LBS-8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan lupa tanda cintanya, Kakak.

🖤
🖤
🖤

Aku telanjur penasaran, berujung datangnya penyesalan.

Beri aku hukuman apa saja, asal jangan menyuruhku untuk melupakan. Karena aku berniat untuk bertahan dan membayar semua kesalahan.

🔥

Duka Atala atas kehilangan Ayra, kini bisa laki-laki itu pahami. Tuhan memberinya rasa sakit yang sama dengan Irish. Kelakuan bejat yang Atala kira tidak akan berdampak besar, ternyata malah menghancurkan hidup seorang gadis. Atau mungkin kesedihan yang Atala alami hanya sebagian dari kesedihan Irish.

Belum sepenuhnya mendengar cerita Irish, tapi Atala sudah bisa menghubungkan semua kejadian. Gadis itu terluka, tapi memilih bungkam karena sadar Atala tidak menginginkannya. Gadis itu pernah sekarat oleh kecewa yang menebasnya tanpa ampun, tapi dia memilih diam karena tak ingin mengusik Atala.

Tangis laki-laki itu sudah reda. Tidak ada lagi air mata yang menetes. Terakhir kali dia seperti itu adalah ketika kehilangan Ayra. Dan baru saja dia mendengar calon anaknya meninggal. Bagaimana dia bisa menahan air matanya?

Kepala Atala berdenyut keras. Dia tak menyangka rasa penasaran membawanya pada ledakan pertanyaan dan penyesalan. Atala hanya mengetahui bahwa bayi Irish meninggal dalam kandungan ketika berusia 23 minggu. Hanya mendengar kabar itu, tapi Atala merasakan kepedihan luar biasa.

Entah seperti apa kehancuran yang dialami Irish, Atala sama sekali tidak bisa membayangkan. Seorang gadis hamil di luar nikah, tetap mempertahankan janinnya, tetapi mengalami kehilangan bahkan sebelum memberi sebuah pelukan. Laki-laki itu tidak mampu memperkirakan sakit yang Irish harus tanggung seorang diri.

"Aku terkejut kamu nangis, At."

Gadis itu tersenyum lebar sembari mengusap sisa-sisa air matanya.

"Kenapa? Karena aku terlalu bajingan jadi kamu pikir aku nggak bisa nangis?"

Kedua bahu Irish naik sejenak, lalu diturunkan lagi. Mereka tidak lagi saling bertatapan atau berpegangan tangan. Keduanya menatap lurus pada laut yang terlihat. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Atala tidak sekejam itu. Dia seorang ayah, hatinya sudah pasti terluka mengetahui calon anaknya meninggal. Meski bayi itu hadir tanpa keinginan kedua orang tuanya.

"Dulu aku terlalu bodoh. Terjebak oleh pemikiran bahwa kenakalan remaja itu normal. Sial. Baru sekarang aku ngerasa bersalah."

"Tetaplah berpikir kayak gitu, At. Karena nggak ada hal lain yang perlu kamu pikirkan tentang aku."

Atala menoleh cepat, menatap Irish tak percaya. Dia ingin menggenggam lagi jemari itu, tapi terlalu sadar diri kalau untuk menyebut nama Irish saja, seharusnya Atala tidak pantas.

"Setelah apa yang aku lakuin, setelah aku tahu semua, kamu bisa ngomong gitu? Kamu bercanda, Rish."

"Kalau kamu berharap aku meminta pertanggungjawaban kamu, aku udah lakuin itu delapan tahun lalu, At. Tapi nggak, aku konsisten sama apa yang kita akhiri. Nggak usah menebak gimana caraku menyembunyikan kehamilan sebelum lulus sekolah. Atau caraku menghindari kamu. Nggak ada lagi yang tersisa dari kita, At. Nggak ada lagi yang terhubung dan mengharuskan kamu untuk merasa bersalah. Kita udah selesai sejak delapan tahun lalu."

Apa ini?!

Cara Irish bicara, gesturnya, semua yang gadis itu tunjukkan seolah-olah sebuah pembuktian bahwa tanpa Atala, Irish masih bisa bernapas. Namun, tidak dengan Atala. Dia ingin Irish mengungkapkan kekecewaannya. Terserah dengan apa saja, mau pukulan atau tamparan, Atala akan menerima. Karena dia memang bajingan dan pantas mendapatkannya.

Kesukarelaan Irish melupakan segalanya tidak bisa Atala terima. Gadis itu tak bisa bersikap begini. Harus ada yang dilakukannya pada seseorang yang telah memberi noda abadi terhadap dirinya. Atala ingin Irish memarahinya, memaki, atau apa saja.

Kacau!

Atala sadar yang dilakukannya sangat keterlaluan. Parahnya, dia baru menyadari hal itu hari ini. Terlambat baginya untuk memperbaiki keadaan atau mencegah agar Irish tak perlu mengalami penderitaan. Hal baiknya, dia masih punya nurani. Hatinya teriris mengetahui anak pertamanya tiada bahkan tanpa pernah mengenal suara Atala.

"Kasih aku kesempatan untuk nebus kesalahan-kesalahan aku, Rish. Aku emang berengsek banget, tapi aku sekarang sadar kalau kelakuanku dulu nyakitin kamu."

"Dengan apa, At? Dengan apa kamu mau menebusnya?"

Lidah Atala kelu ketika Irish menatapnya dengan senyuman. Kini Atala mengerti, bahwa senyum itu untuk menyamarkan luka. Sekarang Atala tahu bahwa senyum itu tidak selalu menandakan hati yang baik-baik saja.

"Dengan berharap ada keajaiban, terus kita bisa balik ke masa SMA? Dan apa? Kamu mau ubah bagian yang mana, At?"

Laki-laki itu menggeleng lemah. Mau berapa ribu doa pun, Atala yakin Tuhan tidak akan mengabulkan keinginannya untuk kembali ke masa lalu. Atala tahu dia tak bisa memperbaiki keadaan delapan tahun lalu. Namun, dia harus berbuat sesuatu. Dia ingin memberi Irish kebahagiaan yang telah Atala renggut.

"Bilang aku harus gimana, Rish. Untuk nebus kesalahan aku. Untuk membayar semua tangis kamu."

"Mari saling melupakan. Anggap setelah ini kita nggak pernah mengenal."

Refleks Atala mencengkeram pergelangan tangan Irish. Gadis itu terkejut, tapi berusaha tenang dengan tidak bertindak impulsif.

"Kenapa?" tanya Irish seraya menatap Atala.

"Aku nggak mau. Pasti ada jalan selain melupakan. Kasih aku kesempatan, oke?"

"Supaya kamu bisa menghancurkan hidup aku lagi?"

Hati Atala tersentak. Di mata Irish, dirinya kini hanyalah seorang perusak yang tak boleh diberi ampun. Atala tidak menyalahkan penilaian gadis itu. Memang dirinyalah yang menciptakan luka besar untuk Irish. Atala tidak memaksa untuk langsung dimaafkan, tapi dia butuh kesempatan bahwa penyesalannya adalah kesungguhan.

"Nggak, Rish. Nggak akan. Aku nggak akan hancurin kamu lagi."

Perlahan-lahan Irish melepaskan genggaman Atala. Laki-laki itu terbelenggu pada perasaan yang bergumul di dadanya ketika Irish menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Sejenak mata Atala memejam, merasakan kehangatan Irish yang tanpa sadar membuatnya bernostalgia.

Sentuhan itu memorak-porandakan hati Atala. Tiga tahun terakhir tidak ada yang memberi Atala ketenangan ketika disentuh seorang perempuan. Bebannya, kesedihannya, segala sesak di dadanya serasa hendak luruh.

Atala tidak ingat, apakah sentuhan Irish memang senyaman itu. Atau mungkin dia yang terlalu lama tidak mendapat kehangatan, hingga perasaannya jadi sangat kacau sekarang.

"Hei, At. Aku udah baik-baik aja. Aku nggak dendam. Kamu tenang, oke? Aku nggak butuh tindakan kamu atas dasar bersalah dan terpaksa. Tahu kenapa dulu aku nggak ngasih tahu kalau aku hamil? Karena aku nggak mau kamu terjebak dengan orang yang nggak kamu inginkan. Keadaannya sama kayak sekarang. Jangan memasuki hidupku lebih dalam, karena aku bukan orang yang kamu inginkan."

Irish hendak melepas tangkupan tangannya pada wajah Atala. Namun, laki-laki itu menahan dengan menggenggam erat kedua tangan Irish. Mata mereka tak berpaling, pandangan yang terajut dan menyiratkan banyak hal.

"Aku menyesal, Rish. Benar-benar menyesal."

"Itu bagus. Tapi nggak ada yang bisa kamu lakukan. Kita akan hidup tanpa saling menyapa lagi setelah ini."

"Jangan. Kasih aku memperbaiki semuanya, Rish."

Irish tersenyum, lalu melepaskan paksa genggaman Atala. Dihelanya napas panjang sebelum kembali bersuara.

"Aku yakin nggak akan ada yang berubah sekalipun aku kasih kamu kesempatan, At. Kamu nggak tahu harus gimana, 'kan? Kamu nggak tahu apa yang semestinya kamu lakukan untuk membayar kesedihan aku. Kita ambil jalan sederhana aja. Aku nggak butuh kamu yang hanya kasihan sama aku. Jadi, setelah hari ini berlalu, kamu dan aku akan tetap menjalani keseharian seperti biasa. Tanpa memikirkan pertemuan hari ini, tanpa ada penyesalan kayak yang selama ini kamu lakukan."

Apa yang sudah Atala lakukan berdampak sangat besar pada kepribadian Irish. Gadis itu tak hanya berubah dalam penampilan, tapi pemikirannya juga. Keteguhannya untuk melupakan apa yang terjadi hari ini tidak bisa Atala pengaruhi. Kata-kata Atala tak lagi berarti untuk Irish. Berbanding terbalik dengan masa lalu.

Haruskah Atala menuruti kata-kata Irish, sedangkan hatinya berkata untuk tetap tinggal?

"Apa ... kamu udah menikah? Apa karena itu kamu nggak mau aku masuk ke hidup kamu?"
Nyaris putus asa, Atala sampai bertanya hal pribadi. Mau bagaimana lagi? Dia harus menemukan cara agar tetap berada di dekat Irish.

"Aku belum nikah. Mungkin kamu yang udah."

Irish menatap cincin yang melingkar di jari manis kanan Atala.

Sial.

Atala mengumpat ketika sadar bahwa cincin pernikahannya masih tersemat. Buru-buru dia menutupi cincin dengan menumpukan jemari kirinya di sana. Dia seperti seorang peselingkuh yang ketahuan telah beristri. Itukah alasan Irish menolak dirinya?

"Ini nggak kayak dugaanmu, Rish."

"Eh? Emang kenapa? Nggak ada masalah kalaupun kamu udah nikah."

Tidak salah yang Irish katakan, tapi kenapa malah Atala yang panik?

"Aku bisa jelasin."

"Nggak butuh, At. Serius. Aku ikut senang kalau kamu bahagia tanpa aku. Artinya keputusanku dulu untuk nggak cerita apa pun ke kamu udah benar. Bisa kamu bayangin kalau kamu bertanggung jawab, aku akan hidup sama orang yang nggak membutuhkan aku sebagai pasangannya. Itu akan sangat menyakitkan, At."

Atala menempelkan keningnya pada setir. Seharusnya dia memang senang Irish tidak membebankan tanggung jawab sebesar itu di usianya yang sangat muda. Atala semestinya mengambil sisi positif bahwa kesuksesannya ini mungkin tak akan pernah dia capai jika dulu menikahi Irish.

Namun, ada lubang dalam dirinya yang tiba-tiba memberi perasaan tidak enak. Atala menyesal sekaligus bersalah. Akan dia tukar kesuksesan dan kebahagiaannya ini jika itu memang mampu menyelamatkan bayinya. Sekalipun dia tidak mencintai Irish, lalu kenapa? Bayi mereka tetap butuh kasih sayang kedua orang tuanya. Dan Atala tak mampu berkata-kata bagaimana dia merasakan kehampaan ketika tahu telah menjadi calon ayah bejat delapan tahun lalu.

Untuk mengurangi rasa bersalahnya, dia ingin memberi Irish kesenangan dan kebahagiaan. Laki-laki itu ingin menggantikan hari-hari berat yang harus Irish lalui. Sisi lainnya, dia ditolak. Irish enggan membiarkan Atala mencampuri hidupnya lagi. Hal itu menambah buruk kondisi hati Atala sekarang.

"Apa kamu benar-benar nggak ijinkan aku untuk memperbaiki semuanya?"

"Ya," jawab Irish yakin, "karena kamu hanya kasihan sama aku."

"Aku akan belajar mencintai kamu, Rish. Kasih aku waktu dan kesempatan."

Dia memiringkan kepala, seperti laki-laki polos yang sedang merengek untuk dimaafkan. Dilihatnya Irish menggeleng pelan. Atala menduga Irish berpikiran bahwa Atala sudah tidak waras.
Belajar mencintai. Dia tidak tahu kenapa kalimat aneh itu yang harus keluar. Akalnya sudah habis untuk membuat Irish tidak mengusirnya.

"Jangan gilalah. Sekalipun nggak ada yang mau nikahin aku, aku nggak akan mau sama suami orang."

"Aku mulai nggak waras kayaknya, Rish."

Laki-laki itu menegakkan wajah, lalu mengusap kasar wajahnya. Irish hanya mengamati dalam diam.

"Kenapa bayinya bisa meninggal?"

"Bayinya terlilit tali pusar."

Meninggal dalam kandungan, artinya Irish menjalani operasi untuk mengeluarkan bayi itu. Lagi-lagi Atala mengutuk diri sendiri, tersadar bahwa dia pun telah meninggalkan bekas luka di perut Irish. Dia meninggalkan luka di mana-mana, menyakiti Irish seakan tanpa jeda.

"Kamu menderita karena aku, Rish. Gimana aku bisa hidup tenang setelah ini?"

Dipijatnya kening, untuk sedikit meredakan denyutan yang Atala rasakan di kepalanya. Terlalu banyak informasi mengejutkan yang dia terima hari ini, membuatnya bingung harus bertindak seperti apa menangani keadaan yang kacau.

"Itu udah lewat. Waktu mendewasakan aku, ngasih aku banyak pelajaran, ngasih aku tahu cara berdamai dan melupakan. Aku bahagia sekarang. Jangan khawatir, Atala. Sorry tentang kejadian di Madam Rose. Aku hanya-"

"Apa kamu nggak berpikir kalau itu kebetulan yang direncanakan Tuhan?" Atala memotong kalimat Irish. "Kalau kita nggak ketemu di Madam Rose, mungkin selamanya aku nggak akan tahu apa yang kamu alami gara-gara cowok brengsek kayak aku, Rish."

"Sekalipun itu benar rencana Tuhan, terus apa? Kamu udah tahu, cukup sampai di sana aja, At. Jangan usik aku, jangan menghancurkan apa yang udah aku bangun dengan semua tenaga aku."

Irish memalingkan wajah ketika Atala menatapnya seolah-olah tanpa kedip. Laki-laki itu tidak bisa meyakinkan Irish bahwa kedatangannya bukan untuk melukai lagi. Dengan apa dia harus membuktikan bahwa penyesalan kini tengah menggigit hatinya? Akalnya tak lagi bisa merangkai kata-kata menjanjikan agar Irish mau percaya.

Ada beberapa hal yang Atala pahami. Bahwa sekalinya rusak, kepercayaan itu tidak akan lagi terbentuk utuh. Bahwa sekali melukai seseorang, niat baik untuk sekadar menyapa pun tak lagi berarti.

"Apa aku ngerusak semuanya? Apa nggak ada kepercayaan sedikit aja buat aku, Rish?"

Irish menggeleng.

"Begini cara kamu menghukum aku, Rish? Dengan ngebiarin aku tersiksa atas penyesalan dan rasa bersalah ini seumur hidup? Ini yang kamu mau?"

Tidak ada respons dari Irish. Atala berniat menyentuh tangan Irish, menatap matanya, lalu meyakinkan sekali lagi bahwa laki-laki itu tidak berniat jahat. Namun, kata-kata Irish mengentak dada Atala, melenyapkan sisa-sisa harapan yang ada. Atala disadarkan bahwa Irish tak akan lagi bisa dia gapai.

"Atala, aku udah terikat sama seseorang. Aku berniat serius dan menikah. Tolong pergi dari hidupku, ya?"

Apa yang bisa Atala katakan setelah Irish mengusirnya terang-terangan? Tidak ada sedikit saja celah yang Irish beri untuk Atala. Laki-laki itu terdiam dengan kepala yang berdenyut semakin keras.

To be continued

Heh, Atala ini nggak tahu diri banget. Enaknya diapain ya?😂

Jangan lupa follow ig putriew11

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro