LFU_14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam mulai merayap. Jarum jam hampir menunjuk angka dua belas. Namun gadis yang masih mengenakan kaos dan celana jeans selutut itu masih betah duduk di depan kanvasnya. Selalu ada rasa tenang setiap kali jarinya menyapukan warna di atas benda putih itu.

Rere menghela napas, merapikan semua alat lukis ke dalam tempatnya saat dirasa tubuhnya mulai penat. Ia meregangkan tubuhnya sebentar sebelum keluar dari studio lukisnya, lalu masuk ke dalam kamar.

Baru saja ia membaringkan tubuh, ponselnya mengalunkan satu lagu. Membuat bibir mungil itu berdecak lirih.

Kening Rere berkerut saat melihat nomor yang terpampang tak dikenal. Ia mendiamkan ponselnya, namun saat benda itu kembali mengalunkan lagu Rere tidak lagi bisa mengabaikannya.

"Lihat jendela, Re! Aku punya kejutan," kata suara di seberang sebelum Rere sempat mengucapkan halo.

Rere pun segera bangkit dari kasur dan segera membuka jendela kamarnya.

"Hitung sampai tiga, ya!" kata suara di seberang lagi. Hanya dengan mendengar suaranya saja, Rere sudah tahu siapa laki-laki yang kini mulai menghitung dari seberang telepon itu. Rere pun ikut menghitung di dalam hati.

Tepat di hitungan ke tiga, langit tampak berwarna warni oleh kembang api. Terus bersusul-susulan dengan indahnya, hingga tanpa sadar kedua sudut bibir Rere terangkat. Membentuk senyuman manis yang akhir-akhir ini jarang sekali ia tampilkan.

"Happy birthday my queen," bisik suara di seberang.

Dada Rere seketika bergemuruh. Tangannya tanpa sadar menggenggam erat ponsel yang masih ia tempelkan di telinga. Mata Rere mulai berkaca-kaca. Panggilan itu, membuat dunia Rere terasa jungkir balik tak terkendali.

"Aku pernah membuat satu kesalahan, Re. Dan nggak akan pernah aku ulangi lagi. Walaupun kamu menyuruhku berhenti, aku nggak akan pernah berhenti. Kamu nggak perlu melakukan apapun, dan ... jikapun kamu nggak percaya dengan perkataan ku, aku nggak masalah. Jalani aja hidup kamu seperti biasa, biarkan aku yang berjuang. Anggap aja ini adalah satu hukuman, karena aku pernah membuat kamu menangis."

Satu bulir air mata terjun bebas dari mata Rere. Ia tidak sanggup berkata apapun. Bukannya dia tidak mau percaya dengan apa yang Mahesa katakan. Hanya saja, Rere takut jika hatinya akan kembali patah.

"Aku boleh minta sesuatu?"

Rere tersentak, ia mencoba menahan isaknya. Tidak mau jika sampai Mahesa tahu jika dia menangis.

"Ya?"

"Besok temui aku di taman biasa kita ketemu, aku tunggu jam delapan." Rere hanya mengerjab, ia bingung harus menjawab apa.

"Satu hari saja, Re. Biarkan aku membuat kamu tersenyum di hari bahagia kamu kali ini. Please!"

Rere menghela napas, lalu mengangguk. Tapi segera mengatakan 'ya' saat sadar Mahesa tidak akan melihat gerakan kepalanya.

"Terimakasih, sekarang kamu istirahat, sampai besok!"

Rere tak menjawab, ia hanya menghela napas, lalu mengamati layar ponselnya setelah orang di seberang memutus sambungan. Bibirnya kembali tersenyum. Entah mengapa ada rasa bahagia yang menelusup, saat kata-kata Mahesa tadi kembali terngiang.

My queen.

Sepertinya Rere tidak akan bisa tidur malam ini.

*

Mungkin ini kedua kalinya Rere merasa tidak percaya diri dengan penampilannya. Ia sudah membongkar-bongkar isi lemarinya dan tak menemukan satu bajupun yang ia rasa pas untuk dipakai. Kepalanya mendongak, melihat jam yang hampir menunjuk angka delapan. Sepuluh menit lagi!

Rere mengacak rambutnya frustasi, ia kesal pada dirinya sendiri.

Gadis itu berkacak pinggang, mengamati lagi bajunya yang sudah acak-acakan di atas tempat tidur.

Karena kesal, akhirnya Rere menarik satu kaos lengan panjang, dan celana jeans abu-abu. Biarlah tampil apa adanya. Lagipula untuk apa dia berusaha untuk terlihat menarik. Mahesa pun sudah bukan jadi siapa-siapanya lagi sekarang.

Tak berapa lama Rere sudah siap dengan penampilannya yang biasa. Ia menarik satu jaket denim sebelum akhirnya berangkat. Namun langkahnya memutar kembali ke kamar saat sadar ransel kecilnya tertinggal.

*

Mahesa terus melirik arloji di tangannya. Laki-laki yang mengenakan sweater warna abu itu terus melongok ke arah pintu masuk taman. Namun sosok Rere tidak juga terlihat datang. Apa mungkin?

Kepalanya menggeleng, mencoba menghalau pikiran buruk yang melintas. Rere pasti datang!

Ia menghela napas, lalu tersenyum saat melihat bunga di tangannya. Mahesa tahu jika Rere bukan tipe perempuan yang menyukai hal romantis seperti ini. Tapi, ya ... siapa tahu saja gadis itu sudah berubah sekarang.

Kepala Mahesa mendongak saat menyadari kehadiran seseorang. Bibir itu kembali menyunggingkan senyum ke arah gadis yang kini sudah berdiri di depannya. Diapun berdiri, lalu menyodorkan satu buket bunga ke arah Rere yang nampak mematung.

"Untuk hari ini saja, biarkan aku bersikap, seolah ... hubungan kita masih seperti dulu."

Rere masih mematung, kepalanya sedikit mendongak, karena kini Mahesa berdiri di hadapannya.

Lalu dengan ragu, tangan itu meraih buket bunga yang Mahesa sorongkan. Ada senyum tipis, hampir tak terlihat, namun mata jeli Mahesa mampu melihatnya.

"Boleh puter badan, nggak?"

Rere kembali mendongak dengan kening berkerut.

Bibir Mahesa kembali menyunggingkan senyum, "Kamu, tolong puter badan!"

"Buat apa?"

"Udah, puter badan dulu," kata Mahesa sembari memegang pundak Rere dan memutar tubuhnya perlahan.

"Ngapain, si Za?"

Mahesa tidak menjawab, ia merogoh sakunya lalu mengeluarkan sebuah kotak perhiasan. Sebuah kalung dengan liontin bintang bertengger indah di sana.

Rere yang masih bingung terkesiap saat merasakan benda dingin menyentuh lehernya. Lalu kepalanya menunduk, dan terlihatlah sebuah kalung yang melingkar manis di sana.

"Aku bingung mau kasih apa, yang aku ingat ... kamu itu suka bintang," kata Mahesa setelah selesai memakaikan kalung berliontin bintang itu di leher Rere. Lalu ia bergerak maju dan berdiri di depan gadis yang masih menampakkan kebingungannya.

"Sekali lagi ... happy birthday, my queen."

Rere membuang muka, panggilan itu hanya mampu melemahkan hatinya. Bahkan pipinya memanas seketika. Ia ingin kabur saat ini juga. Jangan sampai ia menangis di hadapan laki-laki ini.

"Re!" Rere kembali tersentak karena kini Mahesa meraih satu jemarinya yang bebas.

"Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," kata Mahesa dengan senyuman yang menawan.

"Ke mana?" tanya Rere berusaha menutupi kegugupannya. Ia ingin melepas tangannya dari genggaman Mahesa. Dia tidak mau laki-laki itu merasakan betapa dingin telapak tangannya saat ini. Namun Mahesa malah semakin mengeratkan genggamannya. Lalu dengan perlahan, ia menarik tangan Rere dan mereka berjalan beriringan.

Kejutan yang Mahesa berikan nyatanya tak sampai di situ. Mata Rere mengerjab, dan kembali menatap Mahesa bingung saat laki-laki itu berhenti di depan sebuah motor besar.

"Traumaku udah sembuh, Re. Aku jamin akan aman!" katanya yang mengerti arti dari raut bingung yang kini Rere tunjukan. Dia memang sempat trauma menaiki kendaraan roda dua itu. Karena pernah mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya dan mamanya dulu. Namun demi bisa berboncengan dengan Rere, Mahesa mencoba menyembuhkan traumanya dengan berbagai macam terapi. Dan mungkin karena keinginannya yang sangat kuat, ia bisa sembuh dengan cepat.

Rere masih saja tak bersuara saat Mahesa memakaikan helm ke kepalanya. Laki-laki itu tersenyum. Merapikan poni Rere yang sedikit berantakan. Lalu memakai helmnya sendiri sebelum akhirnya naik ke atas motor besarnya.

Dengan debaran yang sudah tak lagi bisa Rere jabarkan rasanya. Ia pun naik ke atas motor itu.

Sepanjang perjalanan keadaan hening. Hanya terdengar suara kendaraan lain yang terus melewati mereka. Juga suara deru motor yang bertabrakan dengan angin.

Mahesa yang merasakan Rere kebingungan mencari pegangan akhirnya menepikan motor.

Rere yang bingung turun dari motor dan melihat ke arah Mahesa yang juga akhirnya turun. Laki-laki itu mengambil alih bunga yang masih Rere pegang, memanggil anak kecil yang lewat dan memberikan bunga itu padanya.

Mahesa tertawa kecil saat anak kecil tadi nampak melompat-lompat girang.

"Nggak mungkin, kan kamu pegangin itu terus sepanjang jalan," kata Mahesa yang mendapat kerutan bingung dari wajah Rere.

"Ayo, kita jalan lagi."

Tanpa mengatakan apapun, Rerepun ikut naik saat Mahesa sudah kembali duduk di atas motor besarnya.

Bibir Rere memekik kecil saat tiba-tiba saja tangan Mahesa menarik kedua tangannya untuk memeluknya.

Gadis itu salah tingkah, tapi membiarkan saja apa yang Mahesa lakukan. Dan selanjutnya, mungkin hanya suara detak jantung masing-masing yang terdengar berdebar hebat saat ini.

🌼🌼🌼

Udah ah, aku nggak kuat nulisnya. Baper sendiri, masak. 😂😂
(Lebay gak, si. Wkwkwk)

Lanjut besok, yak! 😘

04 September 2019
Ig. Dunia.aya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro