2.I Used to be Snow White, but i drifted it

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

I Used to be Snow White, but i drifted it


"I used to be Snow White, but i drifted." Mae West

Kawasan Myeongdong adalah satu dari beberapa destinasi belanja favorit untuk turis dan traveler yang terletak di kota Seoul. Aneka produk mulai dari pakaian, aksesoris, kosmetik, suvenir hingga makanan bisa ditemukan di tempat ini. Selain Myeongdong, masih banyak tempat berbelanja lainnya, seperti World Trade Center di Gangnam yang terkenal sebagai surga belanja pernak-pernik Hallyu, Dongdaemun Design Plaza untuk berbelanja hanbok, pakaian tradisional Korea, Namdaemun yang merupakan pasar tradisional yang buka 24 jam sehari, hingga outlet-outlet pakaian dengan harga murah di distrik Hongdae.

Kali ini Cessa dan Nara berada di Myeongdong Underground Shopping Centre. Ada titipan pesanan album K-Pop dari Gya, teman kantor Cessa yang juga sama seperti Nara, deman fangirling K-Pop. Cessa telah membuat list yang ia tunjukkan kepada Nara sebelum mereka pergi berbelanja.

Kata Nara, semua album pesanan bisa mereka dapatkan di tempat itu dengan harga murah. Monsta X, Seventeen hingga Wanna One. Cessa tidak begitu hapal judul albumnya, lain halnya dengan Nara yang seolah sudah hapal di luar kepala judul-judul album Seventeen sejak mereka debut hingga album terakhir yang rilis tahun 2018.

"Director,s Cut ini albumnya Seventeen, I Promise You, Wanna One. To be One, mau sekalian juga gak, Kak. Mumpung murah ini." Sejak tadi, Nara sudah asyik nyerocos sambil tangannya mengambil satu demi satu CD album yang tertata rapi di etalase. Nara tidak spesifik pada satu grup, tapi kalau disuruh memilih di antara semua grup, ia akan memilih Blackpink.

Cessa hanya mengangguk saat melihat Nara memilih-milih album lalu memasukkan ke dalam keranjang. Karena pesanan Gya lumayan banyak, Gya menyarankan ia memakai jasa pengiriman jika semuanya tidak muat dalam koper.

"BTS Love Yourself : Answer." Nara meletakkan dua album bersampul pink itu ke dalam keranjang. "Eh satu lagi deh. Buat aku."

"Kayaknya udah semua, Nar."

"Coba deh dicocokin lagi pesanannya."

Cessa melihat dari balik bahu, catatan yang dipegang Nara. Gya nih, mau pesan buat diri sendiri apa mau jualan sih? Ada yang satu album sampai beli 3 buah. Kemungkinan sih, pesanan adiknya dan teman-teman adiknya. Jaman sekarang, rata-rata remaja di Indonesia, apalagi Jakarta adalah penggemar K-Pop. Tahun lalu saja, ada beberapa grup besar yang menggelar konser di Indonesia. Salah satu yang ia ingat persis adalah sebuah grup bernama iKon yang menjadi bintang tamu di Closing Ceremony Asian Games 2018 di stadion Utama Gelora Bung Karno. Ia sangat menyukai lagu iKon yang berjudul Love Scenario. Gya sering memutar lagu itu di kantor, jadi Cessa cukup familiar dengan lagu tersebut.

Album K-Pop yang dijual di Korea tergolong murah, bisa setengah dari harga album di Indonesia. Apalagi kalau ada comeback, menurut Nara bahkan di beberapa tempat seperti sum cafe dekat SM ent menyediakan album gratis, yang dititipkan fansite atau fanbase untuk dibagikan kepada penggemar, meskipun PC-nya udah ga ada, tersisa album saja. Kalau di MUSC, tersedia pula album non sealed minus photocard sama seperti yang dititipkan di cafe. Jadi harganya bisa jauh lebih murah lagi. Jika harga album di Indonesia berkisar 200-300 an ribu, di tempat ini harga album non sealed hanya dihargai sekitar 5.000-6.000-an won dikalikan kurs rupiah 12 koma sekian. Cessa mendengarkan penjelasan Nara yang begitu fasih, meskipun ia tidak begitu tertarik mendalami soal K-Pop, karena ia sendiri lebih menyukai berburu buku. Di tempat itu juga tersedia toko-toko buku, membelinya? Sepertinya tidak. Ia payah jika harus disuruh membaca tulisan Hangul. Berbeda dengan Nara yang sudah cukup familiar dengan buku-buku berbahasa Korea.

"Abis ini cari makan yuk? Udah laper." Cessa mengusap perutnya yang mulai mengeluarkan bunyi.

Pagi tadi sebelum berangkat berbelanja, mereka sarapan nasi dan sambal cumi pete dan kerupuk yang ia bawa dari Jakarta. Di bawah suhu dingin, rasa lapar begitu cepat datang. Ia dan Nara berbagi tentengan. Selain album, mereka juga sempat berbelanja pernak-pernik untuk oleh-oleh. Masih banyak item dalam list belanjaan yang belum checked, jadi ia harus makan dulu sebelum mulai hunting barang-barang lain lagi. Sehabis makan, ia berencana berburu kosmetik dan skincare.

Don't grocery shopping when you're hungry.

Salah satu advice berbelanja yang layak dipegang oleh seseorang saat berbelanja. Lapar bisa membuat seseorang kalap berbelanja. Ketika lapar, pikiran akan menjadi impulsif, sehingga pembelanja tidak menyadari berapa banyak barang yang dibeli dan kebanyakan baru menyadarinya saat tiba di rumah.

"Mau makanan Korea atau apa nih?" tanya Nara,

"Apa aja deh, udah laper banget nih."

"Ya udah. Ke Kampungku aja kalo gitu." Nara pun menjelaskan dengan singkat di mana letak restoran halal yang menyajikan masakan Korea dan masakan khas Melayu, seperti nasi lemak. Bahkan nasi goreng dan sate pun tersedia.

Saat mereka memasuki restoran, suasana cukup ramai. Beruntung, masih tersisa dua meja kosong tanpa tanda reserved. Mereka pun memilih meja yang terdekat dari pintu masuk.

"Aku nasi lemak aja," kata Cessa. Baru saja duduk dan memesan makanan, ponselnya berdering. Nara menunjuk nasi goreng dan sate, juga nasi lemak pesanan Cessa. Untuk minuman, mereka hanya memesan air putih.

Rupanya Gya yang menelepon, sekadar mengingatkan soal pesanannya dan minta maaf karena sudah merepotkan. Gya membahas soal chat group, padahal Cessa masuk di grup itu dan sudah pasti membaca kiriman di dalamnya. Meskipun libur, tidak berarti grup khusus divisi pemasaran itu ikutan libur. Mereka tetap ramai membahas banyak hal, salah satunya tentu saja soal gosip di kantor, disponsori oleh duo kontributor infotainment aka divisi gosip; Alana yang lebih suka dipanggil Ala dan Jennifer, yang cukup dipanggil Jenn. Ditambah teman-teman kerjanya yang lain ikut menimpali membuat chat group itu seperti pasar malam.

Heran deh. Liburan, tapi perkembangan gosip terbaru tetap up to date.

***

Cessa menyusun kemasan aloe vera soothing gel Nature Republic ke dalam koper yang ia beli di pasar bawah tanah Myeongdong. Mumpung harga miring. Selain tentunya karena ia memang butuh satu koper lagi untuk tempat khusus oleh-oleh. Album pesanan Gya sepertinya masih bisa masuk hand carry. Produk Innisfree, Tony Moly, sheet mask yang jumlahnya sangat banyak, ia satukan dalam satu plastik. Ia sendiri membeli produk skincare yang rutin ia gunakan selama ini, ditambah beberapa produk yang masuk rekomendasi di Olive Young, pusat kosmetik no1 di Korea Selatan. Ia bahkan membeli dua merek cushion karena bentuknya yang lucu.

Sementara berbenah, Cessa tiba-tiba teringat sesuatu. Ini kan awal bulan? Seharusnya transferan bulanannya masuk. Atau memang sudah masuk? Ia terlupa untuk mengecek. Ia mengambil ponsel, men-scroll deretan chat Whatsapp. sebelumnya, saat baru pertamakali tiba di Seoul, ia telah mengatur nomor telepon sehingga ia bisa tetap menerima notifikasi sekalipun berada di luar negeri.

"양도인은 이미 들어갔다" yangdoin-eun imi deul-eogassda

Kening Cessa mengerut membaca chat itu. Ia tidak salah baca kan? Atau mungkin chat itu dari nomor nyasar?

Setelah dicek kembali, nomor itu memang milik seseorang yang ia beri nama Thief di daftar kontaknya. Ia kemudian menyalin teks dan mencarinya di Google. Ia bisa saja menanyakan kepada Nara, tapi ia khawatir isinya adalah sesuatu yang ekstrim. Adiknya bisa curiga.

Cessa membuang napas lega, karena terjemahannya adalah 'transferan sudah masuk'. Ia yakin, si pengirim pasti menggunakan Google translate karena terjemahannya bisa sama persis. Bukannya ia pernah mencari tahu lebih jauh soal laki-laki itu. Ia hanya berhipotesis, dan ia cukup yakin akan hipotesisnya.

Kalaupun ia salah, tidak ada pengaruhnya juga kan?

Cessa terdiam, masih menekuri layar ponsel.

Apakah laki-laki itu mengetahui keberadaannya di Seoul?

Oh. Mungkin saja. Kalau ia saat ini berada di negara Turki, misalnya, mungkin chat yang ia baca itu dalam tulisan Turki. Atau yang lebih rumit seperti tulisan Rusia.

Seperti biasa, ia tidak perlu membalas chat tersebut. Urusan mereka selama ini sejak kejadian setahun lalu, hanya sebatas transferan setiap bulan. Saldonya bertambah, chat konfirmasi, selesai. Seterusnya hal yang sama terjadi di bulan depan. Ia bukannya menyukai transferan itu karena jujur saja, transfer bulanan itumembuatnya merasa seperti perempuan murahan; Sugar baby yang biaya hidupnya ditopang oleh Sugar Daddy. Bedanya, mereka tidak perlu berkencan.

Tapi ia merasa berhak mendapatkan kompensasi setelah apa yang telah terjadi.

Lagipula, bukan ia yang meminta. Ia berpikir urusan di antara mereka sudah tidak ada lagi, sampai suatu hari ia mengecek saldo rekeningnya setelah gajinya dtransfer, jumlah saldo di rekening meningkat secara signifikan. Awalnya ia langsung berpikir jika hal ini adalah bentuk praktik money laundering, uang nyasar entah dari mana, tapi kemudian laki-laki itu menelepon dan mengatakan bahwa ia baru saja mentransfer uang. Cessa memeriksa rekening si pengirim dan tercengang membaca namanya.

Nama salah satu petinggi perusahaan. Dewan direksi.

Nama yang enggan ia sebut, jika tidak terpaksa.

***

Cessa masih larut dalam lamunannya saat ponselnya kembali berdenting.

Ada oleh-oleh untuk saya?

Untuk pertamakali, sejak laki-laki itu mengirimkan chat tiap bulan, ia mengirimkan chat selain daripada kalimat seperti; transferan masuk, transferannya masuk, sudah transfer, sampai satu kata saja seperti sudah atau oke. Meskipun singkat, tetap saja chat itu extraordinary.

Ajaib.

Membuat tidak nyaman.

Cessa menimbang-nimbang akan membalasnya atau tidak. Tentu saja ia tidak membelikan oleh-oleh untuk laki-laki itu. Memikirkannya pun tidak.

Tabungannya memang semakin berisi, tapi bukan berarti ia akan mengubah mindset-nya terhadap laki-laki itu, karena apa yang laki-laki itu lakukan terhadapnya, tidak akan bisa ia maafkan dan ia lupakan.

So...

"Eheem. Chat sama siapa tuh?"

Untungnya Nara masih menghargai privasinya dengan tidak melongok apalagi mengambil ponsel yang tengah ia pandangi.

Lalu, bagaimana Nara bisa tahu ia sedang chat dengan seseorang?

"Temen kantor. Kepo banget deh," jawab Cessa. Adiknya meringis saat Cessa mencubit pipinya.

"Teman atau pacar?"

"Naraa, aku nggak punya pacar, oke?"

"Punya juga nggak pa-pa, Kak." Nara menunjukkan tanda peace dengan dua jari. "Daripada sendiri. Kan sepi?"

"Aku mau fokus bekerja aja, Nar. Lagian umurku juga belum nyampe 30."

"Aku malah pengen nikah sebelum umur 30, Kak."

"Nggak pa-pa deh kalo kamu mau ngelangkahin Kakak."

"Nggak deh. Kakak harus nikah dulu, baru aku."

Cessa membatin.

Quarter life dilemma sudah ia lewati.

Umur 28 adalah umur yang matang untuk menikah, sebagian besar perempuan bahkan sudah punya anak di usia itu. Kalau menikahnya pas lulus atau di usia sekolah, anaknya mungkin sudah lebih dari dua.

Hidupnya bukan berisi tentang perlombaan untuk menikah. Bukan takut akan ancaman jadi perawan tua. Ia hanya sangat menikmati kesendirian. Ia bisa fokus bekerja, menata masa depan, tanpa perlu memikirkan suami dan anak.

Bukannya menikah itu menyusahkan. Menikah itu hanya fase di mana manusia memilih menjalaninya bersama seseorang, membentuk sebuah rumah tangga, memiliki keturunan, menua bersama. Dibutuhkan komitmen untuk menjalani, bukan sekadar "aku cinta kamu, mari membina rumah tangga bersamaku, punya banyak anak, dan hidup bahagia selamanya". Komitmen berarti ikatan, dan Cessa belum siap untuk itu.

Jadi, untuk saat ini, sendiri dulu adalah pilihan terbaik baginya. Jika ia sudah berbicara soal kenyamanan hidup melajang yang tanpa ribet, maka yang bisa relate ke pemikiran ini ya hanya sesama single ladies aja.

Lagipula...

She isn't a virgin woman. She lost it even before she can prevent it.

Ia kehilangan hal berharga yang ingin ia pertahankan dan hanya ingin ia persembahkan kepada suaminya kelak. Ia bisa apa sekarang?

Laki-laki itu berbaik hati memberinya morning after-pill, mengatakan ia menyesal dan menanyakan apakah ia terluka, lalu memberi kompensasi dalam bentuk uang yang sangat besar.

Sangat bertanggungjawab, bukan?

Akhirnya, Cessa memilih mematikan ponsel dan melanjutkan aktivitas packing dibantu oleh Nara.

***

One year ago.

Arion membalikkan badan ke kanan sambil memegangi kepala.

Kepalanya terasa pusing. Rasanya seperti sehabis dihantam palu. Perasaan seperti ini hanya akan dialami saat kadar alkohol yang masuk ke tubuhnya sudah berlebihan.

Ia pasti minum terlalu banyak semalam.

Iya. Nenek-nenek juga tau. Kepala serasa mau pecah seperti ini hanya bisa ditimbulkan oleh minuman beralkohol.

Tadinya, Arion hendak keluar dari kamar. Ia butuh minum sesuatu yang hangat dan jeruk nipis. Namun sesosok perempuan tengah duduk berjongkok di lantai.

Semalam, siapa yang ia bawa ke apartemen?

No. Ia tidak pernah membawa perempuan ke kamar apartemennya yang ini, karena tempat ini lebih bersifat privat daripada tempatnya biasa berkencan. Apartemen ini sesuci kamar tidurnya di rumah orangtuanya.

Jadi kalau sampai ia membawa perempuan masuk ke sini untuk having sex, berarti ia telah melanggar peraturannya sendiri.

Ini kejadian luar biasa.

Atau perempuan itu memang spesial.

"Did i hurt you?" tanya Arion saat gadis itu menampakkan wajahnya. Matanya sembab, tapi tidak terdengar isakan.

Tidak pernah ada perempuan yang menangis setelah bersenang-senang dengannya. Yang bisa ia ingat hanya raut wajah senang, wajah penuh kepuasan, hingga permohonan untuk memperpanjang masa kencan mereka, yang selalu ia tolak. Ia tidak pernah memaksa. Hubungan yang selama ini ia jalani selalu berdasarkan asas suka sama suka.

Itulah alasan Arion bertanya.

"Saya harus pergi sekarang, Pak."

Bukannya menjawab, ia malah mengatakan akan pergi.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya." Arion mencekal lengan gadis yang tidur bersamanya malam itu.

"Yang saya tau, saya nggak akan bisa lupain semua ini, Pak."

"Saya nggak..." Arion memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut lagi. "Saya belum bisa mengingat kejadian semalam. Apa kita tidur bersama?"

"Lupakan saja."

"Maaf. Tunggu sebentar." Gadis itu tidak akan bisa ke mana-mana. Pintu apartemennya bekerja sesuai perintahnya.

Arion bergegas menarik laci nakas di sisi ranjang. "Take the pill. Buat...,"

"Saya nggak akan hamil, Pak. Tenang saja." Gadis itu menepis tangan Arion sebelum sempat menyentuhnya. Arion melihat detil wajahnya, selain mata sembab, rambutnya berantakan dan bibirnya yang bergetar saat menangis, belepotan oleh warna lipstick nude.

"Kamu asisten Pak Dayat?" Arion bahkan masih menanyai saat gadis itu berusaha mengancingkan blus yang ternyata kancingnya teratasnya sudah lepas. Arion tanpa sadar meringis. Ia pasti melakukannya dengan lapar dan...

Kasar.

Ia benar-benar bodoh.

"Nama saya nggak penting." Gadis itu masih berupaya menutupi bagian atas tubuhnya yang terekspos karena dua kancing yang lepas.

Arion mengambil sweatshirt di dalam lemari, sambil memikirkan bagaimana gadis itu bisa berada di sana. Di dalam apartemennya.

Samar-samar ia mengingat sebuah berkas yang dibawa gadis itu.

Lalu mereka minum bersama.

And the rest is history

"Ayana Princessa."

Ia akhirnya mengetahui nama gadis itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro