13 - Cie, CLBK

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku membuka kedua mataku yang kini terasa begitu berat. Pandanganku langsung dihadapkan dengan langit-langit ruangan yang berwarna putih. Tidak. Tidak hanya langit-langit ruangan saja yang berwarna putih, bahkan seisi ruangan itu berwarna serupa. Di tepi ruangan, ada sebuah sebuah sofa yang muat diduduki oleh 3 orang. Sayangnya, tidak ada yang menduduki sofa itu.

“Ver,” panggilku kepada orang terakhir yang kulihat sebelum aku tidak sadarkan diri. Namun, Vero tak ada di ruangan itu. Kemana Vero?

Aku memegang kepalaku yang terasa sedikit berdenyut.

Tak lama kemudian, pintu ruangan itu terbuka menampilkan Vero yang masuk dengan menenteng sebuah kantong plastik hitam.

“Bel, udah sadar?”

Aku hanya menanggapi pertanyaan Vero dengan senyuman kecil.

“Kata dokter tadi kamu kecapekan, makanya sampai mimisan, lalu pingsan. Ini aku beliin bubur ayam, kamu makan, ya.”

Ternyata, kantong plastik hitam yang dibawa Vero berisi seporsi bubur ayam. Ketika Vero membuka bungkusan bubur ayam itu, lantas menuangkannya ke mangkuk, aku dapat mencium aroma wangi dari bubur itu. Sudah lama rasanya aku tidak makan bubur ayam.

“Aku suapin, ya.” Vero mulai menyuapiku dengan telaten.

Di tengah suapan itu, terdengar suara ketukan pintu. Sesaat aku tersadar bila ruangan itu ialah ruangan VVIP, yang artinya tidak ada orang lain yang dirawat di ruangan itu selain aku. Lantas kalau begitu, siapa yang mengetuk pintu untuk masuk ke ruanganku?

“Arsy?” lirihku. Iya, yang barusan masuk itu ialah Arsy. Tapi, kenapa ia bisa ada di sini?

“Bel, kamu kenapa? Kamu sakit? Sakit apa?” tanya Arsy bertubi-tubi. Aku yang mendengar serangan pertanyaan itu tersenyum kecil.

“Aku gak pa-pa, Ar. Cuma kecapekan aja,” ujarku.

“Syukur, deh. Aku kirain kamu kenapa, Bel, sampai masuk rumah sakit.”

“Ehm, maaf, lo siapanya Bella, ya?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Vero. Aku sampai lupa, bahwa keduanya belum saling mengenal satu sama lain.

“Gue Arsy Mahaprana, temannya Bella.” Kulihat Arsy mengulurkan tangannya dan kemudian berjabat tangan dengan Vero. “Kalau lo, siapa?”

“Gue Cavero Lastana, teman SMP-nya Bella.”

Mendengar nama Vero, Arsy lantas menatapku dan seolah-olah lewat tatapannya ia mengucap, “Oh, ini yang namanya Vero.”

Aku tersenyum kecil membalas tatapan Arsy itu. Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu, kenapa Arsy ada di rumah sakit? Apa ia sedang sakit? Atau, jangan-jangan bang Radi?

“Oh, iya, Ar. Kok kamu di rumah sakit juga? Ada yang sakit?”

Pertanyaan itu seharusnya dapat langsung dijawab oleh Arsy, tapi entah mengapa rasanya lelaki itu seolah tidak mempunyai jawaban di dalam kepalanya. Tingkahnya juga sedikit aneh setelah mendengar pertanyaanku.

“Ehm, aku ke sini ... itu, jengukin orang sakit, Bel,” ujarnya dengan sedikit terpatah-patah.

“Siapa yang sakit?”

“Teman, Bel. Oh, iya, aku buru-buru, Bel. Aku pulang duluan, ya,” ujarnya yang kini terdengar begitu panik.

Sebenarnya, ada apa dengan Arsy?

•-•-•-•-•

Sepulangnya dari rumah sakit, aku diantar oleh Vero. Awalnya aku menolak, karena takut merepotkan lelaki itu. Namun, karena kondisi langit yang sudah gelap, ditambah dengan Vero yang masih khawatir dengan kondisiku, aku jadi tidak punya alasan untuk menolak lebih lanjut. Sebenarnya, aku tidak perlu berada di rumah sakit itu berjam-jam. Karena setelah diperiksa oleh dokter, aku bisa saja langsung pulang. Namun, atas rujukan dokter untuk aku beristirahat beberapa jam ke depan, jadilah aku baru bisa pulang sekarang.

Jalanan yang kami lewati kini tergolong lumayan sepi, mungkin mereka yang beragama muslim tengah menunaikan ibadah di rumah ibadahnya. Oleh karena itu, aku dan Vero bisa saja sampai ke indekos dalam waktu yang kurang dari biasanya.

Ngomong-ngomong, motorku sudah sampai di indekos duluan, itu kata Vero. Ia sudah meminta salah satu dari temannya untuk membawa motor itu ke indekos, dengan memberikan mereka alamat indekos terlebih dahulu. Sedangkan helm milikku sengaja dibawa ke rumah sakit oleh temannya yang satu lagi.

Tapi syukurlah, kupikir motorku akan menginap di parkiran kafe semalaman ini.

Saat ini, aku dan Vero duduk di atas motor. Mobil milik Reno—temannya Vero—yang tadi ia pinjam sudah ia kembalikan, ditukar dengan motornya yang dibawa ke rumah sakit oleh Reno. Aku duduk di jok belakang motor Vero sembari memeluk erat-erat jaket kulit milik Vero yang kini melilit di tubuhku. Vero memberikannya tadi kepadaku untuk kupakai. Katanya, udara malam tidak baik untuk kesehatan, terlebih bagiku yang kondisinya masih tidak terlalu fit.

Namun, jaket kulit itu masih tak cukup mengantisipasi kedinginan, mengingat udara malam yang begitu kuat menusuk hingga ke tulang-tulangku. Tapi setidaknya, bisa sedikit menghangatkan tubuh.

“Bel, dingin, gak?” tanya Vero setelah keheningan tercipta. Aku tentunya masih ingat dengan tipikal cowok seperti Vero yang tidak suka berbicara di atas motor, maka dari itu keheningan selalu menghantui perjalanan kami.

“Harusnya aku yang tanya kayak gitu ke kamu, Ver. Kamu kan gak pakai jaket.”

Ucapanku barusan benar, kan? Yang seharusnya bertanya seperti itu adalah aku. Vero ada-ada saja.

“Kalau aku mah udah kebal sama udara malam, Bel. Namanya juga cowok. Kebal terhadap apa pun,” ujarnya yang terdengar menghiperbolakan diri sendiri. Aku menghadiahi pinggangnya dengan cubitan kecil, lantas ia meringis.

“Aduh, Bel, jangan dicubit.”

“Katanya kebal. Gimana, sih?”

“Ya, nggak nyubit gitu juga, Bel.”

Aku terkekeh kecil mendengar keluhan Vero. Ngomong-ngomong, hari ini aku sangat bahagia. Saat aku di rumah sakit tadi atau tepatnya setelah kepergian Arsy dari ruanganku, Vero menyatakan sesuatu hal yang membuat hatiku berdebar begitu kencang. Ia mengatakan bahwa ia mempunyai perasaan yang serupa denganku, meski ia masih belum berani untuk mengajakku berpacaran. Katanya, ia takut mengecewakanku jika nantinya ia masih belum bisa berubah. Maka dari itu, aku akan senantiasa menunggunya.

Suasana kembali hening ketika tidak ada yang melanjutkan perbincangan. Hingga tiba-tiba Vero kembali membuka ruangan kosong itu dengan sesuatu hal.

“Bel, kayaknya beberapa hari ke depan, aku gak bisa antar jemput kamu lagi, deh,” ujar Vero tiba-tiba, yang membuat hatiku merasa tidak enak.

“Kenapa emangnya?”

“Dua hari lalu aku coba lamar kerja dan besok aku bakalan interview. Kalau keterima, ya, aku bakalan habisin waktu di tempat kerja.”

Aku menghela napas lega, kupikir Vero akan kembali menjauhiku. Jika atas alasan itu Vero berjarak dariku, maka aku sangat ikhlas.

Tanpa terasa, perjalanan selama sepuluh menit telah kami tempuh. Motor Vero berhenti tepat di depan indekosku.

Aku segera turun dari motor Vero. “Makasih, ya, Ver,” ujarku lantas melepas helm milikku.

“Sama-sama, Bel. Kamu masuk ke dalem, gih, langsung istirahat. Jangan sampai kecapekan lagi,” ujar Vero, lantas mengacak rambutku. Rambutku yang tadinya tertata rapi, kini menjadi sedikit berantakan.

“Bel.”

Aku segera menoleh tatkala mendengar panggilan itu.

“Shafa? Kok di sini?”

“Aku habis dari rumah bibi, Bel, trus sekalian mampir. Ini siapa, cowok kamu, Bel?”

Aku melihat Shafa dan Vero secara bergantian. Sepertinya, Shafa sudah lupa dengan Vero karena lama tidak bertemu, begitu pula sebaliknya. Memang, aku, Eisha, Shafa, dan Vero satu SMP dulu.

“Eh, bentar, kamu Shafa, kan?”

“Loh, Vero? Astaga. Aku kirain siapa,” ujar Shafa. “Apa kabar, Ver?”

“Baik, kok, baik. Kamu sendiri, gimana?”

“Baik juga, Ver. By the way, kenapa di sini?”

Shafa menoleh ke arahku, memicingkan matanya, lantas tersenyum meledek. “Cie, CLBK, nih ceritanya.”

“Apaan, sih, Fa,” ujarku tersipu. Pipiku memanas ketika mendengar kata CLBK. Ah, sudah dapat dipastikan wajahku semerah kepiting rebus saat ini.

“Aku harus kasi tahu Eisha, nih, biar dia tahu berita menghebohkan ini,” ujar Shafa yang sepertinya begitu antusias.

Aku menepuk keningku perlahan. Gosip siap disebar kalau begini ceritanya.

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro