LBS-21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tawamu memaku aku,

Mengundang tanya atas makna binar itu.

Dadaku panas oleh sesuatu.

Apakah ini yang disebut cemburu?

🔥

Katanya, orang yang jatuh cinta bisa berbuat nekat. Namun, Atala yakin dirinya tidak sedang jatuh cinta. Lalu apa makna dan tujuan dari tindakan tidak terkendalinya semalam?

Sebelumnya Irish berjanji akan menghubungi Atala setelah perasaannya benar-benar tenang. Dengan sabar Atala menunggu, tapi hingga hari-hari berlalu, gadis itu tetap tak memberi kabar. Sangat mudah jika dia langsung menghubungi Irish, tapi laki-laki itu mencoba menepati janji kalau tidak akan mengganggu Irish duluan.

Ironisnya, semalam Atala tidak tahan lagi. Dia yang tidak tahu di mana rumah Dara, akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah Irish. Pukul 10 malam Atala tiba di sana, sedikit terkejut ketika driver Yojek datang dan Irish membuka gerbang untuk membayar pesanan tersebut.

Senyum Atala mengembang, merasa lega dan sesak dalam satu waktu. Irish dalam keadaan baik-baik saja, itu cukup untuk Atala. Sayangnya, hatinya tak puas dengan itu. Menit demi menit berlalu, Atala setia berada di seberang rumah Irish. Dari dalam mobil dia mengamati lampu sebuah kamar padam, yang Atala maknai penghuninya akan istirahat total.

Pukul 4 pagi, Atala merasa bisa berteriak karena dadanya kian sesak. Asma? Bukan, Atala terlalu merindukan Irish hingga oksigen sulit dihirupnya. Kegilaannya sejak semalam berujung mereka yang kini duduk berduaan di dalam mobil Atala. Mereka berkeliling tanpa tentu arah.

“Jadi jawabannya apa, Rish?”

“Kamu tahu aku udah punya pacar, ‘kan?”

Nyali Atala menciut mendengar jawaban Irish serta menatap sedikit senyuman di wajah itu. Karena tidak berpikir jernih ketika menyerahkan sekotak susu sambil mengajak pacaran, Atala melupakan Valentino. Dua bulan lagi katanya mereka menikah, hati Atala jadi berdenyut-denyut saat ini.

“Apa kelebihan dia dibanding aku?”

“Banyak. Banyak banget.”

Irish memalingkan wajah ke kiri. Atala menahan jarinya agar tidak menyentuh rambut panjang bergelombang yang akhir-akhir ini sangat dia sukai. Pandangannya fokus pada jalanan sepi, tapi benaknya bising oleh berbagai hal.

Tawa Irish tadi, Atala kira sebagai penerimaan atas usahanya meraih hati gadis itu. Setelah tawa Irish reda, bukan kepastian yang Atala dapat. Irish mengajak Atala bicara, tapi tidak di rumah. Apa gadis itu takut berduaan dengan Atala di dalam rumah? Laki-laki berkemeja biru muda itu hanya menduga.

“Aku dan Valentino temenan sejak kami kuliah. Saat itu aku belum kayak gini. Dia kenal aku yang masih chubby. Dan kamu tahu? Dia nggak pernah malu ajak aku ke kantin, temenin aku jogging, support saat aku diet, ngingetin aku buat jaga kesehatan meski lagi mangkas asupan makanan. Valentino nemenin aku selama melakukan transformasi. He means too much for me, At.”

Telinga Atala panas, dia garuk-garuk meski tidak gatal. Bagaimana Irish sesantai itu menceritakan laki-laki lain di hadapan Atala? Bolehkah Atala berkata jujur kalau dia tidak menyukai hal itu? Yang dia inginkan adalah pembicaraan tentang dirinya dan Irish saja, bukan laki-laki lain yang memiliki nama sangat aneh—menurut Atala.

“Aku juga bisa ngelakuin hal itu, Rish.”

“Faktanya, kamu datang setelah aku hampir ada di angka seratus. Iya, ‘kan?”

Atala menoleh, ternyata Irish sedang menatapnya. Laki-laki itu kehilangan kata-kata. Dada Atala sakit, seperti ada yang menusuknya dengan benda tajam. Ucapan Irish bagai tamparan untuk Atala, agar laki-laki itu sadar apa peran dan posisinya selama ini untuk gadis yang telah dia sakiti.

“Valentino ada di saat aku berjuang, tapi kamu nggak.”

Baiklah, Atala mendapat pernyataan telak sekali lagi. Benar, dirinya tidak ada di sisi Irish ketika gadis itu memutuskan mengubah penampilannya. Selain mendapat poin buruk karena sudah meninggalkan Irish, poin buruk Atala kini bertambah. Pembelaan apa yang bisa dia lakukan atas fakta bahwa laki-laki lain yang memiliki peran atas perubahan Irish?

“Aku pernah nemenin kamu juga, bahkan pernah ... emmm itulah.”

Pembelaan Atala terhenti, tiba-tiba dia merasa gerah atas bayangan masa lalu yang sempat melintas. Di saat begini, bisa-bisanya kejadian itu yang Atala ingat. Perlahan-lahan tubuhnya bereaksi, membuat Atala agak gelisah. Kepalanya dia garuk-garuk, tengkuknya diusap-usap, sekadar mengalihkan kepalanya yang sangat sialan kembali memutar adegan di motel masa itu.

“Itulah apaan?” Irish bertanya.

Akan sangat lucu jika Atala mengaku apa maksud ucapannya tadi. Bagaimana reaksi Irish? Mungkin gadis itu akan menendang organ vital Atala sambil berteriak, “Mesummm!”

Membayangkan adegan itu, malah membuat Atala tersenyum. Dia tak bisa memberi tahu Irish, tapi rasanya seru juga jika gadis itu tahu. Apa yang akan Irish pikirkan jika Atala menyinggung kenangan itu? Masihkah Irish mengingatnya?
“Hei! Malah senyam-senyum sendiri. Mikir mesum, ya?” tuduh Irish bercanda.

“Iya.”

“Apaan?”

“Iya, aku lagi mikir mesum.”

Sejenak Irish terdiam. Dipeganginya kedua pipi sambil menatap Atala yang fokus menatap lurus. Gadis itu menggeleng, lalu menghela napas singkat dan berat.

“Dasar! Setidaknya jaga pikiranlah sedikit saat sama perempuan. Nggak etis banget kamu sebelahan sama aku, tapi  mikir mesum tentang cewek lain.”

Urung langsung menjawab, Atala membiarkan kalimat Irish berlalu. Keduanya tak lagi bicara, hingga mobil yang Atala kemudikan berhenti di seberang mini market 24 jam. Irish terkesiap Atala melepas seat belt, memutar tubuh, dan condong ke arahnya. Gerakan laki-laki itu sangat cepat, tidak membiarkan Irish untuk memahami situasi apa yang tengah berlangsung.

“Terlalu dekat, At.”

Irish mengalihkan pandangan ke berbagai arah, asal tidak ke bibir merah Atala. Pikiran gadis itu seketika tertuju pada momen intim mereka beberapa hari lalu.

“Siapa bilang aku mikir mesum tentang cewek lain?”

“Terus?”

“Tadi aku mikirin tentang kita saat hujan dan di Jedaa.”

Jawaban jujur Atala membuat Irish salah tingkah. Didorongnya tubuh Atala tanpa mau menatap mata itu. Tanpa perlawanan Atala kembali duduk dengan benar. Kedua sudut bibirnya tertarik melihat Irish menekan-nekan kuku.

“Kamu nggak mikirin itu?” Atala bertanya.
“Buat apa? Nggak penting banget, sih.”

“Kamu dapat keperjakaan aku, Irish. Itu penting.”

Atala menatapnya dengan senyum jahil. Irish lagi-lagi memegangi pipinya, yang Atala perkirakan karena wajah itu kepanasan mendapat godaan. Bukan hanya sekarang, dari dulu pun Atala telah menyadari bahwa Irish menggemaskan dalam mode apa pun. Seperti sekarang, hanya melihat gadis itu membuat Atala nyaris tidak tahan. Inginnya dia dekap, tapi ragu.

“Duh! Jangan bahas itulah! Lagian kamu juga dapat perawan aku! Impas udah impas!”

Tangan kanan Irish mengibas-ngibas. Reaksinya membuat Atala menahan tawa.

“Sama-sama pengalaman pertama dan nggak terlupakan. Iya, nggak?”

Kali ini senyum Atala tulus, sayang Irish tidak melihatnya. Pandangan gadis itu masih ke luar kaca. Tubuhnya berputar sedikit ketika tanpa permisi Atala meraih jemari Irish, lalu membawa ke dadanya.

“Aku nggak paham sama perasaan aku, Rish. Coba kamu tolong bantu aku. Awalnya semua nggak gini. Makin hari malah makin aneh jadinya.”

“Gimana?” tanya Irish gugup digenggam erat oleh Atala.

“Awalnya aku biasa aja kamu punya pacar. Sekarang bayangin pacar kamu, aku bawaannya pengen nonjok. Nggak rela kamu sama orang lain.”

“Terus kamu boleh? Kamu sama perempuan lain, sampai punya anak, dan aku nggak boleh bergerak maju kayak kamu? Kamu—”

Ssttt!

Atala mendesis. Telunjuknya menempel di bibir Irish, membungkam gadis itu dengan cepat. Wajahnya mendekat, berjarak sangat rawan dengan wajah Irish. Embusan napas keduanya saling menyentuh kulit. 

“Kamu boleh. Tapi aku pikir setelah ciuman itu aku yang bakal kamu ajak maju.”

“Apa—”

Gadis itu melebarkan mata secara refleks. Kalimatnya tidak selesai, teralihkan oleh bibir kenyal yang kini menyentuh bibirnya. Kecupan itu sangat singkat, tapi mengguncang hebat tubuhnya. Sementara, Atala juga merasakan hal yang sama.

Tentu itu bukan kecupan pertamanya pada seorang gadis, tapi bersama Irish, segalanya seperti baru pertama kali. Hanya kecupan singkat, Atala jadi berdebar tidak keruan. Dadanya bising oleh detak jantung yang memburu.

Mata Atala terpaku pada bibir yang sedang dia sentuh dengan ibu jarinya. Bolehkah dia menikmati manis bibir Irish lagi? Sejak lima hari Atala terus terbayang interaksi panas mereka di sofa. Tadi dia juga menyapa bibir Irish. Lama-lama Atala sepertinya akan menjadi duda mesum sejati.

“Sial, Rish. Bibir kamu menggoda banget.”

Alih-alih mewujudkan bayangan sialan di kepalanya—merapatkan bibir ke bibir Irish, melumat dalam, membelitkan lidah, seraya menekan tengkuk gadis itu—Atala menarik diri. Dibenturkannya  kepala tiga kali ke setir. Dia juga mengucapkan kata kacau terus-terusan.

“Dulu kamu cantik, sekarang tambah cantik. Dulu aku terpesona, sekarang juga.”

“Bohong. Kamu ninggalin aku. Kalau kamu terpesona, kamu nggak akan tega ke aku, At.”

“Rish,” Atala kembali menatap gadis itu, “please. Bakal percuma kalau aku ngasih pembelaan lagi. Intinya udah aku kasih tahu ke kamu. Sekarang aku ada di sini untuk memperbaiki apa yang bisa aku perbaiki. Kalau kamu masih terus mempertanyakan kenapa aku dulu seberengsek itu, maka kamu mungkin nggak akan pernah puas sama jawabanku.”

Bukan lelah, Atala memang merasa percuma jika dia kembali mengatakan alasan dari tindakan kurang ajarnya dulu. Pernyataan-pernyataannya di mata Irish mungkin terlihat sebagai pembelaan, dalih untuk membenarkan dan tidak disalahkan lagi.

“Kamu masih main Madam Rose?” tanya Atala tiba-tiba.

“Nggak. Saat itu aku ada keperluan aja. Udah nggak pakai lagi sekarang.”

“Baguslah. Main aplikasi dating gitu pertahanan diri kamu harus kuat. Bermacam-macam niat orang di dunia maya. Tadinya aku sempat kepikiran kalau kamu nyari pacar di sana. Bukan cuma single aja di sana. Yang udah nikah juga. Ngeri kalau kamu kecantol sama yang udah beristri.”

Irish tampak terkejut.

“Kaget, ya? Padahal data kita udah diverifikasi dengan ketat, ‘kan? Ya itulah, maling lebih pandai dari polisi. Ada aja caranya, misal pakai data keluarga yang single.”

“Kamu lagi ngomongin diri kamu sendiri ya, At?”

“Nggaklah!” Atala sedikit panik. “Status aku di KTP cerai mati. Jadi ...”

Suara Atala memelan, lalu tidak diselesaikan. Ditutupnya mata, mengambil dan mengembuskan napas panjang perlahan-lahan. Dia tidak ingin menyinggung perihal status di depan Irish, tapi mau bagaimana pun, ternyata tidak bisa dihindari terus-terusan.

“Kita sama-sama pernah kehilangan sangat dalam, ya. Dan aku nggak tahu pasti kenapa masih ada di sini sama kamu yang jelas-jelas penyebab aku memiliki suatu hal berharga sebelum kehilangan besar.”

“Irish,” Atala meraih tangan gadis itu, meletakkannya di dada, “aku yakin nggak ada salahnya mencoba saling menyembuhkan, meski bagi kamu aku adalah racun.”

Atala tidak mengerti mengapa jantungnya berdetak cepat. Tak pula paham mengapa tangannya enggan melepaskan Irish. Tidak juga bisa menebak kenapa matanya enggan berpaling dari mata beriris cokelat itu.

Detik yang berlalu dalam kebisuan, Atala gunakan untuk menyalami mata dan wajah Irish. Potongan-potongan kenangan mereka dulu mulai berdatangan. Satu per satu momen ceria itu menggerogoti hati Atala. Tidak ada kepalsuan dalam interaksi mereka. Irish adalah pribadi menyenangkan, tak ayal Atala jadi nyaman dengan gadis itu. Sayangnya, dia terlalu mengikuti jiwa mudanya. Meninggalkan Irish setelah kejadian di motel adalah kesalahan terbesar yang sesalnya mengobrak-abrik kedamaian hati.

“Apa ini nggak terlalu terlambat? Aku nggak mungkin ninggalin Valentino demi kamu, At. ”

“Kemungkinan itu kamu sendiri yang punya kuasa, Rish. Semesta dan takdir mau bilang apa kalau nanti hati kamu goyah dan memutuskan untuk lari ke aku?”

Meski penerangan di mobil minim, Atala sangat yakin barusan Irish tersenyum walau sebentar. Senyum yang tidak Atala pahami apa maksudnya, tapi sangat dia harapkan sebagai tanda baik.

“Ibunya Keisha?”

“Kenapa? Selama satu bulan, sebelum aku datangin kamu ke Jedaa, aku udah memikirkan hal itu. Life must go on, Rish. Aku nggak boleh stuck, demi Keisha dan demi diri aku sendiri. Menemukan pasangan dan menjalani hidup baru bagiku nggak salah."

"Nggak ada jaminan kalau kamu nggak bakal nyakitin aku lagi, At.”

“Coba dulu. Hatiku bebas dikembalikan kalau nggak puas. Garansi nggak berbatas waktu.”

Irish berdecak melihat kedipan satu mata Atala. Wajahnya berpaling ke kaca, lalu diam-diam menutupi senyumnya dengan jari.

“Kenapa sih kamu suka banget sama susu UHT?”

Irish menatap sekotak susu di tangannya, susu yang Atala berikan tadi pagi. Gadis itu takjub setelah sekian lama selera Atala tidak juga berubah. Bahkan sampai menaruh beberapa kotak susu di mobil. Tak heran mengapa yang Atala berikan saat mengajak pacaran adalah susu, karena hanya itu yang dia miliki di mobil.

“Bikin kenyang, Rish. Manis juga, kayak kamu.”

Gombal receh Atala yang begitu mampu memancing senyum Irish untuk keluar.

“Hari ini kamu ... nggak ke Jedaa?”

Suara Atala sempat memelan, melihat mata Irish tertutup. Gadis itu sedang menghirup napas dalam, ditemani pencahayaan alami dari matahari yang perlahan-lahan terbit. Tampaknya Irish masih menikmati udara pantai yang segar, hingga beberapa detik berlalu pertanyaan Atala belum terjawab.

Merasa dadanya berdebar aneh lagi, Atala mengusap-usapnya. Akhir-akhir ini jantungnya memang sering berdetak tidak biasa. Atala jadi berpikir untuk memeriksakan diri. Mungkin dia mengalami gejala suatu penyakit. Sebab yang dia ingat, sebelumnya Atala tak merasa begitu. Jantungnya baik-baik saja selama ini.

“Ke Jedaa sebentar aja.”

Pikiran Atala teralihkan oleh Irish yang kini menatapnya. Rambut gadis itu tertiup angin, beberapa helainya sampai menutupi mata gadis itu. Gemas, Atala ingin membawa rambut itu ke belakang telinga. Kemudian dia teringat bahwa itu adalah adegan yang sangat klise antara perempuan dan laki-laki pada film. Bagaimana jika Irish menganggap Atala tidak kreatif dengan melakukan adegan lain?

Sial.

Karena pemikiran tak berbobotnya, Atala jadi teringat pada berapa banyak adegan klise yang tanpa sadar telah dia lakukan pada Irish. Memegang tangan, mendekatkan wajah, menatap gadis itu dalam diam, dan entah apa lagi. Sudah cukup, Atala menghentikan kerumitan dalam kepalanya.

“Setelah itu mau dinner bareng?”

“Aku ada janji sama Dara dan Valentino mau ke Palmilla.”

“Palmilla beach club yang di Melasti?”

“Iya. Pantai Melasti.”

Atala mengangguk. Satu sudut bibirnya tertarik, lalu lenyap sebelum Irish menyadarinya.

“Kenapa namanya Jedaa? Kenapa nggak pakai satu a?” tanya Atala.

Mereka baru saja meninggalkan pantai, sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Irish.

“Jeda bermakna berhenti, istirahat sebentar. Nah, aku sengaja tambahin a dengan harapan orang-orang berhenti sedikit lebih lama di kedai aku. Meski tahu hanya jadi tempat persinggahan, tapi aku mau orang punya kesan sama Jedaa.”

“Wow! Maknanya bikin aku terkesan.”

Laki-laki itu menoleh, memberi senyum untuk Irish sebelum kembali menatap lurus.

“Aku pernah jadi tempat persinggahan.”

Lagi, Atala menoleh. Sepertinya dia mengerti akan ke arah mana pembicaraan Irish.

“Disinggahi sebentar banget, ditinggalkan, tanpa didatangi lagi, dan aku berpikir sebegitu nggak berkesannya aku sampai nggak diingat.”

“Rish ....”

Atala menatap lemah. Sebenarnya tidak mengejutkan jika Irish masih mengungkit masa lalu. Namun, Atala berharap ada topik lain yang bisa Irish bawa. Karena setiap kali bagian buruk itu dibicarakan, Atala diingatkan bahwa dia adalah salah satu laki-laki terbejat yang ada. Bukan hanya itu, hal yang terpenting adalah sampai detik ini sedikit pun sakit hati Irish belum dia sembuhkan.

“Kalau boleh jujur, Jedaa terinspirasi dari aku dan kamu.”

Entah untuk yang keberapa kali Atala merasa dadanya disayat-sayat. Mustahil jika Irish berbohong tentang inspirasi nama Jedaa. Namun, jika benar, bagaimana gadis itu hidup dalam hari-hari penuh rasa sakit setiap kali mengingat makna di balik Jedaa?

“Sekarang aku datang bukan untuk singgah, tapi menetap selamanya.”

Atala meraih tangan kanan Irish, menggenggam erat sampai mereka tiba di rumah gadis itu. Sisa perjalanan tadi hanya diisi hening. Atala tak tahu apa yang Irish pikirkan, bagaimana perasaan gadis itu, atau seberapa besar keinginan Irish jika diberi kesempatan untuk melenyapkan Atala. Yang Atala yakini, dia hanya perlu berusaha, sampai kedua tangannya terangkat pasrah suatu hari nanti.

Sore harinya, Atala mengemudi dengan semangat ke suatu tempat. Penuh percaya diri dia berjalan memasuki area beach club. Seorang perempuan menyapa ramah. Atala dengan segera berkata bahwa dia tak ingin memesan tempat baru, karena teman-temannya sudah tiba lebih dulu.

Setelah pegawai perempuan itu pergi, Atala menatap sekitar, berusaha menemukan sosok yang dia kenali. Senyumnya mengembang dengan mata penuh binar di balik kacamata hitam. Gadis yang berdiri beberapa meter darinya sungguh menawan dalam balutan bikini berwarna olive. Kulit putihnya kontras dengan warna itu, tapi justru membuatnya kian menarik perhatian.

Dua langkah telah Atala ambil, berniat menghampiri Irish di salah satu bed pantai. Senyumnya memudar dengan cepat, melihat Valentino berdiri di dekat Irish. Dua orang itu tersenyum. Dada Atala panas ketika bahu Irish disentuh berkali-kali, seperti tindakan membersihkan sesuatu dari sana.

Pasir? Persetan!

Terburu-buru Atala melangkah, menarik pinggang Irish tanpa permisi. Irish memekik, tubuhnya membentur dada Atala. Pekikannya lenyap dalam sekejap ketika Atala melumat bibir itu dalam beberapa detik.

“Apa-apaan?!” protes Irish sembari memegangi bibirnya.

Sorry, sengaja.”

Gadis itu memukul dada Atala kesal. Dan senyuman Atala tersembunyi dengan baik ketika dengan pasti menangkap eskpresi kesal Valentino.

To be continued

Mantan emang nggak ada akhlak. Tapi bibirnya menggoda, wajahnya cakep, gimana dong?😭

Yang ini niatnya jaga jarak. Tapi dipepet terus sama mantan, gimana nggak oleng coba?😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro