Bab 27 - Kami

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haaai para readeerrs!!
*lempar cium, lempar peluk*

Saia mau minta maaf.
Cerita ini sempet terhenti di tengah jalan.
Nggak di tengah juga sih sebenernya.
Dua bab lagi dah masuk ending buku pertama.

Yes!!

Buku ini mau ending sodara-sodara!!

Tapi …
Karena 3 bulan yang lalu saia memasuki bulan horror bagi saia. Yang menyebabkan saia didera WB (alesan)
Maka saia memutuskan untuk berhenti sejenak di kisah ini.

Sekali lagi saia minta maaf!!

*membungkuk sangat dalam*

Nah …

Kali ini saia akan menyajikan bab selanjutnya.
Dan juga, saia mengucapkan teriiimaaa kaasiih banyak untuk kalian semua yang sudah mendukung cerita ini dalam berbagai bentuk.

Pujian kalian, komentar pedas kalian, dan diamnya kalian adalah nutrisi buat Izza!

Itu semua membantu Izza tumbuh dan kembang.

Saia ucapkan terimakasih!!

*membungkuk dalam, untuk kedua kali*

Okay, tanpa buang-buang mase, jom!!
Enjoy the fantasy!!

-----------------------------------------------------------------

Dian masih dirundung berbagai perasaan dan pikiran yang tercampur aduk, yang selama setengah jam ini membuat semua prinsip, pengalaman, dan persepsinya mengenai dunia ini jungkir balik.

Sesekali masih mengurut-urut keningnya, memejamkan matanya —masih berusaha dengan sangat— mencerna semuanya, sambil merebahkan diri pada sandaran sofa yang terletak di sisi dinding sebuah ruangan besar. Bukan. Sebuah hangar super luas.

Selembar handuk masih melingkar-menjuntai, tergantung di tengkuknya, setelah beberapa saat yang lalu ia pergunakan untuk mengeringkan rambut dan beberapa bagian tubuhnya. Kemeja dan celana panjang yang sedang dikenakannya saat ini masih terasa basah kuyup. Namun sudah tak terasa dingin. Sudah cenderung hangat sekarang, setelah entah tadi Astri melakukan apa pada dirinya.

Ia membiarkan posisi tubuhnya menyandar agak miring ke samping kanan, supaya lengan kanannya yang sedang menumpukan siku pada sandaran tangan sofa, bisa menjangkau pelipis mata.

Telinganya masih bisa mendengar suara hiruk pikuk kegiatan orang-orang—ah, sekali lagi bukan, entah mereka itu makhluk apa—yang sekarang sedang diacuhkannya.

Sayup-sayup bisa disimaknya suara Crystal yang sesekali berteriak di kejauhan, melontarkan beberapa perintah kepada individu-individu lain.

Juga suara Nathan yang terdengar seperti sedang bahu-membahu bersama beberapa yang lain untuk melakukan sesuatu—sekali lagi entah apa itu—untuk membetulkan beberapa bagian pesawat.

Namun itu semua hanya sisa-sisa kejadian yang sungguh demi apapun yang masih bisa di ingat oleh Dian dengan jelas kengeriannya, yang setengah jam lalu menimpa dirinya beserta awak jet pribadi yang ditumpanginya.

Dan sekarang, selain Dian harus sekuat tenaga untuk mengendalikan kewarasan—dan bersyukur tentunya—ia juga berusaha untuk bersabar dari sesosok individu yang dia yakin sampai saat ini masih duduk di sebelahnya, dan menatap dirinya tanpa henti.

Dian masih malas untuk membuka mata.

Karena jika ia melakukannya, maka ia yakin, dirinya takkan mampu menahan diri untuk tidak menatap mata sosok yang sedang berada disampingnya saat ini. Sosok yang 10 menit yang lalu diberi ijin oleh Astri untuk menemaninya, sampai Astri kembali dari … oh … entah apa yang sedang dikerjakan wanita itu sekarang.

Betis dan pahanya masih bisa merasakan goyangan-goyangan pada sofa, yang Dian yakin, itu disebabkan oleh goyangan kaki sosok disebelahnya ini. Namun sama seperti hal-hal lain yang saat ini sedang terjadi hampir di seluruh tempat di hangar ini, Dian tak memperdulikannya.

Pikirannya masih sibuk untuk mencerna dan berusaha menerima hal yang terjadi setengah jam yang lalu.

-------------------------

"Before anything elses, show me your bagde guys"

Crystal menatap wajah Dian heran, "mbak Di kepengen liat badge ku?"

"Dan juga punya mbak Astri," Dian menambahkan.

Dian melihat Crystal dan Astri saling melirik. Lalu suasana menjadi hening sejenak.

Hal yang kemudian terjadi adalah, Astri menganggukkan kepala satu kali kearah Crystal, seolah memberi suatu ijin kepada gadis itu.

"Oke deh," ujar Crystal.

Namun tepat ketika Astri dan Crystal nampak akan meraih sesuatu pada saku bagian dalam blazer milik mereka, terdengar suara bell berdenting pada pengeras suara.

—Ting!

"Captain Nathan speaking. Code blue, code blue, code blue. Dengan berat hati saya informasikan kepada seluruh awak dan penumpang, sepertinyav kita harus memajukan jadwal fase dua. Sesuatu sedang terjadi di depan sana. Saya harap Corporal Crystal segera menempati pos dan High Officer Astri untuk mensegerakan proses Package Enhancing dan melakukan prosedur Total Protection at highest level immediately"

—Ting!

Suara Nathan terdengar tenang. Dan Dian sama sekali tak punya gambaran apapun mengenai maksud dibalik announcement tersebut. Namun jika dilihatnya dari reaksi Crystal dan Astri yang saat ini kembali saling menatap dengan raut wajah yang tampak waspada, Dian semacam mengerti jika pengumuman tadi menunjukkan suatu urgensi yang sama sekali tak bisa diabaikan.

Crystal menatap kearah Dian, lalu tersenyum lebar, "Maaf mbak, kayaknya ntar kita lanjutin ya. Aku harus bantuin kak Nathan di kokpit … ", kemudian gadis itu menoleh kearah Astri, " … kak As, aku nitip mbak Dian ya."

Astri tersenyum dan mengangguk.

Crystal kembali melihat kearah Dian, "Aku janji, nanti setelah semuanya reda, aku bakal nemenin mbak Di sampe ketemu sama kak Liana, ok?"

Dian mengernyit, "Reda?"

"Udah, mbak Di tenang aja ..." Crystal membetulkan kacamata miliknya sejenak, " … Aku ke depan dulu deh." kemudian gadis itu meninggalkan cabin penumpang dengan senyuman lebar.

"Mbak Dian,"

Dian menoleh kearah Astri.

"Sesuai janji saya tadi, saya akan mulai menjawab dan bercerita. Mbak sudah siap?"

Akhirnya!! Teriak Dian dalam hatinya girang. "Ini nih yang aku tunggu dari tadi".

Astri menanggapinya hanya dengan tersenyum lembut.

Kemudian Astri mulai berdiri dan mengambil tempat duduk tepat si sebelah Dian sambil membuka koper kecil yang tampak dibawanya tadi. Dan Dian hanya bisa memperhatikan, masih dengan raut yang tampak kebingungan.

Kini Astri tampak mengambil sebuah botol kecil seukuran telapak tangan, bening, yang berisi cairan tak berwarna dari dalam koper. Kemudian meraih suatu kaplet berisi dua butir tablet seperti obat berwarna putih. Diletakkan dua benda itu pada posisi jeda dimana mereka berdua duduk.

Astri kemundian menatap Dian, "maaf mbak, karena fase perjalanan kita berikutnya secara fisik akan terasa agak asing untuk mbak Dian, saya harus menyarankan mbak Dian untuk meminum obat yang nantinya akan memudahkan mbak untuk melaluinya. Saya faham kalau mbak pasti sangat bingung, maka, sembari kita menyelesaikan proses protokol saya sebagai penanggung jawab medis kali ini, saya akan bercerita sesingkat dan sejelas yang saya bisa ke mbak Dian mengenai siapa kami, dan mengenai perjalanan kita kali ini."

Ketika kalimat panjang lebar itu diselesaikan, Dian sungguh merasa sangat yakin, sesuatu yang sangat menyejukkan dibalik suara wanita yang sedang berbicara dengannya saat ini memiliki kekuatan tertentu. Sungguh ketika mendengarkan Astri —yang kini sedang menyerahkan kaplet obat dan botol bening kepadanya—mengatakan kalimat panjang yang secara lembut meluncur begitu saja, sungguh membuat hatinya sejuk.

"Tolong diminum langsung dua tablet ya mbak. Sementara itu … " Astri meraih sesuatu dari balik blazernya sebuah benda. Semacam dompet persegi seukuran telapak tangan. Tampak terbuat dari lembaran kulit berwarna hitam, " … saya mohon, terima semua apa yang mbak Dian saksikan mulai sekarang, sampai nanti akhir dari perjalanan mbak Dian, dan terima dengan pikiran terbuka ya mbak."

Dian mengernyit. Sambil mulai meminum tablet yang diberikan kepadanya, Dian melihat Astri melakukan sesuatu dengan dompet kecil yang baru saja dikeluarkan

"Ini adalah id sekaligus badge milik saya." Astri membuka lipatan dompet itu.

Bagian dalamnya berisi satu lempengan logam berwarna chrome berbentuk persegi yang sedikit lebih kecil dari ukuran sampulnya, melekat pada salah satu sisi. Namun pada lempengan logam tersebut tak terdapat tulisan atau penanda apapun. Hanya sebuah lepengan logam polos biasa bagi Dian.

Tepat setelah Dian selesai meminum semua tablet tersebut, Dian melihat Astri meletakkan dompet itu diatas telapak tangan kiri menengadah keatas, dan dengan jari telunjuk tangan kanannya, Astri melakukan gerakan seperti mengetuk pelan satu kali pada permukaan lepengan logam tersebut.

Hal yang kemudian terjadi sungguh membuat Astri membulatkan mata.

Dari bagian tengah logam itu, muncul secara cepat, kumpulan kabut bercahaya, bergerak memutar dan meliuk keatas dan berhenti pada jarak tertentu, membentuk citraan sebuah wajah dan beberapa aksara aneh yang tak dimengerti oleh Dian. Citraan wajah itu adalah wajah milik Astri, hanya saja berwarna hijau kebiruan lembut.

Seketika, raut wajah Dian tampak takjub.

Lalu Astri tampak mengetuk dua kali pada permukaan logam tadi, dan kini citraan yang terbentuk kemudian adalah tiga buah huruf "S", tampak melayang rendah pada permukaannya.

Dian hanya bisa menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Dan kemudian dengan sekali sapuan lembut telapak tangan, semua citraan tadi seperti menguap, kemudian lenyap.

"Itu … teknologi apa mbak!?" Dian tak bisa menahan diri lagi.

Sembari mengembalikan lagi benda—dompet tadi kedalam saku dalam blazer, tersenyum, Astri mulai bercerita, "Komunitas kami sebenarnya sudah ada jauh sebelum negeri ini berdaulat. Sebelum Krakatau purba meletus. Tepat seratus tahun setelah yang mulia Noah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, para pendahulu kami mendirikan Credo ini."

"Hah!?!" Dian terperangah.

Astri hanya tersenyum. "Boleh pinjam tangan kirinya mbak?"

Entah kenapa Dian serta merta mengulurkan tangan kiri ke arah Astri.

Astri menerima uluran tangan itu, lalu, setelah menggengam lembut, di tengadahkan telapak tangan Dian, dan menyentuh dengan dua jari—telunjuk dan jari tengah kanan—ke arah pergelangan nadi. "Obat nya sudah mulai bekerja. Baiklah"

Dian mengerutkan dahi.

Dian melihat Astri mulai memejamkan mata. Lirih namun terdengar tegas, terdengar Astri melafalkan suatu kalimat, "Yesimihi balebēti nefisihini it’erahalehu, Dian Lestari Sihombing!"

Tepat setelah mendengar namanya disebut diakhir kalimat berbahasa yang terdengar sangat asing olehnya, tiba-tiba sekujur tubuh Dian di serang sensasi dingin-sejuk-takut-namun penasaran. Merinding, matanya terbelalak.

Duh, perasaan apa ini!?!, pekik Dian dalam hati.

Dan perasaan ketakutan menjadi lebih dominan ketika setelahnya, ia melihat Astri membuka kelopak mata dengan keadaan sama sekali tak terdapat iris pada bola mata wanita itu. Hanya putih. Dan bercahaya.

Oh Lord! Now what!!

Ingin rasa hati Dian segera bangkit dari duduk dan berlari menjauh entah kemana,  namun tubuhnya tak merespon sama sekali.

Takut. Sangat takut.

Itu yang dirasakannya saat ini. Dua detik pertama setelah menyaksikan warna mata Astri yang sangat ganjil telah sukses membuatnya berkeringat dingin. Dian menyesali seluruh rasa penasaran yang beberapa jam ini memenuhi kepalanya. Semua hilang menguap entah kemana, digantikan perasaan sesal dan takut.

Detik berikutnya, ia melihat sebuah senyum terbit di wajah Astri, diikuti dengan keluarnya suara lembut dari bibir wanita itu. Kali ini Dian berani bersumpah, nada yang tersajikan sungguh terasa seperti melodi yang mengalun indah. Padahal logika milik Dian jelas-jelas berkata bahwa Astri hanya berbicara seperti biasa.

"Mbak Astri jangan takut. Fokuslah hanya kepada suara saya. Mari kita berpetualang sejenak."

Kalimat itu secara tiba-tiba kembali menenangkan Dian. Total. Dian kembali relax. Semua ketakutan yang tadi hadir, serasa mengalir lembut meninggalkan hati. Fokus nya seakan terasa sangat normal, membuat indera pendengaran Dian terpatri hanya kepada suara Astri.

Kemudian, pengelihatan Dian secara perlahan dan sangat halus, kini sedang melihat sebuah pemandangan sekitarnya berganti. Otaknya memproses seakan kejadian kali ini sungguh sangat normal dirasanya.

Kini mereka berdua sedang duduk pada sebuah batang pohon mati yang terbujur pada sebuah padang luas. Astri masih menggenggam lembut telapak tangan kiri Dian.

Angin semilir mulai dirasa menyapu wajah. Beberapa helai rambut melambai melayang. Reflex, Dian menolehkan wajah, mengamati keadaan sekitar.

Padang rumput itu terhampar luar. Rerumputan tampak memenuhi daratan sepanjang mata memandang. Beberapa pohon tampak seperti tumbuh jarang-jarang hanya di beberapa titik. Berbatasan dengan horizon, langit terlihat mendung. Matahari terlihat bersembunyi dibalik awan cumolonimbus yang terbit dari arah barat. Langit mulai terlihat bersemu jingga.

"Mbak," Suara Astri kembali membuat Dian menatap wajah wanita itu.

"Coba mbak Dian lihat arah tenggara," Astri memalingkan wajah kearah yang dikatannya.

Dian mengikuti. Diujung sebuah bukit, ia melihat sekumpulan orang mulai muncul. Berpakaian kain seperti jubah berwarna abu-abu, cokelat, krem lusuh menutup seluruh tubuh. Dengan penutup kepala menyerupai surban berwarna senada. Mereka berlari kecil. Ah, tidak, ternyata mereka berlari cukup kencang. Dapat dilihatnya, orang-orang yang berjumlah sekitar 7-8 individu, sesekali menoleh kearah belakang mereka. Ketika jarak mereka semakin dekat, Dian bisa melihat raut wajah mereka seperti ketakutan. Mereka sedang dikejar sesuatu.

Terlihat individu yang paling belakang terjatuh setelah melihat kebelakang. Tubuhnya menggelinding beberapa kali pada sisi bukit yang menurun. Kemudian muncul dua, oh bukan, tiga asap hitam melesat dari sisi bukit dimana orang-orang tadi muncul. Tiga asap hitam itu bergerak cepat seakan memiliki kesadaran. Bergerak keatas sejenak, lalu menukik tajam menghujam individu yang terjatuh paling belakang, terlihat menelusup masuk ke dada, lalu lenyap, dan kemudian orang itu terlihat kejang-kejang.

Sementara sisa orang-orang yang lain yang berlari lebih depan, semakin mendekat dengan posisi dimana Dian dan Astri duduk.

Beberapa detik kemudian, empat sosok asap hitam meluncur keluar dari tubuh yang kini sudah berhenti kejang. Dian mengerutkan dahi. Sosok asap hitam itu sudah bertambah satu jumlahnya.

Kini keempatnya terbang melesat, tampak mengejar orang-orang yang lain. Kembali melayang agak tinggi, dan menghujam masing-masing satu orang. Empat orang serta merta tumbang, dan tubuh mereka mengejang. Dan kemudian dari masing-masing tubuh yang tumbang, keluar dua sosok hitam. Dan sekarang jumlah sosok hitam itu sudah berlipat menjadi delapan.

Perasaan merinding mulai kembali merayapi sekujur tubuh Dian.

"Makhluk-makhluk itu adalah èguǐ, petavatthu, atau preta dalam kebudayaan lain." Suara Astri membuat Dian menoleh kewajah wanita itu.

"èguǐ adalah jiwa-jiwa tersesat. Jiwa mereka tersusun dari komposisi yang dominan akan kegelapan akibat dosa-dosa manusia. Sebuah keberadaan yang karena ketersesatannya, mereka akan merasa selalu lapar. Lapar akan jiwa-jiwa yang lain." Astri mengakhiri penjelasannya dengan kembali menoleh kearah orang-orang tadi.

Dian mengikuti pandangan Astri. Kini telinganya menangkap suara-suara. Teriakan lebih tepatnya. Sangat terasa ketakutan terdengar dari teriakan-teriakan itu.

Kini jarak mereka hanya tinggal beberapa meter dari posisi mereka duduk.

Salah satu orang berlari kearah dimana Dian berada. Dan ketika jarak mereka sudah mencapai kira-kira tiga meter dari posisi Astri dan Dian, satu sosok asap hitam telah melesat, berhenti tepat ditengah antara Astri, Dian dan orang itu. Seorang pria dengan janggut lebat dan kumis. Terlihat masih muda. Raut wajahnya memucat ketika salah satu sosok asap hitam mencegat, membuat pria itu menghentikan langkah.

Sosok asap hitam itu sangat pekat. Dian masih bisa melihat bagian-bagian tembus pandang, namun sangat sedikit. Tubuh asapnya bergerak-gerak konstan. Seketika Dian merasakan atmosfer yang sangat menekan, bercampur dan terasa semakin menyelimuti tubuhnya, dengan rasa merinding yang sedaari tadi hadir.

Namun tiba-tiba asap itu, bagian pucuk atas yang terlihat seperti bagian kepala, menoleh kearah Dian dari posisinya yang melayang rendah.

Sebentukan wajah ditangkap oleh netra miliknya. Wajah yang tersusun oleh sekumpulan asap berwarna hitam kelam, terasa seperti akan menghisap jiwa siapapun yang bersitatap dengan sepasang bola-bola cahaya merah menyala, yang entah bagaimana caranya, Dian mempersepsi itu sebagai mata.

Tiba-tiba saja seluruh sendinya terasa lemas. Ingin rasanya Dian menangis saat itu juga. Namun sebelum itu semua terjadi, Dian merasakan sebuah remasan hangat pada telapak tangan kirinya.

"Jangan takut!" Kalimat bernadakan perintah itu diucapkan Astri sangat lembut. Masih dengan intonasi yang terdengar bermelodi. Dan untuk sesaat, ketakutan Dian mereda, walaupun masih belum bisa membuatnya berpaling dari wajah gelap sang èguǐ.

Detik berikutnya, dari arah barat, tiba-tiba sesuatu melesat mengenai wajah penuh kegelapan itu, yang akhirnya membuat seluruh eksistensi makhluk tersebut terurai, lenyap tanpa bekas. Dian melihat kearah tanah, kearah dimana benda yang melesat dari arah berlawanan dengan arah wajahnya saat ini. Sebuah anak panah, yang di mata ujungnya terlihat memancarkan cahaya kekuningan sesaat, lalu meredup dan hilang, tertancap miring pada permukaan tanah berumput hijau.

Segera dipalingkan wajahnya kearah dimana Dian memperkirakan datangnya anak panah tadi.

Didapatinya Astri sudah memalingkan wajah kearah yang sama. Rambut panjang berwarna hitam milik Astri tampak melambai-lambai tertiup angin yang dirasa semakin kencang berhembus dari arah timur.

Tampak sekelompok manusia berjubah hitam menunggang kuda-kuda, berbondong-bondong dari barat. Panah-panah lain tampak melesat dari arah mereka, menukik menerjang para èguǐ yang tersisa.

"Mereka adalah serdadu dari Credo kami di awal-awal masa. Sebuah masa dimana masih belum ada batas signifikan antara dunia bawah, dunia kami, dan dunia atas, dunia kalian." Astri kembali berkisah.

Astri kembali menoleh karah Dian, masih dengan mata putih bercahaya, "Para pendiri Credo kami berkumpul, atas dasar panggilan hati, untuk melindungi jiwa-jiwa yang kami anggap masih berhak atas sebuah kesempatan, untuk kembali kepada cahaya kebenaran."

Pemandangan sekitar mereka terlihat buram, dan dengan halus, namun cepat, berubah. Kini mereka berdua sedang duduk di sebuah bangku kayu di sudut ruangan berdinding batu, dengan cahaya temaram dari beberapa obor yang tersandar-menggantung di dinding dinding.

Ruangan itu cukup luas. Ditengahnya terletak sebuah meja besar yang dikelilingi kursi-kursi besar, cukup untuk sekitar 25 orang. Di salah satu sisi meja, terlihat beberapa orang dengan kesan-kesan wibawa, dengan raut serius pada wajah-wajah mereka, sedang memandangi miniatur sebuah padang luas berbukit-bukit. Terlihat panji-panji kecil warna warni, berdiri berkelompok-kelompok.

"Ini adalah markas pusat kami di sebuah wilayah yang nantinya di masa depan, dipanggil sebagai Benteng Bukit Alamut. Saat ini adalah masa kekuasaan Raja Agung Dzulkarnain. Yang Mulia secara pribadi memerintahkan kami untuk ikut andil dalam penyerangan. Mereka sedang merencanakan penyerbuan dan penjebakan bangsa Gog dan Magog, Ya'juj dan Ma'juj pada kebudayaan lain." Suara Astri mengiringi pemandangan yang saat ini sedang disaksikan oleh Dian.

Kemudian pemandangan kembali berubah secara cepat, menampilkan tempat-tempat dan adegan-adegan yang mengalir. Dari berbagai macam timeline dan peradaban.

"Dimasa kekuasaan Raja Agung Solomon, akhirnya untuk pertamakali, Definisi yang jelas ditarik ketat, untuk memisahkan Dunia atas dan dunia bawah."

"Dan Credo kami terus bertahan selama ribuan tahun. Sama seperti lembaga-pemerintahan buatan manusia yang lain, kami juga melalui pasang-surut. Sempat beberapa kali ter-deviasi dalam hal tujuan dan niat. Nafsu dasar dan politik menjadi penyebab utama …" Astri bernarasi mendampingi berbagai macam kelebatan kisah-kisah yang tersaji. " … kami tak lagi cuman berurusan dengan makhluk-makhluk selain manusia. Dengan imbalan yang sesuai, kami juga mulai membunuh manusia lain."

Dian bisa melihat siratan sendu pada wajah Astri.

"Pada akhirnya kami tercerai berai. Kisah Credo kami berhenti. Hilang ditelan sejarah"

Kini pemandangan disekitar mereka menampilkan gambaran sebuah sudut pandang aerial. Mereka berdua serasa duduk pada punggung seekor burung yang terbang melintasi awan-awan. Terbang memutar-turun, sampai terlihat sebuah daratan. Padang pasir. Dan terdapat sebuah tempat yang di kungkung oleh formasi bukit-bukit bebatuan tinggi, ditengahnya terlihat sebuah benteng yang hancur. Terlihat tertinggal tanpa ada kehidupan, luruh dimakan waktu.

"Sampai pada suatu waktu, Sang Maha Pencipta, mengutus sang Al-Masih"

Pandangan berubah. Menunjukkan adegan-adegan dari suatu masa. Di sebuah daerah yang sedang dikuasai oleh kekaisaran Romawi. Dian mengenalinya dari seragam ratusan tentara Palanx yang sedang melakukan long march di suatu bukit berbatu.

"Beberapa keluarga dari pecahan Credo, yang masih mempraktikkan beberapa ilmu-ilmu terlarang, tetap melayani beberapa keluarga penting untuk meloloskan niat-niat politik."

Kini citraan-citraan kejadian, menampilkan beberapa adegan pembunuhan-pembunuhan di sudut-sudut gelap kota di malam hari. Beberapa yang lain, menampilkan ahli-ahli sihir yang meniup buhul-buhul, mengirimkan teluh-teluh kepada korban-korban.

"Beberapa sisa keluarga lain yang masih mempertahankan ilmu-ilmu rahasia dan prinsip-prinsip agung Credo kami pada awal mula, tergerak untuk membantu Sang Al-Masih untuk menyebarkan kebajikan"

Mulai tampak kejadian-kejadian, sekolompok orang tampak sedang melakukan pengobatan-pengobatan. Sementara kelompok-kelompok yang lain melakukan pengusiran makhluk-makhluk dunia bawah yang sengaja dipanggil untuk melakukan kerusakan.

"Sampai pada suatu saat, Sang Pencipta memanggil Al-Masih untuk berpulang ke sisi-Nya, kami yang merasa kehilangan, akhirnya kembali bersembunyi dalam bayangan-bayangan dan kegelapan malam"

Adegan di sekitar mereka kembali menampilkan secara cepat masa-masa peradaban dengan cepat.

"Beberapa masa menyudutkan kami kembali kedaerah-daerah sempit. Melakukan praktik-praktik kami secara diam-diam. Terutama ketika pada suatu masa, disaat masa kekuasaan Sang Utusan Terakhir, memberikan perintah bahwa sihir dilarang."

Kejadian-kejadian masih terputar di sekeliling mereka. Kali ini menampilkan beberapa adegan perniagaan di suatu kota di daerah jazirah padang pasir.

"Namun kami tak bersedih. Karena kami sangat mengetahui jikalau Beliau sungguh membawa perubahan kearah kebaikan. Kami mulai berani membaur dengan dunia atas, sebagai pedagang obat dan pakaian. Beberapa sebagai penjual makanan. Beberapa yang lain menjual buku-buku dan batu-batu mulia. Masih dengan tujuan yang sama, walaupun masih sembunyi-sembunyi. Tujuan yang selalu kami junjung tinggi, menolong mereka yang terkena akibat buruk dari kegiatan-kegiatan yang melibatkan dunia bawah."

Kini Astri menatap wajah Dian. Dian menghentikan kegiatannya menyaksikan kisah-kisah, menatap kearah mata Astri.

"Sampai akhirnya Sang Utusan Terakhir wafat. Beberapa masa kemudian, seorang Raja dengan segala daya dan upaya yang dimiliki oleh beliau, mengumpulkan kembali kami, dengan seleksi yang sangat ketat, di bentuklah kembali Credo kami dengan wajah dan sistem yang baru. Sengaja menyembunyikan keberadaan kami. Dan kami terus berkembang, merekrut individu-individu berbakat, untuk meneruskan tujuan-tujuan kami. Sampai sekarang."

Kemudian citraan-citraan kisah secara cepat menunjukkan proses berkembangnya sebuah perusahaan. Mulai dari sebuah tempat yang berdindingkan batu alam, terus berubah sampai dinding logam. Kemudian tampak citraan sebuah rumah pendidikan. Menampilkan murid-murid semenjak umur dini, sampai acara serah terima jabatan tertentu.

Para lulusan yang mulai menerima tugas-tugas. Menyebar keseluruh pelosok penjuru dunia.

Kemudian tampak seorang lulusan yang sedang berjalan turun pada sebuah track tanjakan pada sebuah sisi gunung. Kemudian citraan menunjukkan gadis itu bertemu dengan seseorang di sebuah rumah makan.

Pada saat ini, Dian mengenali dua sosok yang sedang ditampilkan. Dirinya dan Crystal. Dan yang kemudian ditampilkan adalah serentetan peristiwa yang berakhir pada adegan dirinya yang sedang duduk bersama Astri, sama persis seperti saat ini. Citraan itu menyatu tepat sama persis dengan posisi mereka. Netra Dian mengikuti semua adegan, dan mengakhirinya dengan kembali menatap wajah Astri.

Dilihatnya wanita itu tersenyum dengan mata terpejam.

Beberapa saat kemudian, Astri membuka mata. Bersamaan dengan itu, secara tiba-tiba Dian merasa limbung. Serta-merta Dian buru-buru menghirup udara sebanyak yang ia bisa, seakan-akan dia telah berlari jauh. Matanya kemudian menatap Astri.

Masih dengan nafas yang agak tersengal-sengal, ia melihat mata Astri sudah kembali normal, Dian mengutarakan sesuatu, "Mbak Astri, itu tadi apa!!?"

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro