LBS-23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berkali-kali hatimu kugores.

Berulang-ulang air matamu kubuat menetes.

Bisakah aku mencairkan tatapmu yang bagaikan es?

🔥

Dalam kondisi panik, sering kali seseorang lepas kendali. Yang ada di kepalanya hanyalah hal-hal buruk tanpa sempat difilter. Karena itu pula, masalah lain bisa timbul.

Atala mengepalkan kedua tangannya. Bayangan Irish yang menangis menusuk-nusuk dada. Laki-laki itu mengakui bahwa dia sangat bodoh. Bisa-bisanya dia menuduh Irish sengaja mencelakai Keisha. Parahnya, Atala tak mempertimbangkan sedikit pun sebelum menyerang Irish dengan kalimat. Irish adalah seorang ibu yang kehilangan bayinya. Mana tega perempuan itu melukai anak orang lain?

Kepala Atala berdenyut keras. Dipijat-pijatnya pangkal hidung seraya menatap Keisha yang tertidur setelah efek obat mulai terasa. Sekali lagi Atala menyalahkan kebodohannya. Keisha alergi kacang dan tentu saja Irish tidak tahu. Kepercayaan Irish pasti telah runtuh. Hatinya lagi-lagi terluka.

Apa yang telah Atala lakukan? Menghancurkan sesuatu yang bahkan belum terselesaikan? Apa itu artinya Atala harus mengulang segalanya lagi dari awal? Bagaimana dia akan menghadapi perempuan itu nanti?

“At.”

Desi memasuki ruang rawat Keisha dan memanggil sang putra. Atala menoleh, menatap lelah pada ibunya. Desi mengusap kepala Atala, mengatakan bahwa segalanya masih dalam kendali. Wanita itu menghela napas lega melihat sang cucu bisa tertidur. Merah-merah pada kulitnya juga mulai mereda.

“Ma, Atala terlalu panik lihat Keisha gatal-gatal. Atala ingat waktu Keisha umur setahun dia sampai muntah-muntah parah. Atala bodoh banget, Ma.”

“Wajar kamu panik, At.”

“Tapi karena itu Atala punya masalah besar, Ma.”

Desi berhenti mengusap kepala Atala. Kedua alisnya nyaris bersatu, berusaha mencerna ucapan tadi. Keisha sudah dalam kondisi aman, lalu kenapa Atala mengatakan ada masalah besar?

“Mantan Atala, perempuan yang pernah mengandung anak Atala, Atala nuduh dia, Ma.”

Tersentak, Desi mundur secara refleks. Wajahnya diliputi kebingungan.

“Gimana bisa? Ada apa sebenarnya ini, At?”

Laki-laki yang duduk di kursi itu menjambak rambutnya. Dia mendesis sebagai ungkapan kecemasan.

“Atala bodoh banget, Ma. Tadi Atala ada urusan sama David, jadi Keisha Atala tinggalin di Rumah Hangat. Pas Atala balik, Keisha ada di pangkuan mantan Atala. Paniklah, Ma, lihat Keisha gatal-gatal. Terus Atala nuduh dia sengaja ngasih Keisha kue kacang karena dendam sama Atala.”

“Ya ampun! Mama punya anak kok bodohnya kayak gini, sih?!”

Tas tangan Desi menyapa lengan Atala. Laki-laki itu mengaduh, sungguh merasa sakit. Desi berdecak kesal, lalu duduk di sofa seraya memandang sang putra yang terlihat linglung.

“Intinya, kamu nuduh tanpa bukti, ‘kan? Kamu nggak mikir dulu kalau mantan kamu pernah kehilangan bayi?”

“Panik, Ma. Atala panik.”

“Ha! Alasan! Emang kamu tuh ganteng-ganteng tapi nguras kesabaran, At.”

“Dia pasti sekarang makin benci Atala, Ma.”

“Pantas emang. Kalau Mama yang jadi dia, Mama udah kirimin kamu sate sianida, At.”

Bukannya bertambah baik, perasaan Atala makin kacau. Desi sama sekali tidak membantu. Yang ada Atala terus dipojokkan. Merasa tidak akan dapat saran dan pembelaan, Atala bangkit dari kursi. Dia akan melakukan sesuatu.

“Eh, mau ke mana?”

“Nemuin mantan.”

Desi menggeleng, lalu menyusul berdiri.

“Dia masih di Rumah? Mama aja yang ke sana, kamu tungguin Keisha. Mama nggak mau sampai kamu bikin dia tambah sakit hati. Malu Mama, At. Kamu tuh kayak nggak pernah Mama ajarin buat menghargai dan menghormati perempuan.”

“Tapi, Ma ....”

Wanita itu urung melangkah ke pintu. Didekatinya sang anak, memberi tatapan serius. Desi menunjukkan keyakinan dalam ekspresi dan kata-katanya.

“Berapa banyak masalah yang timbul karena keegoisan kamu, At?"

Atala diam.

“Kamu anak Mama, tapi Mama nggak segan mengakui kalau sikap kamu sering nyakitin. Di usiamu sekarang ini kamu masih mengedepankan keegoisan.”

“Ini cara Atala menebus dan memperbaiki kesalahan sama dia, Ma. Atala baru tahu dia pernah hamil dan bayi kami meninggal. Apa Mama kira Atala bakal diam?”

“Oh, ya? Ini cara kamu menebusnya?” Desi menekan dada Atala dengan telunjuk. “Tanya ke sini, At, apa caramu ini udah benar. Pernah kamu tanya hatimu? Hari itu Mama udah bilang kalau dia akan sulit terima kamu lagi. Tapi kamu tetap egois dan akhirnya hari ini ada insiden. Coba Mama tanya, bisa kamu ukur gimana sakit hatinya perempuan itu? Kalau Mama, mungkin udah gila dikejar mantan nggak tahu malu kayak kamu, At.”

Memang apa yang salah? tanya Atala dalam hati.

Sampai detik ini Atala masih berpikir jika jalan yang dia ambil sudah benar. Sudah sepatutnya seseorang berusaha dan berjuang untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Apa yang salah? Atala tidak mengerti mengapa  Irish serta Desi membicarakan tentang keegoisan, sedangkan menurut Atala itu bukanlah masalah.

Irish pernah terluka karenanya, Atala sedang dalam tahap menyembuhkan luka itu. Lalu kenapa Irish dan Desi tidak mengerti maksud Atala? Atala hanya ingin memperbaiki, tapi seolah-olah dianggap dia malah tambah menyakiti.

“Atala tetap mau ketemu dia. Atala mau minta maaf.”

“Ya Tuhan, anak siapa sih kamu sebenarnya? Keras kepala banget. Masih nggak paham juga, ya? Semakin kamu mendekat, semakin dia terluka, Atala. Sekarang Mama tanya, kamu nggak cinta dia, ‘kan? Kamu nggak sayang dia, ‘kan? Kamu ngejar dia cuma atas rasa tanggung jawab, bukan niat karena kamu nggak mau melukai dia lagi. Kamu nggak mikir apa dia suka didekati kamu kayak gini.”

Sekali lagi Atala tak mengerti apanya yang salah. Bukankah sudah bagus dia berusaha menyembuhkan luka Irish? Apa yang Atala lakukan benar atas rasa tanggung jawab dan itu jelas lebih baik daripada dia pura-pura tidak terjadi apa pun.

“Ma, tolonglah. Ijinin Atala pergi.”

Atala menatap tangan Desi yang mencengkeram pergelangan tangannya. Meski wanita itu kurus, tenaganya cukup besar. Mau menyentak kasar, Atala tidak berani. Dia hanya bisa mengharapkan belas kasih Desi. Namun, wanita itu tampak tidak berkenan mengizinkan sang anak pergi.

“Kenapa sih kamu kayak gini, At? Mama ngerti kamu ngerasa bersalah, tapi pikirin juga perasaan perempuan itu. Kamu melakukan pemaksaan, Atala.”

“Nggaklah, Ma. Atala nggak ngapa-ngapain dia. Atala cuma—”

“Cuma terus berkeliaran di dekatnya? Ngajak dia ngomong meski dia nggak mau ketemu kamu?” potong Desi cepat.

Tak mengerti lagi bagaimana cara meyakinkan Desi, Atala akhirnya mengalah dengan duduk di sofa. Wajahnya menunduk dalam-dalam, memikirkan kesalahan fatalnya tadi. Sialnya, dia tak bisa meminta maaf langsung pada Irish. Gadis itu menolak panggilan dari Atala, mengabaikan pesan yang beberapa kali Atala kirim.

Selalu saja kebodohan Atala mengacaukan keadaan. Kalau tadi dia tidak meninggalkan Keisha untuk menemui David, mungkin kejadian ini bisa dicegah. Kalau saja dia ada di sana bersama Keisha, mungkin Atala bisa memberi tahu Irish bahwa gadis kecil itu alergi kacang.

Laki-laki itu ingin berteriak karena perasaan-perasaan aneh memenuhi dadanya. Yang tak Atala habis pikir setelah dalam keadaan tenang, kenapa Keisha mau memakan kue kacang itu. Keisha jelas tahu bahwa dirinya memiliki alergi. Seharusnya dia bisa mengatakan pada Irish, bukan?

“Nggak gini caranya buat nebus kesalahan, At. Pikirkan cara lain. Jangan membuat dia tambah benci sama kamu.”

Usapan lembut Desi pada tangan Atala sedikit demi sedikit meredakan gejolak dalam dirinya. Atala mengangguk pelan, mengikuti kemauan ibunya dengan pasrah kali ini. Namun, untuk mencari cara lain dalam mendekati Irish, Atala tidak tahu harus bagaimana. Karena yang tertanam di kepalanya adalah, apa yang dia lakukan sudah benar.

🔥

Acara kunjungan Irish dan Dara tetap berlangsung. Ketegangan insiden sebelumnya diredakan oleh sambutan riang anak-anak di sana. Ada yang menyanyi, membawakan puisi, dan menari layaknya profesional. Irish cukup terhibur, tangisnya berhasil dia bendung.

Masih tidak habis pikir bagi Irish mengapa takdir akhir-akhir ini selalu mengaitkannya dengan Atala. Laki-laki itu berada di semua tempat, bernapas di satu waktu yang sama dengan Irish. Pelarian adalah ide sia-sia meski Irish sangat ingin melakukannya. Dia sudah pernah mencoba, bukan? Dan hasilnya nihil. Atala kian gencar mendekati Irish. Namun, setelah kejadian tadi, Irish pun masih bingung bagaimana dia akan menatap Atala.

“Kita pamit aja, yuk, Rish. Malas banget di sini lama-lama.”

Irish mencubit tangan Dara.

“Nggak sopan banget. Anak-anak baru mau makan, loh.”

Mengalah seraya memanyunkan bibir, Dara melanjutkan membuka kotak nasi di pangkuannya. Irish menarik napas panjang. Dia sangat paham alasan Dara ingin segera pergi. Yayasan itu milik Atala dan Atala baru saja melukai hati Irish lagi.

“Aku mau jenguk Keisha.”

Nasi di dalam mulut Dara seketika tersembur. Gadis itu terbatuk keras. Beberapa anak langsung bertanya keadaan Dara dan ada juga yang menyerahkan botol minum. Irish tidak kelihatan panik. Dengan tenang dia menepuk-nepuk punggung Dara, lalu membersihkan sisa makanan di sekitar bibir gadis itu. Setelah batuknya terkendali, Dara mendelik dan mencengkeram lengan Irish.

“Jangan ngaco. Nggak mabuk, ‘kan?” bisik Dara.

“Ya nggaklah.” Irish melepaskan cengkeraman Dara pelan-pelan. “Aku mau tahu keadaan dia. Aku sempat lihat sebelum masuk mobil, Keisha muntah.”

Selera makan Dara seketika lenyap, dia juga baru menyadari kalau Irish tidak menyentuh makanannya. Mengembuskan napas lelah, Dara memindahkan kotak dari pangkuan ke kursi kosong sebelahnya. Kali ini dia menyentuh telapak tangan Irish dengan pelan.

“Rish, kamu nggak ada kewajiban memastikan keadaan anak itu. Bapaknya nyakiti kamu segitunya, loh. Cobalah pikir.”

“Yang nyakiti aku itu Atala, bukan Keisha. Aku sedang bersikap netral, Dara. Gimana kalau Naomi yang ngalami kejadian tadi?”

Sudah dipastikan Dara akan kalah berdebat jika Irish membawa-bawa nama Naomi. Gadis berambut pendek itu berdiri, menghampiri anak-anak yang duduk berdekatan dengannya. Irish hanya menatap tanpa kata, tahu kalau Dara sedang mengalihkan kekesalan.

Ponsel Irish berdering lagi, gadis itu terlalu malas untuk memastikan siapa yang menghubunginya. Dari satu jam lalu Atala-lah yang menelepon nyaris tanpa jeda. Benar, Irish sangat marah dan kesal pada duda itu. Namun, kecemasannya tak berkurang untuk Keisha. Bagaimana kabar Keisha saat ini, Irish sangat ingin memastikannya sendiri.

Sebencinya Irish pada Atala, hatinya tak sampai untuk memberi perasaan yang sama pada Keisha. Teringat pertemuan mereka kala itu, disusul fakta siapa ayah Keisha, Irish mati-matian menepis keinginan bertemu dan mendekap gadis kecil itu.

“Makasih udah datang, Kak. Kapan-kapan main ke sini lagi, ya!”

A

nak laki-laki berumur delapan tahun itu menatap Dara penuh binar.

“Siap!” jawab Dara disertai senyuman.

Senyum Irish ikut tersungging. Syukurlah Dara tetap menanggapi anak-anak di sana dengan baik. Seakan lupa pada kekesalannya tadi, Dara juga mau memeluk mereka satu per satu sambil berpamitan. Ucapan sampai jumpa lagi dan tangan-tangan yang melambai mengiringi langkah Irish dan Dara menuju mobil. Bu Sri menemani mereka, mengucapkan terima kasih atas senyum yang dua gadis itu bawa untuk penghuni Rumah Hangat.

“Bu Sri, kira-kira Keisha dibawa ke rumah sakit mana, ya?”

Dara kehilangan tenaga untuk menanggapi pertanyaan Irish. Disandarkannya tubuh di sisi mobil, menunggu Irish mendapat jawaban yang dia mau dari Bu Sri.

“Kemungkinannya Rumah Sakit Ibu, Mbak Irish. Dekat dari sini, kurang dari sepuluh menit. Apa perlu saya hubungi Pak Atala sekarang untuk memastikan?”

Dara menggaruk-garuk telinga, mendadak gatal mendengar nama laki-laki itu.

“Ah, nggak perlu. Saya pastikan sendiri aja, Bu.”

“Oh, begitu. Baik, Mbak. Dari pihak kami juga mau menjenguk Keisha, tapi masih mau memastikan rumah sakitnya sama Pak Atala.”

“Saya duluan ke sana kalau gitu ya, Bu. Mungkin emang dirawatnya di sana.”

“Ya, ya, baik. Hati-hati di jalan, Mbak.”

Kali ini Dara memainkan kuku-kuku tangannya, menyabarkan diri untuk tidak menyekap Irish. Lalu mengurung gadis itu di suatu tempat agar berhenti berhubungan dengan semua hal tentang Atala.

“Udah?” tanya Dara setelah Bu Sri kembali ke dalam dan mereka berdua duduk di mobil.

“Udah. Ke Rumah Sakit Ibu, ya. Eh, mana  teman chatting kamu? Janjian di sini, ‘kan?”

“Dia nggak jadi datang.”

“Kenapa?”

“Tadi katanya udah dekat, terus temannya tiba-tiba nelpon minta bantuan buat istrinya yang lagi melahirkan di rumah sakit. Si teman nih kekurangan dana, karena ada perawatan khusus buat bayinya yang lahir prematur.”

Irish mengangguk paham. Dara mulai melajukan mobilnya tanpa berdebat menuju rumah sakit terdekat. Sesampainya, Irish bertanya pada bagian resepsionis, adakah pasien bernama Keisha Elard atau Atala Elard. Beruntungnya, Keisha sungguh dirawat di sini. Sambil menenteng sekeranjang buah yang tadi Irish beli di supermarket sebelum rumah sakit, dua gadis itu menuju lift setelah diberi tahu nomor kamar Keisha.

Mereka berdua sedang menunggu lift, hanya beberapa detik setelahnya pintu besi itu terbuka. Irish dan Dara sedikit terkejut bertemu sosok yang mereka kenal di sana.

“Eh, kalian berdua?” Itu Valentino yang baru saja keluar dari lift.

“Aku sama Dara mau jenguk seseorang. Kebetulan banget kita ketemu di sini.”

“Aku abis ketemu teman. Istrinya melahirkan bayi prematur di sini.”

Seketika Irish dan Dara bertatapan, sama-sama punya satu dugaan. Dara menggeleng pada Irish, menyangkal pemikiran yang dalam sekejap mengganggu kepalanya. Sementara, Irish tersenyum lebar, lalu memperhatikan Valentino yang berpakaian kasual.

“Kenapa ngelihatin kayak gitu?” tanya Valentino.

“Kamu main Madam Rose nggak, Val?”

Valentino tersenyum kikuk. Bahasa tubuh itu saja sudah cukup bagi Irish.

“Ada janji ketemu sama teman saya chatting kamu di MR?”

“Kamu tahu, Rish?”

Kini laki-laki itu makin kebingungan. Pasalnya, dia sangat yakin bukan Irish yang menjadi temannya di Madam Rose selama ini.

Guys, you are surprising me so well.”

Kening Valentino berkerut, lalu tambah mengerut saat Irish menarik Dara mendekat pada laki-laki itu. Dara yang menutup setengah wajahnya sangat ingin melarikan diri di sana.

“Kalian berdua butuh ngobrol. Aku tinggal, ya. Good luck!”

“Eh, apa sih, Rish? Jelasin dulu.”

Kata-kata Valentino terabaikan. Gadis itu masuk ke lift sembari melambaikan tangan tanpa memberi penjelasan sedikit pun. Makin bingung Valentino jadinya.

“Irish kenapa, Dara? Ngomong apaan, sih? Kamu juga, ngapain dari tadi tutup muka?”

Kalau tahu orangnya adalah Valentino, Dara tidak akan memakai pakaian terbaiknya hari ini dan berdandan tidak seperti biasa. Kalau saja dia tahu lebih awal, lebih baik tidal perlu membuat janji temu.

“Diam lagi. Kenapa, sih?” Valentino menarik paksa tangan Dara. “Hei, kamu dandan? Sumpah, cantik banget, Dara. Ada janjian ya? Tumben banget dandan kayak gini.”

Panas wajah Dara, dipalingkannya wajah dengan tangan yang masih dipegang Valentino.

“Ya, ada janji sama akun Fire dari Madam Rose.”

Waktu seolah membeku sepersekian detik. Tangan Dara terlepas dari Valentino. Sekarang bukan hanya Dara yang merasakan panas pada wajah, tapi Velentino juga.

🔥

Irish mengetuk sebuah pintu, seorang wanita dengan cepat membukanya.

“Maaf, apa benar ini ruangan inap Keisha Elard?”

“Ya, benar. Saya bicara dengan siapa?”

Irish ragu menjawab. Harus mengaku sebagai apa dirinya? Teman Keisha? Teman ayah Keisha? Atau mantan pacar ayah Keisha?

“Ma, siapa yang datang?”

Sebelum dia memutuskan, satu sosok lain muncul dari belakang wanita yang menyapanya tadi. Tatapan Irish seketika dingin, berharap bisa menjadikan Atala makhluk tak kasat mata.

“Irish?”

“Kalian kenal?”

“Dia man—”

Irish menyipitkan mata pada Atala.

“Teman Atala, Ma.”

“Ah, gitu. Saya Desi, ibunya Atala. Ayo masuk, Nak Irish. Keisha masih tidur.”

Tanpa suara Irish mengikuti langkah Atala dan wanita yang laki-laki itu panggil Mama. Dalam hati Irish sempat mengagumi dan paham dari mana kerupawanan Atala berasal.

Tiba di sisi ranjang Keisha, hati Irish tersayat lagi. Gadis sekecil ini harus terbaring di rumah sakit. Tangan mungilnya harus tertusuk jarum infus. Namun, Irish sedikit lega melihat warna kulit Keisha yang membaik.

“Saya cuma bawa buah-buahan, Tante. Saya nggak tahu Keisha suka apa dan nggak boleh makan apa. Takutnya nanti saya malah tanpa sengaja ngasih alergen ke Keisha.”

“Ini aja udah repot sampai bawa buah. Makasih, ya. Tante terima.”

Bawaan Irish diambil alih. Desi meletakkannya di meja, lalu mempersilakan Irish untuk duduk. Gadis itu memilih duduk di kursi tunggu pasien, menatap lekat wajah pulas Keisha. Diselaminya kedamaian aura gadis kecil itu, hingga terpercik lagi perasaan bersalah karena pernah berpikir untuk membencinya.

“Irish, Tante tinggal sebentar, ya.”

Tatapan Irish beralih sejenak.

“Ah, iya, Tante. Silakan.”

“Maaf,” ucap Atala setelah ibunya pergi.
Laki-laki itu berdiri di belakang Irish, ragu mengambil langkah lebih dekat atau melakukan kontak fisik.

“Untuk yang keberapa kali?”

“Nggak terhitung.”

“Masih ada muka buat minta maaf?”

“Rish.”

Tangan Atala terulur, nyaris menyentuh pundak Irish, dan akhirnya diurungkan.

“Aku salah, sangat sadar kesalahanku tadi. Aku panik, takut kalau Keisha sampai kenapa-kenapa. Yang aku pikirin—”

“Kamu menyakiti aku, At. Lagi, bukan cuma sekali. Seburuk itu aku di mata kamu, sampai kamu nuduh tanpa mikir. Aku pernah kehilangan anak. Kehilangan anak, At, bukan kehilangan cincin atau barang lain yang nantinya bisa dibeli lagi pakai uang.”

“Rish, maaf.”

“Kasih aku bicara, At. Selama ini kamu ngejar aku, tapi juga nyakiti aku. Apa niat dan perasaanmu serapuh itu? Nggak ada yang bisa aku harapkan kalau kamu aja meragu. Ini konyol banget. Aku ngerasa takdir terus ngajak main-main. Kasih tahu aku, apa kamu ada ide untuk kita berdua? Aku butuh solusi untuk lepas dari semua hal tentang kamu. Tapi sialnya, aku kayak terikat, terlebih saat lihat Keisha.

Aku sama sekali nggak paham harus bertindak kayak apa. Kamu bajingan yang memenuhi kepalaku. Kamu si berengsek yang melukai aku. Dan aku siapa? Kamu tahu? Aku si bodoh yang masih bersedia untuk lihat wajah kamu lagi.”

Atala berdiri kaku, kehilangan semua aksara untuk menyahuti ucapan Irish. Kedua tangannya mengepal di sisi paha, merasa tak berguna karena tidak bisa berbuat apa-apa.

“Kamu berbuat sesukanya. Aku lelah, aku muak. Aku sangat berharap bisa melenyapkan kamu dari hidupku lagi. Tapi sekali lagi sialan, At. Aku kayak kehilangan kemampuan dan tenaga. Aku ada di sini untuk Keisha, tapi bisa-bisanya aku masih ngomong sama kamu. Bodoh banget.”

Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Atala. Sengaja dia membisu, meredam keegoisannya sejenak. Dari nada suara Irish, Atala yakin gadis itu benar-benar lelah. Semua kata-kata Desi jadi berputar-putar di kepalanya, membuat Atala bertanya pada dirinya sendiri apa yang sedang dia lakukan pada Irish.

“Aku mau menjauh dari kamu, tapi Keisha, aku jatuh hati sama dia. Gimana caranya aku menjauhi ayahnya dan dekat dengan anaknya? Mustahil, ‘kan? Jadi, aku harus apa? Aku benci kamu, benci banget. Kamu ganggu aku, ngisi semua celah pikiranku. Mau tidur aku mikirin kamu, bangun tidur aku mikirin kamu. Kamu bikin aku jadi nggak normal.”

Irish terengah-engah, air matanya mengalir deras. Segala perasaannya pada Atala telah dia utarakan. Dadanya sesak, tapi juga lega. Jari-jari tangannya bertautan di atas paha, tubuhnya bergetar hebat. Lalu kegelisahan, kecemasan, dan semua perasaan yang mengoyak hatinya mereda hanya dengan sebuah tindakan Atala.

Laki-laki itu memegangi kedua pundak Irish, mengecup kepala belakang sang gadis. Dengan segala kerendahan hati Atala berkata, “Makasih kamu nggak membenci Keisha. Ayo kita bicara lagi, kali ini semua hal yang kamu mau. Solusi? Oke, kita cari bareng-bareng. Maaf udah jadi egois selama ini. Sekali lagi boleh aku berusaha mencairkan kebekuan hatimu buat aku?”

To be continued

Yakkk! Ada yang sadar nggak sih kalau sebenarnya Irish udah membuat pengakuan????

Bau-bau ada kapal baru nih. Pada setuju nggak?

Follow ig @putriew11, KaryaKarsa @PutrieW, fb Putrie W, grup FB Kata Putrie W, kbm app @putrie_w

Lav,
Putrie

Menatap ke satu arah yang sama. Eaaaaa😜




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro