1.Enganged With the Reality

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Enganged With the Reality

"I love vanilla. But i love your smell more."
- Arion Gunandhya-

Pacific Place Residence, 01-01-2019

06.06

Arion membuka mata, segera menyipitkannya, menyesuaikan dengan pencahayaan terang. Ia tidak suka tidur di dalam kamar dengan lampu terang, sama seperti saat bersama perempuan yang ia sukai di atas tempat tidur. Lampu terang bisa membuyarkan imajinasi dan fantasi liarnya tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas.

For God sake, ia sudah tidak berhubungan seks selama enam bulan terakhir ini. Sungguh tidak normal bagi laki-laki aktif seksual seperti dirinya.

But, damn. Penyesalan ternyata mengalahkan nafsu.

Bukan penyesalan. Ia hanya kasihan. Seharusnya bukan perempuan itu yang terlibat dalam hidupnya.

Kenapa harus dia? Kenapa bukan perempuan lain?

Omong-omong, siapa yang menyalakan lampu?

***

"Happy birthday and happy new year, Dear!!"

Arion disambut dengan ucapan itu saat memasuki pantri. Setelah membuka pintu kamar, aroma panggang yang sepertinya berasal dari toaster beserta aroma kopi dari brewing machine langsung menyapa indera penciumannya.

Ternyata mama dan Adel, adik bungsunya, tengah berada di sana dengan aktivitas masing-masing ; mama merapikan lembaran roti panggang di piring, sedangkan Adel tengah berdiri di depan mesin pembuat kopi.

"Gimana mama bisa masuk ke sini?" tanya Arion, mengingat sistem pengamanan di apartemen itu sangat tinggi dan akses masuk hanya bisa dilakukan dengan password, jadi tidak mungkin mama dan adiknya bisa masuk ke dalam apartemen tanpa ia ketahui.

"Kamu lupa ya? Mama sama Adel udah dari semalam di sini. Tapi kamu bilang mau langsung tidur."

Mama lalu menunjukkan sebuah tart cake putih dengan hiasan stroberi dan lilin bermotif pelangi berbentuk angka 30.

Ya, usianya sudah 30 tahun sekarang.

"Kamu nggak ngerayain tahun baru sama ulangtahun kamu bersama kami di rumah."

"Apa pentingnya perayaan ulangtahun selain merayakan usia jadi makin tua, Ma?"

Mama dan Adel saling berpandangan lalu melempar senyum. Adel mengangkat bahu.

"Umur 30 itu artinya warning untuk segera mencari calon isteri. Ya kan, Ma?" ucap Adel sambil mengambil cangkir untuk wadah kopi.

"Memangnya kamu udah ngebet mau nikah?" tanya Arion. "Kalo mau ngelangkahin Mas, nggak pa-pa. Tapi pelangkahnya Mas minta Maybach."

"Hiii...dasar matre." Adel bergidik. "Ngasih Rolex aja, aku masih mikir-mikir."

Adel tahun ini genap berusia 27 tahun. Ia mengatakan, rencana nikah sebelum usianya menyentuh 30 tahun. Artinya masih 3 tahun lagi, harusnya Arion tidak perlu khawatir.

"Serius dong, Ri. Masa kamu mau melajang terus? Kamu normal kan? tanya Mama. "Mau lilinnya dinyalain nggak?"

Arion menolak. Ia tidak harus merayakan ulangtahun dengan kue dan lilin angka di atasnya. Lagipula ulangtahunnya dirayakan seluruh dunia setiap tahunnya hahaha.
Hal itu saja sudah sangat membanggakan baginya. Beruntung sekali orang-orang yang terlahir pada tanggal 1 Januari. Orangtua mereka bahkan tidak perlu capek-capek membuat perayaan ulangtahun.

"Ngapain nikah?"

Pertanyaan Arion barusan ditanggapi dengan wajah masam mama dan Adel.

"Ya buat nerusin keturunanlah, Kak. Buat apalagi, memangnya?" Adel membawa nampan berisi cangkir-cangkir kopi yang menguarkan aroma wangi khas. "Biar ada yang ditemani bobok tiap malem, biar ada yang diteleponin tiap lagi kangen, biar ada yang diajak susah dan senang bareng-bareng."

Arion menambahkan. "Biar ada yang bikin pusing soal tagihan belanja."

"Emang Kakak expect-nya nikah itu kaya apa sih? Aku mau nyamain persepsi, biar bisa sinkron."

"Nikah itu nyusahin. Komitmen yang nyusahin. Kalau bagian bikin anak sih enak. By the way, nggak nikah juga, bisa kan?"

Adel melemparkan tatapan kesal kepada Arion.

Mama menggeleng-geleng. "Astaga, Arion. Memang sebelum tahun baru, kamu nggak buat resolusi?"

"Ya buatlah, Ma. Cuma nggak harus aku bilang juga resolusi aku itu apa."

"Menurut Mama nih ya, resolusi kamu itu paling nggak, kamu bisa mulai mikir serius untuk masa depan kamu. Pernikahan itu hal penting, Ri. Sakral. Soal kebiasaan kamu sama perempuan, Mama harap tahun ini kamu udah berubah. Mama nggak mau lagi denger kamu punya skandal. Lagian kalau kamu nikah, kamu mau ngapain aja sama isteri kamu, bebas. Kan udah halal."

Arion menyeruput kopi. Adiknya ini lumayan dalam urusan membuat kopi.

"Oh, ya. Ngomong-ngomong. Dari sekian banyak cewek yang udah date sama Kakak, emang nggak ada yang bisa dipertimbangkan untuk jadi isteri?"

"Mama skeptis sama seleranya kakak kamu ini. Biar Mama aja yang milihin."

Mama buru-buru menjawab, padahal pertanyaan itu jelas ditujukan Adel untuknya.

"Emangnya kenapa, Ma? Kemarin yang model blasteran Jepang- Amerika itu oke. Naomi ya? Atau anak rekanan perusahaan pemasok bahan baku kertas? Sarah apa Sandra gitu?" kata Adel seraya meletakkan cangkir kopi untuk Arion.

Arion menghela napas dalam-dalam.

Itulah alasan mengapa ia malas menghabiskan waktu bersama keluarganya. Mereka hidup untuk obrolan seperti ini, seolah-olah mengatur bagaimana rencana hidupnya ke depan. Setiap akhir pekan atau libur, ia lebih senang ngacir ke tempat ini atau ke luar kota. Pokoknya ke mana saja, asalkan tidak mendengar ocehan orangtua dan saudaranya yang kebanyakan membahas tentang dirinya seakan-akan ia ini siswa bermasalah yang rutin keluar masuk ruang BK dan menjadi bahan gunjingan di ruang guru.

"Untuk sementara, aku belum mikir soal nikah. Aku masih senang hidup sendiri."

***

"I love vanilla. But i love your smell more."

It's been a year, tapi rasanya seperti kemarin.

Cessa menutup buku agenda bersampul ivory di tangannya. Ia baru saja selesai menandai pekerjaan yang akan dimulai setelah selesai liburan tahun baru, yang artinya tinggal beberapa hari lagi.

Mereka merayakan pergantian tahun di Bosingak Bell Pavilion. Bosingak merupakan menara lonceng yang sudah ada sejak dinasti Joseon. Jaman dahulu, lonceng dibunyikan dua kali sehari sebagai penanda waktu dan penutupan gerbang kota. Nowadays, tepat di malam pergantian tahun, lonceng akan dibunyikan sebanyak 33 kali, diiringi dengan pesta kembang api yang sangat meriah. Cuaca begitu dingin saat itu.

Cessa menghabiskan cuti tahun baru di Seoul, mengunjungi Nara, adiknya yang menetap dua tahun terakhir ini di sana. Adiknya bekerja di KBS world radio sebagai asisten editor. Pekerjaan impian untuk adiknya yang sangat tergila-gila dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Korea, khususnya K-Pop.

"Gugsuleul meoggo sipda?" tanya Nara yang muncul membawa kompor, panci kuning khusus masak ramen khas Korea, serta beberapa bungkus mie instant goreng Indomie yang khusus dibawa Cessa ke Seoul untuk adiknya.

Sebelum berangkat, Nara sudah mewanti-wanti jutaan kali untuk membawakan indomie dengan aneka varian, meskipun favorit Nara adalah varian goreng original dan rasa ayam bawang. Juga seblak instant dan cemilan-cemilan seperti Beng-Beng, Astor, pilus dan keripik pisang. Isi koper yang dibawanya malah lebih banyak space untuk makanan daripada untuk pakaian. Adiknya berkilah, kalau pakaian bisa beli di sana. Pilihan banyak dan kalau musim liburan begini, pasti banyak sale.

"Mau makan mie? Ya kan?"

"Akhirnya ada juga kosakata Korea yang eonni tau selain nanyain kabar sama bilang terimakasih." Nara sesekali memanggilnya dengan sebutan eonni.

"Astaga, Nar. Aku nggak sebodoh itu juga kali. Lagian liatin kamu bawa peralatan buat masak mie, pasti nanya-nya mau makan mie." Cessa membantu Nara membuka bungkus mie, sementara panci berisi air sedang dipanaskan.

"Kak, emang bonus tahun lalu banyak ya, sampai akhirnya bisa ke sini? Trus beliin tas juga." tanya Nara penasaran, mengalihkan topik semudah membalik lembaran kertas.

Dua hari sebelum tahun baru, Cessa menghadiahi Nara tas hitam palm spring backpack mini merk Louis Vuitton yang konon sama seperti yang pernah dipakai Jennie Blackpink, eonni favoritnya idol perempuan lainnya. Harga tas itu lumayan mahal untuk ukuran gajinya di sebuah perusahaan manufaktur di Jakarta. Meskipun mahal, ia tetap membelikannya untuk Nara sebagai kado ulangtahun. Nara tidak menyangka Cessa akan membelikan tas itu karena harganya yang sangat mahal.

"Ih, kepo banget. Tinggian bonus kamu juga kerja di Korea."

"Standar aja sih, Kak. Kan masih karyawan baru. Mau dibeliin tas mahal juga sayang." Nara tergelak. "Tapi makasih lho Kak, tasnya. Jadi pede kan kalo mau berangkat kerja atau jalan-jalan pake tas itu."

"Iyalah, tas mahal. Siapa aja pasti pede pakenya," Cessa memasukkan kepingan mie ke dalam panci rebusan. Sebentar saja, air rebusan sudah terlihat memutih dan berbusa.

Ia melirik ke arah Nara yang sedang mengaduk-aduk mie yang dimasak dengan sumpit stainless.

Nara mungkin tidak akan pernah mengetahui bagaimana setiap bulan rekeningnya ditransfer uang dalam nominal besar, berkali-kali lipat besarnya dari gaji bulanan oleh seorang petinggi di perusahaan tempatnya bekerja.

"Anggap ini sebagai uang tutup mulut."

Untuk beberapa alasan, tentu saja ia akan tutup mulut. Dibayar atau tidak. Selain karena ia mengetahui laki-laki itu tidak mungkin melakukannya karena suka (tepatnya, mereka melakukannya tanpa sengaja), laki-laki itu juga tidak pernah serius dengan perempuan, seperti desas-desus yang ia dengar dikombinasikan dengan apa yang pernah ia lihat sesekali. Ia benci berurusan dengan laki-laki yang tidak bisa serius dan hanya bisa mempermainkan perempuan. Apalagi jika ia laki-laki yang merasa memiliki modal fisik dan modal harta bisa dipakai untuk memikat hati perempuan lalu didump begitu bosan.

Setelah accident one night stand tepat setahun yang lalu, kehidupan Cessa praktis berubah. Rekeningnya semakin gendut, tapi berkebalikan dengan pikiran dan perasaannya yang tidak pernah lagi bisa tenang. Ia sampai harus ke psikiater untuk berkonsultasi, meskipun selama sesi konsultasi, ia tetap menahan diri untuk tidak menyebut nama oknum yang bersangkutan. Setelah beberapa kali terapi, ia merasa kondisi kejiwaannya sudah semakin membaik. Ia bisa kembali bekerja, meskipun ketika tanpa sengaja bertemu dengan laki-laki itu di kantor, mau tidak mau, ia pasti masih kepikiran. Kenyataan itu terlalu sulit untuk dilupakan.

One of the worst moments that have ruined her life.

Ia pernah berpikir untuk resign, jika keadaan tidak juga membaik. Tapi ia mencintai pekerjaannya. Apalagi posisi di perusahaan sudah sangat bagus. Tujuh tahun lalu ia masih fresh graduate saat diterima bekerja di tempat itu di posisi staff divisi pemasaran hingga kini posisinya sebagai asisten manajer pemasaran. Bukan tidak mungkin tahun depan atau dua tahun lagi, atau entah berapa tahun lagi ia bisa dipromosikan menjadi manajer pemasaran. Kalaupun tidak dapat promosi, paling tidak, gaji dan bonus bisa naik. Ia telah terbiasa dengan ritme kerja, tim yang solid dan pertemanan di dalamnya.

Ia hanya perlu melupakan yang telah terjadi dan melanjutkan hidup.

***

Mohon tanggapannya yaaaa....aku masih awam nulis dunia perkantoran. Ga yang canggih-canggih amat sih, tapi paling ga, adalaah nyerempet-nyerempet dikit 😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro