Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Minim editan karena baru  kelar ditulis, jadi abaikan typo dan kalimat nggak efektif. Revisi nggak akan dilakukan di wattpad, karena ini versi mentah. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Aku mengangkat kepala untuk melihat pemilik tangan yang baru saja meletakkan tas kertas kecil di depanku. Atharwa. Aku melepaskan sebelah earphone yang menyumbat telinga.

"Adik saya baru pulang jalan-jalan," katanya menjawab pertanyaan yang kulontarkan melalui mata. "Saya lihat kamu suka permen, jadi saya bawain." Dia menunjuk stoples permenku yang masih penuh.

"Seharusnya nggak usah repot." Rasanya aneh kalau menolak pemberian seperti permen. Itu bukan barang berharga layaknya perhiasan. Tidak menerimanya seperti menegaskan kalau aku mendendam kepada Atharwa. Aku memang belum bisa melupakan apa yang pernah dia katakan tentangku, tetapi penjelasannya cukup masuk akal, meskipun rasanya tetap saja jahat. Hanya saja, seperti yang dia katakan, saat masa remaja labil, orang terkadang memang melalukan banyak hal yang tidak terpuji. Aku merasa bisa memaafkan Atharwa, tetapi belum siap untuk mengambil langkah selanjutnya, seperti kembali berteman, misalnya. "Saya masih punya banyak. Bapak liat sendiri stoplesnya penuh."

"Untuk iseng di kosan. Ini permen home made. Katanya nggak pakai pengawet."

"Terima kasih." Tidak mungkin berdebat soal permen.

Atharwa mengambil tempat di kursi Jingga yang belum lama pergi. Aku melirik pergelangan tangan untuk meyakinkan diri. Ini memang belum jam istirahat. Tidak biasanya Atharwa berkeliling, apalagi mengunjungi kubikel orang yang bukan bagian dari divisinya di waktu kerja seperti ini.

"Kerjaan kamu banyak?" Atharwa memutar kursinya menghadapku.

"Apa?" Menanyakan pekerjaanku bukan bagian tugas dari Atharwa. Kalau dia butuh data dari divisiku, dia akan mendapatkan lewat Pak Budi, bukan aku.

"Kalau nggak padat, kita bisa keluar sekarang. Nanti saya yang mintain kamu izin sama Pak Budi."

"Keluar?" Aku masih belum mengerti maksud Atharwa. Mengapa aku harus keluar bersama dia di jam kerja? Kami berada di divisi yang berbeda, tidak ada garis koordinasi yang menghubungkan. Lebih masuk akal kalau dia keluar dan membahas pekerjaan bersama Pak Budi.

"Teman saya mengadakan soft opening restorannya hari ini. Tempatnya agak jauh, jadi kita harus berangkat lebih cepat supaya bisa sampai di sana tepat waktu makan siang."

"Apa?" Ini terdengar semakin aneh.

"Saya sudah bilang akan datang ke sana. Jadi sekalian saja ajak kamu untuk makan siang. Sekali-sekali kita makan di tempat yang jauh dari kantor buat ganti suasana."

Aku tidak suka pergi ke acara seperti itu. "Saya nggak bisa. Bapak bisa ajak Pretty. Dia sepertinya ada di ruangannya." Aku tadi sempat melihat Pretty datang, dan belum melihatnya keluar.

"Saya ngajak kamu, bukan Pretty."

"Tapi saya nggak bisa, Pak," ulangku lebih tegas. Aku paham jika Atharwa melakukan ini untuk memperbaiki hubungan kami. Dia jelas ingin berteman lagi denganku. Tentu saja aku tahu maksudnya baik. Hanya saja, memberi kesempatan kepada Atharwa bukan pilihan menarik saat ini. Aku tidak ingin mengambil opsi itu.

Pertama, seperti yang kubilang sebelumnya, perlu waktu untuk menghilangkan luka lama karena apa yang dia lakukan kepadaku di masa lalu. Dan kedua, ini yang paling penting. Pretty terang-terangan mengatakan ketertarikannya kepada Atharwa. Membiarkan Atharwa memperbaiki hubungan kami dan berteman lagi akan membuat Pretty menemukan alasan untuk kembali memojokkanku secara verbal. Aku tidak mau itu. Aku berada di kantor ini untuk bekerja, bukan mencari panggung bermain peran. Lagi pula, kemampuan aktingku buruk. Tidak banyak jenis emosi yang bisa kusampaikan melalui ekspresi datarku.

"Nggak bisa atau nggak mau?" desak Atharwa.

"Dua-duanya," jawabku terus terang. Aku tidak suka basa-basi yang hanya akan memperpanjang durasi percakapan, tetapi nihil makna. "Nggak bisa dan nggak mau. Bapak...."

"Kara, tolong berhenti memanggil saya "Bapak". Rasanya aneh dipanggil dengan sebutan Bapak sama teman sendiri. Kamu toh bukan staf saya. Dulu kita ngomongnya pakai lo-gue, kan?"

Karena dulu kami berteman. Rasanya canggung bersikap sok akrab seperti itu sekarang. Meskipun tidak terlihat, ada jarak yang membentang di antara kami.

"Saya tahu kalau kamu nggak akan mudah menerima saya kembali sebagai teman, karena hanya dengan melihat saya, kamu pasti diingatkan pada sakit hati atas kebodohan yang saya lakukan dulu. Tapi saya benar-benar menyesal dan ingin memperbaikinya. Kasih saya kesempatan untuk membuktikan kalau saya bisa menjadi teman yang jauh lebih baik daripada yang kamu kenal dulu."

"Saya...."

"Saya janji nggak akan bikin kamu kecewa lagi. Saya benar-benar akan menjadi teman yang baik." Atharwa terlihat tulus saat mengucapkannya. Itu sedikit menggugahku. Kalau dia tidak serius dengan ucapannya, dia tidak akan melakukan ini. Aku bukan siapa-siapa di kantor ini. Posisi kami seharusnya terbalik setelah aku tahu identitas Atharwa dan hubungannya dengan Pak Wisesa. Seharusnya aku yang bersikap baik kepadanya kalau masih mencintai pekerjaanku karena suatu waktu di masa depan, Atharwa akan menjadi petinggi di kantor ini dan nasibku akan tergantung kepadanya. Dia bisa menyingkirkanku dengan mudah kalau menginginkannya.

Dari sudut mata, aku melihat Jingga mendekat. Aku tidak mau melakukan percakapan tentang pertemanan dan masa lalu dengan Atharwa di depan Jingga. "Baiklah," kataku buru-buru. Aku harus menutup percakapan sebelum Jingga sampai di dekat kami.

"Baiklah apa?" kejar Atharwa.

"Kita mungkin bisa berteman lagi. Nggak akan seperti dulu, tapi...."

"Kita pasti bisa dekat kayak dulu lagi," potong Atharwa. "Kamu hanya perlu kasih aku kesempatan untuk membuktikan kalau aku layak jadi teman kamu. Aku nggak akan mengecewakan kamu untuk yang kedua kali."

Jingga semakin mendekat. Aku siap memasang earphone-ku lagi, isyarat untuk membuat Atharwa pergi. "Kita lihat saja nanti."

"Jangan panggil saya Bapak lagi."

Aku hanya berdeham tidak jelas.

"Thanks, Kar." Atharwa yang mengerti isyaratku segera berdiri. "Nanti makan siang sama-sama, ya. Di bawah saja, nggak usah keluar gedung." Dia segera pergi tanpa menunggu aku menjawab.

"Pak Atharwa ngapain ke sini?" Jingga mengempaskan tubuhnya di kursi, menggantikan Atharwa. "Masih dalam rangka PDKT lanjutan tak kenal waktu sama lo?"

Aku menghentikan gerakanku memasang earphone. "Dia nggak PDKT sama gue!"

Jingga tertawa. "Gue emang jomlo, tapi ngertilah urusan PDKT dan sebangsanya. Kelihatan banget gitu Pak Atharwa selalu mepet-mepet lo. Pretty saja dianggurin dan lebih memilih makan bareng lo. Orang tolol juga bisa baca gelagatnya. Dan gue nggak tolol-tolol amat."

Aku hanya bisa mengembuskan napas panjang. Aku malas menjelaskan kesalahpahaman yang melibatkan aku dan Atharwa di masa lalu untuk membuat Jingga memahami bahwa apa yang Atharwa lakukan sekarang adalah memperbaiki hubungan kami sebagai teman, bukan hendak PDKT.

Atharwa memang mengaku pernah suka kepadaku. Itu alasannya menjelek-jelekkan aku di depan temannya, supaya tidak terlibat kompetisi. Tapi itu dulu. Aku juga pernah punya perasaan khusus kepadanya. Sekali lagi, dulu. Suatu waktu di masa lalu. Sekarang rasa itu sudah tidak ada lagi. Waktu puluhan ribu hari yang membelah kami mengubah banyak hal. Cinta monyet itu tidak lagi meninggalkan jejak. Tertimbun bersama kenaifan masa remaja.

Aku mengambil kantung kertas yang dibawa Atharwa dan meletakkannya di depan Jingga. "Daripada lo sibuk membuat analisis konyol, nih, makan!"

Jingga segera mengintip isi kantung itu. "Lo dibawain permen impor? Duh, Pak Atharwa manis banget deh. Gue ambil satu saja buat nyicip, ya. Gue nggak mau kena kutuk Pak Atharwa kalau tahu permennya gue yang habisin. Makanan itu godaan banget sih, tapi gue juga ngertilah dan nggak akan ngembat hadiah PDKT dari Pangeran Cinta."

Aku hanya mengarahkan bola mata ke atas dan segera menyumbat telinga. Bekerja lebih menyenangkan daripada mendengarkan ocehan omong kosong Jingga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro