12 - Love isn't about Perfection

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari rumahnya Vero, aku segera melajukan motor menuju jalan Merpati. Jalan Merpati lumayan panjang dan di ujungnya terdapat perempatan yang dimana kafe 88 terdapat di sana.

Aku segera memarkirkan motorku di parkiran yang tergolong lumayan ramai itu. Maklum saja, kafe 88 ini sangat terkenal akan tempat aesthetic, bahkan tak jarang ada selebgram yang datang ke sini untuk sekadar mencari spot foto. Aku berjalan dari parkiran menuju pintu utama kafe. Aku segera menjelajahi seisi kafe dengan kedua bola mataku. Namun, tak kunjung kudapati Vero di sana.

Aku pun memutuskan untuk mencari Vero di tempat lain, karena sepertinya lelaki itu tidak ada di sana. Namun, sebelum aku keluar dari pintu utama kafe, aku mendengar suara keributan yang tercipta di salah satu sudut kafe. Aku sontak menoleh karena rasa penasaran dan aku menemukan Vero di ujung sana. Senyumku mengembang, sembari berjalan menuju Vero.

Shit!”

Damn!”

Semakin aku berjalan mendekat, dapat kudengar beberapa umpatan yang terlontar dari orang-orang di meja yang sama dengan Vero. Aku menepuk pundak Vero, lantas lelaki itu sontak berbalik.

“Bella!” Kurasa, ia cukup terkejut dengan kehadiranku. “Kamu ngapain ke sini?”

“Ver, aku butuh bicara sama kamu,” ujarku mengabaikan pertanyaannya yang barusan.

“Mau ngomong apa?”

“Kita ngomong di situ aja, ya.” Aku menunjuk sebuah meja yang berjarak 2 meja dari keberadaan kami sekarang ini. Vero lantas mengangguk dan berjalan terlebih dahulu menuju meja itu.

“Kamu belum pesen apa-apa?”tanyanya yang langsung kujawab dengan gelengan kepala. Tujuanku datang ke sini kan untuk mencari Vero dan mengajaknya bicara. Jadi, tidak terlintas di pikiranku untuk memesan minuman di sini. Lagipula, aku tidak begitu haus.

“Ver, kenapa kamu kesannya ngehindar beberapa hari ini?” tanyaku to the point.

“Aku gak ngehindar, kok. Ngehindar gimana maksud kamu?”

“Ver, jangan berlaku seolah kamu gak tahu apa-apa. Beberapa hari belakangan, kamu bales chat aku lama. Sekalinya bales, singkat. Dan, pas aku tanya kamu kenapa, kamu ngalihin pembicaraan. Seolah-olah, kamu mencoba jauhin aku.” Aku menatap mata Vero dengan dalam. “Sebenarnya, kenapa, Ver? Aku ada salah sama kamu?”

Ia menghela napas. “Nggak, Bel. Kamu nggak ada salah sama aku.”

“Lalu, kenapa?”

“Aku rasa, aku gak pantes buat kamu, Bel. Aku takut ngecewain kamu.”

“Ngecewain gimana maksud kamu?” Aku seketika teringat dengan kejadian hari itu di rumah Vero. “Apa jangan-jangan soal vape?”

Vero yang sedari tadi tertunduk, kini mengangkat kepalanya, dan langsung menatapku. “Iya, soal itu. Aku tahu, Bel, kamu kecewa karena aku ternyata menyentuh barang-barang kayak gitu.”

“Kamu tahu dari mana kalau aku kecewa? Karena pas itu aku tiba-tiba pulang?”

Vero sekilas mengangguk. Ternyata benar dugaan Arsy kemarin, Vero salah paham dengan sikapku yang mendadak ingin pulang. Aku mencoba menjelaskan kepada Vero, bahwa semua itu salah paham. Aku mendadak pulang bukan karena diserang rasa kecewa, melainkan karena ada hal urgent yang harus aku urus terlebih dahulu.

“Tapi, tetap aja, Bel. Aku rasa, aku gak pantes buat kamu. Asal kamu tahu, aku mantan perokok. Dan, setelah lepas dari rokok, aku kecanduan vape. Kamu lihat, aku sering nongkrong di kafe. Kebanyakan cowok kalau sering ke kafe, udah di cap gak baik, karena terus keluyuran. Sementara kamu, ....”

“Sementara aku, apa? Sementara aku cewek baik gitu?”

“Ya, memang begitu, kan?”

Aku menggelengkan kepalaku. Seandainya Vero mengetahui masa laluku, apakah ia tetap akan menandai aku sebagai cewek baik-baik?

I'm not as good as you see,” ujarku yang sepertinya mampu menimbulkan tanda tanya di pikiran Vero. Terbukti dari ia yang langsung mempertanyakan hal tersebut. Tapi, maaf, Ver, aku belum bisa menceritakan semuanya. Bahkan, jangankan sama kamu, aku saja masih belum berani cerita kepada sahabatku.

“Yang namanya manusia itu gak ada yang sempurna, Ver. We are all bad in our past. Tapi, bukan berarti selamanya kita harus terkurung dalam lingkaran yang nggak baik itu. Setiap manusia punya kesempatan untuk berubah, tergantung dari bagaimana niatnya mau melakukan hal itu.”

Aku membiarkan Vero mencerna ucapanku terlebih dahulu, sembari memanggil pelayan kafe untuk memesan minum. Ternyata, berbicara sepanjang ini juga bisa menimbulkan dahaga.

“Ver, aku gak peduli, mau kamu mantan perokok, atau kamu kecanduan vape. Selama kamu mau berubah, kamu bisa jadi yang lebih baik.”

“Bel, aku mau tanya sebelumnya. Kenapa kamu bela-belain samperin aku ke sini dan jelasin soal ini semua? Padahal, kalau cewek lain ada di posisi kamu, pasti ya udah, biarin aja. Percuma ngejelasin panjang lebar ke aku, karena pikirnya, itu gak bakalan mengubah apa-apa.”

Aku tersenyum. “Aku belain datang ke sini jelasin ke kamu, karena aku mau hubungan kita tetap baik-baik aja,” ujarku.

“Maksud kamu?”

“Untuk kedua kalinya, aku jatuh cinta lagi sama kamu, Ver. Untuk perasaan yang udah pernah ada sebelumnya, aku gak mau kehilangan kamu. Dulu, aku bodoh karena udah biarin kamu pergi gitu aja dan jadian sama cewek lain. Aku gak mau penyesalan yang sama terulang lagi.”

“Dengan kondisi aku yang kecanduan vape?”

“Iya. Aku percaya, kok, suatu saat kamu bisa keluar dari jaring-jaring candu itu.”

“Tapi, Bel. Aku jauh dari kata sempurna, beda sama kamu—”

“Ver, love isn't about perfection. Cinta bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang bagaimana caranya kita menyempurnakan dua ketidaksempurnaan yang kita punya. Udah aku bilang, kan? Aku gak sebaik yang kamu pikir. Aku gak sesempurna yang ada di bayangan kamu. Apa itu gak cukup membuktikan kalau kita berdua itu sama-sama gak sempurna?”

“Aku bakalan bantu kamu berubah, Ver, selagi kamu mempunyai niat untuk berubah.”

“Tapi, Bel. Kamu tahu, kan, kalau cowok udah kecanduan vape bakalan sulit lepas?”

Aku mengangguk. Aku tahu dengan semua risiko itu. Bahkan, termasuk risiko Vero yang tidak akan pernah lepas dengan benda bernama vape. Tapi, di kondisi seperti ini, aku tidak punya hak untuk meninggalkan Vero begitu saja. Justru, aku mempunyai kewajiban untuk membuat lelaki yang kini kembali menduduki hatiku itu berubah menjadi yang lebih baik.

“Aku udah tahu semua risikonya, Ver.”

Kulihat Vero terdiam sejenak.

“Ver, izinin aku bantu kamu berubah, ya?”

“Iy— loh, Bel, itu hidung kamu mimisan.”

Aku sontak menyentuh permukaan bawah hidungku dan benar ada cairan berwarna merah yang mengalir dari sana. Aku segera mengambil tisu sembari mencoba mendongakkan kepalaku ke atas.

“Jangan gitu, nanti darahnya masuk ke tenggorokan,” ujar Vero yang terdengar begitu panik. “Posisi kepalanya gini, tahan, ya.”

Kulihat Vero beranjak dari kursinya, lantas menuju meja yang ada teman-temannya.

“Bro, kalau nanti ada minuman yang dianter ke meja sana, bayarin, ya. Nih, uangnya. Gue mau anterin Bella ke rumah sakit. No, gue pinjam mobil lo, ya.”

Setelah itu, Vero kembali ke mejaku. “Bel, aku gendong, ya.”

Belum sempat aku menjawab, penglihatanku sudah menggelap terlebih dahulu. Yang aku rasakan terakhir ialah tubuhku yang diangkat seseorang.

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro