LFU_18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Saya terima ...."

Rere menutup telinganya yang terus mendengungkan kalimat itu. Matanya terpejam erat, berusaha menghapus bayangan Mahesa yang tengah menjabat tangan ayahnya dan ada penghulu di sana.

Senyuman manis Renata, makin memperparah koyakan hati yang kini ia rasakan. Rere ingin menangis, namun air matanya tak sanggup keluar. Bahkan saat Adrian mengantarkannya pulang malam tadi, ia tak bersuara sedikitpun. Rere hanya mematung, turun dari mobil pemuda itu tanpa mengatakan apapun. Selanjutnya ia hanya mengunci pintu hingga pagi menjelang.

"Re! Udah bangun sayang? Kata Ian kamu sakit?"

Suara mamanya terdengar cemas. Ini sudah kesekian kalinya wanita itu mengetuk pintu kamar anak gadisnya yang belum juga keluar dari malam tadi.

"Rere!"

"Rere nggak papa, Ma!" teriaknya dari balik selimut. Rasanya masih enggan melakukan apapun.

"Tapi sarapan dulu, ya. Bukain pintunya!"

"Nanti Rere keluar kalau udah laper."

Winda menyerah, dan kembali meletakkan mangkok bubur di atas meja makan.

"Masih belum mau keluar?"

Winda menggeleng mendengar pertanyaan sang suami.

"Tapi udah mau jawab si. Kayaknya udah baikan, nanti biar Mama coba bujuk makan lagi."

Firman mengangguk, meski sebenarnya ia bingung dengan tingkah anak bungsunya ini. Semalam, Adrian menemuinya dan berkata baru saja mengantar Rere pulang. Ia memberitahu jika Rere tidak enak badan dan meninggalkan motornya. Padahal saat di telepon anak gadisnya itu seperti dalam kondisi baik.

Memang dia tidak sempat bertemu dengan Rere. Semuanya sibuk menyiapkan akad nikah Renata dan Mahesa yang terpaksa dilakukan mendadak karena kondisi Restu yang tiba-tiba memburuk. Yang makin membuatnya bingung adalah, kesalahan yang Mahesa buat saat mengucapkan ijab kabul. Firman yakin ada sesuatu di sini. Karena dua kali Mahesa salah menyebut nama. Bukan Renata Arnelita yang laki-laki itu sebut, namun malah nama Revanya.

Walaupun akhirnya dikesempatan ketiga laki-laki itu berhasil menyebutkan ijab kabul dengan benar. Entah mengapa Firman merasa ada yang janggal. Apa dia telah salah mengambil langkah?

*

Laki-laki yang masih mengenakan kemeja putih sejak semalam itu hanya mematung di salah satu meja kantin rumah sakit. Ia merasa tidak berguna karena telah menyakiti gadis yang seharusnya ia perjuangkan. Ia telah menghancurkan Rere dengan memberinya harapan. Ia telah mematahkan hati Rere, yang ia yakini sudah tidak lagi berbentuk.

Tepukan di bahu tidak membuat laki-laki itu beranjak dari tempatnya. Juga tidak mengubah posisinya.

"Bang! Lo nggak bisa kayak gini terus!"

Mahesa mendengus, enggan menggerakkan kepalanya ke mana pun. "Gue jahat, cuman itu kata yang pantas buat gue saat ini."

"Tapi ini bukan sepenuhnya kesalahan lo. Keadaannya memang nggak memungkinkan, kan?" Adrian mencoba menghibur. Ia sangat prihatin dengan kondisi abangnya. Juga keadaan Rere yang ia lihat begitu hancur malam tadi.

"Gue udah nggak punya muka lagi ketemu Rere. Gue bener-bener tolol!"

Adrian bingung harus berkata apa. Jadi dia hanya diam, sambil menepuk pundak abangnya dua kali.

Renata yang berniat menghampiri Mahesa urung. Ia memilih berdiri dan mendengarkan percakapan kakak adik itu dari balik tembok. Ada rasa bersalah yang coba ia tutupi. Bahkan dia tidak mengizinkan hatinya sendiri untuk menyalahkan apa yang kini terjadi. Ia mencoba menyelamatkan diri dari kehancuran.

Seperti biasa, dia menang dari Rere dengan cara yang tidak benar. Iya, dia tahu dia salah. Bahkan dari dulupun ia tahu apa yang ia lakukan itu salah. Tapi rasa iri karena adiknya selalu menjadi yang terpilih. Membuat hati Renata buta, dan selalu membenarkan kesalahannya.

Yang paling penting adalah, kebahagiaannya sendiri. Lagipula, Rere lebih pintar menyembuhkan diri. Jadi, adiknya itu pasti akan segera sembuh dari luka ini. Rere kuat, itulah yang selalu Renata lihat.

*

Rere memutuskan untuk keluar dari kamar. Namun saat melihat ibunya tengah melihat-lihat foto pernikahan Renata ia memilih pergi dari rumah. Mungkin setelah ini ia harus mencari tempat kos dan menjauh sejauh-jauhnya dari Renata dan Mahesa. Sudah tidak ada masa depan lagi untuk hubungannya dengan laki-laki itu.

"Re!"

Rere mendongak, ia tengah duduk di taman tempat biasa ia bertemu dengan Mahesa. Sekuat apapun Rere mencoba menghapus bayangan laki-laki itu, selalu saja gagal.

"Gue udah denger, soal ...." Leon tak melanjutkan kalimatnya saat melihat Rere memalingkan wajah.

Laki-laki itu duduk di samping Rere. Ia memperhatikan wajah sayu gadis itu dari samping. Tak ada jejak air mata. Ia tahu, hati Rere begitu hancur hingga air mata pun tak mampu ia keluarkan.

Tadi dia berniat mengajak Rere jalan karena mereka sudah tidak bertemu selama berhari-hari. Tepatnya semenjak Rere memilih memutuskan hubungan mereka. Hari ini rencananya Leon ingin memperbaiki semuanya. Meski sudah bukan kekasih lagi, setidaknya persahabatan mereka tidak boleh putus. Namun kabar yang ia dapat sungguh mengejutkan. Dan saat mama Rere mengatakan puterinya pergi entah ke mana. Leon tahu Rere pasti ada di tempat ini.

"Punggung gue bisa lo jadiin sandaran. Kalau lo pengin nangis." Leon memutar tubuhnya, hingga kini duduk membelakangi Rere.

"Mungkin perasaan lo akan sedikit lega setelah menangis. Gue nggak akan bilang ngerti gimana perasaan lo saat ini seperti apa, karena gue belum pernah ngerasain yang lo rasa."

Rere menggigit bibir, lalu memeluk Leon dari belakang. Ia menyembunyikan wajahnya di punggung laki-laki itu. Air mata yang tak mampu keluar semenjak kemarin akhirnya luruh. Bersusul-susulan bersama isakan yang semakin kencang.

Leon tak berkata apapun lagi. Ia memilih mengusap lembut jemari Rere yang melingkar di perutnya.

Mereka terus seperti itu hingga Leon merasakan guncangan di punggungnya berhenti. Digantikan suara sesenggukan dari gadis di belakangnya.

Leon melepas jemari Rere lalu memutar tubuh. Menarik tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Dan Rere kembali menumpahkan air matanya.

"Gue selalu ada buat lo, Re. Lo nggak akan pernah sendirian," katanya sembari mengusap lembut punggung Rere.

"Lo boleh menangis sepuasnya sekarang, tapi besok ... lo harus berusaha kuat. Gue akan selalu membantu lo untuk bisa berdiri tegar."

"Apa gue bisa? Ini rasanya nggak adil, Yon! Rasanya tuh sakit banget!"

Leon menarik napas lembut, "Mungkin Tuhan sedang menguji lo sekali lagi. Dia ingin membentuk Rere menjadi gadis yang lebih kuat dengan adanya masalah ini."

Rere menarik tubuhnya dan duduk bersandar pada punggung kursi, lalu menggumamkan terima kasih saat Leon menyodorkan sapu tangan.

"Gue bingung, sebenarnya apa salah gue sama Renata. Kenapa di seneng banget ngancurin hidup gue," katanya setelah mengusap air matanya dan membersit hidung.

"Entar gue cuci," katanya cepat membuat Leon terkekeh geli.

"Nggak usah pikirin yang nggak harus dipikirin. Mungkin memang harus seperti itu jalannya," kata Leon menanggapi perkataan Rere sebelumnya.

Gadis itu menghela napas, menatap Leon dengan sorot yang lebih tenang. "Makasih ya, Yon. Lo selalu bisa nenangin perasaan gue. Lo itu kayak malaikat pelindung gue, Yon."

Leon tertawa kecil dan menepuk puncak kepala gadis di sampingnya. "Oh ya. Gue ada tawaran bagus buat lo." Leon jadi teringat tujuannya.

Rere tak menjawab, ia hanya menatap wajah Leon, menunggu laki-laki itu melanjutkan kalimatnya.

"Panti punya temen gue lagi butuhin guru lukis. Jadi, mereka ngadain kelas lukis gitu, tiap hari Senin sampe Jumat. Nah, yang ngajarin baru ada satu. Dan ternyata yang pengin ikutan banyak. Jadi kayaknya bakalan nggak kepegang, deh kalau gurunya cuman satu. Gimana, lo mau?"

Rere nampak menimbang-nimbang.

"Biar kemampuan Lo bermanfaat, Re. Dan juga, mungkin dengan memiliki kegiatan lain, lo bisa mengalihkan pikiran lo sejenak dari semua masalah yang ada." Leon menatap Rere penuh harap.

"Gue lagi ada beberapa pesenan lukisan." Rere tidak berbohong. Ia memang sedang mengerjakan beberapa pesanan lukisan. Diam-diam Genta ternyata mempromosikan hasil lukisannya pada teman-temannya. Dari situlah, lukisan Rere mulai dikenal banyak orang.

"Kan cuma dua jam kelas lukisnya."

Rere menggigit bibir. Sebenarnya bukannya dia tidak tertarik. Hanya saja, dia takut pikirannya yang sedang kacau akan memperburuk suasana di sana nanti.

Leon yang mengerti keraguan dari gadis di sampingnya meraih jemari Rere dan menggenggamnya lembut. "Lo pasti bisa!"

Setelah menghela napas beberapa kali, akhirnya Rere mengangguk dengan cetakan senyum tipis di bibirnya. Masih terkesan dipaksakan.

Leon pun menyambut baik anggukan itu. Ia menepuk puncak kepala Rere dua kali dan meyakinkan jika ini keputusan terbaik.

Semoga saja, dengan ini hati Rere akan lebih kuat. Setidaknya, dia memiliki hal yang bisa lebih dibanggakan dari pada Renata. Jika Renata mencoba memenangkan pertarungan dengan cara yang tidak benar. Biarlah Rere memenangkan pertarungan hidupnya dengan cara lain. Yaitu dengan berprestasi.

***
10 September 2019
Ig.dunia.aya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro