LBS-5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Taburan bintang dan komennya jangan lupa, Kakak.

🖤
🖤
🖤

Seharusnya aku tidak kembali, cukup berhenti di masa ketika aku melihatmu terakhir kali.
Tapi entah bagaimana, nurani menyuruhku menemukanmu. Sekadar memastikan bahwa perpisahan itu tak menyakitimu seperti terjerat kuat oleh tali.
🔥

Ada banyak orang yang bisa mengucapkan kalimat sama. Namun, ada berapa banyak orang yang mampu mengingatkan hati berkali-kali tentang seseorang dari masa lalu? Mungkin ada beberapa, tapi Atala yakin bahwa kebetulan yang terjadi padanya hari ini bukanlah suatu hal biasa.

Pertama, bio pada akun bernama Bel. Meski sudah berlalu sangat lama, Atala masih mengingat jelas percakapan dengan Irish saat itu. Kedua, nama Bel mengingatkan Atala pada Irish Belen. Awalnya dua hal itu masih menyisakan sedikit keraguan pada Atala. Untuk memastikannya, dia sengaja menyinggung perihal kenangan mereka dulu. Sesuai dugaan, Irish tak memberi respons. Hal ketiga itulah yang meyakinkan Atala bahwa sejak tadi dia sedang chatting dengan mantan pacarnya saat SMA.

Atala tahu, seharusnya dia tak mengutarakan tebakannya pada Irish, juga tidak perlu mengatakan kalau dia ingin bertemu. Entah apa yang terjadi, tapi Atala sungguh-sungguh penasaran bagaimana kabar Irish. Laki-laki itu juga ingin memastikan setelah hari berhujan delapan tahun lalu, Irish baik-baik saja.

Katakanlah Atala terlambat dan apa yang akan dia lakukan tidak berguna. Seharusnya dia memang tidak perlu mengusik Irish. Namun, dia telanjur ingin tahu bagaimana kehidupan gadis yang pertama kali dia tiduri. Apakah Irish menjalani hari-hari normal atau pernah merasa hancur dalam delapan tahun terakhir? Hancur, sama seperti Atala yang kini sedang berusaha mengumpulkan puing-puing dirinya.

"Oi! Mikirin apa dari tadi?"

Tepukan cukup keras mendarat pada bahu Atala. Laki-laki itu tersentak, lepas dari lamunan tentang percakapannya dengan Irish di Madam Rose.

"Mikirin perempuan."

Tanpa minat, Atala mengaduk-aduk jus jeruknya dengan pipet. Musik berdentum keras di belakangnya, dilatari beberapa orang yang menari-nari. Ingar-bingar itu nyatanya tidak berpengaruh, pikiran laki-laki itu malah berkelana jauh.

"Ayra?" tebak Rama.

Sudah tiga tahun berlalu, tapi efek dari mendengar nama itu masih saja luar biasa untuk Atala. Jantungnya akan berdetak lebih cepat, disertai berbagai perasaan yang mengaduk-aduk dadanya. Ayra, Ayra, dan Ayra. Nama itu selalu berputar-putar di kepala Atala. Tak sehari pun Atala berhenti memikirkannya. Bedanya kali ini, yang sedang Atala lamunkan adalah Irish.

"Nggak usah tanya, kalau dia selalu ada di kepalaku. Tapi saat ini aku lagi mikirin yang lain."

"Terima kasih, Tuhan! Akhirnya Atala beneran move on!"

Teriakan Rama masih kalah oleh keriuhan di belakangnya, tapi Atala bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Sahabatnya itu menengadahkan kedua tangan, mengungkapkan syukur secara refleks. Tak bisa ditahan, senyum Atala mengembang lebar disusul tawa kecil.

"Ngaco!" seru Atala.

Seketika Rama menurunkan tangan. Wajahnya memelas, tak percaya baru saja mimpi indahnya dihancurkan.

"Serius, At, kirain kamu mulai cari pengganti Ayra. Tumben kamu bilang mikirin perempuan lain."

Semua orang di sekitar Atala menyuruhnya untuk mencari pengganti Ayra. Rama bahkan salah satunya yang tidak pernah absen menawarkan Atala untuk bertemu dengan gadis-gadis yang dianggap cocok untuk dijadikan pendamping. Relasi dan teman-teman perempuan Rama memang masuk kualifikasi kategori pasangan idaman. Sayangnya, Atala tidak berminat.

Membicarakan perihal pengganti, tiba-tiba Atala teringat lagi pada Irish. Apakah setelah mereka putus Irish langsung mencari pacar baru atau tidak? Konyol sekali. Tanpa sadar Atala tertawa kecil. Dulu, dia yang meninggalkan gadis itu, tapi kini dia mencari-carinya kembali.

"Karena kamu nggak mau memaki atau bicara apa pun, sebaiknya ini jadi pertemuan terakhir kita. Kita nggak perlu ketemu lagi."

Hari itu, setelah diusir oleh Irish dan sebelum Atala keluar dari kelas, dia mengucapkan kalimat terakhir. Ada kata maaf yang coba dia katakan hari itu, tapi Irish seolah-olah menolaknya begitu saja. Atala sudah menyiapkan diri jika harus dicaci, tapi gadis itu memberi reaksi di luar bayangan. Atala jadi menelan segala kalimat yang telah dia siapkan.

Kalau saja ... kalau saja Irish meminta Atala untuk tinggal atas rasa tanggung jawab yang ada, maka laki-laki itu akan tinggal. Dirinya yang telah merenggut kepolosan Irish memang pantas diberi beban. Segala konsekuensi sudah Atala pikirkan, nyatanya Irish malah memberinya kemudahan.

Sebenarnya entah mana yang benar, Atala yang mencampakkan Irish atau Irish yang membuang laki-laki itu. Karena pada hari ini, untuk pertama kali Atala merasa ingin mengulang masa-masa yang diisi tawa bersama Irish. Tawa yang hadir kala itu sungguh tulus. Atala bahkan lupa tujuan awalnya mendekati Irish hanyalah karena taruhan.

Mereka dekat dan semakin dekat. Lalu terjadilah adegan tak berencana pada sore berhujan. Setelahnya Atala sadar bahwa dia mengambil langkah terlalu jauh dan harus berhenti. Karena diusir, tak diberi kesempatan untuk bicara, Atala meyakinkan diri bahwa Irish pun baik-baik saja. Mungkin sama bagi dirinya bahwa apa yang terjadi adalah bentuk kenakalan remaja yang bisa mendapat permakluman. Namun sekali lagi, kalau saja Irish memintanya untuk tetap tinggal, Atala akan menyanggupi.

Kalau aja hari itu nggak berakhir, apa sekarang ceritanya jadi beda?

"Ngelamun lagi! Yoklah gabung sama anak-anak lain!" ajak Rama, sedikit mengarahkan wajah ke belakang mereka.

"Malas. Aku mau pulang." Atala turun dari kursi. "Have fun, ya! Bilang sama Kimberly aku balik duluan!"

Tanpa menunggu jawaban Rama, laki-laki itu segera meninggalkan area rooftop Sky Garden. Langkahnya melewati anak-anak tangga dari setiap lantai gedung berlantai empat itu, hingga dia benar-benar keluar.

Atala mengembuskan napas panjang sambil melangkah menuju mobilnya.
Malam ini kacau untuknya. Menghadiri perayaan ulang tahun temannya di salah satu kelab malam, sama sekali tidak berhasil dia nikmati. Alkohol, musik yang menggetarkan lantai, para perempuan berpakaian seksi yang meloncat-loncat mengikuti dentuman, tidak menarik bagi Atala tadi. Segelas Vodka pun tak dia cicipi, malah memilih jus jeruk yang akhirnya tersisa.

Baru pukul 10, tapi Atala sudah berniat menyusuri Jalan Legian untuk pulang. Jam yang seharusnya menjadi awal mulainya dunia malam, malah menjadi waktu membosankan bagi laki-laki berkemeja hitam itu. Dia sendiri tidak tahu mengapa perasaannya jadi tak menentu. Karena Irish? Atala pun tidak terlalu yakin.

Sambil mengemudi, Atala berkali-kali melirik ponsel, tanpa sadar menanti kalau-kalau ada notifikasi dari Madam Rose. Ya, tentunya jika benar itu terjadi, Tuhan sedang memberinya keajaiban. Pasalnya, Atala tahu kalau notifikasi dari orang yang dia tunggu, tak akan lagi ada. Irish telah membatalkan match mereka, sedangkan Atala bertekad untuk menemukan perempuan itu.

Dia mematikan pendingin. Lalu menurunkan kaca mobil sepenuhnya, meletakkan siku pada pintu dengan telapak tangan menutupi bibir. Hawa dingin menyapa wajahnya, mengirimkan nuansa basah dan ketenangan ke dalam hatinya. Dari kesejukan yang baru saja menyegarkan pikiran, Atala tahu harus bagaimana sekarang.

Batal pulang ke rumahnya yang berada di Sanur, Atala kini menuju daerah Ungasan. Mobilnya melaju cepat, tak sabar mendatangi rumah seseorang yang sejak sore menggerayangi otaknya. Namun, sesampainya di rumah yang masih sangat dia hafal letaknya, Atala harus menelan kecewa.

Rumah itu tak berpenghuni, pada bagian pagarnya tergantung papan bertuliskan DIJUAL. Tak kehabisan akal, Atala berniat menghubungi nomor yang tertera. Jarinya sudah menekan angka-angka di layar, ujungnya batal melakukan panggilan karena seseorang menyapa.

"Malam, Nak. Mau beli rumah?"

Seorang pria kisaran 40 tahun menghampiri Atala. Si bapak muncul dari rumah sebelah. Mungkin karena ada deru mobil yang sempat terdengar, dia jadi keluar. Raut wajahnya menunjukkan keramahan, membuat Atala tak segan mengutarakan kedatangannya.

"Malam, Pak. Saya mau cari teman. Dulu tinggalnya di rumah ini, tapi sekarang rumahnya dijual."

"Loh, siapa nama temanmu? Ini rumah saya."

Si bapak menunjuk rumah kosong. Atala tidak terlalu terkejut, dugaannya benar bahwa Irish telah pindah. Bapak-bapak di hadapan ini tentu bukan ayah Irish.

"Irish Belen. Setahu saya delapan tahun lalu masih tinggal di sini Pak."

"Wah, udah lama. Bapak baru beli rumah ini tahun kemarin. Pemilik sebelumnya juga udah tua. Anak laki-lakinya ngajak pindah ke luar kota."

Anak laki-laki. Atala pastikan bahwa pemilik sebelumnya bukanlah ayah Irish. Dia ingat, Irish mengaku sebagai anak tunggal. Tidak ada kakak ataupun adik. Dari informasi yang didapat, laki-laki itu sadar bahwa rumah ini telah berpindah-pindah tangan.

"Oh, gitu ya, Pak. Makasih informasinya, Pak. Saya pamit dulu."

Sebagai tanda hormat, Atala tersenyum dan membiarkan bapak bersarung kotak-kotak itu lebih dulu masuk ke rumah. Setelahnya, dia yang masuk mobil dan bersandar gusar. Irish sudah pindah dan di pulau Bali yang memiliki delapan kabupaten serta satu kota madya, dari mana Atala harus mulai mencari?

Mendatangi setiap kabupaten tentu membuang-buang waktu dengan kemungkinan tingkat berhasil yang minim. Namun, berdiam diri seperti sekarang juga membuatnya resah tanpa alasan jelas. Otaknya sedang buntu untuk berpikir banyak, jadi Atala ingin pergi dari sana dan pulang.

Padahal kemarin-kemarin Atala tidak memikirkan Irish. Padahal tahun-tahun sebelumnya dia baik-baik saja tanpa penasaran tentang kabar gadis itu. Nyatanya kini laki-laki itu kesal karena pencarian pertamanya gagal. Dia menyugar, kemudian memukul setir sebelum melajukan mobil.

"Buat apa nyari cewek gendut itu? Bikin ribet aja."

Atala terbeliak mendengar suara dari samping kirinya. Lebih terbeliak lagi saat melihat dirinya versi sangat mini dengan dua tanduk merah dan ekor panjang. Atala versi mini melayang dengan wajah cemberut.

"Nggak apa-apa, Atala. Kamu emang harus cari dia. Tahu kabar mantan itu bukan hal yang buruk."

Kali ini Atala menoleh ke sisi kanan. Atala versi mini juga melayang di dekatnya. Bedanya dengan yang tadi, Atala yang ini sangat menggemaskan dengan senyum ceria dan wajah berbinar. Di atas kepalanya, melingkar sesuatu berwarna emas. Aura putih melingkupi tubuh kecil itu. Kontras dengan versi sebelumnya yang diselimuti aura gelap.

"Nggak penting tahu kabar mantan!" seru si mini berekor.

"Penting. Manusiawi namanya," si ramah menyahut.

Menoleh bergantian ke sisi kanan dan kiri disertai mata melotot dan lidah kelu yang bingung harus bicara apa, Atala akhirnya mengusap wajah perlahan-lahan. Tawanya mengisi mobil sambil menggeleng berkali-kali.

"Sial. Baru sehari malah kacau gini," gumamnya pada diri sendiri karena merasa lucu.

Dering ponsel mengembalikan kesadaran penuh Atala. Diambilnya benda yang berbunyi itu dari dasbor, menggeser tanda hijau, dan menempelkan di telinganya.

"Di mana, Bro? Gue di Sky Garden tapi kok lu nggak ada di sini?"

"Gue balik duluan, Vid. Mood ilang. Lu senang-senang aja sama yang lain."

Kemampuan menyesuaikan diri Atala cukup bagus. Umumnya, di Bali memakai aku-kamu sebagai komunikasi antar teman. Mereka yang datang dari Jakarta atau sekitarnya saja yang biasa memakai gue-lu, seperti David. Atala tidak kesusahan untuk mengimbanginya.

"Alamak! Kimberly bakal ngamuk pas nyadar lu nggak di sini!"

Tawa David berderai. Suaranya cukup jernih, tidak terlalu berbaur dengan musik. Mungkin laki-laki sepantaran Atala itu sedang ada di toilet, hingga kebisingannya agak teredam.

"Bodo amat. Gue udah bilang nggak suka, dia aja yang masih ngeyel buat dekat."

"Lu harusnya bersyukur, Kampret! Masih ada gadis yang mau sama lu."

Hendak menyanggah, Atala tiba-tiba teringat sesuatu. Dia duduk tegak dan mengenyahkan senyum yang tadi membingkai wajahnya.

"Eh, Vid, kan lu yang nyuruh gue main Madam Rose. Kita bisa minta data pengguna MR yang lain, nggak?"

"Ngawur! Itu namanya melanggar privasi. Tapi kalo lu beruntung, lo bisa ngobrol langsung sama Madam dan pertanyaan lu bakal dijawab. Cari aja opsi Call Customer Service."

Harapan lain menghampiri Atala. Dia belum menemui jalan buntu kali ini.

"Thanks, Bro!"

"Udah meet up sama cewek dari sana?"

"Belum, baru juga main tiga bulan. Belum nemu yang pas buat diajak ketemuan. Ya udah, ya, gue matiin. Ada kerjaan penting!"

Panggilan itu berakhir begitu saja. Atala enggan mendengar pertanyaan lain dari David, karena sekarang dia punya hal menarik untuk dilakukan. Pekerjaan penting yang Atala maksud adalah menghubungi bagian customer service dengan segera.

Sempat ragu kalau panggilannya akan ditolak, mengingat sekarang ini sudah pukul 11.15 malam. Penantiannya berakhir, Atala berhasil bicara dengan bagian service. Lalu setelah bercakap-cakap beberapa menit, permintaannya untuk tersambung secara langsung dengan Madam disetujui.

Madam, begitu dia dipanggil selaku owner dari Madam Rose. Identitas aslinya misterius. Usia, foto, sudah menikah atau belum, tinggal di mana, dan berbagai informasi pribadi lainnya tidak diketahui.

"Yuhuuu! Madam's speaking! What can I do for you, Handsome?"

Atala harus mengoreksi pikirannya, karena tadi dia mengira akan disapa oleh perempuan kaku. Kali ini keahlian adaptasinya harus digunakan lagi.

"Yuhuuu juga, Madam! Aku butuh alamat seseorang. Madam yang baik hati ini pasti bisa bantu."

"Kenapa nggak tanya langsung sama match kamu?"

"Match dibatalkan sama dia."

Gelak tawa dari seberang sana mengundang kekesalan Atala. Seribu sialan. Laki-laki itu sedang serius, tapi malah diledek. Untung dia ingat tujuannya bicara dengan Madam, kalau tidak, sudah pasti Atala membalas tawa mengejek itu.

"Dengar, memberikan alamat detail member itu melanggar privasi. Madam nggak mau rating aplikasi jadi jelek cuma gara-gara kamu, si payah yang bahkan nggak berhasil menjerat match-nya."

Payah katanya? Aku payah? Sialan!

Sekali lagi Atala harus menahan diri. Sebentar saja dia harus bersabar, setidaknya sampai mendapat petunjuk tentang keberadaan Irish.

"Dia mantan aku, saat tahu malah dibatalkan gitu aja. Nama akunnya Bel."

Madam menggumam mendengar cerita Atala yang bernada sedih itu.

"Aku udah datang ke rumah dia dulu, tapi dia udah pindah. Aku mau tahu kabar dia, Madam. Nggak lebih. Apa aku salah pengen pastiin mantanku baik-baik aja? Apa aku seburuk itu sampai nggak boleh lihat dia sekali lagi aja?"

Lagi, Madam menggumam. Atala nyaris pesimis kalau cara yang dia lakukannya tidak berhasil.

"Aku kepikiran terus sama dia, Madam."

"Selain payah, kamu juga gagal move on, ya. Gara-gara perempuan sampai sedih banget. Duh, Madam, makin pusinggg setelah tahu beragam karakter member."

Ejek sepuasnya, Madam, ejek! Yang penting kasih alamat Irish! jawab Atala dalam hati.

"Tolonginlah, Madam," mohon Atala.

"Malas."

Laki-laki itu memainkan bibirnya dengan ibu jari. Berdiam diri beberapa detik, menyiapkan kalimat lain yang mungkin saja kali ini akan berhasil.

"Ya, apalah aku, laki-laki payah yang nyari-nyari mantan. Madam pasti nggak ngerti perasaan anak muda. Madam pasti jomlo makanya nggak mau bantu kami yang lagi kesusahan memperjuangkan harapan. Namanya juga Madam, mungkin udah nenek-nenek makanya nggak punya empati buat kami yang masih punya cinta membara."

"Hehhh! Sembarangan ngatain Madam, ya! Kualat kamu! Madam dewasa, bukan tua!"

Senyum Atala terbit. Harusnya dia berhasil.

"Duh, anak muda! Udah payah, nggak sopan pula. Udahlah, karena Madam baik, Madam kasih tahu!"

Berhasil!

"Bel, baru bergabung hari ini, punya satu match yang akhirnya di-unmatch bernama Atala Elard. Pulau Bali, Mall Bali Galeria."

Senyum Atala lenyap.

"Segitu aja, Madam? Cuma kasih tahu Mall Bali Galeria? Kalau patokannya hanya itu, susah, Madam. Mal kan ada di tengah. Dari sana bisa ngambil arah Kuta, Tuban, Nusa Dua, Sunset Road, atau Sanur," keluh Atala.

Bayangkan, dia sudah memohon-mohon, merendah, bercerita selayaknya laki-laki putus asa, tapi yang dia dapat bukanlah alamat pasti. Rasanya sia-sia saja dia memancing Madam untuk bersuara.

"Kalau cinta ya usaha dikitlah. Malas banget, sih! Susuri, tuh, Sunset Road. Datangin rumah orang satu per satu kek atau apa. Udah dikasih petunjuk, sekarang kamu yang berjuang."

Itu dia!

"Makasih, Madam! Aku kasih jantung merah sekebun dari Bali, ya!"

Sebelum panggilan terputus, Madam sempat misuh-misuh. Katanya, konyol sekali ucapan Atala. Namun, karena kekonyolannya itulah Atala kini mendapat titik terang perihal keberadaan Irish.
Terima kasih banyak pada Madam karena sudah menciptakan aplikasi Madam Rose serta menanggapi permintaan Atala.

Dengan disebutkannya daerah yang lebih spesifik, Atala yakin bisa menemukan Irish lebih cepat dibandingkan bingung harus memulai dari mana jika petunjuknya hanya Mall Bali Galeria.

Ponsel dia letakkan lagi di dasbor. Perasaannya sudah jauh lebih baik dan Atala siap pulang ke rumah sebelum memulai petualangannya esok hari.

🔥

Pagi datang, Atala sudah rapi dengan outfit andalannya; celana jeans dan kemeja berlengan pendek. Keluar dari kamar, dia segera menuju meja makan, menyapa hangat ibunya yang lebih dulu ada di sana.

"Pulang cepat kayaknya kamu semalam, ya," kata Desi.

Wanita yang usianya telah melewati angka 50 itu mengoles selai kacang pada roti.

"Ya, Ma."

"Tumben. Biasanya kalau ada party sampai nginep di kelab."

Hampir saja Atala tersedak kopi kalau dia tak cepat menelannya. Sindiran seperti tadi bukan sekali dua kali Atala dengar. Meski bukan tipe laki-laki yang rutin menghabiskan akhir pekan di kelab dan hanya sesekali saja pergi ke sana, tetap saja di mata Desi putranya mengunjungi tempat tak berguna.

"Mama kayak nggak pernah muda aja, sih."

"Mama pernah muda, tapi Mama nggak pernah ke kelab."

Roti tadi Desi letakkan di salah satu piring, lalu mengambil roti lainnya untuk dia olesi dengan selai stroberi.

"Ya udah, nanti Atala ajak ke kelab ya biar pernah."

"Atalaaa!" Desi berteriak.

Putra satu-satunya selalu berhasil mengundang kekesalannya. Namun, melihat senyum dan tawa dari Atala, Desi bisa berkompromi dengan kata-kata konyol sang anak. Setidaknya Atala masih tersenyum setelah hari-hari berat yang dia lalui.

"Jadwal kamu apa hari ini?"

Nyari mantan. Oh, sayang sekali Atala hanya berani menjawab dalam hati.

"Ngecek toko-toko sama ke Rumah Hangat aja palingan, Ma. Aku udah seminggu nggak ketemu anak-anak. Katanya pada nyariin aku."

Desi mengangguk, lalu meletakkan roti berselai stroberi di piring Atala. Laki-laki itu langsung menggigitnya setelah mengucapkan terima kasih. Diam-diam hati Atala nyeri. Mungkin lain kali dia akan meminta Desi berhenti melakukan kebiasaan mengolesi roti untuknya. Karena Atala jadi teringat pada Ayra yang selalu melakukan hal sama setiap mereka sarapan.

"Mama mau arisan hari ini, pulangnya malam. Kamu jangan pulang malam juga, kasian Keisha."

"Hari ini dia jadi ikut Elly jalan-jalan?"

"Jadi. Tetap kukuh nggak mau ditemenin kamu atau Mama, makanya Mama jadi pergi arisan."

"Ntar biar Atala yang antar dia sekalian bilang makasih sama keluarga Elly udah ngajak Keisha."

Sekali lagi Atala meneguk kopinya setelah menghabiskan dua lembar roti. Sang ibu menjawab ucapannya dengan anggukan, lalu wanita itu mulai mengisi perutnya. Atala hendak meraih ponsel yang dia letakkan di samping piring, tapi suara seseorang menghentikannya.
Segera, dia menoleh. Bibirnya tertarik sempurna sembari berlutut dan merentangkan kedua tangan, menyambut seseorang yang tengah berlari ke arahnya.

"Wangi banget," puji Atala setelah sosok itu ada di pelukannya.

"Ya, dong! Kei harus selalu wangi biar Daddy suka cium-cium Kei terus."

"Oh, gitu. Sini, Daddy cium yang banyak kalau gitu."

Kecupan Atala mendarat di seluruh wajah Keisha. Gadis kecil itu menggeliat dan tergelak. Bulu tipis yang berada di rahang Atala membuat gadis itu geli. Rambutnya yang dikuncir dua bergoyang-goyang. Berkali-kali dia minta dihentikan, tapi Atala enggan melakukan hingga Keisha menjerit-jerit diiringi tawa lebar.

"Udah, At, kasih Keisha sarapan dulu. Sayang, Oma udah siapin roti selai stroberi. Ayo, makan dulu."

Aksi mengecup dan menjerit-jerit itu berhenti. Bukannya langsung duduk untuk menikmati sarapan, gadis kecil itu membingkai wajah Atala. Tangan mungilnya dibalas oleh sang ayah dengan kecupan lembut.

"Kenapa, Sayang?" tanya Atala.

"Kei pengen banget ketemu Mommy. Nggak sabar buat dicium kayak tadi sama Mommy di surga. Kei mau dipeluk kayak gini juga sama Mommy."

Gadis itu baru berusia tiga tahun, tapi begitu cakap berbicara, pandai berekspresi, berani, dan lihai dalam membuat hati Atala berdenyut keras.

Tidak ingin membuat pagi mereka lebih sendu, Atala segara mengangkat Keisha dan mendudukkannya di kursi. Sejenak mata laki-laki itu tertuju pada Desi yang sedang membisu. Atala ingin menjadi lemah, tapi Keisha membutuhkan dirinya yang ceria dan penuh semangat.

"Kei harus jadi anak baik, biar nanti bisa ketemu Mommy di surga. Sekarang Kei makan dulu, abis itu Daddy antar ke rumah Elly."

"Yeayy! Daddy yang antar Kei!"

Panas pada matanya, Atala tahan. Nyaris tidak terkendali saat laki-laki itu mengecup kepala sang putri. Namun, cepat-cepat dia usap ketika beradu pandang dengan Desi. Melalui kerjapan mata, Atala coba menyampaikan bahwa dia baik-baik saja.

Meskipun sedang tidak baik-baik saja, tapi Atala harus tetap bersikap tanpa ada masalah. Karena Keisha membutuhkannya. Karena Keisha hanya memiliki Atala sebagai orang tua. Karena Atala harus tangguh dalam membesarkan putrinya tanpa kehadiran Ayra, mendiang istrinya.

To be continued

Baiklah, apakah kalian mulai iba sama si mantan tak ada akhlak?😜

Follow:

ig: putriew11
Fb: Putrie W
WP: Putrie-W
Kbm app: Putrie_W

Abang basah, Dek.

😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro