LBS-22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketidakpercayaanmu menghakimiku.

Seolah-olah kamu lupa aku adalah definisi patah yang terbuai semu.

Dan kamu, sebab aku nyaris menjadi debu.

🔥

Kalau Dara tidak menahan lengan Valentino, sudah dipastikan satu atau dua bogem melayang ke wajah Atala. Terlalu ramai, Dara membujuk Valentino agar meredam kekesalannya. Valentino tahu tidak punya hak untuk marah atau cemburu atas ketidaksopanan Atala. Sialnya, dia tetap terbakar ketika mengulang adegan itu di kepalanya.

Urung membuat wajah Atala lebam, Valentino melewati Irish, lalu menarik kerah kemeja Atala. Di balik kacamata hitam Atala, Valentino tahu ada binar senang karena telah berhasil memancing kemarahannya. Bibir yang tadi tertarik walau sebentar, Valentino yakinkan itu adalah sebuah ejekan.

“Lain kali kamu perlu belajar etika. Mencium mantan di depan pacarnya sendiri bahkan tanpa ijin itu sangat memalukan,  Dude.”

Irish menegang melihat Atala mencengkeram tangan Valentino. Sebelum terjadi keributan lebih besar, Irish menengahi keduanya. Ditariknya Valentino untuk menjauh dari Atala. Laki-laki itu hendak menyusul Irish dan Valentino yang menuju kolam renang, tapi dicegah oleh Dara.

“Duduk sini. Kita ngobrol,” ajak Dara sungguh-sungguh.

Tidak punya pilihan lain karena sadar telah berbuat salah barusan, Atala menyanggupi ajakan Dara. Mereka berdua duduk di bed dengan pandangan terarah pada Irish dan Valentino yang mengobrol di dalam kolam. Sial, Atala mengumpat dalam hati. Dadanya kian panas entah sebab apa. Matanya enggan berpaling dari wajah ceria Irish. Belum lagi bayangan tubuh indah gadis itu dalam balutan bikini yang terus-menerus mengacaukan ketenangan hati Atala.

“Kalau mau mukul, pukul aja.”

Dara meninju lengan Atala dua kali.

“DP. Sisanya aku kasih nanti.”

Atala tersenyum.

“Irish pasti udah cerita semuanya.”

“Ya. Itu yang bikin aku pengen nonjok kamu berkali-kali. Kamu waras atau nggak, sih?”

“Maaf. Aku dulu bodoh banget.”

“Maafmu nggak bisa memperbaiki masa lalu Irish. Kalau kali ini kamu datang untuk jadi pengacau lagi, tolong pergi. Tolong ... jangan bikin Irish nangis lagi.”

M

engalihkan pandangannya dari Irish, Atala memperhatikan mata Dara yang basah. Laki-laki itu menarik napas panjang. Seorang gadis barbar seperti Dara mampu mengeluarkan air mata karena takut sahabatnya tersakiti lagi. Atala bisa merasakan bagaimana tulusnya gadis itu.

“Aku masih nggak tahu banyak tentang Irish saat itu. Tapi aku yakin, kamu berperan sangat baik buat dia. Thanks, kamu menggantikan peranku, Dara.”
Dara mengusap matanya, lalu melayangkan satu pukulan lagi di lengan Atala.

“Jujur, kamu belum pantas untuk bersanding sama Irish. Kalau kamu serius, tunjukkan.”

“Apa ini artinya kamu ngasih lampu hijau meski Irish udah punya calon suami?”

Dara mengulum bibirnya, lupa pada sandiwara yang telah Irish mainkan selama ini. Untung saja dia tak keceplosan lebih banyak. Jadi Dara masih bisa mengelak dan mengalihkan pembicaraan kali ini. Dia hanya memberi tatapan malas, lalu membiarkan pertanyaan Atala tak pernah mendapat jawaban pasti.

“Aku mau ke makam Naomi, tapi Irish nggak ngasih tahu tempatnya.”

“Bahkan kalau Irish nusuk jantung kamu, dia juga punya hak untuk itu.”

“Aku tahu.”

Bangkit dari duduk, Dara memperbaiki posisi kacamata hitam yang sejak tadi bertengger di kepalanya. Ditepuknya lengan Atala seraya memusatkan pandangan pada laki-laki itu. Atala  mendongak, balas menatap Dara yang berdiri.

“Irish salah satu kesayanganku. Jangan pernah berpikir buat bikin dia hancur lagi. Kamu nggak akan bisa ngebayangin kalau Keisha juga terluka, ‘kan?”

Tiga kalimat itu serupa ancaman yang berhasil meremangkan tengkuk Atala. Tatapan tajam dan seringai Dara sudah cukup menjadi tanda bahwa perkataannya sungguh-sungguh.

“Keisha juga kesayanganku, Dara. Kamu nggak akan bisa membayangkan murkanya seorang ayah karena putrinya terluka.”

Well, kita sama-sama tahu poinnya.”

Dara mengenakan kacamatanya, lalu meninggalkan Atala untuk bergabung dengan Irish dan Valentino di kolam renang. Laki-laki itu menumpukan sikunya pada paha, tubuhnya merunduk karena jari-jarinya menopang dagu.

Lekat, dia memandangi Irish yang tampak bahagia. Tawa dan senyuman gadis itu terlihat tulus. Apakah karena Valentino ada di sisinya? Akankah senyum dan tawa itu masih ada jika Atala yang menjadi pasangan Irish? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang mendadak hadir di kepala Atala.

Teringat lagi percakapannya dengan Irish, Atala memang tidak memainkan peran baik selama ini. Valentino yang menemani gadis itu. Valentino yang menyaksikan bagaimana seorang Irish Belen mengeluarkan pesona menyilaukan. Bukan Atala, tapi Valentino yang siaga untuk Irish beberapa tahun ke belakang.

Atala tersenyum masam melihat Irish sebahagia itu. Kepercayaan diri yang selalu Atala miliki tiba-tiba berkurang. Dia berniat mencuri perhatian Irish dari laki-laki dengan nilai nyaris seratus. Jika membandingkan fisik, Atala yakin dirinya tidak akan kalah. Akan tetapi, waktu. Atala tak punya waktu untuk Irish seperti yang Valentino beri.

Belum lagi kalimat Valentino yang penuh intimidasi. Atala sudah siap jika ada acara baku hantam setelah dengan lancang mencium seorang gadis di hadapan kekasihnya. Sayang, imajinasi Atala buyar. Serangan Valentino tadi jauh lebih berdampak daripada pukulan di wajah. Pengendalian hebat laki-laki itu justru sangat mengganggu Atala.

Menghentikan apa pun yang sedang dia pikirkan, Atala mulai membuka kancing kemejanya satu per satu. Saat itulah Irish ternyata sedang berjalan ke arahnya dengan tubuh basah. Gerakan tangan Atala sempat terhenti, teralihkan oleh pikiran sialan sebab keindahan pemandangan di hadapannya. Senja, pantai, dan keramaian di beach club itu bahkan tidak dapat disandingkan oleh keseksian Irish.

“Kamu nggak seharusnya di sini, At.”

Atala berdiri, meneruskan membuka kemejanya. Tubuh bagian depannya tidak tertutup apa pun kini, memperlihatkan perutnya yang kotak-kotak seperti roti sobek. Seketika Irish memalingkan wajah, yang Atala prediksi sebagai tanda gadis itu teringat sesuatu.

“Dulu onepack, sekarang sixpack,” beri tahu Atala.

Unimportant information.”

Kedu sudut bibir Atala tertarik. Menggoda Irish ternyata sangat menyenangkan.

“Siapa tahu kamu berminat megang terus terkesan. Cewek biasanya suka yang sixpack gini, ‘kan?”

Irish menatap Atala sengit.

“Kalau mau pamer perut kotak-kotak kamu, gih sana. Banyak cewek-cewek di kolam. Dan sorry, aku nggak termasuk yang bakal terkesan sama perut kamu.”

Gadis itu ... Atala sama sekali dibuat tak mengerti. Terkadang Irish hangat, terkadang terasa membangun dinding tinggi. Mungkin karena ada Valentino dan tentunya kejadian beberapa waktu lalu. Tidak ingin membuat suasana makin panas seperti hati dan kepalanya, Atala mengangkat kedua tangan.

Sorry,” ucapnya pelan, lalu menurunkan tangan.

“Kamu benar-benar stalker, ya. Lama-lama ngeri aku sama kamu. Aku di mana, kamu pasti ada.”

Bibir Irish sedikit mengerucut, kian memanaskan dada Atala yang sejak tadi berdebar hebat. Ingin dia menarik pinggang itu, lalu membawa Irish ke dalam dekapannya, menutupi tubuh indah itu agar tidak dikonsumsi publik.

Selama ini Atala terbiasa pada suasana Bali yang mayoritas orang-orangnya ketika berada di pantai atau semacam beach club akan berpakaian terbuka. Sialnya, dia tak tahu mengapa melihat Irish sejak tadi hasrat lelakinya jadi tergoda. Mata laki-laki itu sangat terlatih pada pemandangan gadis seksi dan ternyata Irish mematahkan fakta tersebut. Tampaknya Atala membutuhkan air untuk menenangkan pikiran tak pantasnya itu.

“Aku lagi usaha, Rish.”

“Tapi nggak gini, At. Kamu bukan orang tanpa pendidikan, ‘kan? Setidaknya tahu etika saat di publik gini. Tindakan kamu tadi itu memalukan banget. Mungkin orang-orang nggak peduli, di sini ciuman depan umum juga udah nggak tabu lagi. Sedikitnya, tolonglah pikirin perasaanku. Kamu selalu egois, dari dulu. Kamu bergerak sesuai kemauan kamu, nggak peduli orang di sekitarmu bakal nyaman atau nggak.”

Atala tersentak, tidak sangka Irish akan bicara serius. Laki-laki itu berniat meraih tangan Irish, lalu mengajak duduk bersama. Namun, belum apa-apa Irish sudah mundur satu langkah.

“Kamu pergi semaumu, datang juga semaumu. Dulu dan sekarang apa pernah kamu mikirin apa yang aku mau? Nggak, At. Your ego kills me slowly. Thanks.”

“Tunggu, tunggu.” Atala sedikit panik. Sorot mata Irish sangat tidak bersahabat, pun dengan ekspresi wajah itu. “Aku kira kita udah semakin baik, Rish.”

“Awalnya begitu. Tapi sekarang aku berpikir ulang. Kamu masih sama kayak dulu, nggak berubah. Kamu masih mementingkan mau kamu sendiri. Jadi stalker, bertindak kurang ajar, nggak punya sopan santun. Coba tanya hati kamu, kalau ada cowok yang kayak gitu di sekitar Keisha, kira-kira Keisha nyaman, nggak?”

“Kenapa Keisha yang dibawa-bawa? Dia nggak ada hubungannya.”

“Ada. Dia bisa jadi perandaian yang cocok dengan posisiku sekarang, karena dia kesayangan kamu. Apa kamu rela nanti Keisha dapat suami yang tingkahnya kayak kamu? Coba pikir.”

Belum sempat Atala membalas, gadis itu sudah berlari dan kembali masuk ke kolam. Tiga orang di sana terlibat obrolan, mengabaikan Atala yang kepalanya berdenyut. Diremasnya kemeja yang tadi dia sampirkan di pundak. Tanpa butuh banyak waktu untuk menimbang tindakan, Atala melempar kemeja itu ke bed di belakangnya. Kakinya mengayun pasti, bergerak semakin dekat dengan kolam renang.

Tanpa sengaja Irish yang asyik mengobrol dengan Dara menangkap sosok itu. Matanya melebar, mendapati Atala masuk ke kolam, menarik tangan Irish, dan mendekati telinga gadis itu. Lalu Atala berbisik, “Ya, aku egois. Sekarang kita lihat apa yang kamu bisa lakukan buat mengontrol keegoisanku.”

🔥

Atala kekacauan sekaligus keindahan. Irish merutuk mengapa pernah jatuh hati pada laki-laki itu. Bukan hanya sekadar menaruh rasa, kini Irish juga menerima Atala kembali. Keputusan itu hendak dia sesali, tapi urung kala teringat segalanya tidak akan berubah.

Pilihan menjauh dari Atala sebenarnya sangat tepat. Sayangnya, Irish cukup terlambat untuk mengambil sikap itu sekarang. Dia yang lemah, dia yang tak tahan pada usaha Atala untuk mendekat. Namun, setelah kejadian kemarin Irish sadar bahwa kemauannya masih tidak penting bagi Atala. Irish merasa cara Atala salah. Dan kesalahan lainnya, Irish sempat menikmati kegilaan mantannya.

“Pusing, ya?”

Irish menghela napas panjang.

“Iya aku pusing, Dara. Atala tuh nyebelin banget. Dari semalam aku nggak terima telpon dia. Malas banget.”

Ya, Dara juga setuju kalau Atala sangat menyebalkan. Namun, dia tak bisa mencegah senyumnya. Laki-laki itu nekat, bertindak semaunya, seperti orang yang kehilangan kewarasan. Masih tidak habis pikir oleh Dara mengapa mantan pacar sahabatnya itu mau susah payah berjuang mendapatkan perhatian Irish.

“Valentino ternyata nggak berguna. Atala nggak terpengaruh. Sia-sia kamu ngakuin Valentino sebagai pacar.”

Irish mengangguk setuju.

“Sama Valentino gimana? Kamu udah suruh dia berhenti buat pura-pura jadi pacar?”

“Belum.” Dara mendelik, segera Irish memberi penjelasan. “Belum ada waktu yang pas buat ngobrol masalah itu. Aku maunya ngomong langsung, bukan lewat telpon atau chat. Kemarin tahu sendirilah keadaan jadi nggak kondusif gara-gara Atala. Karena kesel banget, aku sampai kelupaan mau ngomong sama Valentino.
Dara memilih mengangguk-angguk, enggan berdebat lagi dengan Irish.

“Ntar malam pulang dari yayasan aku coba ajak ketemuan Valentino ya.”

“Iya,” sahut Dara singkat.

Gadis berambut pendek itu sedang fokus mengetik sesuatu di ponsel. Atas rasa penasaran, Irish menggeser duduk, lalu  melongokkan kepala ke arah ponsel Dara. Tanpa sadar dia memekik, mengundang Dara menutup telinganya secara refleks.
“Apa, sih, Rish? Kaget aku!”

“Serius, Dara? Kamu main Madam Rose?”

Dalam sekali lihat Irish ingat nuansa putih dan merah muda di ruang obrolan itu. Dan secara mengejutkan, sahabatnya ikut-ikutan bermain aplikasi tersebut.

“Katanya suruh cari pacar. Nih, aku lagi usaha, Rish.”

“Tapi kenapa Madam Rose?”

Trusted gitu membernya, Rish. Yah, walau ada yang nakal sih. Cuma teman-temanku di hotel banyak yang pakai dan dapat pasangan yang baik.”

“Dan kamu udah dapat yang cocok?”

“Hampir.”

“Hampir?”

“Nanti kami janjian di yayasan yang mau kita kunjungi.”

“Ahhhhh! Daraaaaa! Moga sukses kali ini yaaaa! Kamu nggak ada cerita, tapi aku tetap seneng!”

Irish memeluk Dara erat, menggoyang-goyangkan tubuh dengan senyum lebar. Dara yang sebenarnya merasa sesak tak ingin menghentikan ekspresi senang sahabatnya itu. Ya, setidaknya Dara memang mencoba mencari pasangan di Madam Rose dan laki-laki yang beberapa jam lagi akan ditemui menurut Dara cukup mengasyikkan.

Sudah satu bulan mereka chatting. Sependek pengetahuan Dara, laki-laki itu bekerja freelance di bidang desain. Jam kerja fleksibel, bisa bekerja dari mana saja, dan dari poin itu Dara tidak keberatan. Cukup yakin atas satu bulan perkenalan, Dara menyanggupi ajakan akun bernama Fire itu.

“Sorry nggak cerita, ya. Aku mau kasih  surprise sebenarnya. Nggak mau juga sesumbar duluan, ntar gagal meet up gimana?”

“Nggak apa-apa! Aku seneng!”

Irish melepaskan pelukan, mencubit pipi Dara gemas dan mendorong sahabatnya agar segera mandi dan berpakaian yang rapi. Dara sengaja menuruti kemauan Irish tanpa sanggahan. Lagi pula, senyum di wajah sahabatnya itu adalah hal yang selalu Dara inginkan.

Nyaris dua jam berlalu. Irish sibuk memilih pakaian untuk Dara, membantu gadis itu merias wajah, dan menata rambut. Dara tipe yang memakai day cream dan liptint saja sudah cukup. Baginya full make-up itu agak ribet, jadi Dara sangat jarang mengaplikasikan pada wajahnya. Kali ini Irish memaksa agar Dara mau dipakaikan eyeshadow, eyeliner, maskara, dan blush-on.

“Cantik banget kan sesekali dandan lengkap gini!”

Harus Dara akui, wajahnya memang lebih segar. Irish memakaikan ini itu, tapi sama sekali tidak terlihat berlebihan. Dara sampai senyum-senyum menatap dirinya di cermin, begitu juga dengan Irish.

“Aku udah lama banget nggak janjian sama cowok, penampilan aku udah oke belum, sih?”

“Oke banget, Sayang. Cantik banget sahabatku!”

Irish menuntun Dara berdiri, menyuruh gadis itu berputar-putar di depan kaca rias. T shirt putih dipadu floral dress bertali kecil yang Dara pakai sangat cocok. Aura feminin gadis itu menguar, sangat manis dipandang. Irish pun tak kalah menarik. Sore ini dia memilih simple dress hitam melewati lutut, lalu dipadukan dengan outer bermotif floral. Outfit dua sahabat itu serasi, keduanya sama-sama memukau.

“Oh, ya. Nasi kotak udah dilebihin, Dara? Kita nggak tahu berapa pastinya pengurus sama anak-anak di sana, ‘kan?”

“Katanya ada dua belas anak asuh, pengurus ada empat. Nasi kotak aku pesan dua puluh lima. Cukup sih harusnya.”

“Kue kering yang kita pesan juga udah kamu ambil kan tadi?”

“Udah di mobil aku semua. Beres, Rish.”

Good job, Baby.”

Sudah memastikan tidak ada yang kurang dan ketinggalan, mereka meninggalkan rumah Irish menuju sebuah yayasan. Setiap bulan Irish dan Dara akan berkunjung ke yayasan-yayasan sosial, memberi santunan, dan membawa makanan untuk anak-anak yang tinggal di sana.

Kunjungan pada yayasan yang sedang mereka tuju saat ini adalah kali pertama. Dara mendapatkan informasi kalau anak-anak yang ada di sana tidak memiliki sanak keluarga satu pun. Kabar burungnya, founder yayasan yang baru berdiri selama empat tahun itu adalah laki-laki tampan dengan karir cemerlang di bidang fashion kalangan muda.

Mobil Dara baru saja memasuki sebuah bangunan dengan plang bertuliskan Rumah Hangat. Irish tak sabar bertemu anak-anak hebat di dalam sana. Keduanya segera turun dari mobil dan disambut seorang wanita kisaran lima puluh tahun.

“Selamat sore, Mbak, Mbak,” sapanya ramah.

“Sore, Bu.”

Irish dan Dara membalas bersamaan, lalu bersalaman, memperkenalkan diri. Tidak perlu bertanya, wanita itu tampak paham ketika Irish membuka bagasi mobil. Dua orang anak laki-laki yang tingginya setara Irish muncul untuk membantu membawa makanan.

“Mari Mbak, silakan masuk. Sepertinya baru pertama ke sini, ya? Saya belum familier dengan wajah Mbak berdua.”

“Ya, Bu. Kami baru pertama kali. Apa kabar anak-anak, Bu?” Dara yang menjawab.
Mereka bertiga sedang berjalan beriringan ke dalam rumah.

“Sehat semua. Mereka pasti senang ada yang datang berkunjung.”

“Yang tadi itu anak—”

“Aunty Bel!”

Suara Irish terhenti karena teriakan ceria seorang gadis kecil yang kini sedang berlari menuju Irish. Gadis itu terpaku, urung melangkah lagi. Tatapannya lekat pada sosok mungil berkuncir dua yang baru melewati ambang pintu ruang tamu.

Aunty! Kei kangen Aunty!”

Seharusnya Irish tidak tersenyum. Seharusnya Irish tidak mengulurkan tangan untuk menyambut gadis kecil itu. Sebagai mantan kekasih dari ayah anak tersebut, Irish semestinya menutup celah hatinya rapat-rapat. Namun, dia melakukannya, berjongkok, menanti Keisha dengan debaran  gila. Dan sosok itu kini ada di pelukan Irish, tangan mungilnya melingkar di leher itu. Hati dan mata Irish memanas. Air matanya menetes tanpa permisi.

“Rish, dia siapa?” Dara kebingungan.

“Ah, Mbak Dara. Perkenalkan, dia Keisha, putri Pak Atala Elard selaku founder Rumah Hangat.”

Dara membelalak tak percaya, begitu juga dengan Irish yang tidak mampu berkata-kata. Gadis itu menghapus air matanya, lalu mengangkat Keisha yang berceloteh sangat rindu pada Irish. Irish mencium pipi Keisha, berusaha agar air matanya tidak jatuh lagi.

Miss you too, Keisha.”

“Wah, Mbak Irish kenal Keisha, ya. Atau Mbak Irish juga kenal Pak Atala?” Bu Sri bertanya.

Ya, dia mantan saya.

“Kebetulan kami teman satu sekolah dulu, Bu.”

Bu Sri ber-oh panjang.

“Aunty, masuk yuk! Yuk! Temenin Kei main!”

“Rish ....”

Irish menoleh, menyunggingkan senyum pada Dara.

“Aku oke, Dara.”

Segan berdebat, Dara memilih diam. Mereka duduk di ruang tamu yang cukup lebar. Keisha yang ada di pangkuan Irish terus mengajak gadis itu untuk bermain di bagian belakang ruang tamu yang terdapat kamar-kamar anak asuh Rumah Hangat. Setelah menengok sesaat, Irish menyimpulkan jika bangunan depan digunakan sebagai ruang kerja dan penerimaan tamu. Di bagian belakang untuk hunian.

“Sebentar ya, Kei. Nanti kita main. Eh, Aunty sama Aunty Dara bawa banyak kue. Keisha mau nggak?”

“Mau!”

Irish menatap sahabatnya dan berbisik, “Please, ambilin setoples.”

“Nggak bapaknya, nggak anaknya, kenapa nempelin kamu terus, sih?”

Meski bersungut-sungut, Dara tetap mengambilkan setoples kue kacang yang tadi berada di sudut ruang, berjejer bersama makanan lainnya di meja panjang itu. Dia juga membuka tutupnya langsung tanpa Irish perintah.

Thank you, Aunty Dara!”

Nyaring dan ceria suara Keisha mau tak mau melunturkan sedikit kekesalan Dara. Dia hanya tersenyum kaku setelah menyerahkan toples kue pada Irish. Bu Sri masih memeriksa apakah anak-anak sudah selesai mandi dan menyuruh mereka bersiap-siap atas kunjungan Irish, juga Dara. Jadi, di ruangan itu hanya ada mereka bertiga sekarang.

Sedikit canggung, tapi Irish tetap menuruti kata hatinya untuk menyuapi Keisha. Gadis kecil itu tampak ragu membuka mulutnya. Irish akan bertanya apa Keisha tidak suka kue kacang. Namun, Keisha dengan segera menerima suapan Irish.

Kata-kata Dara lenyap, hanya bisa menyaksikan adegan itu seraya menahan diri agar tidak marah-marah. Dara bertanya-tanya, sedekat apa Irish dan Keisha hingga gadis kecil itu tampak sangat ceria disuapi Irish.

“Kei suka kue kacang ya?”

Gadis kecil itu mengangguk pelan. Pipinya mengembung karena penuh oleh kue. Irish gemas melihatnya, ingin memberi kecupan bertubi-tubi.

“Kei kenyang,” katanya seraya menggaruk-garuk leher.

Irish pikir itu hanya karena digigit nyamuk, tapi lama kelamaan garukan Keisha makin keras dan di mana-mana. Irish mulai panik, diperiksanya tubuh gadis itu lalu memekik karena sekujur tubuh Keisha merah-merah. Dara yang sibuk dengan ponsel seketika teralihkan.

“Keisha badan kamu merah semua!” kata Irish panik.

“Gatal, Aunty.”

Keisha menahan tangis, Irish bertambah panik, dipeluknya gadis kecil itu, berusaha menenangkan.

“Aku panggil Bu Sri. Mungkin di sini juga ada obat gatal. Tenang dulu tenang, ya.”
Irish menyetujui ucapan Dara. Matanya lalu memejam, tangannya tak berhenti mengusap punggung Keisha. Dalam hati dia berdoa agar tidak ada hal yang lebih buruk dari ini.

“Tadi Kei nggak gatal, ‘kan? Kenapa tiba-tiba? Gatal banget ya? Sabar ya.”

“Keisha?!”

Segera Irish menoleh. Atala berdiri di ambang pintu, keningnya berkerut. Dia melangkah cepat, merebut Keisha dari dekapan Irish. Matanya melebar mendapati tubuh sang anak merah-merah. Keisha tak henti menggaruk leher, wajah, tangan, dan semua yang bisa dia jangkau.

“Gatal, Daddy,” keluh Keisha.

Atala memeluk anaknya erat, mengecup kepala gadis kecil itu dengan bibir bergetar karena ketakutan sesuatu buruk terjadi pada anaknya.

“At, aku nggak tahu Keisha kenapa.”

Atala menatap Irish, lalu menatap toples kue kacang di sisi gadis itu.

“Kamu sengaja, Rish? Aku udah bilang Keisha nggak ada hubungannya! Sial!”
Laki-laki itu tegang. Dia akan berlari membawa Keisha ke mobil dan mencari rumah sakit terdekat.

“Maksud kamu apa?”

Kening Irish mengerut. Dia berdiri, mencekal lengan Atala.

“Keisha alergi kacang! Kamu sengaja kasih dia kue kacang, hah?! Kalau kamu mau balas dendam, cukup ke aku! Jangan Keisha, Rish! Kamu benci sama caraku deketin kamu, kamu lampiaskan ke aku harusnya! Bukan Keisha, Rish, sasaran kamu! Aku! Aku!”

Kepala Irish berdenyut. Dadanya serasa disayat-sayat. Ditatapnya gadis kecil yang kini mulai menangis. Apa Atala bilang? Irish sengaja? Bahkan untuk mengalihkan pandangan dari Keisha, Irish tak mampu. Bagaimana Atala bisa menuduhnya dengan begitu keji?

“Jadi gitu aku di mata kamu, At? Di mata kamu aku orang sekejam itu? Yang tega membuat celaka anak orang?”

Air mata Irish jatuh. Lagi-lagi hari ini diisi kebetulan. Namun, mengapa hatinya secara kebetulan juga harus terluka?
Dari belakang seseorang menarik lengan Atala. Dua tamparan berturut-turut mendarat di wajahnya. Laki-laki itu mengumpat pada orang yang telah berani bertindak kasar di hadapan putrinya. Bu Sri menutup mulut menyaksikan kejadian tidak terduga.

“Sekali berengsek emang berengsek! Mending kamu cepat bawa anak kamu ke rumah sakit, sebelum dia mati kayak anaknya Irish!”

Napas Dara tersengal-sengal, sangat sadar ucapannya kasar, tetapi tidak bisa menghentikan lidahnya. Dia marah, dia sakit hati mendengar tuduhan Atala pada Irish. Air matanya sampai tak bisa keluar. Hatinya menganga melihat Irish yang terduduk lemas dengan air mata mengalir deras. Dan saat itulah Atala sadar sekali lagi telah melakukan kesalahan besar hanya karena terlalu panik.

To be continued

Hei, kamu. Pernah nggak saat emosi atau panik, kamu ngeluarin kalimat yang nggak sepantasnya? Yang nggak bisa kamu kendalikan karena fokus pada perasaan sendiri. Dan pada akhirnya melukai orang lain.

Semoga makin hari kita makin dewasa, bisa mengendalikan diri supaya orang-orang di sekitar kita nggak terluka, walau itu ketidaksengajaan.

Btw, kangen nggak sama Atala? Kangen nggak? Kangen nggak?

Khilaf katanya, Bund🙃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro