Dua Puluh Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tadinya aku mau nunggu sampai komennya 500 dulu baru update, tapi nggak jadi deh. Kayaknya nggak bakal nyampe sampe bulan depan. Hehehehe....

Seperti biasa, ini versi minim editan, jadi abaikan typo dan kalimat nggak efektif. Revisi akan dilakukan setelah naskah selesai, dan nggak akan di-posting di wattpad. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Atharwa menyambangi kubikelku saat aku sedang mengemasi ransel. Mengunakan ransel sebagai tas untuk ke kantor memang tidak terlihat elegan, meskipun ransel yang kupakai ini bentuknya feminin. Hanya saja, aku merasa lebih nyaman menggunakan ransel daripada tas kantor cantik yang ditenteng. Ransel lebih praktis dipakai mengangkut barang-barangku saat menggunakan transportasi publik. Pilihanku memang selalu mengutamakan kepraktisan dan kenyamanan.

"Pulang sekarang?" Atharwa juga kelihatannya sudah siap pulang. "Teman kamu itu mana?"

"Namanya Jingga." Entah mengapa Atharwa suka sekali menyebut Jingga dengan sebutan "teman kamu" seolah tidak tahu namanya. Padahal Jingga mengenakan ID card, dan Atharwa sering mendengarku memanggil nama Jingga. Kami juga pernah keluar makan bertiga. "Dia ada urusan. Tadi izin pulang duluan."

Atharwa hanya tersenyum tipis, tapi tidak mengoreksi ucapannya tentang nama Jingga. "Ransel kamu kayaknya berat. Sini, biar aku yang bawa."

Aku mengarahkan bola mata ke atas. Ransel ini memang sedikit berat, tetapi aku sudah terbiasa memanggul beban seperti ini sejak beberapa tahun lalu. " Nggak berat, hanya Macbook kok." Dan 2 buah charger, power bank, tisu basah, tisu kering, body lotion, bedak, lipstik, moisture mist, buku catatan, dan peralatan menulis yang lain. Tentu saja aku hanya menambahkan daftar benda-benda itu dalam hati saja.

Aku tidak pernah berpisah dengan body lotion dan moisture mist. Mama selalu mengingatkan bahwa kulitku butuh itu karena selalu berada di dalam ruangan ber-AC. Mama sangat ribet untuk urusan seperti itu. Seolah kulit yang kering karena terpapar AC akan mengurangi jatah hidupku. Bedak dan lipstik juga ada di dalam tasku karena Genta mengomel kalau aku tampak kucel saat ber-jumat malam bersamanya. Jadi aku memang menyiapkan bedak dan lipstik khusus buat di ransel supaya tidak perlu mendengarkan omelan Genta yang merasa pamornya jatuh karena menggandeng adiknya yang terlihat pucat.

Aku dan Atharwa beriringan keluar dan menuju lift.

"Mampir makan dulu sebelum aku antar pulang, ya?"

Aku mengernyit. Sekarang masih terlalu awal untuk makan malam. Aku juga belum merasa lapar. "Nggak usah. Saya mau langsung pulang. Nggak perlu diantar juga, saya bisa pesan taksi kok."

"Aku antar. Sebentar." Atharwa mengangkat ponselnya yang berdering. Aku mengalihkan perhatian pada ponselku sendiri, tidak berniat menguping percakapannya. Aku mengangkat kepala saat pintu lift terbuka. Karena Atharwa sedang sibuk dengan teleponnya, aku memilih berdiri di depan tombol. "Kita ke atas sebentar, ya." Atharwa mendahuluiku menekan tombol angka. Dia ternyata sudah selesai dengan percakapannya. "Ada yang Agra mau titip buat Mama."

Aku tidak suka ide itu. "Saya bisa turun duluan."

"Sama-sama saja. Beneran cuma ngambil barang karena Agra nggak pulang ke rumah malam ini."

Aku akhirnya mengedik dan melanjutkan menekuri ponsel.

Suasana kantor pusat masih ramai. Aku hanya beberapa kali ke sini bersama Pak Budi, jadi tidak terlalu familier dengan keadaan dan orang-orang yang ada di situ. Paling hanya kenal beberapa orang di bagian keuangan. Kenal wajah saja, karena Pak Budi yang melakukan percakapan dengan mereka. Aku hanya pelengkap penderita yang kebagian tugas menemaninya saat meeting.

"Kita ke ruangan Agra." Atharwa mengiring langkahku ke tempat yang dimaksudnya.

"Saya tunggu di luar saja." Aku menunjuk sofa di luar ruangan Direktur Keuangan saat sekretaris Pak Agrata yang sepertinya tidak asing dengan Atharwa menyilakan kami masuk.

"Ikut masuk saja, nggak lama kok." Atharwa sekali lagi mengajak.

Aku menggeleng dan langsung menuju sofa. Duduk di sana setelah melepas ranselku supaya bisa bersandar dengan nyaman.

"Oke. Aku masuk sebentar ya. Beneran nggak lama kok. Jangan turun duluan." Atharwa meninggalkan aku dan menuju ruangan Pak Agrata.

Aku kembali menekuri ponsel.

"Kok nggak ikut masuk, Mbak?" Suara sekretaris yang lembut itu membuatku mengangkat kepala. Dia tersenyum manis.

Aku ikut menarik sudut bibir untuk membalas senyumnya. "Nggak apa-apa, saya menunggu di sini saja."

"Maaf, tapi Mbak kelihatannya familier, kayaknya pernah lihat di mana gitu. Mbak model? Atau artis?"

Kalau aku sedang minum saat mendengar pertanyaan itu, aku pasti akan menyemburkan air yang ada di dalam mulutku. Itu pertanyaan paling absurd yang pernah kudengar. Ya ampun, yang benar saja! Cantik-cantik matanya tidak normal. Memangnya Indonesia kekurangan perempuan cantik sampai orang seperti aku bisa jadi artis? Model suplemen penambah berat badan yang kebagian pegang payung dan diterbangkan angin dan mendarat salah satu pulau di Polinesia?

"Saya kerja di gedung ini juga, Mbak. Mungkin kita pernah ketemu di lobi, atau di lift," jawabku untuk menuntaskan rasa penasaran perempuan cantik itu.

"Ooh...." Mulut perempuan itu membulat. Dia kemudian tertawa kecil. "Maaf. Soalnya postur Mbak kayak model sih. Saya kira teman-teman dekat Pak Atharwa model atau artis semua. Kayak Mbak Moira."

Sebenarnya aku hendak meluruskan soal teman dekat itu, tetapi membatalkan niat karena tidak melihat gunanya. Untuk apa menjelaskan hal seperti itu kepada orang asing?

Aku mengangkat dan memakai kembali ranselku ketika pintu ruangan Direktur Keuangan terbuka. Atharwa dan Pak Agrata keluar dari situ sambil tertawa-tawa.

"Kenalin teman gue," kata Atharwa ketika dia dan Pak Agrata sudah berada di depanku. "Kar, ini kakakku."

Aku menyambut uluran tangan Pak Agrata. Coba kalau Jingga ada di sini, dia pasti sudah histeris berada sedekat ini dengan Pak Agrata. "Kara," aku ikut menyebutkan nama setelah Pak Agrata menyebut namanya.

Jingga benar kalau Atharwa dan Pak Agrata sekilas terlihat tidak mirip saat berdiri berdampingan seperti itu. Mungkin karena warna kulit mereka yang berbeda. Kulit cokelat Atharwa lebih mirip Pak Wisesa. Namun aku segera menangkap kesamaan garis wajah mereka saat tersenyum.

"Teman lo kok ditinggal di luar sih?" Pak Agrata seperti menyalahkan Atharwa. "Ketahuan banget takut kalah saing, sampai harus diumpetin gitu."

Atharwa tertawa. "Dia yang nggak mau masuk. Bisa ikut nyasar ke sini juga karena gue paksa. Ya sudah, gue balik ya."

"Oke, jangan lupa bawain kamera gue besok. Gue beneran lupa kalau ketinggalan di rumah. Pantesan gue ngubek-ngubek apartemen nggak ketemu-ketemu juga."

"Sip. Semoga nggak lupa. Gue juga nggak nginap di rumah sih. Cuman ngantar pesanan Mama trus balik ke apartemen."

"Papa lagi ke S'pore sih, jadi nggak bisa dititipin sama dia. Gue juga ada kerjaan dan bakal tertahan di kantor sampai malam banget makanya nggak bisa ngantar sendiri. Mama bilang besok mau dipakai."

"Iya, tahu. Gue bisa kok nganterin, daripada dengar Mama ngomel." Atharwa menyentuh sikuku. "Yuk, Kar. Bro, gue balik ya."

Aku ikut membalas senyum Pak Agrata, sebelum berbalik dan mendahului Atharwa pergi dari situ. Lagi-lagi aku teringat Jingga. Tingkahnya pasti memalukan kalau berhadapan langsung dengan Agrata Oppa-nya.

"Mau makan apa?" tanya Atharwa setelah kami berada di dalam lift yang akan membawa kami ke lobi.

"Saya belum lapar sih," jawabku terus-terang. "Mau langsung pulang saja."

"Di mal saja, pilihan tempatnya banyak." Atharwa seperti tidak mendengar kalimatku yang terakhir. "Bisa makan yang ringan-ringan saja kalau belum beneran lapar."

Jujur, keluar makan malam dengan Atharwa bukan pilihan menarik yang ingin kuambil. Iya, hubungan kami beberapa hari ini memang membaik signifikan, tetapi berteman seperti dulu belum terpikirkan. Sikap santai Atharwa menghadapi jarak yang masih coba kupasang belum membuatku nyaman. Dia biasa saja dengan kalimat-kalimat formal yang kupakai saat bicara, dan itu malah sedikit menggangguku. Aku lebih suka dia menanggapiku secara formal juga, sehingga kami sama-sama tahu bentuk hubungan kami hanyalah sebatas teman kerja. Bukan teman dekat yang menghabiskan waktu makan siang dan makan malam bersama.

Ponselku berdering, jadi aku membatalkan niat mendebat Atharwa. Aku tidak langsung mengangkat panggilan itu saat melihat nama Remmy di layar. Untuk apa dia menelepon? Biasanya dia hanya mengirim pesan iseng di WA. Pesan yang lebih banyak kubaca tanpa kujawab. Menanggapi pesan orang iseng itu sama saja dengan mencari penyakit sendiri. Aku bukan tipe perempuan yang suka mencari masalah untuk diri sendiri. Aku orang yang menghindari masalah.

"Remmy?" Atharwa rupanya mengintip layar ponselku. "Dia sering menghubungi kamu?"

Aku mengedik, tetapi tidak menjawab.

"Nggak diangkat?" Dia mungkin bisa membaca keraguanku yang hanya menatapi layar ponsel. "Kalau nggak mau diangkat, ya tolak saja panggilannya."

Aku masih terus melihat layar ponsel. Remmy mengulangi panggilannya setelah jeda beberapa detik.

"Heran, dari dulu ketemunya dia melulu. Niat banget berdiri di tengah-tengah."

Kali ini aku mengalihkan tatapan dari layar ponsel ke wajah Atharwa. Orang aneh!

**

Follow Instagram @titisanaria untuk info tulisan dan novel terbit ya, Gaeeesss.... Tengkiu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro