak janjian. Terakhir ketemu pas reuni, kami juga nggak ada tukar nomor HP. Kemarin sebelum aku ribut sama Keenan, Atala tiba-tiba aja datang ke Jedaa. Aneh, ‘kan?”

“Jangan-jangan nyewa detektif buat nyari tahu keberadaan kamu, Rish.” Irish mengangkat kedua bahunya. “Tapi ngapain dia nyari kamu?”

“Mau PDKT katanya.”

“Heh! Nyari mati, ya?!”

Alih-alih kaget, Irish justru menahan senyum. Kalau diizinkan dan jika membunuh itu adalah hal baik, mungkin sejak bertahun-tahun lalu Dara membunuh Atala. Akan sangat sulit membuat Dara membuang kemarahannya pada duda itu.

“Dia udah nikah, Dara.”

“Terus masih nyari kamu? Sialan! Mau apa si berengsek itu?”

“Tapi istrinya udah meninggal.”

“Bercanda, ya?”

“Beneran sih katanya.”

“Karma berarti.” Lalu keduanya bertatapan dalam diam. “Jadi dia duda,” lanjut Dara.

“Iya. Dia jelasin itu kemarin ke aku. Cincin nikahnya juga dia lepas di depanku, kayak mau buktiin dia emang serius. Aku juga ingat alasan dia main Madam Rose buat nyari pasangan.”

Mata Dara menyipit, tatapannya menajam pada Irish.

“Rish, kamu nggak berniat terima ajakan PDKT-nya, ‘kan?”

Irish menggeleng yakin. Bukan hanya tidak berniat menerima Atala, Irish juga sudah mengusir laki-laki itu. Sayangnya, Atala memiliki niat sebaliknya.

“Aku nggak tahu apa alasan pasti dia, tapi mungkin rasa bersalah salah satunya. Aku udah usir dia, tapi dia kayak nggak terpengaruh. Menurut kamu apa dia serius?”

“Kalaupun dia serius, jangan harap jalannya bakal mudah. Banyak yang harus dia perjuangkan untuk dapat perhatian kamu, Rish.”

Setelah duka yang Atala beri, Irish setuju atas perkataan Dara. Tak mudah bagi Irish memberi perhatian dan sikap yang sama ketika mereka masih SMA. Terlalu banyak hal berubah di antara keduanya. Selama ini hidup yang mereka jalani juga tidak terhubung satu sama lain. Akan sulit untuk mengaitkan benang takdir.

Klakson mobil membuyarkan lamunan singkat Irish. Gadis itu segera meraih tas dan tersenyum sekali lagi pada Dara.

“Aku pergi dulu, ya.”

Good luck, Rish. Aku tunggu kabarnya nanti siang.”

“Yaa!”

Lambaian tangan Dara mengiringi langkah Irish keluar dari kamar. Sebelum membuka pintu utama, Irish menarik dan mengembuskan napas panjang. Keraguan sedikit menggertak keteguhan hatinya. Irish menggeleng, menyingkirkan perasaan buruk yang nyaris menggoyahkan dirinya.
Apa pun yang terjadi, Irish akan menemui Keenan yang sedang menunggu di halaman rumah Dara.

🔥

Mengambil keputusan untuk membalas sakit hatinya bukanlah hal yang mudah untuk Irish. Mati-matian dia menahan ekspresi jijik ketika Keenan mengecup kening Irish tadi. Hal itu Irish lakukan bukan tanpa pertimbangan. Semalam Keenan mendatangi rumah Dara, memohon maaf, mengiba, dan meminta satu kesempatan untuk memperbaiki hubungan bersama Irish. Irish yang telanjur kecewa mengiyakan dengan maksud lain. Maka dari itu kini mereka bisa bersama di salah satu toko untuk membeli ponsel.

“Aku yang bayar, ya, Sayang.”

“Nggak usah, Ken. Kamu nemenin aja aku udah seneng.”

Setelah ini mungkin Irish akan mencuci lidahnya. Kalau bukan demi kelancaran aksinya, Irish tidak sudi lagi bicara pada Keenan. Melihat senyum laki-laki itu pun kini sangat memuakkan bagi Irish. Semua permintaan maaf Keenan tak akan pernah Irish anggap sebagai ketulusan. Sekali tidak setia, biasanya akan berujung pada kebiasaan.

Mengambil risiko dengan memperbaiki hubungan yang telah hancur tak akan pernah Irish ambil. Baginya cukup dia tahu seperti apa Keenan, maka kisah mereka usai sudah. Irish berharap hari ini adalah terakhir kalinya mereka bertemu. Di masa mendatang, dia tak ingin lagi berurusan dengan Keenan.

Ponsel baru telah Irish beli. Semua data di ponsel lamanya juga sudah dipindahkan. Mereka kembali ke mobil. Keenan bertanya apakah Irish mau langsung diantar ke Jedaa atau ke tempat lain. Jawaban Irish menimbulkan efek kejut luar biasa di wajah Keenan.

“Semalaman aku berpikir, Ken, mungkin salahnya emang di aku yang selalu nolak kamu. Apa kita bisa perbaiki bagian itu?”

Keenan yang jadi tak fokus  menyetir buru-buru mencari tempat aman untuk berhenti. Ditatapnya Irish penuh tidak percaya. Gadis itu mengulas senyum yang mungkin akan mampu melelehkan hati banyak laki-laki.

Antara rasa terkejut dan senang, Keenan mengusap-usap tengkuknya. Dia terlalu dewasa untuk mengerti arah pembicaraan Irish, sehingga tidak perlu bertanya. Mendapat undangan cuma-cuma, mana mungkin dia melewatkannya. Kesempatan emas ketika Irish sendiri yang menyodorkan diri. Keenan yang sudah lama menunggu momen itu merasa tak sabar, hatinya dipenuhi semangat dan gairah yang kian tersulut.

“Rish, kamu akhirnya paham. Aku janji bakal hapus Madam Rose setelah ini.”

Jangan salahin aku setelah ini, Ken. Burungmu itu sesekali harus dikasih pelajaran biar nggak asal celup.

“Iya, aku paham. Ini salahku.”

Jelas-jelas kamu yang salah. Enak aja ngasih alasan gara-gara aku yang nggak mau tidur sama kamu.

“Terus rencana kita gimana?”

Air muka Keenan tidak bisa ditutupi. Senyumnya melebar sejak tadi. Desah napasnya berbaur dengan nafsu yang sebentar lagi berniat dia tumpahkan. Irish bersikap sangat tenang, membiarkan Keenan berekspresi bahagia dengan berbagai pikiran-pikiran kotor di kepala laki-laki itu. 

“Sebenarnya aku udah sewa vila di Sanur. Kita bisa langsung ke sana, Ken.”

“Udah kamu siapin? Bilang ke aku harusnya, Rish. Aku ganti uangnya, ya.”

“Eh, nggak usah. Nggak apa-apa. Nggak lebih dari dua juta kok, vilanya.”

Tanpa mengindahkan ucapan Irish, Keenan meraih ponsel di dasbor. Jarinya sibuk di layar, lalu disusul denting ponsel Irish dari dalam tas. Selama ini Irish memiliki dua ponsel. Satu untuk urusan pribadi, satunya lagi untuk urusan Jedaa. Barusan ponsel kerjanya yang berbunyi. Segera Irish memeriksa karena Keenan menyuruh. Betapa kagetnya perempuan itu melihat pemberitahuan dana masuk ke rekeningnya sejumlah lima juta rupiah.

“Ken, ini banyak, loh. Kalau mau ganti ya dua juta aja cukup, kok. Aku transfer balik sisanya.”

“Nggak, biarin aja.” Keenan mengambil ponsel Irish dan memasukkan kembali ke tas perempuan itu. “Sisanya bisa kamu pakai shopping sama Dara.”

Irish membisu, tapi masih bisa tersenyum agar terlihat menghargai niat baik Keenan. Mobil kembali melaju setelah Irish menyebutkan nama vila yang harus mereka tuju beserta alamatnya. Sepanjang perjalanan Irish diam, siku kirinya bertumpu pada kaca dengan jari yang menyentuh pelipis. Dia menatap ke luar kaca dengan sorot mata kosong.

Tak habis pikir baginya bahwa Keenan adalah laki-laki yang seperti ini. Selama ini Irish sudah senang dengan perlakuan kekasihnya yang sering membawakan makan siang atau malam, camilan, dan beberapa kali membelikannya pakaian. Ternyata, jika Irish bersedia memberi hal lebih, Keenan juga akan memberi balasan yang mungkin baginya setara.

Miris. Irish merasa miris untuk dirinya sendiri. Bagaimana dia pernah jatuh hati pada laki-laki yang enggan berkomitmen? Hubungannya dengan Keenan tak akan menemukan ujung yang indah jika seperti itu terus. Terlambat untuk Irish menyesal, tapi setidaknya dia tak ingin terus-menerus terkungkung dalam kebahagiaan semu.
Melepaskan cinta tidaklah mudah. Irish pernah sekarat karena melakukan hal serupa. Namun, dia memahami bahwa cinta membutuhkan kesanggupan dari dua arah. Jika hanya Irish yang sanggup mempertahankan kesetiaan, lalu apa gunanya hubungan itu dipertahankan?

“Yang, bener ini vilanya?”

Mereka sudah tiba di tujuan. Sebelum menghampiri resepsionis, Keenan ingin memastikannya.

“Bener. Aku aja yang turun buat ngonfirmasi, ya.”

“Nggak sekalian aku ikut? Langsung masuk, ‘kan?”

“Nanti kita pakai mobil ke sana. Ada parkir pribadi di tiap vila, Ken.”

Mata Keenan mengikuti telunjuk Irish yang mengarah pada jalan ber-paving. Laki-laki itu mengangguk, menatap Irish yang menghampiri resepsionis di sebelah kanan mobilnya. Tak lama kemudian gadis itu kembali, memberi instruksi agar Keenan melajukan mobilnya.

Irish terus menatap ke sebelah kiri, tidak ingin kelewatan unit yang sudah dia pesan. Ketika angka 20 pada bagian pagar tertangkap matanya, Irish menyuruh Keenan berhenti. Tak bisa dipungkiri, jantung gadis itu berdegup kencang. Berharap apa pun yang terjadi hari ini tidak akan pernah dia sesali di kemudian hari.

Hendak turun untuk membuka gerbang, tapi seorang laki-laki paruh baya lebih dulu melakukannya. Dia mempersilakan Keenan memasuki parkiran dengan isyarat tangan. Sebelum laki-laki itu pergi, Keenan menurunkan kaca mobil dan mengulurkan tangan dengan selembar uang berwarna merah. Kini Irish mengerti, Keenan akan sangat dermawan jika menyangkut perihal kebutuhan biologisnya.

Menghela napas panjang, Irish kemudian tersenyum lebar dan mengajak Keenan turun dari mobil. Kaki gadis itu bergetar, tapi berusaha disembunyikan. Dadanya yang mulai sesak juga berusaha dia normalkan.

“Bagus vilanya, Rish. Ada kolam renangnya gini. Bisa kita coba.”

Irish nyengir, mencoba menahan diri agar rencananya tidak berantakan.

“Coba kamu duluan masuk, Ken. Suka nggak dalamnya.”

Tanpa curiga Keenan menuruti Irish. Slide dor yang terbuat dari kaca itu dia buka. Baru satu langkah kakinya menapaki bagian dalam, Keenan terkejut oleh dua laki-laki kekar yang kini mencekal kedua tangannya.

“Kalian siapa?! Ini apa-apaan?! Lepasin, Berengsek!”

Dua laki-laki itu mengabaikan teriakan Keenan, malah kini mereka sedang menuju tempat tidur. Di sana, ada satu laki-laki berotot yang tengah duduk dengan tali di tangannya.

Keenan melotot, meronta sekuat tenaga tapi usahanya tidak membuahkan hasil. Lalu dia teringat pada Irish yang tidak bicara sejak tadi. Di mana gadis itu? Ketakutankah? Sedang meminta bantuankah? Banyak hal yang Keenan pikirkan, tapi beberapa detik kemudian tubuhnya seolah membeku.

“Ken, ini hadiah dari aku. Semoga suka.”

Tak bisa dipercaya. Keenan menoleh ke belakang, menemukan Irish bersedekap disertai senyuman yang menghiasi wajahnya.

“Rish, bercanda, ‘kan? Sumpah nggak lucu, Sayang.”

“Mau have fun, ‘kan? Mereka bertiga bisa puasin kamu, kok.”

“Gila! Sumpah nggak lucu kamu, Rish! Suruh mereka lepasin aku, Rish! Jangan gini! Aku nggak mau disentuh mereka!”

Kepanikan Keenan bertambah. Kemejanya disobek, lalu tubuhnya dipaksa berbaring. Kedua tangannya diikat kuat oleh tali. Kakinya masih meronta, tapi perasaan ngeri membayangi seluruh tubuhnya ketika celana jeans yang dia kenakan dibuka paksa. Tak sampai di situ, mulutnya juga dibekap.

“Ken, aku tahu ini adalah hal menjijikkan. Tapi ya gimana, bukannya aku di mata kamu juga hanya sebatas ini? Nggak apa-apa aku balas kamu, ya. Setelah ini semoga kamu sadar kalau perbuatanmu itu nggak gentle sama sekali.”

Gumaman Keenan tak juga menyentuh hati Irish. Laki-laki itu terlihat mengenaskan, tak berdaya di antara tiga laki-laki yang telah Dara perintahkan untuk memberi pelajaran bagi Keenan.

“Kalian jangan lupa ambil fotonya. Nggak usah sampai celup-celup. Foreplay kayak diinstruksikan sebelumnya aja. Ya kecuali dia yang mau main pedang-pedangan sama kalian.”

Tiga laki-laki itu terkikik, sangat jauh dari kesan menyeramkan. Namun, harus diakui, kalau otot-otot mereka bukan sekadar pajangan.

“Aku harap ini terakhir kita ketemu, Ken. Foto-fotomu nanti nggak akan aku sebar. Tapi kalau kamu mau main-main lagi setelah ini, aku turuti. Mau lapor polisi? Oke aja. Aku nggak masalah. Kita bisa tempuh jalur hukum kalau kamu keberatan sama perlakuan yang kamu terima hari ini. Oh, ya, aku udah siapin baju buat kamu. Nanti dipakai kalau udah selesai, ya. Uang tadi aku terima deh. Ongkos taksi buat ke Jedaa. Makasih loh, ya.”

Sulit bagi Keenan yakin atas tindakan Irish. Menyewa laki-laki yang memiliki kelainan seksual untuk membalas sakit hati sungguh di luar prediksi Keenan. Pada akhirnya laki-laki itu tidak berdaya ketika tubuhnya mulai dikecup. Tiga laki-laki itu mencumbu dirinya setelah Irish pergi, menyentuhnya tanpa jijik. Dengan sisa-sisa kekuatan, Keenan masih mencoba berontak, tapi tetap gagal.

Irish berjalan kaki menuju jalan raya. Tangisnya dia tahan, sakit hatinya dia coba redam. Irish tahu dirinya keterlaluan, tapi jika dengan memberi Keenan tekanan mental dapat menyadarkan laki-laki itu, Irish tidak keberatan mencoba rencana piciknya.

Sesak di dadanya mulai berkurang ketika dia melewati bagian resepsionis. Irish berdiri di pinggir jalan, mengamati taksi yang mungkin saja lewat. Kejadian tidak terduga lainnya menghampiri Irish. Kening gadis itu berkerut mendapati sebuah mobil berhenti di dekatnya, lalu sang pengemudi menyambanginya.

“Rish, ngapain di sini? Butuh tumpangan?”

Tadinya Irish ingin menghindar, tapi sudah telanjur berdiri berhadapan. Ide gila melintasi pikiran gadis itu. Satu sudut bibirnya tertarik, membuat sang lawan bicara menatap curiga.

“Riah, baik-baik aja, ‘kan?”

“Baik-baik aja, kok. By the way, At, delapan tahun lalu aku nggak ngapa-ngapain kamu, ya?”

“Gimana?”

Atala bingung, tapi gerakan cekatan Irish yang berhasil mendaratkan dua tamparan di wajahnya membuat otak Atala berhenti kerja sementara. Dia masih terlalu terkejut ketika Irish mengangkat kaki. Tak dapat disembunyikan, Atala sangat panik.

“Rish, jangan nekat! Kamu nggak mungkin lakuin itu, ‘kan?”

Sorry, At.”

Terlambat berkelit. Irish berhasil menendang titik vital Atala. Laki-laki itu meringis dengan tubuh membungkuk. Ekspresinya sangat menunjukkan kesakitan. Beberapa pengendara yang lewat mencuri-curi pandang ke arah Atala. Namun, segala perasaan kesal dan sakitnya mendadak lenyap ketika pendengarannya menangkap suara yang membuat dadanya bergetar.

Irish tertawa terbahak-bahak, sampai memegangi perut. Senyum gadis itu begitu tulus. Tanpa sadar Atala menggumam dan mungkin Irish tidak mendengarnya.

“Sering-sering senyum dan ketawa kayak gitu, ya. Aku suka lihatnya.”

To be continued

Ini panjang banget loh part-nya.  Pada puas nggak sama isinya?

Well, kuharap kalian mengerti kenapa Irish bertindak gitu. Kalau nggak paham yaa nggak apa juga sih😂.

Akhirnya selesai juga satu konflik. Aku tuh nggak sabar, karena mulai part depan kita bakal manis-manisan sama si Om Duda. Yeay.

Follow ig putriew11

Jadiii, apa lagi keinginanmu yang  berharap bakal aku wujudkan di cerita ini?

Lav,
Putrie


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro