Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 1 : Kesempatan

"Mbak, gimana kondisinya hari ini?" Adnan bertanya pada seorang perawat yang sedang mengganti infus

Perawat itu tersenyum tipis. "Bagus, Dok. Tekanan darah normal, tanda vital dan yang lain nggak ada masalah. Selain wajahnya ... semoga pasien cepat sadar."

Adnan mengangguk paham, kemudian mengamati wajah seorang pasien yang diperban dan tampak tenang dalam tidurnya. Lelaki itu mendekat, kemudian memeriksa kondisi pasien yang sudah hampir tiga minggu tak sadarkan diri itu. Wajah yang Adnan yakini sangat cantik sebelum kecelakaan, kini hampir rata dan tak berbentuk. Mengembalikan fungsi normal rahang dan hidung tanpa memperhatikan estetika pun sudah sulit. Ia dan tim dokter yang melakukan pembedahan bahkan harus bertahan tiga belas jam di ruang operasi.

"Jangan lupa perbannya diganti setiap dua jam, dan luka pasca operasi disterilkan saat mengganti perban." Adnan masih memerhatikan luka yang meradang di sekitar kulit wajah pasien.

Perawat itu mengangguk. "Duh, Dokter Adnan perhatian betul sama pasien, saya jadi iri." katanya sambil tertawa.

"Mbak Ningsih mau sakit juga?" Adnan tersenyum tipis, menanggapi candaan perawat senior di sampingnya.

"Weleh-weleh, ya ndak tho!" serunya lagi. "Kalau sakit, nanti saya ndak bisa merhatiin kegantengan Pak Dokter, dong."

Adnan lagi-lagi cuma tersenyum tipis, dan hampir beranjak ke pasien lain kalau saja Mbak Ningsih tidak menahannya lebih dulu.

"Eh, Dok, sebentar." Ningsih mengeluarkan secarik kertas. "Polisi yang minggu lalu datang lagi. Saya harus kasih laporan apa?"

"Bilang saja belum sadar. Mau dimintai keterangan gimana, wong pasiennya masih kayak gitu." Adnan menjawab cuek. "Kalau pasiennya sadar, nanti boleh diarahkan untuk ngasih keterangan, tapi jangan dipaksa. Kalau dari saya, ya nggak bisa. Saya bukan orang yang berwenang untuk bicara dengan polisi mengenai Ibu tanpa nama ini."

Ningsih manggut-manggut mendengar penuturan Adnan. Tak berapa lama dokter muda itu keluar dari ruangan diikuti Ningsih. Namun, belum beranjak jauh dari ranjang pasien, Ningsih tiba-tiba terhenti, matanya berbinar saat melihat seorang wanita yang sudah tiga minggu tak sadarkan diri itu akhirnya membuka mata.

"Dok, Dokter Adnan!" Ia berseru lantang. "Pasiennya sadar!"

Adnan gagal meraih gagang pintu dan keluar dari ruangan. Ia justru berbalik arah dan kembali pada pasien yang belum beberapa menit ditinggal itu. Sepasang mata coklat yang mengerjap beberapa kali, membuat pria itu takjub. Adnan tidak menyangka kalau pasien yang katanya sudah tidak ada harapan saat dibawa ke sini, akhirnya sadar.

"Apa Ibu bisa dengar suara saya?" tanya Adnan pelan, tangannya mengambil stetoskop, memasang kedua ujungnya di telinga, dan memeriksa wanita itu. "Tolong tarik napas, ya, Bu."

Detak jantung wanita itu normal. Akan tetapi ia meringis saat akan menggerakkan bahu. Tak lama kemudian, wanita itu mencoba meraba sekujur tubuhnya. Sorot mata coklat yang seolah menyiratkan keinginan mendalam, menatap intens Adnan. Lalu, tanpa sadar lelaki itu tersenyum. Membalas sorot khawatir itu dengan tatapan yang lembut dan hangat. Sudut bibirnya juga tertarik sedikit, membentuk senyuman tipis.

"Tenang ya, Bu. Nggak apa-apa, kok. Apa ada yang sakit?" Adnan bertanya selembut mungkin.

Aneh, begitu pikir Adnan saat mendapati mata wanita itu justru berkaca-kaca. Entah apa yang ia pikirkan, namun bulir air mata yang mengalir dari pelupuknya yang membengkak membuat Adnan iba. Luka yang belum kering itu pasti terasa perih, atau rasa sakit di sekujur tubuhnya sangat tidak tertahankan. Mana yang benar, Adnan sungguh tak tahu. Hanya saja tangan lelaki itu langsung terulur. Dengan begitu hati-hati ia menghapus jejak air mata di dari wajah wanita bermata coklat itu.

"Sa—saya ...."

Wanita itu membuka mulutnya, berusaha mengucapkan sesuatu. Adnan meringis, dengan peradangan seperti itu dan wajah membengkak, pasti sulit dan menyakitkan sekali untuk berbicara.

"Saya ... masih ... hi—hidup?" lanjutnya terbata-bata. Suara pelan yang tanpa harapan itu mencoba bertanya.

"Iya, Ibu masih hidup. Tenang ya, Bu. Apa ada yang sakit?" tanya Adnan lagi, dia menyunggingkan senyum yang lebih lebar sekarang.

Wanita itu terdiam. Dia sepertinya masih mencoba memahami apa yang sudah terjadi padanya. Bola mata coklat itu melirik ke sana kemari, seolah mencoba memastikan. Di tempat yang seperti apa dia terbaring sekarang? Apa yang sudah terjadi selama ia tak sadarkan diri? Siapa orang-orang ini?

"Dok, Briptu Ziega mau melihat kondisi pasien." kata Ningsih tiba-tiba, ia memegang ponsel berisikan pesan singkat. "Harusnya sudah di—"

Pintu diketuk beberapa kali. Atensi Adnan dan Ningsih langsung mengarah pada si pengetuk pintu. Bersamaan dengan itu, Adnan melirik lagi pada pasien yang masih terlihat bingung dan tampak belum bisa dimintai keterangan. Sejak dibawa ke Rumah Sakit Lovalette oleh warga sekitar, seorang polisi terus saja datang beberapa hari sekali untuk mengecek kondisi wanita ini. Ia menunggu sampai pasien sadar untuk dimintai keterangan, apalagi pasien ini tidak memiliki identitas. Wajahnya sudah hancur saat datang sehingga tak bisa dikenali.

"Pasien belum siap untuk dimintai keterangan." kata Adnan lagi. "Minta polisi itu kembali tiga hari lagi ya, Mbak."

Ningsih mengangguk. Namun belum sempat ia keluar ruangan untuk menyampaikan hal itu, seorang pria tinggi tegap berseragam polisi masuk lebih dulu.

"Saya dengar pasien sudah sadar, Dokter."

Suara berat yang lantang itu memecah kesunyian di ruangan. Perempuan yang baru tersadar itu tampak terkejut dan sedikit terlihat syok. Bahkan, televisi yang menampilkan sinetron tidak sampai membuatnya kaget.

"Seperti yang Bapak lihat, pasien belum siap untuk dimintai keterangan." tegas Adnan kemudian. "Pasien bahkan kaget melihat kehadiran Bapak di sini. Silakan kembali tiga hari lagi."

"Waduh, Dok ... tapi atasan saya mau datanya sekarang. Karena sudah terlalu lama kami menunggu. Selain itu masih ada kasus penting lainnya yang harus diurus."

*** MALANG NEWS ***

Pencarian terhadap istri dari Mario Bramadjaya, anggota DPRD Jawa Timur, Sienna Anastasya belum juga membuahkan hasil. Kabar terbaru dari KAPOLDA Jawa Timur menjelaskan bahwa tim mereka masih melakukan pencarian dan penelusuran di sepanjang lokasi terjadinya kecelakaan. Namun, sampai saat ini belum ada berita lebih lanjut dari ...

***

"Eh ... Bu!"

Ningsih berteriak heboh, mengalihkan fokus Adnan dan Briptu Ziega yang tengah memperhatikan berita lokal di televisi. Bagaimana tidak, dalam satu tarikan napas ... wanita yang baru saja sadarkan diri ini tiba-tiba saja pingsan. Dengan sigap, Adnan langsung mengambil tindakan. Namun, ada satu hal yang cukup mengganggunya. Yaitu tatapan penuh amarah dan kebencian yang sekilas ia tangkap dari wanita itu saat melihat berita tentang hilangnya istri anggota DPRD Jawa Timur.

Ada apa sebenarnya? Mungkinkah ....

"Dok, pasien di sebelah jahitannya lepas!" seorang perawat tergopoh-gopoh menghampiri Adnan, dan mau tak mau pria itu kembali fokus pada pekerjaannya. Menepis pikiran yang sebelumnya hampir bercokol di kepala, Adnan segera beranjak menuju pasien di kamar sebelah.

* * * * *


A/N:
Kalau kalian, bakalan cuek atau curiga nih sama reaksinya Sienna?
Happy reading~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro